• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mewaspadai Risiko yang Meningkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Mewaspadai Risiko yang Meningkat"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

PRAKIRAAN UTANG PEMERINTAH 2021:

Mewaspadai Risiko yang Meningkat

Awalil Rizky dkk

i

Penerbit

YAYASAN HARKAT NEGERI Jl. H. Sa’aba No.7A, Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12150

Email: [email protected]

(4)
(5)

PRAKIRAAN UTANG PEMERINTAH 2021:

Mewaspadai Risiko yang Meningkat

Tim Penyusun Awalil Rizky (Ketua) Binti Nikmatul Afdila

Rachmawati Sonny Wibisono

Layout dan Desain Busthomi Rifa’i

Februari, 2021

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari Penerbit

Penerbit

YAYASAN HARKAT NEGERI Jl. H. Sa’aba No.7A, Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12150

Email: [email protected] ISBN : 978-623-93115-3-7

i

(6)
(7)

Utang Pemerintah selalu menjadi perhatian publik, dan makin meningkat pada kondisi fiskal yang terdampak pandemi covid-19. Diskusi tentang topik ini tidak hanya menyangkut aspek teknis, seperti jumlah dan berbagai rasio utang, melainkan melebar pada aspek ekonomi politik yang luas.

Institut Harkat Negeri (IHN) sebagai suatu lembaga yang memiliki perhatian besar pada kebijakan publik serta edukasi kepada masyarakat luas, merasa perlu membuat suatu laporan tentang utang Pemerintah. Laporan dimaksud merupakan atas kondisi terkini, dan proyeksinya pada tahun 2021. Dilengkapi dengan penjelasan tentang berbagai istilah dan indikator yang biasa dipakai oleh Pemerintah dan para ahli yang mendiskusikannya.

Laporan IHN yang berjudul “PRAKIRAAN UTANG PEMERINTAH 2021: Mewaspadai Risiko yang Meningkat”, secara umum mengingatkan pihak otoritas ekonomi untuk lebih waspada atas kondisi utang Pemerintah. Laporan menilai telah terjadi peningkatan risiko yang tinggi, dan belum pernah dialami pasca krisis 1997/1998.

Pemerintah tampak cukup menyadari risiko utangnya dan berkomitmen akan mengelolanya secara berhati-hati. Bahkan, Nota Keuangan dan APBN 2021 memberi ruang pembahasan yang lebih panjang lebar dari biasanya atas risiko utang dan kebijakan pengelolaan utang. Para pejabat pemerintahan terkait juga sering memberi penjelasan kepada publik. Sebagian besar dari kebijakan pemerintah tentang pengelolaan utang dibahas oleh laporan ini.

Laporan ini menilai kebijakan tersebut belum mencukupi untuk menurunkan risiko utang pada tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya. Direkomendasikan agar pengelolaan utang dimulai dengan perencanaan yang lebih baik dan jelas, yang dikomunikasikan secara lebih terbuka kepada publik. Terutama diberi kesempatan kepada para ahli di luar Pemerintahan untuk ikut memberi masukan secara terus menerus.

IHN berpandangan masih ada waktu dan tersedia pilihan kebijakan fiskal agar risiko utang pemerintah dapat diturunkan. IHN berharap laporannya sebagai sumbangan kecil atas proses perbaikan kebijakan tersebut.

IHN menyadari hasil kajiannya jauh dari sempurna. IHN akan terus melanjutkan kajian dengan sangat memperhatikan berbagai pandangan pihak, serta perkembangan kebijakan pemerintah.

Kepala Institut Harkat Negeri

Sudirman Said

SAMBUTAN

KEPALA IHN

(8)
(9)

DAFTAR ISI

SAMBUTAN KEPALA IHN v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR GRAFIK ix

DAFTAR TABEL xi

RINGKASAN EKSEKUTIF 1

BAB I TINJAUAN UMUM 3

1.1 Pengertian Utang Pemerintah, Utang Luar Negeri, dan Utang Sektor publik 3

1.2 Kondisi Terkini 4

1.3 Prakiraan Kondisi Tahun 2021 6

1.4 Risiko Utang 7

1.5 Tentang Laporan Ini 8

BAB II UTANG PEMERINTAH 11

2.1 Perkembangan Posisi Utang Pemerintah 11

2.2 Defisit, Pembiayaan Utang, dan Tambahan Utang 12

2.3 Jenis dan Bentuk Utang Pemerintah 15

2.4 Beban Utang Pemerintah 18

2.5 Proyeksi Utang Pemerintah hingga tahun 2024 20

BAB III KONDISI SBN TAHUN 2020 DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021 23

3.1 Perkembangan SBN 23

3.2 Jenis SBN 24

3.3 Peran Bank Indonesia 29

3.4 Prakiraan Kondisi SBN tahun 2021 32

BAB IV KONDISI PINJAMAN TAHUN 2020 DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021 35

4.1 Perkembangan Pinjaman Pemerintah 35

4.2 Posisi Pinjaman Terkini 36

4.3 Kebijakan APBN Tahun 2020 dan APBN Tahun 2021 tentang Pinjaman 37

BAB V RISIKO UTANG PEMERINTAH 41

5.1 Risiko Pembayaran Beban Utang 41

5.1.1 Pelunasan pokok utang dan Pembayaran Bunga Utang 41 5.1.2 Rasio Pembayaran Beban Utang atas Pendapatan Negara 44

(10)

5.1.3 Rasio Pembayaran Bunga atas Posisi Utang Rata-Rata 45

5.1.4 Rasio Pembayaran Bunga atas Pendapatan dan PDB 46

5.1.5 Keseimbangan Primer 47

5.2 Rasio Posisi Utang atas PDB 50

5.3 Perkembangan Rasio Pajak 52

5.4 Peningkatan Risiko Utang akibat Pandemi Covid-19 55

5.5 Prakiraan Risiko Utang Pemerintah Tahun 2021 57

5.6 Asesmen IHN atas risiko utang 59

BAB VI PERENCANAAN UTANG PEMERINTAH 61

6.1 Alasan Berutang 61

6.2 Rencana Utang dalam RPJMN 62

6.3 Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah 63

6.4 APBN dan Rencana Tahunan 64

6.5 Kebijakan Utang Pemerintah dalam APBN 2021 66

BAB VII UTANG LUAR NEGERI INDONESIA 69

7.1 Posisi Terkini 69

7.1.2 Utang Luar Negeri Menurut Jenis Mata Uang 70

7.2 Perkembangan Posisi ULN Indonesia 71

7.2.1 Perkembangan Utang Luar Negeri Pemerintah 72

7.2.2 Perkembangan Utang Luar Negeri Swasta 73

7.2.3 Utang Luar Negeri BUMN 75

7.3 Beban Pembayaran Utang Luar Negeri 76

7.4 Indikator Utang Luar Negeri 78

7.5 Rating Indonesia menurut Lembaga Pemeringkat 81

BAB VIII UTANG SEKTOR PUBLIK 83

8.1 Posisi Terkini 83

8.2 Perkembangan Posisi 84

8.3 Komposisi Utang Sektor Publik Menurut Mata Uang dan Kreditor 85

8.4 Utang BUMN 86

BAB IX KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 89

9.1 Kesimpulan Umum 89

9.2 Rekomendasi 93

(11)

DAFTAR

GRAFIK

Grafik 1. Posisi Utang Pemerintah (Rp Triliun), 1996-2021 12

Grafik 2. Defisit dan Pembiayaan Utang, 2005-2021 13

Grafik 3. Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang, 2005-2021 14

Grafik 4. SBN dan Pinjaman 16

Grafik 5. Utang Berdenominasi Rupiah dan Valuta Asing 17

Grafik 6. Utang Kepada Residen dan NonResiden 18

Grafik 7. Pelunasan Utang dan Pembayaran Bunga Utang, 2010-2020 19 Grafik 8. Posisi SBN Akhir Tahun (Rp Triliun), 1998-2020 24 Grafik 9. SBN yang Diperdagangkan dan Tidak Diperdagangkan 24

Grafik 10. SBN dan SBNS 25

Grafik 11. SBN Rupiah dan SBN Valuta Asing 26

Grafik 12. Kepemilikan SBN Domestik yang Diperdagangkan 27 Grafik 13. Kepemilikan Asing atas SBN Domestik yang Diperdagangkan 28

Grafik 14. Klasifikasi SBN 29

Grafik 15. Kepemilikan SBN Domestik Diperdagangkan oleh Bank Indonesia 31 Grafik 16. Penerbitan SBN (akumulatif) akhir bulan (Rp Juta), 2016-2020 32

Grafik 17. Arus Pinjaman Pemerintah, 2005-2020 36

Grafik 18. Pinjaman Pemerintah, 1997-2020 36

Grafik 19. Pelunasan Pokok Utang, 2010-2021 42

Grafik 20. Pembayaran Bunga Utang, 2000-2021 43

Grafik 21. Pembayaran Beban Utang (Rp Triliun), 2010-2020 44 Grafik 22. Pembayaran Bunga Utang dan Tingkat Bunga Riil, 1998-2020 46 Grafik 23. Rasio Pembayaran Bunga Utang atas Pendapatan Negara 46

Grafik 24. Rasio Pembayaran Bunga Utang atas PDB 47

(12)

Grafik 25. Keseimbangan Primer (Rp Triliun), 2004-2021 49

Grafik 26. Rasio Utang Pemerintah atas PDB, 1998-2021 51

Grafik 27. Rasio Pajak, 2005-2020 54

Grafik 28. Proyeksi dan Realisasi Rasio Utang atas PDB dalam RPJMN 63

Grafik 29. Pembiayaan Utang dan Pertumbuhannya 68

Grafik 30 Proporsi Utang berdasarkan Kreditor (dalam Persen) 70 Grafik 31. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia, 1997-2020 71

Grafik 32. 10 Teratas Negara Peminjam Terbesar 72

Grafik 33. Utang Luar Negeri Pemerintah 73

Grafik 34. Utang Luar Negeri Swasta 74

Grafik 35. ULN Swasta dan ULN Pemerintah dan BI 74

Grafik 36. Utang Luar Negeri BUMN, 2010-2020 75

Grafik 37. ULN BUMN berdasar Kelompok, 2010-2020 76

Grafik 38. DSR Indonesia Tier-1 dan Tier-2, 2010-2020 77

Grafik 39. Debt Service Indonesia (%), 1990-2020 78

Grafik 40. Rasio ULN atas Ekspor dan atas PDB 79

Grafik 41. Utang Pemerintah berdasar Sisa Waktu Pelunasan (USD Juta), 2007-2020 80

Grafik 42. Utang Swasta berdasar Sisa Waktu Pelunasan 80

Grafik 43. Posisi Utang Sektor Publik, 2007-2020 84

Grafik 44. Rasio Utang Sektor Publik atas PDB, 2007-2020 85 Grafik 45. Utang Sektor Publik Berdasarkan Jenis Mata Uang 85 Grafik 46. Utang Sektor Publik berdasarkan Pemberi Pinjaman (dalam Rp Miliar) 86 Grafik 47. Utang Sektor Publik Berdasarkan Sektornya (dalam Rp Miliar) 86 Grafik 48. Utang Korporasi Nonfinansial Sektor Publik (Rp Miliar) 87

(13)

DAFTAR

TABEL

Tabel 1. Perkembangan Outstanding dan Indikator Risiko Utang Pemerintah Pusat,

2016-Juni 2020 58

Tabel 2. Proyeksi Risiko Utang Pemerintah Pusat dalam Jangka Menengah, Hingga akhir 2024 59 Tabel 3. Proyeksi RPJMN 2020-2024 atas Beberapa Indikator Utang Pemerintah 62 Tabel 4. Indikator Risiko Penerbitan Utang Baru Tahun 2020 66

Tabel 5. Utang terbesar Berdasarkan Jenis Mata Uang 71

Tabel 6. Daftar Peringkat Utang Berdasarkan Penilaian 81

(14)
(15)

Utang pemerintah terus bertambah dan posisinya meningakat dari tahun ke tahun, mencapai Rp6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020. Dampak pandemi Covid-19 pada kondisi fiskal membuat laju kenaikan menjadi jauh lebih tinggi dari biasanya.

Masalah utama utang pemerintah bukan soalan posisinya, melainkan pada beban pembayaran dan risiko utang. Pembayaran mencakup pelunasan pokok utang atau pembayaran cicilan pokok, serta pembayaran bunga utang.

Kemampuan membayar cenderung melemah, dilihat dari perkembangan pendapatan negara. Meski nominal pembayaran beban utang menurun pada tahun 2020, namun pendapatan juga mengalami penurunan yang lebih drastis. Rasionya pun meningkat menjadi 45,17% dari 42,74% pada tahun 2019. Rasio sudah cenderung meningkat sebelum pandemi, dan akan naik lagi pada tahun 2021 jika melihat postur APBN.

Dalam hal risiko utang, terutama berhubungan dengan kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga. Meskipun mungkin hanya pada sebagian utang, baik yang berjenis pinjaman ataupun SBN. Sejauh ini, kegagalan membayar beban utang tidak pernah terjadi di Indonesia. Bahkan pada saat krisis 1997/1998, Pemerintah masih berhasil memenuhi kewajibannya, meski dengan susah payah. Pemerintah pun tampak cukup optimis atas perkembangan utang yang makin memburuk akibat pandemi, dengan selalu mengatakan kondisinya masih aman dan telah dikelola secara berhati-hati, serta memperhitungan risiko ke depannya.

Bagaimanapun, perlu diingat bahwa jika pemerintah berhasil membayar kewajiban utangnya, namun dilakukan dengan bersusah payah, maka hanya akan menggeser risiko ke tahun-tahun mendatang. Pemerintah juga tidak memiliki dana yang memadai untuk melakukan kewajiban memberi pelayanan publik, serta kesulitan melaksanakan pemerintahan yang baik.

Laporan ini memberi gambaran yang cukup menyeluruh atas kondisi utang pemerintah terkini dan perkembangannya selama belasan tahun terakhir. Termasuk pembahasan tentang risiko utang dan proyeksinya untuk tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya. Secara umum diingatkan tentang risiko utang yang meningkat. Jika tidak dikelola secara lebih berhati-hati dan segera diambil kebijakan yang lebih mendasar, maka keberlanjutan fiskal menjadi terancam.

RINGKASAN

EKSEKUTIF

(16)
(17)

Posisi utang pemerintah pada akhir Desember 2020 dilaporkan oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp6.074,56 triliun. Hal itu disampaikan melalui dokumen APBN Kita edisi Januari 2020.

APBN Kita merupakan informasi dari Kementerian Keuangan tentang realisasi dan kondisi APBN kepada publik, yang terbit tiap bulan sejak Desember 2017.

Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir November 2020 diumumkan sebesar 416,6 miliar dolar Amerika. Posisi itu diumumkan oleh Bank Indonesia melalui dokumen statisik utang luar negeri (SULNI) edisi Januari 2021. SULNI terbit tiap bulan selama satu dekade ini.

Posisi utang sektor publik Indonesia pada akhir September 2020 diumumkan mencapai Rp11.773,84 triliun. Disampaikan oleh Bank Indonesia melalui dokumen statistik utang sektor publik (SUSPI) edisi Triwulan III-2020. SUSPI terbit tiap tiga bulan, namun cukup berjarak waktu dari kondisi yang dilaporkan. Kondisi sampai dengan Triwulan II-2020 baru dipublikasi pada tanggal 30 Desember 2020.

Ketiga penyebutan tentang utang tersebut kadang tidak bercampur aduk dalam diskusi, serta menimbulkan banyak kesalahpahaman. Terutama perbincangan netizen dalam media sosial. Ketiganya memang merupakan soalan penting dalam dinamika perekonomian Indonesia saat ini dan masa mendatang.

1.1 Pengertian Utang Pemerintah, Utang Luar Negeri, dan Utang Sektor publik

Kementerian Keuangan memberi informasi melalui APBN KITA bahwa posisi utang pemerintah sebesar Rp6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020 terdiri dari yang berbentuk pinjaman dan Surat Berharga Negara (SBN). Posisi Pinjaman sebesar Rp852,91 triliun dan posisi SBN sebesar Rp5.221,96 triliun. Porsi Pinjaman sebesar 14,04%, dan porsi SBN sebesar 85,96%

dari total utang.

Pinjamannya terdiri dari pinjaman dalam negeri sebesar Rp11,97 triliun, dan Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp840,94 triliun. Pinjaman luar negeri sebenarnya dinyatakan dalam berbagai mata uang atau valuta asing, sesuai kesepakatan dengan pemberi pinjaman.

Sedangkan yang berbentuk SBN terdiri dari denominasi rupiah (biasa disebut SBN domestik) dan ada yang dalam valuta asing (valas). SBN valas hingga saat ini baru terdiri dari:

dolar Amerika, Euro, dan Yen Jepang.

BAB I

TINJAUAN UMUM

(18)

Pemerintah berutang kepada berbagai pihak. Kepada lembaga internasional, seperti:

kepada pemerintah negara lain, perusahaan swasta dan kepada perorangan. Juga kepada bank BUMN dan kepada Bank Indonesia.

Pengertian Pemerintah dalam berbagai dokumen dan data resmi tentang utang merupakan utang dari pemerintah pusat (central government). Sebenarnya ada utang pemerintah daerah, yang nilainya relatif kecil. Sebagian besar utang pemerintah daerah merupakan utang kepada pemerintah pusat. Jika tidak disebut secara khusus, maka pemakaian istilah utang pemerintah menunjuk pada utang pemerintah pusat.

Utang pemerintah dalam perbincangan netizen kadang tercampur aduk dengan apa yang disebut sebagai utang luar negeri (ULN) Indonesia. Meski berkaitan erat, namun berbeda cakupan datanya. Datanya memang saling beririsan. Utang Pemerintah terdiri dari ULN dan utang dalam negeri. Sedangkan ULN terdiri dari ULN pemerintah dan ULN swasta.

ULN didefinisikan oleh Bank Indonesia sebagai suatu bentuk kewajiban penduduk Indonesia kepada bukan penduduk dalam kurun waktu tertentu yang membutuhkan pembayaran kembali bunga dan pokok pada waktu yang akan datang. Pengertian penduduk dimaksud mencakup pemerintah, bank sentral, maupun pihak swasta.

Selain Utang Pemerintah dan ULN, dikenal pula apa yang disebut Utang Sektor Publik (USP). USP terdiri dari utang pemerintah pusat, utang pemerintah daerah, utang bank sentral (Bank Indonesia), dan utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Didalamnya sudah termasuk utang luar negeri dan utang dalam negeri.

1.2 Kondisi Terkini

Posisi utang pemerintah pada akhir Desember 2020 sebesar Rp6.074,56 triliun itu bertambah sangat signifikan dibanding posisi akhir tahun 2019 yang hanya sebesar Rp4.786,59 triliun. Tambahan utang sekitar Rp1.287,97 triliun atau naik 26,91% dalam setahun tersebut terbilang jauh lebih tinggi dibanding kenaikan pada tahun-tahun terdahulu.

Posisi utang Pemerintah memang tiap tahun selama ini cenderung meningkat. Dampak pandemi Covid-19 membuat kenaikannya menjadi lebih pesat pada tahun 2020. Belanja dan pengeluaran pemerintah terpaksa bertambah lebih banyak dari rencana sebelumnya. Padahal, pendapatan justru akan menurun.

Pemerintah biasa menyajikan posisi utangnya sebagai porsi atau rasio dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam khasanah kajian akademis, rasio serupa itu memang menjadi salah satu indikator analisis, terutama dalam kaitannya dengan risiko. Undang-Undang Keuangan Negara Indonesia telah memberi batas rasio yang diperbolehkan, yaitu sebesar 60%.

Rasio utang pemerintah telah mencapai 38,68% pada akhir Desember 2020. Meningkat drastis dari rasio akhir tahun 2019 yang masih sebesar 30,23%. Selama periode tahun 2016- 2019, rasio utang memang relatif terjaga di kisaran 30%.

Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2020 mencapai USD416,6 miliar. ULN tersebut merupakan utang Pemerintah, Bank Indonesia, dan swasta. ULN

(19)

Pemerintah sebesar USD203,70 miliar, meningkat 2,55% (yoy). ULN Bank Indonesia sebesar USD2,83 miliar, meningkat 3,91% (yoy). ULN swasta sebesar USD210,1 miliar, meningkat 5,19

Posisi ULN akhir November 2020 itu sedikit bertambah dibanding akhir 2019, yang sebesar USD403,66 miliar. Namun tren kenaikan yang lebih pesat, telah terjadi selama beberapa tahun sebelumnya.

Perlu diketahui bahwa penurunan atau stagnasi posisi ULN selama beberapa bulan terakhir tak sepenuhnya dapat dianggap fenomena yang baik. Penyebab utamanya adalah berupa menurunnya porsi kepemilikan asing atas SBN domestik atau yang berdenominasi rupiah. Jika fenomena demikian terjadi lagi dalam besaran nilai yang lebih signifikan, maka akan ada tekanan pada neraca transaksi finansial. Pada giliran berikutnya bisa menggerus cadangan devisa, dan melemahkan nilai rupiah.

Sementara itu, ULN swasta perlu memperoleh perhatian khusus karena nilainya telah melebihi ULN Pemerintah. Pada masa lalu, ULN Swasta melampaui ULN Pemerintah sejak beberapa tahun sebelum krisis 1997/98. Setelah krisis mereda, ULN swasta berangsur turun dan menjadi lebih kecil dibanding ULN Pemerintah hingga tahun 2012. Naik kembali dan melampaui lagi pada periode 2013-2016. Sempat sedikit dibawahnya pada tahun 2017, lalu posisinya melampaui kembali.

Salah satu bagian dari ULN swasta ini adalah ULN Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Fenomena ini relatif baru terjadi selama tujuh tahun terakhir. Peningkatan ULN BUMN jauh lebih pesat dibanding ULN swasta yang bukan BUMN. Posisinya pada akhir September 2020 mencapai USD57,64 miliar.

Porsi ULN swasta pada akhir November 2020 itu merupakan 27,44% dari total ULN swasta. Porsi ini jauh lebih besar dibanding 10 tahun sebelumnya (2010) yang masih 10,19%.

Peningkatan yang amat pesat terjadi selama 3 tahun terakhir.

Utang BUMN tidak hanya berupa ULN, melainkan juga utang dalam negeri. Dan secara keseluruhan, utang BUMN merupakan soalan yang perlu mendapat perhatian dari otoritas.

Posisinya diprakirakan lebih dari Rp6.500 triliun pada akhir tahun 2020. Meski diperlakukan sebagai utang swasta, karena harta negara yang telah dipisahkan, namun pengaruhnya cukup besar terhadap kondisi umum keuangan negara.

Perkembangan utang pemerintah pusat dan utang BUMN mendorong peningkatan utang sektor publik. Sementara itu utang Bank Indonesia relatif stabil, yang lebih karena kebutuhan akan operasi moneter. Sedangkan utang pemerintah daerah relatif masih amat kecil, dan kebanyakan merupakan utang kepada pemerintah pusat.

Total utang sektor publik pada akhir September 2020 dilaporkan sebesar Rp11.773,84 triliun. Telah bertambah sebesar 16,40% dari posisi akhir Desember 2019. Kemungkinan masih akan sedikit bertambah pada akhir 2020, sehingga persentase kenaikannya akan meningkat.

Datanya memang lebih lambat diperbarui dan diumumkan kepada publik, dibanding ULN dan Utang Pemerintah.

(20)

1.3 Prakiraan Kondisi Tahun 2021

Pemerintah telah menjelaskan dan memprakirakan rasio utangnya akan mencapai kisaran 38% pada akhir tahun 2020. Pemerintah memberi isyarat bahwa rasionya masih akan meningkat pada akhir tahun 2021 nanti. Ada proyeksi dari IMF dalam WEO edisi Juni 2020 yang memprakirakan rasio utang pemerintah Indonesia akan mencapai 40,3% pada akhir tahun 2021.

Pemerintah sering “menjelaskan” bahwa kondisi utang banyak negara lain lebih memburuk dari Indonesia akibat dampak pandemi Covid. Ada grafik dalam Nota Keuangan dan APBN tahun 2021 yang menyajikan contoh peningkatan rasio utang beberapa negara, termasuk Indonesia.

Data dari grafik itu bersumber pada proyeksi International Monetary Fund (IMF) dalam suatu laporannya, yaitu World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020.

Rasio utang pemerintah Indonesia dalam grafik tersebut tampak hanya bertambah 7,8%

atas PDB selama setahun, 2019-2020. Hampir setara dengan Nigeria dan Turki yang bertambah 7,4%. Masih lebih baik dibanding Meksiko (12,20%), Brazil (12,80%), dan Afrika Selatan (17,70%). Disajikan pula kondisi empat negara maju yang rasio utangnya bertambah sangat besar pada 2019-2020, yaitu: Amerika Serikat (32,7%), Spanyol (28,3%), Jepang (30,0%) dan Inggris (16,2%).

Pemerintah memang tidak salah atau berbohong mengemukakan data demikian, yang bahkan dilengkapi dengan kotak penjelasannya dalam Nota Keuangan. Namun, perlu dimengerti bahwa cara berbeda dalam “membaca data” yang sama, dapat dilakukan. Yaitu berupa menghitung seberapa persentase perubahannya. Cara ini bahkan dapat dianggap lebih mencerminkan dampak, karena menimbang lebih tepat perubahan atas besaran indikator sebelumnya.

Terlihat bahwa tambahan rasio utang sebesar 7,8% atas PDB tersebut merupakan kenaikan 23,61% dari posisi sebelumnya. Jika yang dipakai sebagai indikator adalah persentase perubahan rasio utang, maka Indonesia tidak tampak lebih baik dari kebanyakan negara lain.

Dua negara yang seolah lebih buruk pada cara membaca data sebelumnya, justru lebih baik dari Indonesia. Meksiko meningkat 22,72%, sedangkan Brazil hanya 14,30%. Sementara itu, Afrika Selatan yang seolah jauh lebih buruk dari Indonesia, menjadi hanya sedikit lebih buruk, yakni meningkat 28,46%.

Dalam hal empat negara maju yang dikutip pemerintah, persentase kenaikan rasio utangnya tidak jauh lebih buruk dari Indonesia. Yang memang meningkat lebih tinggi adalah Amerika Serikat (30,08%) dan Spanyol (29,63%). Sedangkan dua negara lain justru relatif lebih baik, yaitu Jepang (12,61%) dan Inggeris (18,97%).

Selain itu, cukup mengherankan jika ulasan data WEO Juni 2020 yang terbilang cukup panjang dalam Nota Keuangan terkesan memilih data yang “lebih baik” saja. Yang dijelaskan merupakan proyeksi tahun 2020, padahal laporan juga membuat proyeksi tahun 2021. Dan jika proyeksi tahun 2021 disertakan, maka Indonesia akan tampak lebih buruk. Ada negara lain yang rasio utangnya turun atau hanya stagnan, sedangkan kita masih naik pada tahun 2021.

(21)

Sebagai contoh, Brazil yang rasio utangnya diproyeksikan akan turun dari 102,3% (2020) menjadi 100,6% (2021). Untuk negara maju, yang diproyeksikan turun adalah Jepang dan Inggeris. Sedangkan yang hanya naik sedikit atau relatif stagnan: Rusia, Nigeria, Meksiko, dan Spanyol. Sementara itu, Indonesia masuk kelompok yang rasio utangnya diproyeksikan masih meningkat cukup signifikan pada tahun 2021, dari 37,7% menjadi 40,3%.

Tentang perkembangan posisi dan rasio utang pemerintah akan dijelaskan lebih lanjut pada bab II laporan. Begitu pula dengan rinciannya, terutama SBN pada bab III dan Pinjaman pada bab IV.

Dampak pandemi Covid-19 secara keseluruhan tidak besar dalam peningkatan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia. Bahkan, laju peningkatannya tampak lebih lambat dari tahun sebelumnya. Antara lain disumbang oleh berkurangnya porsi kepemilikan asing atas SBN domestik, yang dicatat sebagai ULN pemerintah. Diprakirakan posisi ULN keseluruhan hanya akan bertambah sesuai laju alaminya, atau sedikit di atasnya. Kemungkinan tidak akan terjadi pelonjakan pada tahun 2021.

Namun, sebagaimana telah disampaikan di atas, ULN swasta yang terutama dipicu oleh fenomena ULN BUMN tetap akan bertambah signifikan. Diprakirakan masih akan berlanjut pada tahun 2021, antara lain karena ada “restrukturisasi utang” atau setidaknya upaya menambah utang baru agar bisa memenuhi kewajiban pembayaran utang lama.

Dengan demikian utang sektor publik kemungkinan akan bertambah cukup signifikan pada tahun 2021. Utang Pemerintah dipastikan masih bertambah sangat besar, sebagaimana yang direncanakan oleh APBN tahun 2021 dalam pos pembiayaan utang. Utang BUMN juga akan terus bertambah, baik karena kebutuhan pembiayaan bagi berbagai proyek penugasan yang kembali dilanjutkan, maupun upaya pembiayaan ulang atas kewajiban terdahulu.

1.4 Risiko Utang

Risiko merupakan pemburukan suatu atau beberapa kondisi yang bersifat tidak terduga atau sekurangnya melampaui yang diharapkan. Dalam hal utang, terutama berhubungan dengan kemampuan memenuhi segala kewajiban, seperti pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga.

Pemahaman akan tingkat risiko utang menjadi sangat penting, agar dapat dicegah terjadinya.

Terutama kondisi buruk yang melebihi kemampuan Pemerintah untuk menanggung bebannya.

Dalam konteks tertentu, bukan mencegah agar terjadi yang menjadi fokus, melainkan kesiapan untuk menghadapinya.

Ada beberapa indikator untuk menggambarkan risiko utang, yang merupakan hasil kajian akademis berdasar pengalaman banyak pihak di masa lalu. Untuk masing-masing jenis utang yang disebut di atas, dikenal berbagai indikator risiko. Tentunya ada faktor tambahan penting yang mesti disertakan, karena perbedaan kondisi sosial politik, kondisi geografis, faktor posisi dalam dinamika ekonomi global, dan soalan lainnya pada masing-masing negara.

Pemerintah sering memakai rasio utangnya atas PDB sebagai indikator risiko yang paling penting. Meski rasio itu lazim dipakai sebagai salah satu indikator, sebenarnya perlu dicermati

(22)

pula indikator lainnya berupa rasio utang atas Pendapatan Negara. Rasio atas pendapatan justeru lebih bersifat langsung terkait kemampuan membayar beban utang.

Beberapa indikator risiko utang selain kedua rasio itu masih cukup banyak. Diantaranya yang utama adalah terkait dengan komposisi utang berdasar waktu jatuh tempo, denominasi atau mata uang, jenis bunganya, dan sebaran kreditur.

Dari berbagai indikator tersebut, pada dasarnya yang paling penting dicermati sekaligus menjadi pertimbangan utama pengelolaan utang pemerintah adalah terkait kemampuan membayar bebannya. Beban utang yang utama berupa pelunasan atas pokok utang dan pembayaran bunga utang.

Begitu pula dengan risiko atas utang luar negeri (ULN) Indonesia. Berbagai indikator risiko yang utama mencoba menggambarkan rasio pembayaran beban ULN. Antara lain dibandingkan dengan nilai ekspor, penerimaan Transaksi Berjalan, serta ketersediaan cadangan devisa.

Dalam hal utang sektor publik memang belum banyak mengemuka dalam perbincangan akademis di Indonesia. Bahkan, masyarakat luas belum banyak yang mengerti istilah ini. Salah satu sebabnya adalah perlakuan atas utang BUMN sebagai utang swasta secara hukum. Namun termasuk utang sektor publik dalam statistik yang rutin dipublikasi oleh Bank Indonesia.

1.5 Tentang Laporan Ini

Laporan ini merupakan reviu atas kondisi terkini utang Pemerintah, serta prakiraan kondisinya pada tahun 2021. Akan tetapi untuk menghindari kesalahpahaman atas berbagai informasi tentang utang, maka dianalisis pula secara umum tentang utang luar negeri dan utang sektor publik.

Reviu merupakan asesmen terutama tentang posisi utang dan risiko utang. Asesmen memakai metode dan indikator yang dikenal dalam berbagai kajian akademis. Pembahasan lebih banyak dan mendalam diberikan pada beberapa indikator yang sering dipakai oleh otoritas ekonomi. Hal ini dimaksud agar bisa diperoleh gambaran dengan bobot penilaian yang cukup berbeda, meski dengan indikator serupa. Otoritas ekonomi dimaksud terutama Pemerintah dan Bank Indonesia.

Laporan menganalisis tentang perkembangan utang pemerintah selama belasan tahun terakhir. Dilengkapi dengan informasi perkembangan utang luar negeri dan utang sektor publik.

Pembahasan dilakukan atas beberapa aspek penting. Sebagian besar fokus pada kondisi terkini atau perkembangan selama era Presiden Jokowi.

Laporan memberi pembahasan dengan porsi yang besar atas dampak pandemi Covid-19 pada utang pemerintah. Antara lain memberi penilaian tentang apakah kebutuhan utang baru memang harus sebesar yang direalisasikan dan masih akan ditambah lagi pada tahun 2021.

Laporan membahas risiko utang tahun 2021 yang disajikan oleh Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN tahun 2021. Ditambahkan dengan faktor-faktor yang belum banyak dikemukakan oleh Pemerintah. Kemudian disampaikan asesmen atas hal tersebut menurut pandangan Institut Harkat Negeri (IHN).

(23)

Laporan mengakui bahwa sejauh ini kondisi utang luar negeri (ULN) memang belum mengindikasikan peningkatan risiko yang berarti. Namun, pembahasan yang lebih cermat dan mendalam melihat adanya potensi risiko pada tahun 2021 yang perlu diperhitungkan oleh otoritas ekonomi.

Laporan menyajikan ulasan umum tentang kondisi utang BUMN dalam kaitannya sebagai bagian dari utang sektor publik. Utang luar negeri BUMN juga memperoleh porsi bahasan khusus dalam bagian utang luar negeri secara keseluruhan.

Laporan ini merasa perlu pula memberi sedikit porsi bahasan dari sudut pandang pihak pemberi utang atau kreditur. Dalam hal ini yang dipakai adalah penilaian berupa rating yang diberikan oleh beberapa lembaga rating internasional. Ditambahkan perbandingan suku bunga atau yield dengan beberapa negara lain, yang mencerminkan pula penilaian para kreditur.

Laporan ini secara umum berpandangan bahwa kondisi utang Pemerintah kini sebagai cukup rawan. Kondisinya cenderung akan memburuk pada tahun 2021. Risiko utang Pemerintah cenderung pun akan meningkat.

Diingatkan pula tentang risiko utang BUMN yang juga terindikasi meningkat. Bahkan ada kemungkinan, beberapa BUMN memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding utang Pemerintah.

Sedangkan utang luar negeri yang tampak masih terkendali dan aman dapat segera memburuk jika kedua hal tadi memburuk.

Laporan mencoba memberi rekomendasi kepada pihak otoritas ekonomi. Rekomendasinya terutama berupa pengendalian penambahan utang Pemerintah, serta pengawasan lebih ketat atas utang BUMN. Pengendalian utang pemerintah tidak dapat dipisahkan dengan upaya perbaikan atau perubahan pengelolaan APBN, sebagaimana direkomendasikan oleh laporan IHN sebelumnya tentang reviu APBN 2021.

Laporan juga merekomendasikan perbaikan pengelolaan utang, terutama dengan upaya lebih sungguh-sungguh menurunkan biaya utang. Selain itu, koordinasi dengan Bank Indonesia perlu lebih intensif, tidak hanya terkait berbagai beban pembiayaan mitigasi covid-19 dan program pemulihan ekonomi. Begitu pula koordinasi bersama Pemerintah, BI dan OJK mesti lebih fokus, agar memiliki perhitungan yang lebih menyeluruh atas kondisi perekonomian.

(24)
(25)

2.1 Perkembangan Posisi Utang Pemerintah

Posisi utang (outstanding) pemerintah biasa disampaikan kepada publik untuk kondisi pada akhir bulan dan akhir tahun. Terutama melalui publikasi bulanan APBN Kita dari Kementerian Keuangan, serta dokumen tahunan berupa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

Dalam bahasa sehari-hari posisi utang adalah sisa utang hingga tanggal yang dinyatakan.

Bersifat akumulasi dari transaksi utang pada waktu sebelumnya. Telah memperhitungkan utang pokok yang dilunasi, termasuk yang berupa cicilan, serta utang baru yang diterima. Sebagai data, bersifat stock atau kondisi pada waktu atau tanggal tertentu.

Posisi utang Pemerintah selama ini memang cenderung meningkat tiap tahun. Posisi utang pemerintah pada akhir tahun 2019 telah mencapai Rp4.786 triliun. Posisi utang Pemerintah telah mencapai Rp6.074,56 triliun pada akhir Desember 2020 merupakan nominal utang yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.

Realisasi sementara APBN 2020 yang diumumkan Pemerintah tanggal 6 Januari lalu menyebut pembiayaan utang direalisasikan sebesar Rp1.226,8 triliun. Dengan demikian, posisi utang akan bertambah sebesar itu akibat pengelolaan APBN. Ada beberapa faktor lagi yang ikut mempengaruhi. Faktor yang paling berdampak besar adalah kurs rupiah atas beberapa mata uang asing yang dipakai dalam denominasi utang. Tambahan akibat faktor-faktor tersebut pada tahun 2020 sekitar Rp61,17 triliun.

Tambahan posisi utang pemerintah yang cukup drastis selama tahun 2020 disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan, mitigasi dampak dan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19. Belanja dan pengeluaran pemerintah terpaksa bertambah lebih banyak dari rencana sebelumnya. Padahal, pendapatan justru menurun secara drastis.

Pengalaman buruk saat dampak krisis 1997/1998 yang terjadi lonjakan utang pemerintah patut diwaspadai. Utang Pemerintah secara nominal masih terus melaju kencang hingga tahun 2000. Setelahnya pun bisa dikatakan tidak benar-benar turun, melainkan hanya melandai atau stagnan selama beberapa tahun. Kemudian secara perlahan menaik kembali, dan naik hampir selalu naik signfikan sejak tahun 2012.

Secara rerata, kenaikan posisi utang pada periode 2011-2020 mencapai 13,88% tiap tahun.

BAB II

UTANG PEMERINTAH

(26)

Jauh lebih tinggi dibanding periode 2001-2010 yang hanya sebesar 3,30%. Jika dilihat secara era pemerintahan, maka rerata kenaikan era pemerintahan SBY I sebesar 4,38% per tahun. Namun, pada era keduanya rerata laju kenaikan melesat menjadi 10,51% per tahun. Sedangkan pada era pemerintahan Jokowi I, rerata kenaikannya menjadi lebih tinggi, yakni mencapai 13,02% per tahun.

Laju kenaikan utang sempat sedikit menurun pada akhir pemerintahan Jokowi I, hanya 7,17% pada tahun 2019. Dampak pandemi, membuat posisi utang diprakirakan akan meningkat drastis pada akhir tahun 2020 dibanding akhir tahun 2019, mencapai 26,91%.

Pada era pemerintahan SBY I, posisi utang tahun 2004 sebesar Rp1299,5 triliun menjadi Rp1590,66 triliun pada akhir tahun 2009, atau naik sebesar 22,41%. Era SBY II, meningkat sebesar 64,01%, menjadi Rp2608,78 triliun pada akhir 2014. Sedangkan era Jokowi I, kenaikan mencapai 83,48%, menjadi Rp4.786,5 triliun pada akhir 2019.

Berdasar postur dan asumsi APBN 2021, kenaikan posisi utang direncanakan lebih landai dari tahun 2020. Namun masih terbilang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Jika sesuai rencana APBN, maka posisi utang akan bertambah sebesar pembiayaan utang, atau mencapai Rp7.232 triliun pada akhir tahun 2021. Artinya akan bertambah sebesar 19,44%.

Grafik 1. Posisi Utang Pemerintah (Rp Triliun), 1996-2021

2.2 Defisit, Pembiayaan Utang, dan Tambahan Utang

APBN 2020 semula merencanakan defisit sebesar Rp307,23 triliun kemudian direvisi Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres No.72/2020 menjadi Rp1.039,22 triliun. Realisasi sementaranya kemudian sedikit lebih rendah dari rencana, yakni sebesar Rp956,3 triliun. Defisit APBN akan ditutupi atau dibiayai oleh utang baru sepenuhnya.

Akan tetapi tambahan utang juga diperlukan untuk membiayai pengeluaran lain selain belanja.

(27)

Jenis pengeluaran yang belum diperhitungkan dalam angka defisit pada postur APBN. Contoh pengeluaran dimaksud antara lain investasi kepada BUMN, investasi kepada BLU, pemberian pinjaman kepada BUMN atau Pemda, dan kewajiban penjaminan. Pengeluaran ini tidak dicatat dalam pos Belanja di bagian atas, karena bersifat menimbulkan hak di kemudian hari.

Tambahan utang karena kedua hal tersebut mempengaruhi besaran pos pembiayaan utang dalam postur APBN. Pembiayaan utang merupakan istilah baru yang dicantumkan secara resmi dalam postur APBN beberapa tahun terakhir.

Pos pembiayaan utang masuk pada kelompok pembiayaan anggaran. Kelompok pembiayaan diletakkan dibagian bawah pada neraca atau postur APBN, sering disebut below the line.

Kelompok Pendapatan dan Belanja tampak di bagian atas atau above the line.

APBN 2020 semula merencanakan pembiayaan utang sebesar Rp351,85 triliun. Direvisi melalui Perpres No.54/2020 menjadi Rp852,94 triliun, dan direvisi lagi melalui Perpres No.72/2020 menjadi Rp1.220,5 triliun. Realisasi sementaranya kemudian ternyata sedikit lebih tinggi dari rencana, yakni sebesar Rp1.226,8 triliun.

Pada APBN 2021, Pembiayaan utang direncanakan sebesar Rp1.177,40 triliun. Jika realisasi sesuai dengan rencananya, maka utang pemerintah akan bertambah sebesar itu akibat pelaksanaan APBN. Nilainya melebihi target defisit yang hanya Rp1.006,40 triliun, karena ada pengeluaran yang termasuk dalam pos pembiayaan.

Defisit dan pembiayaan utang APBN cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Akan tetapi, laju kenaikannya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit menurun pada tahun 2018. Kembali meningkat pada tahun 2019. Dan akibat pandemi covid-19, peningkatannya menjadi amat signifikan pada tahun 2020. Meski sedikit akan diturunkan pada APBN 2021, namun terbilang masih jauh lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Grafik 2. Defisit dan Pembiayaan Utang, 2005-2021

(28)

Perlu dicermati, dalam pos pembiayaan utang tercakup data penerimaan dari utang baru dan data pembayaran pokok atas utang lama. Sebagian dinyatakan secara jelas, berupa pelunasan dan penarikan utang baru. Sebagian lainnya hanya disebut secara neto.

Yang bersifat penerimaan diperoleh dari pencairan pinjaman baru dan hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Sedangkan yang bersifat pengeluaran berupa pembayaran cicilan pokok pinjaman serta pelunasan SBN jatuh tempo dan SBN yang dilunasi sebelum waktunya (buyback). Kadang ada pula beberapa penghapusan atau restrukturirasi dari pinjaman.

Pembiayaan utang memang merupakan rencana tambahan utang berdasar pengelolaan APBN pada tahun yang bersangkutan. Akan tetapi, ada faktor lain yang dapat menambah ataupun mengurangi posisi utang pemerintah. Faktor dimaksud adalah perubahan kurs mata uang. Cukup banyak dari utang pemerintah berdenominasi valuta asing atau diperhitungkan mata uang selain rupiah. Porsi terbesarnya berupa dolar Amerika.

Sebagai contoh, pada tahun 2019 tambahan utang hanya sebesar Rp320,29 triliun, padahal nilai pembiayaan utangnya sebesar Rp437,54 triliun. Lebih sedikitnya tambahan posisi utang karena kurs rupiah pada akhir tahun 2019 menguat dibanding akhir tahun 2018. Terutama atas dolar Amerika.

Contoh sebaliknya, terjadi pada tahun 2015, tambahan utang lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan utang. Pembiayaan utang hanya sebesar Rp380 triliun, namun posisi utang bertambah sebesar Rp556,35. Penyebabnya, kurs rupiah pada akhir tahun 2015 yang lebih lemah dari akhir tahun 2014.

Grafik 3. Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang, 2005-2021

Perlu dicermati bahwa Faktor kurs dimaksud bukan lah rata-rata kurs sepanjang tahun, sebagaimana yang dinyatakan dalam asumsi makro ekonomi APBN. Melainkan, penguatan atau pelemahan kurs rupiah antara dua tanggal posisi utang dinyatakan. Pada contoh tahun 2019, terjadi pengutan kurs rupiah atas dolar Amerika pada 31 Desember 2019 (Rp13.901) dibanding

(29)

dengan kurs pada 31 Desember 2018 (Rp14.981). Padahal, rata-rata kurs selama tahun 2019 adalah sebesar Rp14.146.

Cukup besarnya pengaruh kurs dikarenakan sebagian utang Pemerintah merupakan utang dalam mata uang asing. Porsinya berfluktuasi di kisaran 38-40 persen dari total utang pada posisi sebelum tahun 2020. Sekitar 90 persennya berdenominasi dolar Amerika. Padahal, posisi utang dinyatakan dalam rupiah.

Pemerintah dan Bank Indonesia memang berupaya mempertahankan tingkat kurs yang stabil, bahkan cenderung setara antara tahun 2020 dengan 2021. Perpres 72/2020 yang sekaligus merupakan outlook mematok kurs di kisaran Rp14.400-14.800 per dolar Amerika. Sedangkan APBN 2021 menetapkan asumsi Rp14.600.

Kurs rupiah atas dolar Amerika pada akhir tahun 2020 ternyata sebesar Rp14.105, lebih kuat dari prakiraan dalam perhitungan Perpres 72/2020. Namun, masih sedikit melemah kurs akhir tahun 2019 yang Rp13.901. Ditambah dengan pelemahan beberapa mata uang yang dipakai dalam denominasi utang, maka faktor kurs bersifat memberi sedikit tambahan posisi utang.

Publikasi terkini dari Pemerintah menyebut posisi utang akhir Desember 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun. Dengan demikian, tambahan utang Pemerintah selama tahun 2020 sebesar Rp1.288 triliun.

Sedangkan untuk kondisi akhir tahun 2021 masih bergantung pada perkembangan kurs rupiah nantinya. APBN sendiri mengasumsikan kurs rupiah di kisaran Rp14.600. Namun, asumsi itu bersifat rerata selama setahun. Sedangkan perhitungan posisi utang mengikuti kurs tengah BI pada akhir tahun atau pada saat dinyatakan. Prakiraan tambahan utang pada tahun 2021 sementara ini berupa besaran Pembiayaan utang APBN 2021 sebesar Rp1.177,40 triliun.

2.3 Jenis dan Bentuk Utang Pemerintah

Posisi utang Pemerintah dapat digambarkan dalam beberapa aspek atau komponen. Dilihat dari bentuknya, ada yang berupa pinjaman (loan) dan ada yang berbentuk Surat Berharga Negara (SBN). Dari denominasi atau jenis mata uangnya, berupa rupiah dan berupa mata uang asing (valuta asing). Sedangkan dari asal sumber atau pihak krediturnya, dapat dikelompokkan sebagai utang luar negeri dan utang dalam negeri.

Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Pinjaman luar negeri dikelompokkan menjadi Pinjaman Bilateral, Pinjaman Multilateral, Pinjaman Komersial, dan kredit Suppliers. Denominasi pinjaman luar negeri berupa berbagai mata uang asing, dengan dominasi dolar Amerika. Sedangkan pinjaman dalam negeri pada umumnya berasal dari Bank BUMN.

SBN merupakan surat utang atau utang Pemerintah pada pihak yang memegang atau memilikinya. Secara teknis, syarat dan ketentuan SBN ditentukan oleh Pemerintah sendiri.

Namun syarat dan ketentuan yang ditetapkan amat berpengaruh pada serapan pasar.

SBN terdiri dari berbagai seri yang memiliki jatuh tempo pada tanggal tertentu, sehingga pelunasannya tidak bersifat cicilan. Dalam beberapa kasus, bisa dipercepat pelunasannya

(30)

(buyback), yang dibiayai dengan penerbitan SBN baru. Sedangkan untuk pinjaman karena bisa dicicil sesuai dengan perjanjian utangnya.

Utang dalam bentuk SBN memiliki porsi lebih besar dibandingkan yang dalam bentuk pinjaman. Pada akhir 2019 porsinya mencapai 84% dengan nilai sebesar Rp4.014,8 triliun.

Sedangkan utang dalam bentuk pinjaman hanya 16% atau sebesar Rp771,8 triliun.

Porsi utang dalam bentuk SBN meningkat lebih cepat hingga akhir tahun 2020, mencapai 85,96% atau sebesar Rp5.221,7 triliun. Sedangkan pinjaman nilainya juga ikut meningkat menjadi Rp852,9 triliun, namun porsinya turun menjadi 14,04%.

Grafik 4. SBN dan Pinjaman

Berdasar denominasi mata uang, porsi utang pemerintah dalam Rupiah lebih besar dibanding dalam valuta asing (valas). Utang dalam bentuk valas terdiri dari banyak mata uang namun hal tersebut bukan berarti berutang paling banyak pada negara dengan mata uang tersebut. Sebagian negara atau pihak asing memilih mata dolar Amerika sebagai denominasi.

Sehingga porsinya menjadi yang terbesar. Hal ini tidak berarti pemerintah berutang banyak pada Amerika ataupun organisasi internasional yang berpusat di negara tersebut.

Pada akhir tahun 2019, porsi denominasi rupiah mencapai 62,08% dan denominasi valas sebesar 37,98% dari total utang. Porsi denominasi rupiah pada akhir Desember meningkat menjadi 66,47%, seiring dengan peningkatan posisinya yang lebih cepat dari denominasi valas.

Porsi SBN valas turun menjadi 33,53%.

(31)

Grafik 5. Utang Berdenominasi Rupiah dan Valuta Asing

Hanya saja perlu diingat bahwa utang berdenominasi rupiah tidak selalu berarti krediturnya adalah pihak domestik atau penduduk (residen). Bisa saja berasal dari kreditor asing namun pemberian pinjamannya dalam bentuk rupiah, misalkan SBN yang dibeli oleh pihak asing maka dicatat dalam utang kepada non residen. Begitu juga utang dalam bentuk valas bukan berarti seluruhnya kepada pihak asing. Sebagian dari SBN valas, meski masih berporsi kecil, dimiliki oleh penduduk.

Pada pengelompokan asal kreditur, utang kepada residen berarti utang kepada penduduk, perusahaan atau Lembaga Indonesia. Sedangkan kepada nonresiden adalah kepada pihak asing, yang dicatat oleh Bank Indonesia sebagai utang luar negeri Pemerintah. Tidak dipersoalkan tentang jenis denominasinya.

Pada akhir tahun 2019, posisi utang kepada residen sebesar Rp2003,63 triliun (41,86%) dan kepada nonresiden sebesar Rp2782,87 triliun (58,14%). Artinya porsi utang kepada pihak asing tercatat lebih besar. Selama tahun 2020, keadaan menjadi berbalik, porsi kepada residen meningkat menjadi 52,16% pada akhir Desember 2020.

Hal ini seiring dengan peningkatan kepemilikan SBN oleh Bank Indonesia yang naik pesat, bahkan berlipat. Sementara itu, pihak asing justeru sedikit menurun nilai kepemilikannya, dan secara porsi turun sangat signifikan.

(32)

Grafik 6. Utang Kepada Residen dan NonResiden

2.4 Beban Utang Pemerintah

Masalah utama utang pemerintah bukan berapa atau posisi utangnya, melainkan bagaimana membayarnya. Pembayaran yang kadang disebut beban utang mencakup pelunasan pokok utang atau pembayaran cicilan pokok, serta pembayaran bunga utang. Pembayaran cicilan pokok utang dilakukan pada utang yang berbentuk pinjaman. Sedangkan untuk jenis SBN, pelunasan dilakukan sesuai waktu jatuh tempo dan nilai yang tercantum pada serinya.

Kadang Pemerintah melakukan pelunasan SBN lebih cepat dari waktunya, yang dikenal dengan istilah pembelian kembali (buyback). Biasanya dilakukan untuk memperbaiki struktur utang, seperti rata-rata waktu jatuh tempo. Sumber pendanaan untuk hal ini adalah dengan menerbitkan SBN seri baru.

Pelunasan pokok utang tidak dicatat pada Belanja Negara dalam postur APBN, melainkan pada pos pembiayaan. Dalam hal pinjaman, postur APBN mencantumkan secara jelas berapa yang dibayar dan berapa pinjaman baru yang diterima. Selisih keduanya merupakan nilai pinjaman neto pada tahun bersangkutan. Dalam hal SBN, yang kini dicantumkan adalah nilai secara neto. Untuk penerbitan bruto setahun, biasanya hanya bisa dipastikan dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, serta informasi khusus terkait.

Pemerintah membayar pelunasan utang sebesar Rp562,40 triliun pada tahun 2019. Sejak tahun 2016, nilainya cenderung meningkat. Pada tahun-tahun sebelumnya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit turun pada tahun 2013 dan 2015. Pada tahun 2020 direncanakan berdasar waktu jatuh temponya, pelunasan utang dapat diturunkan. Diprakirakan kembali meningkat mulai tahun 2021, karena sebagian dari penarikan utang baru pada tahun 2020 merupakan utang berjangka pendek.

(33)

Sementara itu, pembayaran bunga utang diperlakukan sebagai belanja dalam postur APBN.

Pengertian pembayaran bunga utang dalam belanja APBN mencakup semua biaya, tidak hanya bunga yang rutin dibayar. Misalnya, termasuk fee dan biaya administrasi. Sedangkan dalam hal SBN, perhitungan atas yield pada penerbitan perdana juga diperlakukan sebagai pembayaran bunga.

Pembayaran bunga utang mencapai Rp275,54 triliun pada tahun 2019. Nilainya cenderung meningkat tiap tahun. Rerata kenaikannya pada era tahun 2015-2019 mencapai 15,70% per tahun. Lebih tinggi dibanding dengan rerata kenaikan pada era-era sebelumnya. Akibat pandemi covid-19, pembayaran bunga direncanakan akan sebesar Rp338,78 triliun pada tahun 2020.

Realisasi sementara APBN 2020 melaporkan sedikit di bawah itu, yaitu sebesar Rp314,1 triliun.

Mengalami kenaikan sebesar 14% dibanding tahun 2019.

Total pelunasan utang pokok dan pembayaran bunga utang bisa disebut sebagai pembayaran beban utang, yang mencapai Rp 837,92 triliun pada tahun 2019. Pembayaran beban utang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, dengan laju yang fluktuasi. Sempat sedikit turun pada tahun 2015.

Perhitungan berdasar realisasi sementara APBN 2020 dan informasi lainnya dari Kementerian Keuangan, pembayaran beban utang hanya sebesar Rp737,9 triliun. Nilainya menurun dibanding tahun 2019. Meskipun pembayaran bunga meningkat, pelunasan utang pokok mengalami penurunan signifikan.

Grafik 7. Pelunasan Utang dan Pembayaran Bunga Utang, 2010-2020

Pembayaran beban utang dapat dibandingkan dengan pendapatan negara, antara lain sebagai gambaran umum tentang berat atau ringannya beban tersebut. Nilai pembayaran beban utang sebesar Rp837,92 triliun tadi sebesar 42,74% dari Pendapatan Negara tahun 2019 yang sebesar Rp1960,63 triliun. Bisa dikatakan cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN.

(34)

Porsi atau rasio pembayaran beban utang atas pendapatan memang cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Meski pembayaran beban utang menurun pada tahun 2020, namun pendapatan pun menurun sangat signifikan. Rasionya pun meningkat menjadi 45,17%.

2.5 Proyeksi Utang Pemerintah hingga tahun 2024

Posisi utang Pemerintah yang telah mencapai Rp6.075 triliun pada akhir tahun 2020.

Meningkat sangat pesat, sekitar 28,81% dari posisi akhir tahun 2019 yang sebesar Rp4.786 triliun. Posisi akhir 2020 merupakan nominal utang yang tertinggi dalam sejarah Indonesia.

APBN 2021 merencanakan tambahan utang sebagai konsekuensi dari pengelolaan APBN sebesar pos pembiayaan utang, yaitu Rp1.177,40 triliun. Jika sesuai rencana, dan kurs pada akhir tahun 2021 setara dengan akhir tahun 2020, maka posisi utang akan di kisaran Rp7.252 triliun.

Untuk posisi tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024, belum dinyatakan proyeksi tentang pembiayaan utang yang eksplisit. Meski demikian, posisi utang sedikit mendapat gambaran berdasar target rasio utang atas PDB dalam Nota Keuangan APBN 2021.

Sayangnya berbeda dengan Nota Keuangan pada tahun-tahun sebelumnya, tidak disebutkan secara definitif berapa rasionya pada tahun 2021. Hanya disebutkan bahwa rasio akan dijaga dalam batas aman. Adapun yang dinyatakan secara eksplisit hanya berupa kisaran, yaitu rasio utang hingga akhir 2024 sebesar range 38-43%.

Bisa dimengerti bahwa hal tersebut terutama disebabkan kondisi yang masih ditandai banyak ketidakpastian, dan program pemulihan ekonomi belum bisa dipastikan seberapa cepat memperbaiki kondisi fiskal pemerintah.

Untuk perhitungan rasio utang atas PDB, selain bergantung seberapa besar posisi utang, maka bergantung pula dengan perkembangan PDBnya. Di atas disebutkan posisi utang sebesar Rp6.075 pada akhir 2020, dan diprakiran meningkat menjadi Rp7.252 triliun pada akhir 2021.

Sedangkan PDB nominal untuk tahun 2020 diprakirakan oleh Pemerintah, secara implisit dalam laporan realisasi sementara APBN, sebesar Rp15.700 triliun.

Pemerintah dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 serta beberapa paparannya menyebut rasio utang atas PDB akan sebesar 38% pada akhir tahun 2020. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya hingga tahun 2024 hanya disebut kisaran 38-43%.

Sementara itu, proyeksi World Economic Outlook (WEO) edisi Juni 2020 dari IMF tentang rasio utang pemerintah Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 37,7%. WEO memproyeksikan akan meningkat menjadi 40,3% pada tahun 2021.

Kita dapat memakai rerata pertumbuhan PDB 2011-2019 yang sebesar 9,75% untuk memprakirakan nilai nominal PDB pada tahun 2021 hingga tahun 2024. Besaran PDB tahun 2020 tidak diperhitungkan dalam rerata, karena bisa dianggap sebagai pengecualian untuk kondisi khusus. Realisasi PDB tahun 2020 atas dasar harga berlaku (nominal) itu sendiri baru berjalan tiga triwulan. Selama tiga triwulan, nilainya hanya sebesar Rp 11.505,12 triliun.

APBN 2020 versi Perpres No.72/2020 sebenarnya memiliki asumsi tentang nilai PDB

(35)

nominal. Dapat dihitung dari postur APBN yang merencanakan defisit sebesar Rp1.039,22 triliun, yang disebut sebagai 6,34% atas PDB. Artinya PDB nominal atau atas dasar harga berlaku tahun 2020 diasumsikan sebesar Rp16.391,44 triliun.

Asumsi nilai PDB demikian nyaris mustahil akan dicapai. Dibutuhkan capaian sebesar Rp4.886,32 triliun pada triwulan IV agar asumsi tersebut terpenuhi. Sebagai perbandingan, nilai PDB triwulan IV tahun 2019 hanya sebesar Rp4.018,84 triliun. Padahal, nilai PDB selama 3 triwulan tahun 2019 justru lebih besar dari tahun 2020, mencapai Rp11.629,27 triliun.

Seandainya memang telah terjadi pemulihan ekonomi yang sangat signifikan pada triwulan IV 2020, maka PDB triwulan ini memang bisa mencapai Rp4.250 triliun. Artinya, jika pemulihan telah cukup signifikan pun, PDB nominal tahun 2020 hanya akan sebesar Rp15.755 triliun.

Ternyata, laporan realisasi sementara APBN 2020 membuat perhitungan besaran PDB yang lebih rendah. Bisa dikatakan lebih realistis, yakni sekitar Rp15.700 triliun. Rilis dan dokumen paparan realisasi sementara memang tidak menyebut PDB nominal, namun menyatakan bahwa defisit sebesar Rp956, triliun adalah 6,09% dari PDB.

Berdasar prakiraan PDB tahun 2020 sebesar Rp15.700 dan rerata kenaikan PDB nominal selama 10 tahun terakhir, maka dapat diproyeksikan kisaran nilai PDB nominal pada tahun- tahun mendatang. Yaitu sebagai berikut: Rp17.231 triliun (2021), Rp18.911 triliun (2022), Rp20.755 triliun (2023), Rp22.778 triliun (2024).

Dapat diambil titik tengah dari rasio utang atas PDB yang ditargetkan oleh Pemerintah yang di kisaran 38%-43%, yakni sebesar 40,5%. Maka posisi utang berturut-turut akan sebesar:

Rp6.978 triliun (2021), Rp7.659 triliun (2022), Rp8.406 triliun (2023), Rp9.225 triliun (2024).

Akan tetapi, rasio utang pada tahun 2021 saja telah sulit untuk bisa dijaga sebesar 40,5%.

Dari prakiraan berdasar postur APBN 2021, posisi utang diprakirakan telah mencapai Rp7.252 triliun. Lebih tinggi dari proyeksi berdasar titik tengah rasio di atas, yang hanya Rp6.989,57 triliun. Rasionya atas PDB pun akan sedikit diatas 42%. Artinya, batas rentang terburuk dari target saja telah didekati pada tahun 2021.

Pada tahun 2020 pun rasionya ternyata telah sedikit melebihi prakiraan pemerintah yang disampaikan beberapa bulan lalu. Rasio telah mencapai 38,68%. Diperhitungkan dari posisi utang sebesar Rp6.075 triliun dibandingkan asumsi PDB yang hanya sekitar Rp15.700 triliun.

Laporan ini berpandangan berdasar kinerja APBN tahun 2020 dan prakiraan berdasar APBN tahun 2021, maka posisi utang kemungkinan akan melampaui Rp10.000 triliun pada tahun 2024. Jauh lebih besar dari proyeksi yang diperhitungkan berdasar titik tengah target dalam Nota Keuangan dan APBN 2021 di atas, yang hanya sebesar Rp9.225 triliun.

Rasionya pun akan sulit dijaga dalam rentang yang ditargetkan oleh Pemerintah. Dikaitkan dengan proyeksi PDB nominal dalam perhitungan IHN, maka rasio utang dapat mencapai 45%

pada akhir tahun 2024. Melebihi batas yang ingin dikendalikan Pemerintah sebesar 38-43%.

Beberapa faktor memberi kontribusi atas kecenderungan ini. Posisi utang yang akan meningkat signifikan karena kebutuhan pembiayaan utang, yang didorong oleh kebijakan

(36)

Pemerintah yang masih ingin APBN bersifat ekspansif. Ditambah faktor kurs yang cukup rawan di masa mendatang. Sedangkan peningkatan nilai nominal PDB akan terkendala oleh pertumbuhan ekonomi yang jika kembali ke lintasannya, hanya di kisaran 5%.

Tentu ada pengecualian, yakni perekonomian dilanda inflasi tinggi yang akan meningkatkan nilai PDB nominal. Bagaimanapun, otoritas ekonomi dipastikan akan sangat serius mencegah hal ini, karena inflasi tinggi akan menimbulkan banyak soalan lain yang lebih kompleks dan memberatkan.

(37)

3.1 Perkembangan SBN

Pada akhir tahun 2019, utang pemerintah dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp4.014,8 triliun atau 84% dari total utang. Porsinya meningkat selama tahun 2020, terutama sebagai dampak pandemi atas pengelolaan APBN. Pada 28 Desember 2020 telah mencapai Rp5.234,1 triliun atau 86,4% dari total utang.

Tidak hanya karena dampak pandemi, porsi SBN dalam utang Pemerintah memang terus meningkat selama belasan tahun terakhir ini. Dinyatakan dalam berbagai dokumen resmi, seperti Nota Keuangan, hal ini memang menjadi kebijakan dalam pembiayaan utang.

Dengan masih sangat besarnya pembiayaan utang pada 2021, yang mencapai Rp1.177,4 triliun, maka penerbitan SBN akan diperlukan. Porsinya pun akan meningkat, karena sejauh ini arah kebijakan pinjaman luar negeri masih berupaya menurunkan atau sekurangnya membuat posisinya tidak meningkat.

SBN pada dasarnya merupakan surat utang atau surat pengakuan Pemerintah kepada pihak yang memiliki atau memegangnya. Penyebutannya mengalami beberapa kali perubahan, sesuai dengan perkembangan jenis surat utang yang diterbitkan. Pernah dikenal sebagai surat utang pemerintah, obligasi negara, dan surat utang negara.

Pada mulanya diterbitkan untuk membiayai pemulihan ekonomi akibat krisis pada 1997/1998 tertutama BLBI dan program rekapitulasi perbankan. Kemudian berkembang hingga saat ini menjadi instrument utama dalam membiayai defisit anggaran serta pengeluaran lainnya.

Di masa lalu, jenis utang yang terbanyak berupa pinjaman (loan). Lebih tepatnya, berupa pinjaman luar negeri, kepada berbagai pihak. Secara bilateral, multilateral, maupun kepada swasta. Pergeseran kepada SBN antara lain didasari alasannya jenis ini penuh dengan syarat yang secara keseluruhan dinilai membuatnya menjadi terhitung mahal.

Kebijakan pengelolaan utang yang lebih mengandalkan SBN dibandingkan dengan pinjaman makin menguat pada era Presiden Jokowi. Pada era pemerintahan Jokowi I, penerbitan SBN meningkat dengan laju kenaikan yang cenderung lebih pesat disbanding era SBY I dan SBY II.

Semula, laju kenaikan penerbitan SBN sempat akan diperlambat pada era Jokowi II.

Namun, pandemi Covid-19 membuat target tersebut tak bisa dipertahankan. Penerbitan SBN justru menjadi bertambah dalam nilai yang sangat besar.

BAB III

KONDISI SBN TAHUN 2020

DAN PRAKIRAAN TAHUN 2021

(38)

Grafik 8. Posisi SBN Akhir Tahun (Rp Triliun), 1998-2020

3.2 Jenis SBN

Surat Berharga Negara (SBN) saat ini dapat dikelompokkan atas berbagai kriteria atau ciri dari masing-masing seri surat utang. Pengelompokan pertama berdasar dapat atau tidaknya diperjual belikan atau berpindah kepemilikan. Ada SBN yang bisa diperjualbelikan (tradables) dan ada yang tidak bisa diperjualbelikan (non tradables).

Posisi SBN pada akhir tahun 2019 adalah sebesar Rp4.014,8 triliun. Jenis SBN yang dapat diperdagangkan sebesar Rp3.805,48 triliun atau 94,79%. Sedangkan jenis SBN yang tidak bisa diperdagangkan sebesar Rp209,33 triliun atau 5,21% dari total SBN.

Posisi SBN pada tanggal 28 Desember 2020 adalah sebesar Rp5.234,10 triliun. Jenis SBN yang dapat diperdagangkan sebesar Rp5.068,74 triliun atau 96,84%. Sedangkan jenis SBN yang tidak bisa diperdagangkan sebesar Rp165,36 triliun atau 3,16% dari total SBN.

Grafik 9. SBN yang Diperdagangkan dan Tidak Diperdagangkan

(39)

Pengelompokan kedua terkait adanya jenis SBN yang dikelola dengan memakai prinsip syariah sejak tahun 2008, yang disebut Surat Berharga Negara Syariah (SBNS). SBNS dikenal pula sebagai sukuk. Meski dalam analisis umum diperlakukan serupa surat utang, sebenarnya sukuk merupakan cerminan kepemilikan aset berwujud yang disewakan atau akan disewakan.

Dalam penerbitan sukuk, terdapat akad (perjanjian atau kesepakatan) yang tidak ada pada obligasi konvesional umumnya.

Perkembangan SBNS terbilang pesat, dan porsinya menjadi meningkat dari total posisi SBN. Hal itu antara lain disebabkan perkembangan dana haji, perbankan Syariah, dan Lembaga keuangan Syariah lainnya. Ditambah dengan ketertarikan masyarakat serta berbagai pihak untuk memilikinya. Pemerintah sendiri tampaknya lebih pada pertimbangan kondisi pasar atau daya serap atas SBN yang akan diterbitkan, serta pertimbangan biayanya.

Hanya sekitar 11 tahun, posisinya telah mencapai Rp740,62 triliun atau 18,44% dari total SBN pada akhir 2019. Pada akhir Desember 2020, posisinya meningkat menjadi Rp972,9 triliun atau sekitar 18,59% dari total SBN.

Grafik 10. SBN dan SBNS

Pengelompokkan ketiga berdasar jenis mata uang dari seri SBN yang diterbitkan. Ada yang berdenominasi rupiah dan ada yang valuta asing (valas). Posisi SBN berdenominasi rupiah sebesar Rp2.961,29 triliun atau 74% dari total SBN pada akhir tahun 2019. Sedangkan SBN dalam valuta asing Rp1.053,52 triliun atau sebesar 26%.

Nilai posisi SBN Valas tampak meningkat dilihat nilainya dalam rupiah, menjadi sebesar Rp1201,48 triliun pada akhir Desember 2020. Oleh karena laju tambahan SBN Rupiah jauh lebih pesat, maka porsi SBN valas menjadi berkurang, yakni 22,95%.

(40)

Grafik 11. SBN Rupiah dan SBN Valuta Asing

SBN berdenominasi valas hingga saat ini baru dalam mata uang dolar Amerika, Euro dan Yen Jepang. Porsi dolar Amerika masih mendominasi, porsinya masih stabil di kisaran 80%.

Porsinya pada akhir tahun 2020 sebesar 78,86% dari total SBN valas.

Pengelompokkan keempat berdasar kepemilikan atau siapa yang memegang SBN, yang secara teknis berstatus sebagai kreditur Pemerintah. Antara lain dibedakan antara yang penduduk (residen) dan nonresiden (asing).

Dalam hal SBN yang dimiliki oleh nonresiden, Bank Indonesia mencatatnya sebagai utang luar negeri. Terlepas dari denominasinya, valuta asing ataupun rupiah.

Ada pula pengelompokkan lebih rinci dari kepemilikan, yang dipublikasi secara rutin oleh Kementerian Keuangan. Namun, publikasi rutin hanya dalam hal kepemilikan SBN berdominasi rupiah, yang disebut juga sebagai SBN domestik.

Pengelompokkan kepemilikan SBN domestik ini membedakan antara yang dimiliki Bank, Institusi Negara, NonBank, dan Asing. Dalam pengertian bank termasuk yang dipegang oleh Bank Indonesia untuk operasi moneter. Dalam institusi negara, terutama oleh Bank Indonesia yang bukan keperluan operasi moneter. Sedangkan bank asing masuk kategori kepemilikan nonresiden (asing). Adapun yang nonbank dari pelaku dalam negeri, antara lain: Reksadana, Asuransi, Dana Pensiun, Sekuritas, dan Individu.

Posisi SBN Domestik (berdenominasi rupiah) yang Diperdagangkan pada 28 Desember 2020 sebesar Rp 3.870,76 triliun. Porsi kepemilikannya tersebar pada berbagai pihak. Diantaranya adalah: Bank sebesar Rp 1.375,57 triliun (35,54%), Institusi Negara sebesar Rp 454,36 triliun (11,74%), dan NonBank sebesar Rp2.040,83 triliun (52,72%).

Dalam kategori NonBank terdiri dari beberapa kelompok pihak pemilik SBN. Porsinya

(41)

masing-masing atas total SBN domestik adalah sebagai berikut: Reksadana (4,17%), Asuransi dan Dana Pensiun (14,02%), Non Residen atau asing (25,16%), Individu (3,39%), serta Lain-lain (5,98 %)

Dalam kategori bank terdapat sebagian kepemilikan Bank Indonesia. Kepemilikannya masih ditambah dengan yang termasuk dalam Institusi Negara. Informasi tentang keseluruhannya disebut kepemilikan Bank Indonesia (gross).

Dari kepemilikan oleh pihak penduduk, porsi Bank Indonesia saat ini mengalami peningkatan paling pesat dibanding akhir tahun 2019. Porsi kepemilikannya menjadi termasuk yang sangat besar. Secara bruto mencapai Rp874,88triliun atau 22,60% dari total SBN domestik yang diperdagangkan. Hal ini karena kebijakan berbagi beban antara Pemerintah dan BI dalam membiayai program mitigasi dampak pandemi. Bahkan, BI diminta ikut membeli di pasar perdana, yang sebelumnya tidak diperbolehkan.

Grafik 12. Kepemilikan SBN Domestik yang Diperdagangkan

SBN domestik yang dimiliki oleh nonresiden (asing) sempat mengalami kenaikan yang amat signifikan pada tahun 2014, sehingga porsinya mencapai 38,13%. Jauh lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Porsi ini bertahan cukup stabil hingga akhir tahun 2019. Sempat mencapai porsi tertinggi pada akhir tahun 2017, yang mencapai 39,82% dari total SBN Domestik Diperdagangkan.

Porsinya menurun drastis selama tahun 2020, hingga porsinya hanya sebesar 25,16% pada akhir tahun. Bahkan secara nominal juga terjadi sedikit penurunan, menjadi sebesar Rp973,91 triliun. Penurunan porsi itu sendiri lebih dikarenakan peningkatan pesat kepemilikan oleh Bank Indonesia sebagaimana yang disampaikan di atas.

(42)

Grafik 13. Kepemilikan Asing atas SBN Domestik yang Diperdagangkan

Sementara itu, sebagian besar dari SBN valuta asing yang diperdagangkan dimiliki oleh asing. Porsi terkininya sekitar 91,63%. Sisanya dimiliki oleh pihak penduduk. Dengan kata lain, jika menghitung porsi kepemilikan asing atas SBN, harus menjumlahkan yang domestik (rupiah) dan yang valas. Saat ini porsi kepemilikan asing sedikit lebih rendah, setelah sebelumnya cenderung lebih tinggi. Penyebabnya adalah meningkatnya kepemilikan Bank Indonesia tadi.

Pengelompokkan kelima berdasar jenis bunga (coupon), yang terdiri dari: nol (zero), tetap (fixed), dan variabel (variable). Sebagai tambahan informasi, ada istilah yield yang menggambarkan tingkat bunga riil SBN pada pasar perdana. Pada umumnya, pembeli SBN tidak mendapat harga 100 persen dari nilai yang tercantum dalam SBN. Pada pasar perdana, pemerintah mencatat selisihnya sebagai pembayaran bunga. Sedangkan nominal dalam seri SBN tercatat dalam pembiayaan utang APBN dan mempengaruhi posisi SBN dan total utang.

Berdasar jenis kupon pada akhir Desember 2020: Zero Coupon (Rp43,92 triliun), Fixed Coupon (Rp4.600,83 triliun) dan Variable Coupon (Rp 130,21 triliun).

Penyebutan resmi terkini tentang bebagai jenis SBN mengikuti gambar yang biasa dipakai oleh Kementerian Keuangan dalam berbagai paparan sosialisasinya. SBN terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). SUN terdiri dari Obligasi Negara (ON) yang berjangka panjang dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang berjangka pendek. Disebutkan pula denominasinya.

Sosialisasi umumnya mengedepankan jenis SBN ritel yang relatif baru. Diharapkan makin berkembang dimasa mendatang. Sasaran utamanya adalah investor perorangan penduduk Indonesia.

(43)

Grafik 14. Klasifikasi SBN

Gambar disalin dari publikasi Kementerian Keuangan

3.3 Peran Bank Indonesia

Pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia memang tidak hanya oleh Pemerintah, melainkan juga oleh beberapa otoritas ekonomi yang lain. Ada Bank Indonesia (BI) yang merupakan bank sentral dengan otoritas utama pada sektor moneter, seperti menentukan jumlah uang beredar dan suku bunga acuan. Ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur industri keuangan, termasuk perbankan.

Dengan demikian, pemahaman kita akan kebijakan fiskal, moneter, perbankan, dan berbagai jenis kebijakan lainnya perlu memperhatikan konteks Indonesia. Ada perbedaan antar negara yang kadang cukup mendasar dalam soalan tersebut.

Di sisi lain, dinamika ekonomi membuat hubungan antar sektor terjalin erat. Saling pengaruhnya pun makin bersifat segera. Diimbuhi pengaruh dinamika global dan antar negara yang makin erat dan seketika pula. Tentu saja respon kebijakan ekonomi yang dibutuhkan memerlukan harmonisasi dan koordinasi antar otoritas dan jenis kebijakan.

Hal itu cukup disadari oleh otoritas ekonomi Indonesia. Terutama dalam konteks jika ada

(44)

kondisi yang bersifat guncangan dan bisa mengakibatkan dampak buruk yang sistemik, yang dimulai dari atau diperparah oleh kondisi industri keuangan. Telah dibentuk Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) pada tanggal 30 Desember 2005, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.

FSSK adalah forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi antara otoritas yang berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia. Forum ini disebut pihak otoritas sebagai sangat diperlukan terutama dalam menghadapi risiko atau dampak sistemik, yang penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pengambilan keputusan bersama secara efektif dan responsif.

Akan tetapi, sejauh yang tampak dalam pemberitaan publik, forum hanya berlangsung sebulan sekali. Keterangan pers yang diberikan pun terkesan masih berkonten laporan masing- masing unit otoritas. Belum kelihatan aspek harmonisasi dan koordinasi yang kuat. Kemajuan yang tampak sebelum pandemi, baru berupa dikenalkannya istilah bauran kebijakan ekonomi, khususnya makroekonomi.

Hikmah pandemi dalam konteks ini adalah meningkatnya koordinasi antar otoritas. Meski sempat ada beberapa arah kebijakan yang dikomunikasikan ke publik tampak berbeda pada awal April. Misalnya soal asumsi kurs rupiah dari Pemerintah, dan target dari Bank Indonesia.

Beberapa waktu kemudian terlihat lebih koordinatif dalam komunikasi publik dari semua pihak otoritas.

Hingga kini mengemuka dan menjadi bahan perbincangan adalah kebijakan berbagai beban antara Pemerintah dan Bank Indonesia.

Ada skema burden sharing atau menanggung beban bersama antara Bank Indonesia dan pemerintah berdasarkan keputusan bersama Menteri Keuangan yang pertama, pada 16 April 2020. Disepakati BI berperan sebagai standby buyer dari Surat Berharga Negara (SBN) hingga 25 persen dari jumlah yang dilelang pemerintah.

Pengertian hingga sebanyak itu adalah nilai maksimal. Secara teknis bergantung dari tiap lelang yang diikuti oleh BI menjadi peserta lelang nonkompetitif. BI tetap memperoleh imbal hasil yang cukup tinggi dalam skema ini. BI hanya mengajukan penawaran jumlah dengan harga mengikuti hasil dari lelang kompetitif. BI diharapkan pula pada lelang tambahan (GSO) jika dibutuhkan. Koordinasi lanjutan terkini menyepakati akan diteruskan pada tahun 2021 dan 2022.

Nilai pembelian SBN yang lebih besar oleh Bank Indonesia pada tahun 2020 akan berupa pembelian dengan mekanisme secara langsung (private placement). Sesuai dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 7 Juli 2020 dengan skema kedua, yang direncanakan sebesar sebesar Rp 397,56 triliun. Dan dalam hal ini, imbal hasil yang diterima BI akan jauh lebih kecil, merujuk pada BI reverse repo rate, tenor 3 bulan.

Hingga akhir Desember, BI telah membeli SBN dengan skema ini sebesar Rp397,56 triliun.

Dengan kata lain, telah memenuhi nilai yang disepakati. Pada akhir September sempat dijelaskan

(45)

oleh Pihak BI bahwa jika tidak teralisasi semua, dimungkinkan carry over ke tahun berikutnya.

Porsi kepemilikan Bank Indonesia atas SBN domestik pun meningkat pesat, secara bruto mencapai 22,60% pada akhir Desember 2020. Dikategorikan untuk keperluan operasi moneter sebesar 10,86% dari total SBN domestik.

Porsi kepemilikan bruto masih sebesar 9,54%, dan yang untuk operasi moneter hanya sebesar 0,39% pada akhir tahun 2019. Dengan kata lain, peningkatan kepemilikan BI atas SBN bisa dikategorikan sebagai kebijakan “quantitative easing”. Kebijakan melakukan pelonggaran likuiditas bentuk kebijakan moneter yang tidak konvensional. Bisa diartikan pula sebagai menambah jumlah uang beredar, dan dalam kasus saat ini bernilai cukup besar.

Dengan kesepakatan berbagi beban dan perkembangan kondisi pasar terkini, jumlah dan porsinya masih mungkin meningkat pada tahun 2021. Sejauh ini, kesepakatan yang masih berlaku adalah kesertaan Bank Indonesia pada lelang sebagai peserta nonkompetitif. Sedang skema private placement belum dikemukakan adanya kesepakatan baru antara BI dan pihak Pemerintah.

Grafik 15. Kepemilikan SBN Domestik Diperdagangkan oleh Bank Indonesia

Dari penjelasan dan narasi atas kebijakan yang telah diambil dan sebagiannya masih berlanjut pada tahun 2021, BI masih akan membeli SBN. Akan tetapi, penyerapan oleh pasar tetap diperlukan. Dan sebenarnya yang paling diharapkan meningkat memang penyerapan oleh pasar. Skema berbagi beban dengan BI bisa dikatakan lebih bersifat “darurat”. Dan yang penting, tidak mungkin akan terus dilakukan dalam jumlah yang sedemikian besar hingga beberapa tahun ke depan.

Penyerapan pasar atas SBN sendiri terus meningkat sebelum pandemi. Akan tetapi kenaikannya terjadi secara bertahap dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, penerbitan SBN bruto mencapai Rp903 triliun telah terhitung meningkat paling pesat dibanding tahun-tahun

Gambar

Grafik 2. Defisit dan Pembiayaan Utang, 2005-2021
Grafik 3. Pembiayaan Utang dan Tambahan Utang, 2005-2021
Grafik 5. Utang Berdenominasi Rupiah dan Valuta Asing
Grafik 7. Pelunasan Utang dan Pembayaran Bunga Utang, 2010-2020
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, Pendapatan SDA Nonmigas sektor Panas Bumi sampai dengan 30 Juni 2021 mencapai Rp784,2 miliar atau 54,53 persen dari target APBN tahun 2021, mengalami

38 Tahun 2020 ini mengatur mengenai batasan defisit anggaran sepanjang diatur dalam APBN/APBN-P dan/atau Perpres Rincian APBN; penyesuaian besaran belanja wajib sepanjang

Gopas Masa Jaya Gasindo tahun 2020-2021 analisis yang dilakukan dengan menggunakan rasio solvabilitas yang diukur dengan debt to assets ratio (rasio hutang terhadap

Proses selanjutnya adalah input Rencana Anggaran Biaya (RAB) sesuai plafon anggaran per skema dalam Buku Panduan P2M NON APBN UNS Edisi VIII Tahun 2021 yang diusulkan

Realisasi APBN sampai dengan 31 Mei 2021 mencatatkan pendapatan negara sebesar IDR 726,4 triliun (41,7 persen dari target), lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun

Mitra Service mempunyai kinerja yang baik, atas dasar analisis rasio likuiditas, rasio solvabili- tas, rasio aktivitas, dan rasio profitabilitas dari tahun 2020 sampai dengan tahun

Hasil perhitungan rasio BOPO pada Bank BRI tahun 2019 – 2021 mengalami penurunan yaitu 79,07% 60,20% dan 61,81% dari tahun 2019 – 2020 dan meningkat pada tahun 2021 dalam hal ini beban

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan rasio pertumbuhan di kabupaten trenggalek menunjukkan bahwa pertumbuhan terendah dari tahun 2018-2021 terjadi pada tahun 2020.. Seperti yang