• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Garam Nasional

Pola dan jalur distribusi garam di Sulawesi Tengah secara umum menunjukkan karakteristik yang hampir serupa dengan pola distribusi garam di NTB. Namun, ada

4.4 Kebijakan Garam Nasional

Peraturan atau kebijakan garam di tingkat nasional pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan masyarakat atau konsumen dan sekaligus juga menumbuhkembangkan kegiatan usaha di bidang garam. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai kebijakan telah dibuat dan diimplementasikan yang mencakup penumbuhan iklim usaha yang kondusif, pembinaan dan pengembangan yang dilakukan secara sinergi dan saling mendukung antar lintas sektoral dan regional.

Disamping itu kebijakan untuk pemenuhan kebutuhan garam nasional telah dilakukan baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk industri seperti dalam pelaksanaan stok nasional garam pada tahun 1977 sampai dengan 1993 (Puska PDN, 2012). Kebijakan tersebut dilakukan pemerintah dengan menunjuk PN Garam sebagai pemegang stok nasional garam dengan membeli garam rakyat. Disatu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani garam dengan cara meningkatkan kualitas, membantu pemasaran, stabilisasi stok dan harga garam serta melindungi petani garam dari pengijon, tengkulak dan sebagainya. Disisi lain, kepentingan konsumen dapat terpenuhi dengan terjaganya ketersediaan kebutuhan akan garam.

Kebijakan ini memberikan hasil yang cukup menggembirakan bagi petani karena harga di tingkat petani relatif menguntungkan. Namun dipihak pengelola yaitu pemerintah, pengelolaan stok garam memerlukan ketersediaan dana yang tidak sedikit. Dalam pengelolaannya ternyata, perputaran dana yang terbentuk menunjukkan kinerja yang tidak menggembirakan ditambah kondisi administrasi keuangan pemerintah pada dekade 90-an mulai menunjukkan kinerja yang menurun. Kondisi tersebut memaksa pemerintah menghentikan kebijakan stok dan Tim pelaksanaan stok nasional dibubarkan (Puska PDN, 2012).

Pada awal tahun 1990-an juga, Indonesia dihadapkan pada Kampanye internasional untuk memerangi Iodine Deficiency Disorder (IDD) atau Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI). Serangkaian pertemuan internasional terkait dengan hal tersebut secara otomatis mendorong pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1994 tentang Pengadaan Garam Beryodium. Kebijakan ini mengatur garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri pangan. Jenis garam yang digunakan adalah garam beryodium yang telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan terlebih dahulu diolah melalui proses pencucian dan iodisasi.

Garam beryodium juga wajib dikemas dan diberi label sesuai dengan keputusan Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian No. 77/M/SK/1995 dan telah dirubah menjadi Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 42/M-IND/PER/11/2005 tentang persyaratan teknis pengolahan, pengemasan, dan pelabelan garam beriodium. Berdasarkan kebijakan ini, pengadaan garam beryodium harus memenuhi beberapa syarat antara lain:

1. Garam yang dapat diperdagangkan untuk keperluan konsumsi manusia atau ternak, pengasinan ikan atau bahan penolong industri pangan adalah garam beryodium yang telah memenuhi SNI.

2. Garam beryodium yang diperdagangkan wajib dikemas dan diberi label

Kebijakan garam beryodium yang sudah dikeluarkan pemerintah berdasarkan laporan dari UNICEF (Boenarco, 2012) menyebutkan bahwa sekitar 70% populasi Indonesia telah mendapatkan asupan yodium secara cukup dibandingkan tahun 1990an yang hanya sekitar 20-30%. Namun demikian, tidak hanya dampak positif yang dinikmati oleh konsumen.

Persyaratan yang komplek terkait dengan produksi garam beryodium mengakibatkan biaya produksi garam meningkat. Sebagai imbasnya, untuk mendapatkan garam yang berkualitas dengan standar yang tinggi cara instan yang dilakukan adalah dengan melakukan impor garam.

Kebutuhan akan garam konsumsi semakin mendorong meningkatnya impor garam yang berujung pada tertekannya produksi garam domestik.

Untuk melindungi keberadaan garam nasional, pemerintah telah merilis beberapa kebijakan yang berhulu pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 360/MPP/Kep/5/2004 terkait dengan tata niaga impor garam. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan secara khusus bertujuan untuk menstimulasi produksi garam nasional khususnya garam rakyat. Selain itu, jatuhnya harga garam setiap musim panen raya garam menjadi latar belakang diberlakukannya kebijakan tersebut (Wahyuni, 2007).

Sebagai komoditas yang dalam proses produksinya sangat tergantung oleh kondisi iklim, pemerintah juga menerbitkan peraturan yang bertujuan untuk melindungi petani garam dari anomali cuaca yang terjadi pada waktu itu.

Dengan bergesernya masa panen yang terjadi pada tahun 2004, pemerintah juga meresponnya dengan mengeluarkan beberapa kebijakan lanjutan seperti Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 422/MPP/Kep/6/2004 tentang tentang masa panen garam rakyat tahun 2004 yang berlangsung mulai 1 Agustus hingga 31 Oktober 2004. Dalam kebijakan tersebut, secara detil ditetapkan ketentuan larangan impor garam selama periode tertentu yaitu: 1) satu bulan sebelum musim panen raya garam rakyat; 2) selama panen raya garam rakyat; 3) dan dua bulan setelah masa panen raya garam rakyat.

Pada tahun 2005, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor: 20/M-DAG/PER/9/2005 tentang ketentuan impor garam yang diikuti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/M-DAG/PER/10/2007 yang merupakan perubahan peraturan sebelumnya yang secara khusus mengatur siapa yang boleh melakukan impor garam.

Importir yang boleh melakukan impor garam dibagi menjadi dua yaitu importir garam iodisasi dan non idodisasi dan hanya boleh mengimpor di luar masa panen garam rakyat. Kebijakan tata niaga impor garam itu diperbaharui lagi dengan Permendag No. 58/M-DAG/PER/9/2012 tanggal 4 September 2012.

Jo Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 88/M-DAG/PER/10/2015. Terkait dengan perbaikan harga dasar garam rakyat telah diatur melalui Peraturan

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri No. 02/DAGLU/PER/5/2011, bahwa harga garam rakyat di tingkat pengumpul atau collecting point (kondisi curah di atas truk) yang harus dibeli oleh IP untuk KP1 minimal Rp 750/Kg dan KP2 minimal Rp 550/Kg (Kemendag, 2012b).

Dalam rangka memberi kepastian harga, sebenarnya pemerintah telah merilis Undang-Undang No. 9 tahun 2011 Junto Undang-Undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, yang dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2014 Junto Peraturan Pemerintah No.

36 Tahun 2007 mengenai Pelaksanaan Sistem resi gudang. Berdasarkan peraturan inilah lahir satu jenis Resi Gudang baru di Indonesia, dimana resi gudang bukan hanya sekedar bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang, melainkan dapat berfungsi sebagai surat berharga yang dapat diperdagangkan baik secara domestik maupun internasional, juga dapat dijadikan bukti penyerahan barang dalam kontrak derivatif yang dilakukan dalam suatu kontrak berjangka yang diperdagangkan dalam bursa berjangka.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08/M-DAG/

PER/02/2013 ada sepuluh komoditas yang bisa diresigudangkan yaitu Gabah, Beras, Jagung, Kopi, Kakao, Lada, Karet, Rumput Laut, Rotan dan Garam.

Namun hingga saat ini, hanya lima komoditas yang bisa dilakukan resi gudang.

Dan menurut rencana, di akhir tahun 2016, garam akan menjadi salah satu komoditas yang didorong dapat diresigudangkan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kementerian Perdagangan akan bekerja sama dengan Kementerian Kalautan dan Perikanan (KKP) dan PT. Garam (Persero) (Tribunbisnis, 2016)

Sejalan dengan program deregulasi dari pemerintah, ketentuan tentang impor garam diperbarui lagi di akhir tahun 2015 yaitu dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015.

Semangat dari kebijakan ini adalah untuk mendorong peningkatan daya saing nasional dengan salah satunya menyederhanakan proses perizinan di bidang perdagangan khususnya impor garam industri. Namun demikian, praktisi pergaraman khususnya petani garam merasa kebijakan tersebut tidak mendukung perbaikan peningkatan kinerja garam domestik khususnya garam rakyat. Menurut mereka,ada tiga hal perubahan fundamental dalam kebijakan ini yang berbeda dengan kebijakan sebelumnya yaitu: 1) Tidak adanya kewajiban bagi IP untuk menyerap garam rakyat dengan persentase 50% dari total produksi; 2) Tidak ada harga pembelian pemerintah (HPP); dan 3) Tidak ada periode pembatasan waktu impor (Detik, 2016).

Kebijakan tersebut cukup banyak mendapat perhatian karena kebijakan sebelumnya yang mewajibkan IP untuk menyerap garam rakyat tidak cukup berhasil. Terkait dengan harga, kebijakan sebelumnya yang mengatur tentang

menyerap garam dengan harga di bawah HPP. Anjloknya harga garam rakyat juga terkait dengan lemahnya pengawasan terkait masuknya garam impor ke pasar garam konsumsi. Fenomena lemahnya law enforcement dari kebijakan sebelumnya serta longgarnya kebijakan yang terbaru, mendorong rasa kekhawatiran dari pelaku garam rakyat jika kebijakan ini akan membawa dampak yang lebih buruk kepada masa depan industri garam rakyat. Melihat fakta-fakta dan fenomena-fenomena yang telah terjadi, kekhawatiran para pelaku industri garam rakyat tersebut menjadi wajar.

Namun demikian, jika kita telaah lebih dalam lagi terkait dengan kebijakan tersebut (Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 125/M-DAG/PER/12/2015 tentang Impor Garam) maka akan ditemukan hal-hal baik secara eksplisit dan implisit sangat mendukung perkembangan industri garam rakyat. Sebagai contoh adalah, pengaturan impor garam yang secara tegas diatur hanya garam industri yang dilakukan oleh Importir Produser. Sementara, garam impor untuk garam bahan baku konsumsi hanya dapat diimpor dalam kondisi tertentu (gagal panen) dan hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkecimpung dalam bisnis garam setelah mendapat rekomendasi dari kementerian pembinanya. Secara implisit industri garam konsumsi mau tidak mau harus menggunakan garam bahan baku yang dihasilkan oleh petani garam yang diasumsikan lebih dari cukup dalam memenuhi kebutuhan garam bahan baku konsumsi.

Dari semua kebijakan tata niaga garam yang telah dirilis dan dijalankan oleh pemerintah secara umum belum mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan khususnya terkait tata niaga garam rakyat. Kondisi ini menurut Rochwulaningsih (2013) karena kebijakan yang telah ada hanya mengatur tata niaga garam impor, sementara yang menyangkut garam rakyat hanya diselipkan menjadi bagian kecil dari kebijakan tersebut. Dengan kata lain, hingga saat ini belum pernah ada kebijakan yang secara khusus dan otonom mengatur tentang tata niaga garam rakyat. Isu garam rakyat hingga saat ini masih terus hangat dan menjadi komoditas ‘pencetak uang’ bagi pemburu rente.

4.4 Penutup

Rantai distribusi suatu barang dimulai dari produsen hingga ke konsumen yang pada akhirnya akan menggambarkan suatu pola distribusi. Setiap elemen yang terbentuk dalam rantai distribusi mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian masyarakat antara lain sebagai katalisator antara produsen dan konsumen serta dapat memberikan nilai tambah bagi pelakunya. Secara normatif, rantai distribusi yang baik adalah suatu gabungan elemen-elemen pelaku distribusi yang mampu membangun suatu mekanisme pergerakan barang dari produsen ke konsumen secara kontinyu dengan biaya yang efisien dan dapat mensejahterakan seluruh pelaku di dalamnya.

Permasalahan utama dari komoditas garam dalam negeri adalah tidak seimbangnya antara pasokan dan kebutuhan. Selain itu, kualitas garam yang dihasilkan secara umum belum bisa memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Selain faktor ketergantungan pada cuaca, keterbatasan penerapan teknologi dan lahan menjadi hambatan utama dalam peningkatan kuantitas dan kualitas produksi garam. Komoditas garam yang cenderung bersifat musiman menjadikan komoditas ini sangat rentan pada tekanan harga pada waktu masa panen. Harga cenderung akan menurun drastis ketika masa panen, namun tidak akan membaik ketika tidak musim garam.

Perbaikan kebijakan yang mendukung industri garam perlu dilakukan untuk menjamin semua kepentingan pelaku komoditas garam di dalam negeri. Kebijakan penetapan harga garam di tingkat petani diharapkan dapat mendorong kualitas garam yang dihasilkan oleh petani garam. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah juga mendorong peningkatan produksi garam nasional dengan program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR).

Kebijakan ini secara nyata telah meningkatkan tingkat produksi garam rakyat secara signifikan di berbagai daerah sentra industri garam di Indonesia. Rantai distribusi yang terlalu panjang juga menjadikan komoditas garam tidak efisien.

Ini terlihat dari tidak meratanya marjin biaya dan pendapatan di berbagai tingkat rantai distribusi. Penguatan peran PT. Garam sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk memotong panjangnya rantai distribusi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan efisiensi rantai distribusi garam di Indonesia. Diperlukan kebijakan yang lebih ketat terkait dengan pengawasan impor garam industri agar tidak terjadi perembesan garam di pasar garam konsumsi. Dan yang terakhir, diperlukan suatu kebijakan yang secara khusus mengatur tentang tata niaga garam rakyat.