• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan APBN Tahun 2020 dan APBN Tahun 2021 tentang Pinjaman

Dalam dokumen Mewaspadai Risiko yang Meningkat (Halaman 51-55)

KONDISI PINJAMAN TAHUN 2020 DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021

4.3 Kebijakan APBN Tahun 2020 dan APBN Tahun 2021 tentang Pinjaman

Kebijakan pinjaman dalam APBN 2020 ketika ditetapkan pada akhir tahun 2019 menyebutkan beberapa hal pokok. Baik dalam hal pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri.

Pinjaman Dalam Negeri secara bruto direncanakan sebesar Rp2.974,1 miliar. Pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri sebesar negatif Rp1.678,1 miliar. Sehingga secara neto direncanakan sebesar Rp1.296 miliar.

Kebijakan teknisnya menimbang beberapa hal. Diantaranya adalah: a. Penyelesaian dan percepatan kegiatan-kegiatan prioritas yang telah terkontrak; b. Percepatan penyelesaian kontrak atas kegiatan-kegiatan prioritas yang telah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya;

c. Kapasitas Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan dalam menentukan jenis dan menyelesaikan kegiatan; d. Kapasitas industri dalam negeri terkait dengan penyediaan barang dan jasa; e. Kapasitas pemberi PDN; f. Biaya dan risiko pinjaman.

Dalam hal pinjaman luar negeri disebutkan beberapa kebijakan. Diantaranya: meningkatkan kinerja dan realisasi penarikan pinjaman luar negeri untuk menghindari tambhan biaya

utang, meningkatkan kualitas penganggaran, mengutamakan pinjaman tunai dari pinjaman multirateral dan bilateral, pemilihan atas mata uang pinjaman, dan mengadakan pinjaman tunai komersial sebagai alternatif akhir.

Penarikan pinjaman luar negeri (PLN) secara bruto direncanakan sebesar Rp48.350,4 miliar. Pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp87.115,2 miliar. Dengan demikian, penarikan pinjaman luar negeri (neto) sebesar negatif Rp38.764,8 miliar.

PLN akan dilakukan dengan beberapa kebijakan pokok. Diantaranya adalah: a.Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN untuk menghindari tambahan biaya utang dan memberikan multiplier effect yang optima; b. Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN melalui peningkatan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi sebagai upaya menghindari tambahan biaya pinjaman dan untuk mempercepat penyelesaian output dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional; c. Mengutamakan Pinjaman Tunai yang bersumber dari pemberi pinjaman multilateral dan bilateral, dengan memperhatikan kapasitas pemberi pinjaman dan ketersediaan program baik kebijakan maupun kegiatan yang menjadi basis pinjaman tunai; d. Pemilihan mata uang pinjaman tunai mempertimbangkan kebutuhan kas dan pengelolaan portofolio utang pemerintah; e. Mengadakan pinjaman tunai komersial sebagai alternatif terakhir dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang.

Pandemi covid-19 membuat APBN tahun 2020 diubah menurut Perpres 72, yang merevisi rencana pinjaman. Dalam hal pinjaman dalam negeri, rencananya tidak berubah. Sedangkan penarikan pinjaman luar negeri secara bruto meningkat signifikan menjadi sebesar Rp147,5 triliun. Sedangkan secara neto menjadi Rp45,43 triliun.

Realisasi sementara APBN 2020 melaporkan pinjaman secara neto mencapai Rp49,7 triliun, lebih besar dari rencana Perpres 72 yang sebesar Rp46,7 triliun. Belum diinformasikan tentang rincian pinjaman dalam dan luar negerinya.

Kebijakan pinjaman dalam APBN 2021 tampak tidak banyak berubah. Secara umum ingin sedikit menurunkan atau setidaknya mempertahankan posisi saja. Dengan kata lain, nilai penarikan pinjaman baru akan setara atau lebih kecil dari pembayaran pinjaman lama. Hanya faktor kurs yang kadang membuat selisih signifikan dari rencananya, karena statistik pinjaman dinyatakan dalam rupiah.

APBN 2021 merencanakan Pinjaman dalam negeri (neto) sebesar Rp978,3 miliar. Terdiri atas penarikan pinjaman dalam negeri (bruto) sebesar Rp2.729,1 miliar dan pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri sebesar Rp1.750,8 miliar.

Nota Keuangan dan APBN 2021 menyebut beberapa kebijakan teknis Pemerintah tentang pengelolaan pinjaman dalam negeri. Antara lain sebagai berikut: 1) Mendorong sinergi perencanaan dan penganggaran pinjaman dalam negeri dalam APBN; 2) Mempercepat penyelesaian kegiatan yang telah terkontrak dan penyelesaian kontrak atas kegiatan-kegiatan prioritas tahun-tahun sebelumnya; 3) Optimalisasi monitoring dan evaluasi atas kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman dengan memfokuskan kepada kegiatan-kegiatan dengan kinerja buruk dan yang mengalami kendala pelaksanaan; 4) Membatasi masa laku pinjaman dengan tujuan untuk

meningkatkan ownership pelaksana kegiatan dalam menyelesaikan kegiatan sesuai target yang telah direncanakan; dan 5) Mendorong perbaikan kapasitas pelaksana kegiatan, dalam hal ini K/L disisi perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, dan pelaku industri dalam negeri disisi kapasitas pelaksanaan kegiatan.

Pinjaman luar negeri (neto) dalam APBN tahun 2021 direncanakan sebesar minus Rp30.894,6 miliar. Artinya, posisinya direncanakan akan berkurang selama setahun, dari akhir tahun 2020. Penarikan pinjaman luar negeri (bruto) yang sebesar Rp51.377,4 miliar lebih rendah dari pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp82.272,0 miliar.

Dari rencana penarikan pinjaman tersebut, penarikan pinjaman tunai dalam mata uang asing tahun 2021 sebesar USD1,5 miliar atau ekuivalen Rp21.900,0 miliar. Sedangkan yang berupa pinjaman kegiatan sebesar Rp29.477,4 miliar.

Pinjaman kegiatan terutama berasal dari mitra pembangunan bilateral dan multilateral antara lain Jepang, Tiongkok, Jerman, Korea Selatan, World Bank, IDB, ADB, AIIB, dan pengadaan pinjaman yang bersumber dari kreditur swasta asing.

Kebijakan teknis pengelolaan pinjaman kegiatan dalam Nota keuangan dan APBN 2021 tahun dinyatakan dalam beberapa arah. Diantaranya adalah: a) meningkatkan koordinasi internal Pemerintah dalam perencanaan kegiatan yang dibiayai pinjaman kegiatan; b) meningkatkan kualitas penganggaran kegiatan yang dibiayai oleh pinjaman termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan (on-lending) dan pinjaman yang diterushibahkan (on- granting); c) optimalisasi monitoring dan evaluasi atas kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman dengan memfokuskan kepada kegiatan-kegiatan dengan kinerja buruk dan yang mengalami kendala pelaksanaan; d) memperbaiki dan meningkatkan kapasitas pelaksanaan kegiatan;

e) membatasi masa laku pinjaman dengan tujuan untuk mendorong pelaksana kegiatan menyelesaikan kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati; dan f) memberikan reward and punishment bagi kegiatan-kegiatan yang berkinerja baik dan buruk.

Dengan rencana pembiayaan APBN 2021 melalui pinjaman neto sebesar minus 29,92 triliun, maka jika tidak ada faktor kurs rupiah, maka posisi pinjaman pada akhir tahun 2021 akan berkurang menjadi di kisaran Rp823 triliun. Posisi pinjaman luar negeri akan sekitar Rp810 triliun.

Risiko secara sederhana dapat diartikan sebagai pemburukan kondisi yang bersifat tidak terduga atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Dalam hal risiko utang, terutama berhubungan dengan kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Meskipun mungkin hanya pada sebagian utang, baik yang berjenis pinjaman ataupun SBN.

Sejauh ini, kegagalan membayar beban utang tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan pada saat krisis 1997/1998, Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan susah payah.

Bagaimanapun, secara teoritis dan secara teknis masih terdapat risiko gagal membayar utang di masa mendatang. Oleh karenanya, pemahaman akan tingkat risiko utang menjadi sangat penting, agar dicegah terjadinya kondisi buruk, yang melebihi kemampuan menanggung bebannya. Dalam konteks tertentu, bukan mencegah agar terjadi yang menjadi fokus, melainkan kesiapan untuk menghadapinya.

Ada beberapa indikator untuk menggambarkan risiko utang, yang merupakan hasil kajian akademis berdasar pengalaman banyak pihak di masa lalu. Untuk masing-masing jenis utang yang disebut di atas, dikenal berbagai indikator risiko. Tentunya ada faktor tambahan penting yang mesti disertakan, karena perbedaan kondisi sosial politik, kondisi geografis, faktor posisi dalam dinamika ekonomi global, dan soalan lainnya pada masing-masing negara.

Ada risiko lain yang kadang kurang tergambar dalam berbagai rasio yang dikenal umum. Yaitu ketika pemerintah memang berhasil membayar kewajiban utangnya, namun dilakukan dengan bersusah payah. Akibatnya, pemerintah tidak memiliki dana yang memadai untuk melakukan kewajiban memberi pelayanan publik, serta kesulitan melaksanakan pemerintahan yang baik.

Berkaitan dengan semua itu, risiko pengelolaan utang Pemerintah saat ini bertambah dalam aspek pencarian utang baru. Kondisi APBN masih memaksa pembayaran beban utang harus dilakukan dengan penarikan utang baru. Upaya tersebut berisiko tidak diperolehnya utang baru senilai yang diharapkan. Terutama jika selisih kurangnya dalam nilai yang besar.

Dalam dokumen Mewaspadai Risiko yang Meningkat (Halaman 51-55)