• Tidak ada hasil yang ditemukan

RISIKO UTANG PEMERINTAH

Dalam dokumen Mewaspadai Risiko yang Meningkat (Halaman 55-61)

utang dilakukan pada utang yang berbentuk pinjaman. Sedangkan untuk jenis SBN, pelunasan dilakukan sesuai waktu jatuh tempo dan nilai yang tercantum pada serinya. Kadang pemerintah melakukan pelunasan SBN lebih cepat dari waktunya (buyback) dengan maksud memperbaiki struktur utangnya.

Pemerintah membayar pelunasan utang sebesar Rp562,40 triliun pada tahun 2019. Sejak tahun 2016, nilainya cenderung meningkat. Pada tahun-tahun sebelumnya berfluktuasi. Bahkan, sempat sedikit turun pada tahun 2013 dan 2015. Pada tahun 2020, sesuai rencana berdasar waktu jatuh temponya, pelunasan utang dapat diturunkan menjadi sebesar Rp423,8 triliun.

Diprakirakan kembali meningkat mulai tahun 2021, karena sebagian dari penarikan utang baru pada tahun 2020 merupakan utang berjangka pendek. Tanpa memperhitungkan buyback SBN, pelunasan pokok utang dapat mencapai Rp600 triliun.

Grafik 19. Pelunasan Pokok Utang, 2010-2021

Sementara itu, bunga utang Bunga utang dianggap wajar sebagai biaya dalam perekonomian modern terkait dengan nilai sekarang (present value) dan biaya atas kesempatan yang hilang (opportunity) dari modal yang dipinjamkan. Secara teknis, bunga antara lain berwujud: bunga (interest) untuk pinjaman luar negeri dan kupon (coupon) untuk Surat Berharga Negara.

Ada biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, seperti: commitment fee, management fee, dan premi asuransi. Bahkan ada denda jika tidak jadi dicairkan, padahal sudah disepakati dalam perjanjian tertulis. Secara bahasa awam, biaya itu antara lain adalah: ongkos untuk perundingan, proses pencairan, pengawasan dan ongkos pembatalan, keterlambatan pencairan, denda, dan lain sebagainya.

Sedangkan bunga untuk SBN pada pasar perdana atau pertama kali dijual, diperhitungkan tentang imbal hasil (yield) yang diperoleh investor atau pembelinya. Imbal hasil SBN merupakan keuntungan bagi investor sesudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar. Sebagai

contoh, harga SBN ketika diterbitkan (berarti yang diterima oleh pemerintah) tidak selalu sama nilainya (100%) dari nominal tercantum. Jika sama dengan nominalnya berarti yield sama dengan kupon (bunga). Jika lebih rendah dari nominalnya (kurang dari 100%) berarti yield lebih dari kupon. Dimungkinkan pula kasus sebaliknya. Yang lebih sering terjadi adalah yield lebih besar dari kupon. Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan beberapa biaya terkait dengan proses penerbitan dan distribusi SBN.

Dalam pencatatan dan publikasi APBN, keseluruhan biaya utang dianggap merupakan pembayaran bunga utang. Pos pembayaran bunga utang luar negeri telah memperhitungkan semua jenis biayanya, yang riil dikeluarkan. Pos pembayaran bunga dalam negeri telah mencakup perhitungan imbal hasil neto dan biaya lainnya dari SBN. Biaya yang dikeluarkan dalam hal SBN Syariah, meskipun mekanismenya tidak dengan perhitungan bunga atau tidak disebut sebagai bunga, pembayaran riil nya tetap dicatat dalam pos ini.

Rerata kenaikan pembayaran bunga utang pada era tahun 2015-2019 mencapai 15,70% per tahun. Lebih tinggi dibanding dengan rerata kenaikan pada era-era sebelumnya. Akibat pandemi Covid-19, pembayaran bunga meningkat menjadi sebesar Rp314,1 triliun pada tahun 2020.

Mengalami kenaikan sebesar 14% dibanding tahun 2019. Padahal, pada APBN 2020 sebelum adanya pandemi, direncanakan akan menurun.

Namun kembali direncanakan meningkat pada tahun 2021, menjadi sebesar Rp373,26 triliun. Jika terealisasi, maka akan terjadi kenaikan pembayaran bunga utang sekitar 18,83%.

Pembayaran bunga utang tersebut dicatat dalam pos Belanja Negara, sebagai bagian dari belanja Non Kementerian/Lembaga dan secara teknis administrasi menjadi tanggung jawab Menteri Keuangan. Namun, perlu diingat bahwa Menkeu dalam hal ini bertindak sebagai Bendahara Umum Negara, bukan sebagai pemimpin K/L.

Grafik 20. Pembayaran Bunga Utang, 2000-2021

5.1.2 Rasio Pembayaran Beban Utang atas Pendapatan Negara

Pembayaran beban utang dapat dibandingkan dengan pendapatan negara, antara lain sebagai gambaran umum tentang berat atau ringannya beban tersebut. Nilai pembayaran beban utang sebesar Rp837,92 triliun tadi sebesar 42,74% dari Pendapatan Negara tahun 2019 yang sebesar Rp1960,63 triliun. Bisa dikatakan cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN.

Porsi atau rasio pembayaran beban utang atas pendapatan memang cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Pembayaran beban utang secara nominal sebenarnya menurun pada tahun 2020. menjadi sebesar Rp737,9 triliun. Akan tetapi pendapatan juga menurun secara lebih signifikan, menjadi hanya Rp1.633,6 triliun. Rasionya menjadi meningkat, mencapai 45,17%.

Dalam konteks keberlanjutan fiskal, idealnya beban utang bisa dibayar oleh surplus anggaran. Setidaknya dapat diimbangi secara proporsional oleh laju kenaikan pendapatan, sehingga rasionya tadi tidak meningkat.

Dampak pandemi telah memaksa pemerintah menambah utangnya secara besar-besaran, dipastikan akan menambah beban pembayaran beban ditahun-tahun mendatang. Jika laju kenaikan pendapatan tidak dapat mengimbangi, maka rasionya bisa mencapai 50% atau separuh dari pendapatan pada tahun 2024. Kondisi yang cukup memberatkan bagi pengelolaan APBN.

Grafik 21. Pembayaran Beban Utang (Rp Triliun), 2010-2020

Analisis beban utang juga dapat dilakukan dengan membandingkannya dengan penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan dapat dianggap mencerminkan kondisi perekonomian.

Tentu saja ada aspek tata kelola perpajakan dalam berbagai aspeknya.

Penerimaan perpajakan pada tahun 2019 mencapai Rp1.546,14 triliun. Sebagaimana telah disajikan di atas, pembayaran beban utang sebesar Rp837,92 triliun. Dengan demikian, rasio pembayaran beban utang atas penerimaan perpajakan adalah sebesar 54,19%.

Rasio ini meningkat menjadi 57,52% pada tahun 2020, karena penerimaan perpajakan turun menjadi Rp1.282,8 triliun. Rasio ini pun sulit untuk dipertahankan, apalagi diperbaiki dalam arti diturunkan. Penerimaan perpajakan kemungkinan hanya akan tumbuh perlahan, setidaknya selama satu atau dua tahun pemulihan ekonomi.

5.1.3 Rasio Pembayaran Bunga atas Posisi Utang Rata-Rata

Pemerintah cukup menyadari bahwa salah satu aspek penting dalam pengelolaan utangnya adalah terkait upaya menurunkan biaya utang. Sekurangnya menjaga agar tetap stabil atau tidak mengalami kenaikan.

Semua biaya utang diperlakukan oleh APBN sebagai pembayaran bunga utang. Di atas sudah disajikan perkembangan selama beberapa tahun terakhir. Antara lain tentang nilainya yang cenderung meningkat. Sebab utamanya adalah posisi utang yang memang meningkat cukup pesat.

Untuk mengukur apakah terjadi peningkatan biaya tidak cukup hanya dengan melihat nominal pembayaran bunga utang. Perlu dicermati persentasenya atas posisi utang. Secara sederhana, persentase atau rasio tersebut mencerminkan “tingkat bunga riil” yang telah dibayar.

Posisi utang selama setahun mengalami perkembangan, karena ada pembayaran pokok utang lama dan penarikan utang baru. Sehingga tidak cukup mencerminkan tingkat bunga riil tadi jika pembayaran bunga setahun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir tahun. Rasio yang lebih mencerminkan adalah membandingkannya dengan posisi utang rata-rata selama setahun. Bisa dengan menghitung rerata dari posisi tiap akhir bulan, atau sebanyak 12 posisi utang. Cara yang lebih sederhana adalah menghitung rerata dari posisi awal tahun yang sama dengan akhir tahun sebelumnya dengan posisi akhir tahun.

Sebagai contoh, posisi utang rata-rata pada tahun 2019 adalah sebesar Rp4.626,35 triliun.

Dari posisi akhir tahun 2018 sebesar Rp4.466,2 triliun dan akhir tahun 2019 sebesar Rp4.786,5 triliun. Sedangkan posisi utang rata-rata pada tahun 2020 adalah sebesar Rp5430,5 triliun, karena posisi akhir tahunnya sebesar Rp6.074,5 triliun.

Pembayaran bunga selama setahun dibandingkan dengan posisi rata-rata utang, yang dihitung dari cara di atas, cukup mencerminkan perkembangan tingkat bunga utang riil selama ini. Rasionya cenderung menurun pada periode tahun 2007-2013. Meningkat pada periode tahun 2014-2018. Sedikit menurun pada tahun 2019 dan 2020. Rasionya sebesar 5,78% pada tahun 2020.

Grafik 22. Pembayaran Bunga Utang dan Tingkat Bunga Riil, 1998-2020

5.1.4 Rasio Pembayaran Bunga atas Pendapatan dan PDB

Perkembangan beban pembayaran bunga utang Pemerintah dapat pula dicermati dari rasionya atas pendapatan negara dan atas PDB. Rasio pembayaran bunga selama setahun 2020 dibandingkan Pendapatan Negara telah mencapai 19,23%. Meningkat signifikan dari rasio pada tahun 2019 yang hanya sebesar 14,05%. Akan tetapi perlu diperhatikan pula bahwa kecenderungan peningkatan memang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir.

Grafik 23. Rasio Pembayaran Bunga Utang atas Pendapatan Negara

Rasio pembayaran bunga selama setahun atas nilai PDB nominal pada tahun bersangkutan juga merupakan salah satu indikator yang dijaga dalam rangka meminimalkan risiko utang.

Bahkan, Pemerintah telah menetapkan batas aman rasio pembayaran bunga utang terhadap PDB sebesar 1,9%. Tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan No.17/KMK.08/2020 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara Jangka Menengah Tahun 2020-2024, tertanggal 24 Januari 2020.

Batasan itu masih tampak belum terlampaui sebelum pandemi. Akan tetapi, rasionya perlahan

telah meningkat dan mencapai 17,4% pada tahun 2019. Pada tahun 2020, dampak pandemi

membuatnya meningkat menjadi sekitar 2%.

Dalam dokumen Mewaspadai Risiko yang Meningkat (Halaman 55-61)