UTANG PEMERINTAH
2.5 Proyeksi Utang Pemerintah hingga tahun 2024
Posisi utang Pemerintah yang telah mencapai Rp6.075 triliun pada akhir tahun 2020.
Meningkat sangat pesat, sekitar 28,81% dari posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.786 triliun. Posisi akhir 2020 merupakan nominal utang yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.
APBN 2021 merencanakan tambahan utang sebagai konsekuensi dari pengelolaan APBN sebesar pos pembiayaan utang, yaitu Rp1.177,40 triliun. Jika sesuai rencana, dan kurs pada akhir tahun 2021 setara dengan akhir tahun 2020, maka posisi utang akan di kisaran Rp7.252 triliun.
Untuk posisi tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024, belum dinyatakan proyeksi tentang pembiayaan utang yang eksplisit. Meski demikian, posisi utang sedikit mendapat gambaran berdasar target rasio utang atas PDB dalam Nota Keuangan APBN 2021.
Sayangnya berbeda dengan Nota Keuangan pada tahun-tahun sebelumnya, tidak disebutkan secara definitif berapa rasionya pada tahun 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%.
Bisa dimengerti bahwa hal tersebut terutama disebabkan kondisi yang masih ditandai banyak ketidakpastian, dan program pemulihan ekonomi belum bisa dipastikan seberapa cepat memperbaiki kondisi fiskal pemerintah.
Untuk perhitungan rasio utang atas PDB, selain bergantung seberapa besar posisi utang, maka bergantung pula dengan perkembangan PDBnya. Di atas disebutkan posisi utang sebesar Rp6.075 pada akhir 2020, dan diprakiran meningkat menjadi Rp7.252 triliun pada akhir 2021.
Sedangkan PDB nominal untuk tahun 2020 diprakirakan oleh Pemerintah, secara implisit dalam laporan realisasi sementara APBN, sebesar Rp15.700 triliun.
Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 serta beberapa paparannya menyebut rasio utang atas PDB akan sebesar 38% pada akhir tahun 2020. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024 hanya disebut kisaran 38-43%.
Sementara itu, proyeksi World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020 dari IMF tentang rasio utang pemerintah Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 37,7%. WEO memproyeksikan akan meningkat menjadi 40,3% pada tahun 2021.
Kita dapat memakai rerata pertumbuhan PDB 2011-2019 yang sebesar 9,75% untuk memprakirakan nilai nominal PDB pada tahun 2021 hingga tahun 2024. Besaran PDB tahun 2020 tidak diperhitungkan dalam rerata, karena bisa dianggap sebagai pengecualian untuk kondisi khusus. Realisasi PDB tahun 2020 atas dasar harga berlaku (nominal) itu sendiri baru berjalan tiga triwulan. Selama tiga triwulan, nilainya hanya sebesar Rp 11.505,12 triliun.
APBN 2020 versi Perpres No.72/2020 sebenarnya memiliki asumsi tentang nilai PDB
nominal. Dapat dihitung dari postur APBN yang merencanakan defisit sebesar Rp1.039,22 triliun, yang disebut sebagai 6,34% atas PDB. Artinya PDB nominal atau atas dasar harga berlaku tahun 2020 diasumsikan sebesar Rp16.391,44 triliun.
Asumsi nilai PDB demikian nyaris mustahil akan dicapai. Dibutuhkan capaian sebesar Rp4.886,32 triliun pada triwulan IV agar asumsi tersebut terpenuhi. Sebagai perbandingan, nilai PDB triwulan IV tahun 2019 hanya sebesar Rp4.018,84 triliun. Padahal, nilai PDB selama 3 triwulan tahun 2019 justru lebih besar dari tahun 2020, mencapai Rp11.629,27 triliun.
Seandainya memang telah terjadi pemulihan ekonomi yang sangat signifikan pada triwulan IV 2020, maka PDB triwulan ini memang bisa mencapai Rp4.250 triliun. Artinya, jika pemulihan telah cukup signifikan pun, PDB nominal tahun 2020 hanya akan sebesar Rp15.755 triliun.
Ternyata, laporan realisasi sementara APBN 2020 membuat perhitungan besaran PDB yang lebih rendah. Bisa dikatakan lebih realistis, yakni sekitar Rp15.700 triliun. Rilis dan dokumen paparan realisasi sementara memang tidak menyebut PDB nominal, namun menyatakan bahwa defisit sebesar Rp956, triliun adalah 6,09% dari PDB.
Berdasar prakiraan PDB tahun 2020 sebesar Rp15.700 dan rerata kenaikan PDB nominal selama 10 tahun terakhir, maka dapat diproyeksikan kisaran nilai PDB nominal pada tahun-tahun mendatang. Yaitu sebagai berikut: Rp17.231 triliun (2021), Rp18.911 triliun (2022), Rp20.755 triliun (2023), Rp22.778 triliun (2024).
Dapat diambil titik tengah dari rasio utang atas PDB yang ditargetkan oleh Pemerintah yang di kisaran 38%-43%, yakni sebesar 40,5%. Maka posisi utang berturut-turut akan sebesar:
Rp6.978 triliun (2021), Rp7.659 triliun (2022), Rp8.406 triliun (2023), Rp9.225 triliun (2024).
Akan tetapi, rasio utang pada tahun 2021 saja telah sulit untuk bisa dijaga sebesar 40,5%.
Dari prakiraan berdasar postur APBN 2021, posisi utang diprakirakan telah mencapai Rp7.252 triliun. Lebih tinggi dari proyeksi berdasar titik tengah rasio di atas, yang hanya Rp6.989,57 triliun. Rasionya atas PDB pun akan sedikit diatas 42%. Artinya, batas rentang terburuk dari target saja telah didekati pada tahun 2021.
Pada tahun 2020 pun rasionya ternyata telah sedikit melebihi prakiraan pemerintah yang disampaikan beberapa bulan lalu. Rasio telah mencapai 38,68%. Diperhitungkan dari posisi utang sebesar Rp6.075 triliun dibandingkan asumsi PDB yang hanya sekitar Rp15.700 triliun.
Laporan ini berpandangan berdasar kinerja APBN tahun 2020 dan prakiraan berdasar APBN tahun 2021, maka posisi utang kemungkinan akan melampaui Rp10.000 triliun pada tahun 2024. Jauh lebih besar dari proyeksi yang diperhitungkan berdasar titik tengah target dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 di atas, yang hanya sebesar Rp9.225 triliun.
Rasionya pun akan sulit dijaga dalam rentang yang ditargetkan oleh Pemerintah. Dikaitkan dengan proyeksi PDB nominal dalam perhitungan IHN, maka rasio utang dapat mencapai 45%
pada akhir tahun 2024. Melebihi batas yang ingin dikendalikan Pemerintah sebesar 38-43%.
Beberapa faktor memberi kontribusi atas kecenderungan ini. Posisi utang yang akan meningkat signifikan karena kebutuhan pembiayaan utang, yang didorong oleh kebijakan
Pemerintah yang masih ingin APBN bersifat ekspansif. Ditambah faktor kurs yang cukup rawan di masa mendatang. Sedangkan peningkatan nilai nominal PDB akan terkendala oleh pertumbuhan ekonomi yang jika kembali ke lintasannya, hanya di kisaran 5%.
Tentu ada pengecualian, yakni perekonomian dilanda inflasi tinggi yang akan meningkatkan nilai PDB nominal. Bagaimanapun, otoritas ekonomi dipastikan akan sangat serius mencegah hal ini, karena inflasi tinggi akan menimbulkan banyak soalan lain yang lebih kompleks dan memberatkan.