• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang Pergaraman di Indonesia dan Dunia .1 Kebutuhan Domestik Garam Terus Meningkat

PELUANG DAN TANTANGAN KOMODITAS GARAM DI INDONESIA

6.2 Peluang Pergaraman di Indonesia dan Dunia .1 Kebutuhan Domestik Garam Terus Meningkat

Kebutuhan garam dalam negeri yang besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun merupakan salah satu penyebab utama mengapa pasar garam

domestik Indonesia sangat prospektif saat ini dan masa depan. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan/KKP (2016a), total kebutuhan garam nasional tahun 2015 mencapai 3,7 juta ton, mengalami peningkatan 16,2% dibandingkan kebutuhan garam nasional tahun 2011 dengan volume sebesar 3,2 juta ton. Apabila dihitung secara rata-rata menggunakan metode Compound Annual Growth Rate (CAGR), maka pertumbuhan kebutuhan garam nasional periode 2011-2015 mencapai 3,8% per tahun. Dengan asumsi rata-rata pertumbuhan 2011-2015, kebutuhan domestik untuk tahun 2019 diperkirakan mencapai 4,4 hingga 4,6 juta ton.

Tabel 6.1 Realisasi dan Proyeksi Kebutuhan Garam Nasional (Dalam Ribu Ton)

Keterangan Tahun

2015 2019*

Total Kebutuhan 3.750,3 4.571,9

Garam Konsumsi 1.303,1 1.571,3

a. Rumah Tangga 647,6 780,9

b. Industri Pengasinan Ikan 655,5 790,4

Garam Industri 2.447,2 2,989,8

a. Industri CAP dan Farmasi 1.797,6 2.167,6

b. Industri Non-CAP 140,3 218,5

c. Industri Aneka Pangan 509,6 614,5

Keterangan: * Diproyeksikan secara linier menggunakan Compound Annual Growth Rateperiode 2011-2015.

Sumber: KKP (2015a dan 2016a) dan hasil olah data penulis

Peningkatan kebutuhan garam didukung oleh peningkatan garam konsumsi serta peningkatan garam industri. Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang Perubahan atas Permenperin No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Roadmap) Pengembangan Klaster Industri Garam, KKP mengelompokkan garam konsumsi terdiri dari garam untuk keperluan rumah tangga (dapur) dan industri pengasinan ikan. Salah satu hal yang mendasari kategori garam konsumsi adalah kandungan NaCl paling sedikit 94%

Sementara itu, garam aneka pangan diklasifikasikan ulang ke dalam garam industri. Dengan demikian, garam industri terbagi menjadi garam untuk keperluan industri Chlor Alkali Plant (CAP) dan farmasi, industri non-CAP (perminyakan, kulit, tekstil, sabun, dan lainnya), dan industri aneka pangan.

Dalam kategori garam industri, kadar NaCl untuk garam industri adalah paling sedikit 97% dihitung dari basis kering.

Untuk konsumsi rumah tangga, permintaan garam diperkirakan konstan pada angka 750 hinga 780 ribu ton. Hal tersebut didasarkan pada data KKP

(2015a) yang mencatat jumlah konsumsi garam rumah tangga yang konstan selama 2011-2013, yaitu pada kisaran 732 ribu ton hingga 747 ribu ton2. Meskipun garam untuk industri aneka pangan dan pengasinan ikan masing-masing belum sebesar konsumsi rumah tangga, namun pertumbuhan permintaannya relatif tinggi. Dengan menggunakan metode perhitungan CAGR, industri aneka pangan selama periode 2011-2015 tumbuh 17,3%

per tahun, sedangkan industri pengasinan ikan tumbuh 12,4% per tahun.

Permintaan garam untuk pengasinan ikan diperkirakan meningkat seiring dengan melimpahnya pasokan ikan laut karena kebijakan Pemerintah Indonesia yang gencar memberantas illegal, unreported, unregulated fishing.

Konsumsi garam industri terbesar digunakan untuk industri CAP dan farmasi dengan pangsa mencapai 90% dari kebutuhan garam industri dan diperkirakan terus meningkat dengan pertumbuhan 7,9% per tahun. Industri CAP yang merupakan industri kimia dasar menghasilkan bahan baku utama untuk 500 industri hilir dan berfungsi sebagai katalisator industrialisasi di Indonesia dengan kontribusi pembayaran pajak sebesar Rp1,5 triliun per tahun (Sindo News, 2015). Seiring dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia dan penguatan perekonomian global, kebutuhan garam untuk bahan baku industri tentu akan semakin meningkat. Pada tahun 2014, kebutuhan garam industri di Indonesia mencapai 2,1 juta ton (KKP, 2015a).

Untuk tahun 2016, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) memperkirakan kebutuhan garam industri meningkat menjadi 2,3 juta ton (Kontan, 2015a). Dengan demikian, permintaan garam industri diproyeksikan meningkat kurang lebih 5% per tahun.

6.2.2 Usaha Garam Rakyat Menjadi Sumber Pendapatan Masyarakat Pesisir

Seperti diketahui bersama bahwa industri garam merupakan industri rakyat karena melibatkan banyak tenaga kerja dan menjadi sumber andalan pendapatan masyarakat pesisir ketika hasil melaut kurang memadai.

Berdasarkan perhitungan KKP (2015c), usaha garam rakyat mampu menyerap tenaga kerja baru pada tahun 2014 sebanyak 15.876 orang.Bahkan pada tahun sebelumnya, penyerapan tenaga kerja baru di bidang penggaraman mencapai 32.447 orang.Jumlah orang yang terlibat pada usaha garam rakyat meliputi buruh tambak produksi, kuli pengangkut, serta pengepul.

Target pendapatan petambak garam di tahun 2014 adalah sebesar Rp 2 juta, realisasi hingga bulan Desember 2014 adalah Rp 2,9 juta atau 145,00% dari target. Apabila dibandingkan dengan nilai estimasi pendapatan rata-rata per

1 Data konsumsi garam rumah tangga dikritisi oleh Faisal Basri karena jumlah konsumsi rumah tangga relatif sama selama periode 2009-2013 yaitu sekitar 700 ribu ton. Namun, pada tahun 2014, konsumsi garam rumah tangga turun drastis

KK/bulan untuk kelompok PUGAR 2013 sebesar Rp 2,82 juta pendapatan tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 2,86%. Peningkatan ini dikarenakan oleh kenaikan harga di tahun 2014 lebih baik dari 2013 yaitu rata-rata sebesar Rp 900/kg dibandingkan dengan tahun 2013 rata-rata sebesar Rp 500/kg (KKP, 2015c). Namun demikian jika dibandingkan laju kenaikan pendapatan petambak garam KK/bulan tersebut tidak setinggi laju kenaikan harga rata-rata/kg yang persentasinya mencapai 80%.

Pada tahun 2014, rata-rata pendapatan petambak garam mencapai Rp 2,9 juta, mengalami peningkatan 2,86% dibandingkan tahun 2013 yang nilainya sebesar Rp 2,82 juta. Rata-rata pendapatan tersebut dihitung dari jumlah pendapatan petambak garam penerima PUGAR per-Kepala Keluarga (KK) selama musim panen dibagi lama bulan produksi (KKP, 2015c). Apabila dilihat berdasarkan kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada Tabel 6.2, pendapatan petambak garam sangat bervariasi. Rata-rata pendapatan tertinggi diterima petambak di Kota Surabaya yaitu sebesar Rp 71,1 juta permusim dan pendapatan terendah diterima petambak di Sumba Timur yaitu sebesar Rp 0,7 juta per musim.

Tabel 6.2 Pendapatan Rata-rata Petambak Garam Tahun 2014 (Rp/musim)

No. Kab./Kota Pendapatan No. Kab./Kota Pendapatan

Rata-rata Rata-rata

1 Aceh Besar 6.755.420 23 Sumenep 12.418.384

2 Aceh Timur 8.699.605 24 Karangasem 13.754.904

3 Aceh Utara 36.151.685 25 Buleleng 22.086.735

4 Pidie 45.334.734 26 Lombok Barat 26.806.172

5 Karawang 6.886.230 27 Lombok Tengah 8.898.955

6 Indramayu 40.731.335 28 Lombok Timur 18.959.683

7 Cirebon 19.911.359 29 Sumbawa 15.596.579

8 Brebes 13.295.718 30 Bima 12.756.119

9 Demak 34.696.251 31 Kota Bima 3.188.477

10 Jepara 42.445.887 32 Manggarai 1.288.174

11 Pati 21.235.585 33 Nagekeo 2.166.654

12 Rembang 15.677.804 34 Ende 2.163.363

13 Tuban 31.505.530 35 Alor 4.607.647

14 Lamongan 38.927.119 36 Sumba Timur 669.780

15 Gresik 37.964.111 37 Kupang 9.146.657

16 Kota Surabaya 71.095.613 38 Timor Tengah Utara 636.575

17 Pasuruan 25.477.070 39 Kota Palu 7.022.375

18 Kota Pasuruan 48.909.091 40 Takalar 30.107.642

19 Probolinggo 22.788.197 41 Jeneponto 3.286.205

20 Bangkalan 18.407.038 42 Selayar 8.021.053

21 Sampang 24.436.445 43 Pangkep 27.041.374

22 Pamekasan 12.166.842 Total 2.900.000

6.2.3 Peluang Investasi untuk Garam Industri masih Prospektif Besarnya kebutuhan garam domestik khususnya garam industri merupakan peluang investor domestik maupun asing untuk masuk ke industri ini. Salah satu investor asing yang berminat berinvestasi di sektor ini adalah PT. Cheetham Salt Indonesia yang merupakan perusahaan jaringan Cheetham Salt Ltd asal Australia. Sementara itu, daerah favorit yang menjadi target investasi industri garam adalah Nusa Teggara Timur (NTT).

Areal penggaraman di Nagekeo, NTT merupakan lokasi terbaik untuk pengembangan garam industri di Indonesia, karena selain lahan yang tersedia cukup luas, kondisi air laut dan curah hujan juga sangat mendukung usaha tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila PT. Cheetham Salt Indonesia tertarik mendirikan industri pengolahan garam di lokasi tersebut dengan luas lahan yang dibutuhkan sekitar 1.000 hetare (ha) (Antara News, 2014). Apabila terealisasi, maka produksi awal atas investasi tersebut ditaksir mencapai 150 ribu ton per tahun dengan kapasitas terpasang mencapai 200 ribu ton per tahun (Bisnis, 2015) yang tentu saja berpotensi mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap garam impor.

Namun demikian, rencana investasi di Nagekeo menghadapi masalah pembebasan lahan yang serius.Sejak tahun 2011 hingga sekarang, PT. Cheetham harus berjuang untuk pembebasan lahan di NTT (Kontan, 2015c). Dari 1.000 hektar lahan yang akan dikelola oleh PT. Cheetham sekitar 776 ha merupakan lahan eks HGU, sedangkan sekitar 300 ha sisanya merupakan lahan hak transmigrasi yang dikelola koperasi dan akan dikelola dengan sistem sewa melalui kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat. Kejelasan status lahan masih terkendala untuk lahan eks HGU yang akan dialihnamakan kepada 276 nama warga sekitar yang akan diberikan sertifkat, yaitu seluas 231 ha. Sementara itu, 545 ha eks HGU telah diberikan hak pakainya kepada Pemerintah Daerah Nagekeo (Bisnis, 2015a).

Permasalahan lahan juga menjadi permasalahan utama yang masih dihadapi dalam pembangunan industri nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2015-2019. Belum terselesaikannya pembebasan lahan di Nagakeo, Nusa Tenggara Timur sangat menghambat rencana investasi industri garam di wilayah tersebut (Kemenperin, 2015).

Untuk mengatasi permasalahan lahan yang belum tuntas, PT. Cheetham berencana membangun pabrik dalam skala kecil pada lahan yang telah dibebaskan dengan bekerja sama dengan koperasi garam setempat dengan jumlah penyerapan tenaga kerja langsung ditaksir mencapai 200 orang.

Proyek tersebut dimaksudkan agar masyarakat menerima manfaat atas kehadiran investasi PT. Cheetam, sehingga turut melancarkan target akhir yaitu

pembangunan industri garam di Nagekeo seluas 1000 ha. Untuk mendukung pembangunan pabrik tersebut, PT. Cheetham telah mengalokasikan dana sebesar USD 30 juta yang ditargetkan beroperasi pada akhir 2016 (Kontan, 2015c).

6.3 Permintaan Garam di Pasar Dunia yang Terus Meningkat