• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dilema Pergaraman di Indonesia INFO KOMODITI GARAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Dilema Pergaraman di Indonesia INFO KOMODITI GARAM"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

INFO KOMODITI

GARAM

(2)

SANKSI PELANGGARAN Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

(3)

Info Komoditi

EDITOR:

Zamroni Salim, Ph.D Ernawati Munadi, Ph.D

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Al Mawardi Prima, Jakarta 2016

GARAM

(4)

Judul:

Info Komoditi Garam

Zamroni Salim, Ph.D dan Ernawati Munadi, Ph.D Copyright © 2016

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

All rights reserved

Diterbitkan oleh

Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Kementerian Perdagangan Republik Indonesia bekerja sama dengan Al Mawardi Prima Anggota IKAPI DKI Jaya

Diterbitkan pertama: Juli 2016 Desain Cover: Piter Prihutomo Sumber Cover depan searah jarum jam

1. Dokumentasi Piter Prihutomo;

Sumber cover belakang:

1. Piter Prihutomo;

x, 120 hlm, 16,5 x 25 cm ISBN: 978-979-461-890-5

Pengarah:

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Penanggung Jawab:

Sekretaris Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan

Redaksi Pelaksana:

1. Puspita Dewi, SH, MBA 2. Maulida Lestari, SE, ME 3. Reni K. Arianti, SP, MM 4. Suler Malau, SH 5. Primakrisna T, SIP, MBA 6. Dwi Yulianto, S.Kom

AMP Press Imprint Al-Mawardi Prima

Anggota IKAPI JAYA

Jl. H. Naimun No. 1 Pondok Pinang, Kebayoran Lama Jakarta Selatan Telp/Fax. (021) 29325630

Email: info@almawardiprima.co.id

(5)

Bunga Rampai Info Komoditi Garam merupakan salah satu dari serangkaian Bunga Rampai Info Komoditi yang telah diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) sejak tahun 2013 yang dimaksudkan untuk memberikan kompilasi singkat data dan statistik tentang produksi, konsumsi, pengolahan, perdagangan, kebijakan dan peraturan yang terkait dengan komoditas tertentu. Hal ini mengingat pentingnya sebuah pemahaman yang kuat dari setiap produk, yang sangat diperlukan bukan hanya untuk pengambilan keputusan kebijakan perdagangan yang efektif, namun juga pengembangan dan pemahaman bagaimana untuk meningkatkan daya saing Indonesia.

Khusus untuk komoditas garam, pemahaman yang sangat mendalam terkait dengan kondisi produksi dan konsumsi garam di Indonesia beserta permasalahan-permasalahan yang dihadapi sangat diperlukan dan sangat krusial bagi pengambil kebijakan khususnya dan masyarakat secara umum dalam menyikapi pengembangan sektor pergaraman di Indonesia. Menarik untuk dicermati misalnya, bagaimana Indonesia dengan produksi garam nasional pada tahun 2015 yang mencapai 2,84 juta ton belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri sebesar 3,75 juta ton pada tahun yang sama.

Ironisnya, ketidakmampuan produksi garam Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dalam negerinya bukan hanya disebabkan oleh produksi yang lebih rendah dari konsumsi, namun juga karena kualitas garam yang dihasilkan juga belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan industri yang mensyaratkan kualitas garam yang lebih tinggi. Indonesia harus mengimpor dengan jumlah yang tidak kalah banyaknya dengan yang diproduksi dalam negeri, yaitu sebesar 2,16 juta ton pada tahun 2014. Akibat situasi ini, garam bukan hanya berperan sebagai komoditas strategis, namun juga sebagai komoditas politis karena garam sangat potensial dalam memberikan keuntungan bagi beberapa pihak.

Pemahaman yang mendalam terkait dengan kondisi perdagangan garam baik di dalam negeri maupun di pasar internasional serta bagaimana prospek garam di masa yang akan datang juga sangat penting, khususnya bagi pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan daya saing garam Indonesia di pasar global. Dengan pemahaman yang sangat mendalam terkait dengan aspek- aspek tersebut, yang secara mendalam di bahas dalam Bunga Rampai Info Komoditi Garam ini, diharapkan kebijakan yang diambil oleh pemerintah mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi semua stakeholder yang terlibat

KATA PENGANTAR

(6)

dalam industri pergaraman di Indonesia serta tidak menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak tertentu.

Penerbitan Bunga Rampai Info Komoditi Garam diharapkan akan memainkan peran penting dalam membantu peneliti, analis kebijakan dan stakeholder lain dalam memahami pentingnya komoditi garam bagi Indonesia dan ekonomi global sehingga analisis lebih efektif, strategi dan kebijakan dapat dikembangkan untuk menguntungkan konsumen dan produsen Indonesia. Kami juga menyambut setiap komentar atau koreksi serta saran untuk membuat media publikasi info komoditi ini lebih informatif dan bermanfaat.

Pada masa yang akan datang, BPPP berencana untuk terus mengembangkan Bunga Rampai Info Komoditi lainnya yang dianggap penting bagi Indonesia, baik dalam kaitannya dengan situasi pasar dalam negeri maupun pasar global.

Jakarta, Juli 2016

Editor

(7)

DAFTAR ISI

Pengantar Editor...v

Daftar Isi ...vii

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ...ix

BAB I DILEMA PERGARAMAN DI INDONESIA Ernawati Munadi ... 1

BAB II PRODUKSI GARAM INDONESIA Septika Tri Ardiyanti ... 7

BAB III KONSUMSI GARAM Steven Raja Ingot dan Titis Kusuma Lestari ... 31

BAB IV PERDAGANGAN GARAM DI DALAM NEGERI Nugroho Ari Subekti ... 49

BAB V PERDAGANGAN LUAR NEGERI GARAM Aziza Rahmaniar Salam ... 73

BAB VI PELUANG DAN TANTANGAN GARAM DI INDONESIA Aditya P. Alhayat ... 89

BAB VII TATA NIAGA DAN ‘MANISNYA’ GARAM DI INDONESIA Zamroni Salim ... 109

Indeks ...116

Biografi Penulis...117

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pengelompokan Garam Berdasarkan Permenperin

No. 88/M-IND/PER/10/2014 ... 10

Gambar 2.2 Proses Pembuatan Garam dengan Metode Kristalisasi ... 20

Gambar 3.1 Kebutuhan Garam Nasional Tahun 2015 ... 34

Gambar 3.2 Proses Bisnis Industri Garam ... 35

Gambar 3.3 Penggunaan Garam ... 37

Gambar 3.4 Alur Proses Membran Sel dalam Pembentukan Soda Kostik ... 39

Gambar 3.5 Diagram Alur Proses Penyamakan Kulit Mineral ... 40

Gambar 4.1 Pola Distribusi Perdagangan Garam Nasional ... 54

Gambar 4.2 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh 55

Gambar 4.3 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Jawa Timur ... 57

Gambar 4.4 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) ... 58

Gambar 4.5 Pola distribusi Perdagangan Garam di Propinsi Sulawesi Tengah ... 59

Gambar 5.1 Negara Utama Pengekspor Garam (Volume) Tahun 2014 ... 78

Gambar 5.2 Negara Utama Pengekspor Garam (Nilai) Tahun 2014 ... 78

Gambar 5.3 Negara Utama Pengimpor Garam (Nilai) Tahun 2014 ... 79

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Produsen Garam Dunia, 2010 – 2013 ... 15 Tabel 2.2 Produksi Garam Indonesia (Ribu Ton) ... 16 Tabel 2.3 Pangsa Produksi Garam Rakyat Tiap Daerah Terhadap

Produksi Garam Nasional Tahun 2014 ... 17 Tabel 2.4 Luas Lahan dan Produktivitas Garam Indonesia ... 19 Tabel 2.5 Hasil Analisis Laboratorium Garam dengan Media Isolator ... 23 Tabel 2.6 Hasil Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Badan Kajian

Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Balai Besar Industri Agro ... 23 Tabel 2.7 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan

Pola Sewa di Cirebon dan Indramayu ... 26 Tabel 2.8 Struktur Biaya Produksi Garam Rakyat Tahun 2015 dengan

Pola Bagi Hasil di Cirebon dan Indramayu ... 27 Tabel 3.1 Neraca Garam Nasional, 2010 – 2015 (Dalam Ton) ... 33 Tabel 3.2 Syarat Mutu Garam untuk Bahan Baku Industri menurut

SNI 01-4435-2000 ... 41 Tabel 3.3 Syarat Mutu Garam untuk Konsumsi Beryodium menurut

SNI 01-3556-2000 ... 41 Tabel 3.4 Proporsi Konsumsi Garam Yodium oleh Rumah Tangga per

Provinsi di Indonesia Tahun 2013 ... 42 Tabel 4.1 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) ... 60 Tabel 4.2 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi

Daerah Istimewa Aceh ... 60 Tabel 4.3 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi

Jawa Timur ... 61 Tabel 4.4 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi

Nusa Tenggara Barat ... 62 Tabel 4.5 Marjin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) di Propinsi

Sulawesi Tengah ... 63 Tabel 5.1 Perkembangan Nilai dan Volume Ekspor Impor

Garam Indonesia ... 75 Tabel 5.2 Perkembangan Volume Ekspor Garam Indonesia HS 10 digit

(Ribu Ton) ... 75 Tabel 5.3 Perkembangan Volume Ekspor Garam Meja Indonesia

Berdasarkan Negara Tujuan (Ribu Ton) ... 76

(10)

Tabel 5.4 Perkembangan Volume Impor Garam Indonesia

HS 10 digit (Ton) ... 76

Tabel 5.5 Data Realisasi Impor Garam, 2008 – 2014 (RibuTon) ... 77

Tabel 5.6 Perkembangan Volume Impor Garam (Yang Mengandung Natrium Klorida Paling Sedikit 94,7%) Indonesia Berdasarkan Negara Asal Impor (Ribu Ton) ... 77

Tabel 5.7 Harga Garam di Berbagai Negara ... 80

Tabel 5.8 Daya Saing Garam Indonesia ... 81

Tabel 5.9 Daya Saing 3 Negara Utama Pengekspor Garam ... 81

Tabel 5.10 Pokok Perubahan Permendag No. 58/2012 Menjadi Permendag No. 125/2015 ... 84

Tabel 6.1 Realisasi dan Proyeksi Kebutuhan Garam Nasional (Dalam Ribu Ton) ... 90

Tabel 6.2 Pendapatan Rata-rata Petambak Garam Tahun 2014 (Rp/musim) ... 92

Tabel 6.3 Dampak Iklim terhadap Produksi Garam dan Adaptasi Petambak ... 97

(11)

BAB I

DILEMA PERGARAMAN DI INDONESIA

Ernawati Munadi

Garam bukan hanya sebagai komoditas strategis, garam juga merupakan komoditas politik di Indonesia bahkan sejak zaman Kolonial Belanda.

Komoditas politik karena menyangkut kepentingan bangsa, komoditas strategis karena semua orang mengkonsumsinya. Sebagai bukti bahwa garam komoditas strategis dan politik dalam sejarah, tahun 1813 Raffles menyelenggarakan monopoli garam di seluruh daerah kekuasaannya, baik produksi maupun distribusi. Hal itu mengingat peran esensial garam baik sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat maupun kebutuhan untuk industri. Akibatnya, garam merupakan salah satu komoditas strategis yang sarat dengan campur tangan pemerintah.

Di Indonesia, garam digunakan bukan hanya untuk konsumsi langsung rumah tangga sebagai salah satu kebutuhan pokok dan juga untuk kebutuhan diet. Garam juga banyak digunakan untuk industri yang meliputi industri kimia, industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan, dan juga untuk industri penyamakan kulit.

Garam diklasifikasikan sebagai garam konsumsi dan garam industri di Indonesia. Klasifikasi garam sebagai garam konsumsi dan garam industri ini didasarkan pada kandungan zat kimia yang diperlukan oleh masing-masing pengguna. Garam konsumsi misalnya mensyaratkan kandungan NaCl minimal 94%, sementara garam untuk diet mensyaratkan kandungan NaCl maksimal 60%.

Garam untuk kebutuhan industri, kualitas garam yang diperlukan juga sangat bervariasi, misalnya industri kimia memerlukan garam dengan kandungan NaCl minimal 96%, industri makanan dan minuman memerlukan garam dengan kandungan NaCl minimal 97%, serta industri farmasi memerlukan garam dengan kandungan NaCl yang lebih tinggi lagi yaitu minimal 99,8%. Industri perminyakan memerlukan garam dengan kandungan NaCl yang sedikit lebih rendah yaitu minimal 95%, serta industri water treatment dan penyamakan kulit memerlukan garam dengan kandungan NaCl yang lebih rendah yaitu 85%. Selain garam dengan kualitas kadar NaCl yang tinggi, kualitas garam lain yang dipersyaratkan oleh industri adalah batas maksimal kandungan logam berat seperti kalsium dan magnesium yang tidak boleh melebihi 400 ppm untuk industri aneka pangan, ambang batas maksimal 200 ppm serta kadar air yang rendah untuk industri chlor alkali plan (Gatra, 2015).

(12)

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP, 2015), produksi garam nasional pada tahun 2015 mencapai 2,84 juta ton. Sebanyak 2,5 juta ton diproduksi oleh garam rakyat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi, dan sisanya berupa garam industri yang diproduksi PT. Garam. Dengan total produksi garam pada tahun 2013 sebesar 1,09 juta ton, posisi Indonesia dibandingkan dengan negara produsen utama garam dunia hanya berada ada urutan ke-36 dengan tiga negara yang mendominasi produsen garam dunia pada tahun 2013, yaitu Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dengan pangsa mencapai lebih dari 25%, Amerika Serikat sebesar 15%, dan India 6% (USGS, 2013).

Di sisi lain, akibat peningkatan jumlah penduduk dan industri, kebutuhan garam nasional dari tahun ke tahun semakin meningkat, dari hanya 2,7 juta ton pada tahun 2007 meningkat menjadi 3,75 juta ton pada tahun 2015. Dari jumlah tersebut, 647,6 ribu ton (17,3%) merupakan kebutuhan garam konsumsi dan 3,1 juta ton (82,7%) merupakan garam industri (BPS, 2015). Ironisnya kebutuhan industri yang memerlukan garam dengan kualitas tinggi, yaitu dengan kandungan NaCl lebih dari 95% mencapai 61,5%.

Dari jumlah kebutuhan garam dengan kualitas tinggi yang mencapai 61,5% tersebut, hanya sekitar 31% yang bisa dipenuhi oleh kebutuhan garam yang dihasilkan di dalam negeri. Hal itu terlihat dari data KKP (2015) yang menunjukkan bahwa kualitas garam lokal yang dihasilkan, khususnya oleh petambak garam (garam rakyat) tidak seragam sehingga penjualan garam petani tambak juga digolongkan kedalam beberapa kelas sesuai dengan kualitasnya. Kualitas pertama (KW1) adalah garam dengan tingkat NaCl antara 95%-98%, kualitas kedua (KW2) mengandung NaCl antara 90%-95%, dan kualitas ketiga (KW3) berkadar NaCl kurang dari 90%. Dari total produksi nasional yang mencapai 2,84 juta ton pada tahun 2015, jumlah produksi garam rakyat yang masuk dalam kategori KW1 baru mencapai 31,04%.

Dengan demikian, dengan asumsi bahwa kebutuhan garam industri yang mencapai lebih dari 80%, maka masih terbuka peluang pasar sebesar 50%

bagi petani garam lokal jika petani garam bisa memproduksi garam yang bisa memenuhi kebutuhan industri dalam negeri (LPPM ITB, 2016).

Masih belum terpenuhinya kebutuhan garam dengan kualitas tinggi tersebut mengingat berdasarkan studi KKP (2015), pembuatan garam di Indonesia yang umumnya melalui metode solar evaporation pada areal petak yang kecil mengakibatkan kualitas garam yang dihasilkan bervariasi. Kandungan NaCl garam yang diproduksi dalam negeri hanya berkisar antara 81%-96%.

Beberapa uji laboratorium yang dilakukan oleh beberapa instansi juga menunjukkan kandungan NaCl yang lebih rendah. Misalnya (1) Hasil analisis

(13)

program PUGAR yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tanggal 3 Juni 2013 menyatakan bahwa garam tersebut memiliki rata- rata kandungan NaCl 92,69%, Kadar Air 2,24%, Pb 8,9 ppm, Cu 3,23 ppm, Arsen 0 ppm; (2) Hasil pengujian laboratorium beberapa Industri Pengolahan Garam pada tahun 2014, garam rakyat memiliki kandungan NaCl sebesar 81,1 – 86,91%; kadar air = 9,68 – 9,77%; Ca = 0,15 – 2,02%; Mg = 0,89 – 2,31% (Hasil Peninjauan Tim Kemenko Perekonomian, Kemenperin, KKP dan Kemendag); (3) Garam bahan baku premium PT. Garam (14 Maret dan 15 April 2014) memiliki kandungan NaCL (adbk) 95,47% – 96,45%, H2O:

0,24 – 6,23%, Ca 0,22 – 0,58. Akibatnya untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri khususnya garam industri, Indonesia pada 2014 mengimpor sebanyak 2,16 juta ton dan jumlah ini sama dengan 69,6% kebutuhan industri yang memerlukan garam dengan kualitas tinggi (Kemenperin, 2016). Adanya perbedaan hasil yang cukup signifikan terkait dengan kualitas garam yang ditunjukkan oleh beberapa institusi yang berbeda-beda ini kemungkinan besar disebabkan oleh sampel yang berbeda-beda.

Terlihat bahwa garam yang dibutuhkan sektor industri menuntut kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan garam untuk konsumsi rumah tangga. Supaya dapat memanfaatkan peluang tersebut, maka penting bagi pemerintah untuk mengupayakan berbagai terobosan baru yang mampu memberikan insentif kepada produsen garam dalam negeri untuk dapat memproduksi garam dengan kualitas tinggi. Apalagi kebutuhan garam dari sektor industri sendiri berkontribusi lebih dari 80% dari total kebutuhan garam nasional (Sulistyono, 2015).

Selain permasalahan terkait dengan kualitas garam yang dihasilkan, permasalahan lain dalam pergaraman adalah produktivitas garam yang masih rendah. Sebagai contoh, produktivitas PT. Garam tidak lebih dari 70 ton/hektar (Kabar Bisnis, 2013). Jika produktivitas petani garam rakyat hanya sebesar 60 ton/hektar, maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas garam domestik hanya berkisar 60 ton/hektar hingga 70 ton/hektar. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Australia yang dapat menghasilkan garam dengan produktivitas yang mencapai 350 ton/hektar (Detik Finance, 2015).

Ada banyak faktor yang diperkirakan berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas garam di Indonesia. Pertama, teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional serta produksi garam yang sangat bergantung pada cuaca yang secara umum hanya memungkinkan memproduksi garam hanya dalam waktu 4 bulan (KKP, 2014). Masa produksi ini jauh lebih pendek jika dibandingkan dengan Australia yang iklimnya memungkinkan untuk memproduksi garam hingga 8 bulan sehingga menghasilkan garam yang jauh lebih banyak dengan kualitas tinggi.

(14)

Produksi garam di Indonesia sebagian besar juga merupakan produksi garam rakyat dengan luas areal rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan letak yang terpencar-pencar. Kondisi ini menyulitkan pengembangan garam dalam skala besar yang terintegrasi dan efisien yang membutuhkan kesatuan lahan datar yang cukup luas yaitu antara 4 ribu hingga 6 ribu hektar sehingga mendapat manfaat dari skala ekonomi (Puska PDN, 2012). Faktor lain juga usaha garam hanyalah merupakan mata pencaharian musiman, di mana petani garam seringkali hanya memanfaatkan waktu jeda pada usaha tambak udang sehingga usaha garam rakyat belum dilakukan secara optimal.

Melihat kondisi sektor pergaraman nasional tersebut adalah sebuah dilema bagi pemerintah. Di satu sisi pemerintah harus melidungi petani garam mengingat bahwa 85% produksi di Indonesia dihasilkan oleh garam rakyat dan hanya 15%

dari total produksi garam yang dihasilkan oleh PT. Garam (KKP, 2015). Meskipun produksi garam dalam negeri yang sebenarnya dari jumlah tidak sedikit, namun karena produksi garam tidak dikelola dengan teknologi tinggi maka sebagian besar garam yang dihasilkan petani rakyat masih menghadapi kendala dalam menghasilkan garam dengan kualitas yang memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh industri. Akibatnya, petani garam sering dihadapkan pada kondisi yang sulit karena rendahnya harga garam impor seringkali memaksa petani garam lokal membanting harga. Sayangnya, pasar akan tetap memilih produk impor yang kualitasnya terjamin dan harganyapun tetap terjaga. Petani garam ingin mendapatkan kepastian dari segi harga dan pasar.

Di sisi lain, pemerintah juga harus melindungi sektor industri yang membutuhkan garam. Mereka juga merupakan stakeholder penting yang harus dilindungi terkait dengan kebijakan garam, dan jangan sampai kebijakan yang diambil oleh pemerintah merugikan salah satu stakeholder penting tersebut. Hal ini mengingat bahwa industri pengguna garam juga sangat memegang peranan penting dalam ekonomi.

Industri makanan dan minuman misalnya yang membutuhkan garam rata- rata per tahunnya sebesar 509,6 ribu ton per tahun juga sangat memerlukan kearifan pemerintah dalam melihat situasi pergaraman nasional yang terjadi selama ini. Hal itu disebabkan karena garam merupakan bahan baku yang sangat esensial dalam proses produksi industri makanan dan minuman.

Tanpa garam, industri makanan dan minuman tidak dapat berproduksi, yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya industri makanan dan minuman sangat penting untuk diperhatikan mengingat industri ini sangat berkontribusi terhadap penyerapan lapangan kerja yang jumlahnya tidak sedikit karena multiplier effect yang dihasilkan oleh industri makanan dan minuman dapat memberikan dampak penyerapan tenaga kerja sebanyak

(15)

Sepertinya peningkatan kualitas garam rakyat pada level yang memenuhi persyaratan industri pengguna garam merupakan solusi tepat yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam memecahkan dilema sektor pergaraman ini.

Hal itu mengingat bahwa sebenarnya garam rakyat juga mampu mencapai kualitas seperti yang dipersyaratkan oleh industri yaitu dengan kandungan NaCl yang mencapai lebih dari 95%. Hal itu terbukti bahwa sudah ada sekitar 31% garam rakyat yang berdasarkan uji laboratorium telah mampu mencapai NaCl lebih dari 95% apalagi dengan perkembangan produksi yang terjadi akhir-akhir ini dimana dengan bantuan KKP melalui teknologi membran sel umumnya garam rakyat sudah memiliki kualitas dengan kandungan NaCl yang tinggi. Namun upaya yang telah dilakukan oleh program PUGAR yang dimotori oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu bersinergi dengan kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan untuk bisa menciptakan kepastian kualitas namun mampu menjamin kepastian pasar dan harga bagi petani yang merupakan insentif untuk meningkatkan kualitas garam.

Jika kepastian harga dan pasar bagi petani sudah tercipta, maka permintaan garam untuk keperluan bahan baku industri yang masih sangat terbuka lebar dapat menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan oleh petani yang pada akhirnya mampu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan petani.

Dengan kata lain, kepastian yang diinginkan petani yaitu kepastian tentang pasar dan harga otomatis tercapai jika garam yang dihasilkan rakyat bisa memenuhi kebutuhan industri yang masih terbuka lebar. Belum lagi peluang yang tercipta untuk ekspor garam. Diantara jenis garam yang masih diekspor oleh Indonesia hingga detik ini adalah garam meja. Peluang ekspor garam meja ini bisa menjadi salah satu alternatif solusi atas produksi garam rakyat yang tidak sepenuhnya dapat diserap oleh industri domestik, terutama karena persyaratan kadar NaCl yang sangat tinggi.

Beberapa ilustrasi di atas merupakan gambaran tentang sektor pergaraman nasional. Fakta-fakta tersebut akan dibahas secara lebih mendalam dalam Bunga Rampai Info Komoditi Garam edisi kali ini. Buku ini selanjutnya disusun dengan Bab II yang akan membahas Produksi Garam, dan akan dilanjutkan dengan gambaran tentang Konsumsi Garam di Bab III, kemudian membahas lebih jauh terkait dengan Perdagangan Garam di Dalam Negeri di Bab IV yang dilanjutkan dengan Perdagangan Luar Negeri Garam di Bab V. Peluang dan Tantangan Komoditas Garam kemudian akan dibahas di Bab VI dan diakhiri dengan bagian Penutup di Bab VII. Semoga tulisan ini mampu memberikan wawasan tentang Komoditas Garam secara luas dan bermanfaat bagi seluruh pembaca.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Distribusi Perdagangan Komoditi Garam Indonesia. Diunduh dari www.bps.go.id tanggal 31 Januari 2016.

Detik Finance. (2015, Oktober 7). Faisal Basri Kritik BUMN Garam.

Diunduh tanggal 29 Januari 2016 dari http://finance.detik.com/

read/2015/10/07/210546/3038896/ 1036/faisal-basri-kritik-bumn- garam.

Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP. (2015). Refleksi 2014, Outlook 2015. Jakarta: Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP.

Gatra. (2015, April 20). Hingga Akhir 2015, Kebutuhan Garam Nasional 2,6 Juta Ton. Diunduh tanggal 15 Februari 2016 dari http://www.gatra.

com/ekonomi/industri/143400-hingga-akhir-2015,-kebutuhan- garam-nasional-2,6-juta-ton.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2014). Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2014. Jakarta:

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2015). Laporan Kinerja Kementerian Kelatuan dan Perikanan Tahun 2014. Diunduh tanggal 17 Februari 2016 dari http://kkp.go.id/assets/uploads/2015/03/

LAKIP-KKP-2014.pdf.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin). (2016) Diunduh 11 Mei 2016, dari http://kemenperin.go.id/artikel/11298/Garam-Industri-Masih- Bergantung-Impor.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM ITB). (2016).

Peningkatan Kualitas dan Produksi Industri Garam Rakyat. Diunduh tanggal 12 Februari 2016 dari http://www.lppm.itb.ac.id/pengabdian/

laporanpengabdian /peningkatan-kualitas-dan-produksi-industri- garam-rakyat.

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (Puska PDN). (2012).

Penerapan Supply Chain Management untuk Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas Distribusi pada Kasus Garam. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, Jakarta.

Sulistyono, Endra. (2015). Mewujudkan Garam Nasional yang Berswasembada. Diunduh 15 Mei 2016, dari: http://www.kemenkeu.

go.id/sites/default/files /Mewujudkan%20Garam%20Nasional%20 yang%20Berswasembada.pdf.

US Geological Survey (USGS). (2013). Publications: Mineral Yearbook.

Diambil kembali dari US Geological Survey (USGS): minerals.usgs.

gov/minerals/pubs/commodity/salt/myb1-2013-salt.xls.

(17)

BAB II

PRODUKSI GARAM INDONESIA

Septika Tri Ardiyanti

2.1 Pendahuluan

Garam menjadi salah satu komoditas strategis nasional yang kedudukannya tidak kalah penting jika dibandingkan dengan kebutuhan pokok lainnya, mengingat peran dan fungsi yang dimilikinya. Selain berfungsi sebagai bahan pangan, garam juga berfungsi sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri.

Sebagai bahan pangan yang mengandung unsur mineral yang dibutuhkan oleh manusia, Sodium dan Klor (NaCl), keberadaan garam tentu mutlak diperlukan di tiap rumah tangga masyarakat. Sementara sebagai bahan baku industri, garam menjadi bahan baku penting bagi industri makanan olahan, industri kimia atau farmasi, industri penyamakan kulit dan industri pengeboran minyak (Rismana dan Nizar, 2014). Melihat peran esensial garam bagi konsumsi rumah tangga yang menyangkut ketahanan pangan dan pemenuhan gizi nasional serta fungsi sebagai bahan baku bagi industri di dalam negeri, tidak heran apabila garam kemudian juga dijuluki sebagai salah satu “komoditas politik” (Gibran, 2015).

Sebagai “komoditas politik”, isu swasembada garam nasional kemudian menjadi salah satu isu yang banyak diperbincangkan. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia masih bergantung pada garam impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, sebuah kondisi yang cukup ironis bagi Indonesia, negara yang 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Meskipun pemerintah telah menargetkan bahwa Indonesia harus menjadi poros maritim dunia di masa mendatang, usaha produksi garam yang notabene merupakan salah satu produk hasil laut ternyata masih belum banyak diminati di dalam negeri, termasuk usaha untuk meningkatkan kualitas garam nasional (Purbani, 2001).

Hingga saat ini, sebagian besar produksi garam dilakukan secara individual oleh petani garam sehingga produksi garam mempunyai produktivitas yang rendah dan kualitas garam yang relatif rendah pula sehingga tidak memenuhi spesifikasi yang disyaratkan oleh industri di dalam negeri (Efendy, et al., 2016). Apabila dibandingkan antara kebutuhan nasional dan kemampuan produksi, maka produksi garam nasional hanya mampu memenuhi kebutuhan dari sisi konsumsi saja, sementara untuk kebutuhan bahan baku industri masih bergantung pada impor. Meskipun garam konsumsi telah dipenuhi oleh produksi dalam negeri, namun ternyata sebagian besar produksi garam rakyat tersebut masih membutuhkan proses pengolahan lebih lanjut untuk dapat memenuhi segala standar yang dibutuhkan hingga layak dikonsumsi oleh masyarakat (Efendy, Zainuri dan Hafiluddin, 2014).

(18)

Berbagai permasalahan yang terdapat pada usaha produksi garam rakyat tersebut, tentu memberi dampak bagi para petani garam. Rendahnya kualitas produksi garam serta persaingan dengan garam impor membuat harga garam dalam negeri semakin tertekan yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan petani garam. Bahkan, salah satu faktor keengganan petani garam untuk berproduksi dan memperbaiki kualitas produksi adalah harga garam di pasar dalam negeri yang tidak stabil dan sering turun drastis (Kompas, 2016). Padahal, usaha produksi garam rakyat juga merupakan salah satu roda penggerak perekonomian karena menyediakan lapangan kerja terutama bagi masyarakat di kawasan pesisir Indonesia dan menjadi sarana untuk mengentaskan kemiskinan (Kusumastanto dan Satria, 2012).

Melihat fakta-fakta tersebut, maka produksi garam kemudian menjadi salah satu isu nasional dan merupakan fokus pemerintah saat ini. Bab ini membahas lebih lanjut berbagai isu terkait produksi garam nasional termasuk kinerja produksi garam nasional dari sisi teknologi yang digunakan, luas areal dan produksi garam nasional, permasalahan dalam produksi hingga kebijakan yang telah dilakukan pemerintah guna meningkatkan dan memperbaiki kuantitas dan kualitas produksi garam nasional.

2.2 Sumber dan Jenis Garam

Garam di dunia berasal dan diproduksi dari berbagai sumber. Secara umum, terdapat tiga sumber utama garam, antara lain (Burhanuddin, 2001):

a. Air Laut dan Air Danau Asin

Sebesar 40% produksi garam dunia berasal dari air laut. Beberapa negara produsen garam yang berasal dari air laut antara lain Australia, Brazil, RRT India, Kanada dan Indonesia. Sementara itu, produksi garam dunia yang berasal dari air danau asin menyumbangsebesar 20% dari total produksi dunia. Negara produsen garam yang berasal dari air danau asin antara lain: Yordania (Laut Mati), Amerika Serikat (Great Salt Lake), RRT dan terdapat beberapa daerah di Australia.

b. Tambang Garam

Produksi garam dunia yang berasal dari dalam tanah (tambang garam) memiliki pangsa sebesar kurang lebih 40% dari total produksi garam dunia. Tambang-tambang garam terutama berada di Negara Amerika Serikat, Belanda, RRT dan Thailand.

c. Air Dalam Tanah

Garam yang berasal dari air dalam tanah memiliki pangsa yang amat kecil dari total produksi garam dunia. Kecilnya produksi garam yang berasal dari air tanah disebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk

(19)

Selain pengelompokan berdasarkan sumber asal garam, garam di dunia dikelompokkan menjadi empat jenis berdasarkan nomenklatur perdagangan internasionalnya yaitu klasifikasi barang menurut ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN). AHTN merupakan nomenklatur klasifikasi barang yang bertujuan untuk menyederhanakan transaksi perdagangan intra- ASEAN melalui suatu nomenklatur yang seragam. AHTN terdiri dari 6 digit kode numerik HS yang dibuat oleh World Custom Organization (WCO) dan kemudian disusun ke dalam 8 digit kode numerik HS yang seragam untuk seluruh ASEAN. Jenis garam berdasarkan klasifikasi tersebut antara lain: 1) Garam meja/ table salt (HS: 2501.00.10), 2) Rock salt (HS: 2501.00.20), 3) Sea water (HS: 2501.00.50) dan other (HS: 2501.00.90) (Kemenkeu, 2016).

Berbeda dengan klasifikasi garam dunia, klasifikasi garam nasional secara garis besar dikelompokkan menjadi dua jenis garam yaitu garam konsumsi dan garam industri. Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Perindustrian No. 88/M-IND/PER/10/2014 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 134/M-IND/PER/10/2009 tentang peta panduan (roadmap) pengembangan klaster industri garam (Gambar 2.1). Sebagai salah satu komoditas strategis nasional, wajar bila pemerintah banyak mengeluarkan beberapa kebijakan khusus yang mengatur garam dalam negeri, baik dari sisi supply (pasokan), demand (permintaan) maupun dari sisi distribusinya termasuk juga pengkategorian jenis dan kegunaan garam di dalam negeri.

Perbedaan klasifikasi garam dunia dan garam nasional tentu menimbulkan permasalahan dalam perdagangan luar negeri khususnya pada saat impor.

Klasifikasi garam dunia berdasarkan kode HS tidak membedakan peruntukan garam konsumsi ataupun garam industri sehingga garam impor yang masuk ke dalam negeri masih sulit dibedakan apakah garam tersebut garam konsumsi atau garam produksi yang meningkatkan resiko merembesnya garam impor sebagai garam konsumsi.

(20)

Gambar 2.1 Pengelompokan Garam Berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014.

Sumber: Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014

Berdasarkan Permenperin No. 88/M-IND/PER/10/2014 yang dimaksud dengan garam konsumsi adalah garam yang digunakan untuk konsumsi masyarakat atau dapat diolah menjadi garam rumah tangga dan garam diet.

Garam rumah tangga adalah garam konsumsi beryodium dengan kandungan NaCl minimal 94% atas dasar basis kering (adbk) dengan kandungan air maksimum 7%, bagian yang tidak larut dalam air maksimum 0,5 mg/Kg (adbk), Kadmiun (Cd) maksimum 0,5 mg/Kg, Timbal (Pb) maksimum 10,0 mg/

Kg, Raksa (Hg) maksimum 0,1 mg/kg dan cemaran Arsen (As) maksimum 0,1 mg/Kg serta Kalium Ioidate (KIO3) minimal 30 mg/kg yang berbentuk padat dan dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Sementara itu, yang dimaksud dengan garam diet adalah garam konsumsi beryodium berbentuk cairan/padat dengan kadar NaCl maksimum 60% (adbk) serta Kalium Iodate (KIO3) 30 mg/Kg yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat.

Garam industri pada peraturan Menteri Perindustrian No. 88 Tahun 2014 tersebut adalah garam yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong yang digunakan pada proses produksi pada industri kimia, industri aneka pangan, industri farmasi, industri perminyakan, industri penyamakan kulit dan water treatment. Garam industri yang digunakan tersebut memiliki spesifikasi teknis yang berbeda-beda bergantung pada jenis industrinya.

1. Garam Industri Kimia adalah jenis garam yang digunakan untuk memproduksi senyawa kimia antara lain Chlor Alkali Plant (CAP), dengan

(21)

standar high grade, dengan kadar NaCl minimum 96% (adbk), kadar air (b/b) maksimum 2,5%, Calsium (Ca) maksimum 0,1%. Hasil produk CAP digunakan untuk industri kertas, industri PVC, sabun (deterjen) dan tekstil.

2. Garam industri aneka pangan adalah garam beryodium maupun tidak beryodium yang digunakan sebagai bahan baku/bahan penolong pada industri aneka pangan untuk memproduksi makanan atau minuman.

Spesifikasi teknis yang dibutuhkan pada garam industri aneka pangan adalah garam beryodium maupun tidak beryodium dengan standar food grade dan telah diolah dengan tingkat kehalusan tertentu dengan kadar NaCl minimum 97% (adbk), Calsium (Ca) maksimum 0,06%, Magnesium (Mg) maksimum 0,06%, kadar air (b/b) maksimum 0,5%, bagian yang tidak larut dalam air maksimum 0,5% dan cemaran logam Kadmium (Cd) maksimum 0,5 mg/Kg, Timbal (Pb) maksium 10 mg/Kg, Raksa (Hg) maksimum 0,1 mg/Kg dan Arsen (As) maksimum 0,1 mg/Kg untuk garam beryodium minimum 30 mg/Kg. Garam jenis ini banyak digunakan untuk industri mie, bumbu masak, biskuit, minuman gula, kecap, mentega dan pengalengan ikan.

3. Garam industri farmasi adalah jenis garam yang digunakan pada industri farmasi sebagai bahan baku/bahan penolong dengan spesifikasi kadar NaCl minimal 99,8% (adbk), kadar impurities mendekati 0%. Garam jenis ini banyak digunakan untuk pembuatan cairan infus, cairan pembersih darah (Haemodialisa) atau garam murni.

4. Garam industri perminyakan adalah garam yang digunakan sebagai bahan penolong pada proses pengeboran minyak. Spesifikasi garam industri perminyakan yaitu garam dengan kadar NaCl minimal 95% (adbk), Sulfat (SO4) maksimum 0,5%, Calsium (Ca) maksimum 0,2% dan Magnesium (Mg) maksimum 0,3% dengan kadar air 3% sampai dengan 5%.

5. Garam industri penyamakan adalah garam yang digunakan sebagai bahan penolong pada proses penyamakan kulit. Spesifikasi garam untuk industri tersebut adalah garam yang peruntukannya sebagai bahan penolong dengan standar NaCl minimal 85% (adbk).

6. Garam water treatment adalah garam yang digunakan sebagai bahan penolong pada proses penjernihan air dan/atau pelunakan air pada boiler. Spesifikasi yang dibutuhkan pada garam untuk water treatment adalah kadar NaCl minimal 85% yang peruntukkannya sebagai bahan penolong untuk penjernihan air. Sedangkan, untuk pelunakan air pada boiler dibutuhkan spesifikasi garam dengan tingkat kadar NaCl minimal 95%.

(22)

2.2 Areal dan Teknologi Pembuatan Garam

Areal untuk proses pembuatan garam terutama untuk garam yang berasal dari air laut dengan menggunakan tenaga matahari secara umum harus dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria-kriteria yang digunakan dalam memilih lokasi tersebut antara lain letak dari permukaan air laut, topografi, sifat fisik tanah dan sebagainya (Puska PDN, 2011). Faktor-faktor desain lokasi areal pergaraman yang menentukan adalah “air laut” sebagai bahan baku, “tanah”

sebagai faktor sarana utama dan “iklim” sebagai faktor sumber tenaga serta tenaga manusia sebagai faktor tambahan (Puska PDN, 2011).

1. Air Laut

Air laut untuk pembuatan garam harus memenuhi persyaratan:

Kadar garamnya tinggi, tidak tercampur aliran muara sungai tawar.

Jernih, tidak tercampur dengan lumpur, sampah dan lain sebagainya.

Mudah masuk ke areal ladang garam, pada saat pasang air laut dapat masuk ke saluran/petak penampungan sehingga mudah dipompa ke areal ladang garam.

2. Tanah

Sebagai sarana utama, tanah untuk ladang pegaraman harus memenuhi persyaratan:

Kedap air, artinya tidak porous (rembes air) agar air laut yang ditampung di atasnya tidak merembes (bocor) ke dalam tanah.

Ketinggian maksimum 3 meter di atas permukaan air laut rata- rata (mean sea level/m.s.l) agar mudah serta murah dalam hal pemompaan air ke dalam ladang pegaraman.

Harus cukup luas. Untuk ladang perorangan minimal 1 Ha, untuk perusahaan besar diperlukan tanah minimal 4000 Ha.

3. Iklim

Sebagai sumber energi utama harus memenuhi persyaratan iklim:

Curah hujan tahunan yang kecil, curah hujan tahunan daerah garam antara 1000-1300 mm/tahun.

Mempunyai sifat kemarau panjang yang kering yaitu selama musim kemarau tidak pernah terjadi hujan (salah musim). Lama kemarau kering ini minimal 4 bulan (120 hari).

Mempunyai suhu atau penyinaran matahari yang cukup atau jarang mendung/berkabut. Makin panas suatu daerah, penguapan air laut akan semakin cepat.

Mempunyai kelembaban rendah/kering. Makin kering udara di daerah tersebut, penguapan akan makin cepat.

(23)

Teknologi yang digunakan untuk pembuatan garam juga beragam dan didasarkan oleh sumber dimana garam tersebut berasal. Proses pembuatan garam tersebut antara lain (Puska PDN, 2011):

1. Garam dari tambang

Pembuatan garam dari tambang dapat dilakukan melalui dua proses, yaitu

Proses 1: Penambangan langsung, kemudian dicuci (washing plant),dihilangkan airnya sampai kadar air mencapai 3-5% dengan centrifuge (untuk menghasilkan jenis garam bahan baku/garam kasar) dan dilanjutkan dengan pengeringan (drying) dan penggilingan (crushing) untuk menghasilkan garam halus atau garam meja.

Proses 2: Garam hasil penambangan dilarutkan dalam air (dapat ditambang dahulu kemudan dicairkan atau dicairkan di bawah permukaan tanah dengan sedikit air dengan tekanan yang sangat tinggi). Larutan garam ini kemudian diberikan perlakuan khusus agar jernih dan seminimum mungkin mengandung kotoran (baik lumpur maupun senyawa kimia yang tidak dikehendaki), kemudian dikristalkan kembali dalam kolom Kristalisasi (crystallization column).

Hasil re-kristalisasi kemudian dikeringkan, diayak (sleving) dan terakhir dikantongi (packing).

2. Garam dari Air Laut

Garam dari air laut dapat dibuat melalui dua proses, yaitu:

Proses 1: Penguapan air Laut di ladang garam dengan tenaga sinar matahari (Solar Evaporation). Air laut diuapkan di ladang-ladang garam dengan tenaga sinar matahari. Hasil garam diambil, kemudian dicuci agar bersih serta sesedikit mungkin mengandung senyawa lain yang tidak dikehendaki dan lumpur.

Proses 2: Pemisahan NaCl dengan aliran listrik (Elektrodialisa) Air laut dimasukkan dalam sel-sel elektrolisa yang dialiri listrik sehingga didapatkan larutan NaCl jernih. Larutan ini kemudian dikristalisasi dalam kolom kristalisasi. Hasil re-kristalisasi dikeringkan, diayak dan terakhir dikantongi (packing).

3. Garam dari Air Danau Garam(Salt Lake)

Pada prinsipnya proses pembuatan garam yang berasal dari air danau sama dengan garam dari air laut, hanya karena kadar garamnya relatif lebih tinggi maka hasil garam per satuan lahan maupun per satuan utility (listrik,bahan bakar) hasilnya menjadi lebih besar dibandingkan dengan penguapan air laut.

(24)

2.3 Produksi Garam Dunia

Di tahun 2013, total produksi garam dunia mencapai 262,0 juta ton, atau mengalami penurunan sebesar 0,6% per tahun selama periode 5 tahun terakhir (Tabel 2.1). Republik Rakyat Tiongkok (RRT) merupakan produsen utama garam dunia, dengan produksi pada tahun 2013 mencapai 70,0 juta ton atau memiliki pangsa sebesar 26,7% dari total produksi garam dunia.

Produksi garam RRT selama periode 2009-2013 menunjukkan kondisi yang fluktuatif dengan peningkatan rata-rata 0,8% per tahun. Sebagian besar garam RRT berasal dari air laut yaitu kurang lebih sebesar 75% dari total produksi.

Selain air laut, sumber garam RRT juga berasal dari danau air asin dan sumur garam (air dalam tanah) (Bloch, 2016). Sementara itu, Amerika Serikat (AS) menduduki peringkat ke-2 produsen garam dunia dengan total produksi pada tahun 2013 mencapai 40,3 juta ton (pangsa 15,4% produksi dunia). Sama seperti RRT, sebagian besar garam Amerika Serikat atau sebesar 63,0%

berasal dari garam air laut, sementara 37,0% lainnya berasal dari tambang garam (USGS, 2013).

Selanjutnya India, Kanada dan Jerman masing-masing berada pada urutan ke-3, ke-4 dan ke-5 dengan total produksi pada 2013 mencapai 16,0 juta ton (pangsa: 6,1%); 12,2 juta ton (pangsa 4,7%) dan 11,9 juta ton (pangsa 4,5%). Di India dan Kanada, hampir keseluruhan garam yang diproduksi berasal dari air laut, bahkan hanya 0,01% yang berasal dari tambang garam di India. Berbeda dengan kedua negara tersebut, produksi garam Jerman sebagian besar berasal dari tambang garam dengan pangsa sebesar 51,5%

dari total produksi dan 48,5% lainnya berasal dari garam air laut (USGS, 2013).

Sementara itu, Australia yang letak geografisnya tidak jauh dari Indonesia dan menjadi negara utama asal impor garam Indonesia berada di peringkat ke-6 dengan total produksi pada tahun 2013 sebesar 11,0 juta Ton atau sebesar 4,2% dari total produksi garam dunia yang sebagian besar berasal dari air laut dan beberapa danau air asin (USGS, 2013; Hough, 2008) (Tabel 2.1).

Sebagai negara maritim, produksi garam Indonesia berdasarkan USGS (2013) tercatat sebesar 0,72 juta ton atau memiliki pangsa sebesar 0,27% dari total produksi dunia. Dengan total produksi tersebut, Indonesia menduduki peringkat ke-36 dunia, berada tepat di bawah Filipina yang menduduki peringkat ke-35 dunia. Produksi garam Indonesia berdasarkan data yang dirilis oleh USGS selama periode 2009–2013 menunjukkan adanya tren peningkatan dengan rata-rata kenaikan sebesar 5,9% per tahun (Tabel 2.1).

(25)

Tabel 2.1 Produsen Garam Dunia, 2010 - 2013

No. Negara Juta Ton Tren. (%) Pangsa (%) 2009 2010 2011 2012 2013 09-13 2013 Total 265,00 270,00 272,00 260,00 262,00 (0,60) 100,00 1 RRT 66,63 70,38 67,42 69,12 70,00 0,81 26,72 2 AS 46,00 43,30 45,00 37,20 40,30 (4,08) 15,38 3 India 16,50 17,00 16,00 17,00 16,00 (0,61) 6,11 4 Kanada 14,62 10,54 12,63 10,85 12,21 (3,25) 4,66 5 Jerman 18,94 19,68 17,44 14,45 11,90 (11,65) 4,54 6 Australia 11,56 12,06 11,40 10,82 11,00 (2,05) 4,20 7 Meksiko 7,45 8,43 8,81 10,80 10,80 10,42 4,12 8 Brazil 5,91 7,03 6,16 7,48 7,50 5,54 2,86 9 Inggris 6,17 6,67 6,70 6,70 6,70 1,73 2,56 10 Chile 8,38 7,69 9,97 8,06 6,58 (4,30) 2,51 11 Ukraina 5,40 4,91 5,94 6,19 6,20 5,23 2,37 12 Perancis 6,20 5,87 5,43 5,46 6,10 (1,04) 2,33 13 Turki 3,77 4,04 6,55 5,25 5,30 9,92 2,02 14 Spanyol 4,29 4,35 4,37 4,39 4,44 0,78 1,69 15 Polandia 3,83 4,10 4,28 3,93 4,43 2,51 1,69 35 Filipina 0,52 0,56 0,72 0,72 0,72 9,65 0,27 36 Indonesia 0,59 0,60 0,65 0,70 0,72 5,86 0,27 Lainnya 8,53 8,73 9,09 8,13 8,50 (0,80) 3,2

Catatan: data produksi garam Indonesia yang tercatat oleh USGS lebih rendah dari data tercatat oleh KKP sehingga kemungkinan data tersebut hanya sebatas garam untuk keperluan konsumsi rumah tangga karena volumenya hanya di kisaran 700 ribu ton.

Sumber: USGS Minerals Yearbook (2013)

2.4 Kinerja Produksi Garam Nasional 2.4.1 Produksi Garam Indonesia

Produksi garam nasional hingga saat ini hanya mampu memenuhi kebutuhan garam dalam negeri dari segi konsumsi saja, sementara untuk kebutuhan garam industri dipenuhi dari impor (Efendy, et al., 2016). Produksi garam Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu garam yang berasal atau diproduksi oleh PT. Garam (Persero) dan garam yang berasal dari rakyat yang disebut dengan garam rakyat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang dimaksud dengan garam rakyat adalah garam yang diproduksi dan berasal dari areal pegaraman selain yang dikelola/digarap oleh PT. Garam. PT. Garam adalah satu-satunya BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak di bidang produksi garam.

Dalam berproduksi, PT. Garam memiliki areal lahan produksi tersendiri yang dikelola oleh petani garam yang juga menjadi pegawai dari PT. Garam.

Dari beberapa lahan yang dimiliki oleh PT. Garam, sebagian ada yang

(26)

disewakan untuk dikelola oleh rakyat yang kemudian termasuk ke dalam garam rakyat. Meskipun lahan tersebut dimiliki oleh PT. Garam, namun karena pengelolaannya sepenuhnya dilakukan oleh non-PT. Garam maka dikategorikan ke dalam garam rakyat. PT. Garam hingga saat ini menjadi kompetitor utama bagi garam rakyat karena garam yang diproduksi sama- sama diperuntukkan sebagai garam konsumsi.

Pada tahun 2015, produksi garam nasional mencapai 2,8 juta ton yang terdiri dari 345 ribu ton garam yang diproduksi oleh PT. Garam (persero) dan 2,5 juta ton yang berasal dari garam rakyat. Dengan demikian, mayoritas garam nasional pada periode tersebut bersumber dari garam rakyat dengan pangsa 87,9% dari total produksi nasional, sementara garam yang berasal dari PT. Garam (persero) hanya memiliki pangsa sebesar 12,1%.

Secara nasional, produksi garam selama periode 2009-2015 mengalami tren peningkatan yang sangat signifikan dengan rata-rata pertumbuhan 46,6% per tahun. Meskipun pada tahun 2010, produksi garam nasional sempat mengalami penurunan tajam hingga hanya mencapai 30,6 ribu ton, turun signifikan dari produksi tahun sebelumnya yang mencapai 1,4 juta ton. Kementerian Perindustrian yang saat itu menjadi kementerian pembina sektor garam nasional, bahkan menyatakan bahwa produksi garam tahun 2010 hanya mencapai 2% dari rata-rata produksi garam dalam setahun sebesar 1,2 juta ton. Merosotnya produksi di tahun 2010 disebabkan adanya perubahan iklim dimana musim hujan yang terjadi hampir sepanjang tahun sehingga merusak siklus produksi garam (Tempo, 2011).

Tren peningkatan produksi garam pada periode 2009-2015 dipicu oleh peningkatan produksi garam rakyat yang naik sebesar 48,6% per tahun dan produksi PT. Garam (persero) yang juga meningkat sebesar 37,1% per tahun (Tabel 2.2). Peningkatan produksi tersebut tidak terlepas dari program PUGAR (Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat) yang dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2011 yang bertujuan untuk memperkuat kapasitas sumber daya manusia pada masyarakat pesisir, penguatan kelembagaan dan pemangku kepentingan di sektor garam guna mendukung target pencapaian swasembada garam konsumsi pada 2012 dan swasembada garam industri pada tahun 2014.

Tabel 2.2 Produksi Garam Indonesia (Ribu Ton)

Uraian Tahun Tren. (%) Pangsa (%)

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 09-15 2015 Produksi Indonesia 1.371,0 30,6 1.113,1 2.071,6 1.087,7 2.190,0 2.840,0 46,6 100,0 - PT. Garam (Persero) 308,5 4,5 156,7 307,3 156,8 315,0 345,0 37,1 12,1 - Garam Rakyat 1.062,5 26,1 956,4 1.764,3 930,9 1.875,0 2.495,0 48,6 87,9 Keterangan: Data produksi diambil dari neraca garam sehingga volume produksi tersebut sudah termasuk penyusutan 10%-25%.

(27)

Daerah Produsen Garam Rakyat

Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh KKP pada tahun 2010, Indonesia memiliki luas lahan garam potensial sebesar 37,4 ribu hektar yang dapat digunakan sebagai areal produksi garam di Indonesia. Namun demikian, lahan garam produktif yang digunakan hanya seluas 19,9 ribu hektar di tahun 2010 atau baru sekitar 53,2% dari total lahan potensial yang tersedia (Manadiyanto, 2010). Areal potensial sebagai tempat produksi garam tersebut tersebar di beberapa wilayah di Indonesia seperti Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan dan sebagian kecil di wilayah Papua.

Di tahun 2014, lahan garam produktif telah mengalami peningkatan menjadi 27,9 ribu hektar (74,6% dari total lahan potensial hasil pemetaan pada tahun 2010) (Tabel 2.3). Dengan demikian, masih terdapat 25,4% lahan potensial pegaraman lainnya yang belum dimanfaatkan sehingga masih terdapat peluang untuk melakukan ekstensfikasi lahan garam dalam negeri. Total area produktif tersebut tersebar di beberapa Propinsi di Indonesia. Cirebon, Indramayu, Pati, Sampang dan Sumenep merupakan wilayah produsen terbesar garam Indonesia. Pada 2014, produksi garam rakyat yang berasal dari Cirebon, Indramayu, Sumenep, Pati dan Sampang masing-masing memiliki pangsa sebesar 12,6%; 12,4%; 11,7%; 11,5% dan 10,3% dari produksi garam tahun 2014. Dengan demikian, kelima kabupaten tersebut menyumbang sebesar 58,4% dari total produksi garam nasional di tahun 2014 (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Pangsa Produksi Garam Rakyat Tiap Daerah Terhadap Produksi Garam Nasional Tahun 2014

No. Kab/Kota Produksi (%) No. Kab/Kota Produksi (%)

1 Cirebon 12,56 23 Gresik 0,35

2 Indramayu 12,43 24 Bangkalan 0,35

3 Sumenep 11,67 25 Buleleng 0,25

4 Pati 11,51 26 Sumbawa 0,18

5 Sampang 10,25 27 Pidie 0,16

6 Bima 6,25 28 Karawang 0,15

7 Kota Surabaya 6,24 29 Kupang 0,13

8 Rembang 5,67 30 Kota Bima 0,12

9 Demak 4,22 31 Aceh Utara 0,12

10 Pamekasan 3,57 32 Lombok Tengah 0,08

11 Jepara 2,91 33 Nagekeo 0,07

12 Pangkep 2,19 34 Karangasem 0,06

13 Lamongan 1,31 35 Kota Palu 0,04

14 Brebes 1,02 36 Selayar 0,03

15 Probolinggo 1,00 37 Ende 0,03

16 Tuban 1,00 38 Aceh Timur 0,03

17 Jeneponto 0,98 39 Sumba Timur 0,02

18 Lombok Timur 0,91 40 Aceh Besar 0,02

19 Pasuruan 0,64 41 Manggarai 0,01

20 Takalar 0,64 42 Alor 0,01

21 Kota Pasuruan 0,43 43 TTU 0,01

22 Lombok Barat 0,37 TOTAL 100,00

Sumber: Laporan Kinerja Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014a)

(28)

Rata-rata masa produksi garam di Indonesia pada 2014 yaitu selama 4 bulan, dengan rata-rata produktivitas sebesar 89,7 ton/ha. Masa produksi dan produktivitas garam nasional selama periode 2011 – 2014 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, produktivitas garam tertinggi terjadi pada tahun 2011 mencapai 91,7 ton/ha dengan masa produksi 4,8 bulan, sementara masa produksi tercepat terjadi pada tahun 2013 yaitu 2 bulan namun memiliki produktivitas yang rendah yaitu hanya mencapai 39,6 ton/ha. Fluktuasi baik dari sisi produksi, produktivitas maupun masa panen garam nasional tersebut terutama disebabkan teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional serta masih sangat bergantung pada cuaca yang juga berakibat pada produktivitas serta kualitas produksi yang rendah (KKP, 2014a). Seperti yang terjadi pada tahun 2010, dimana produksi mengalami penurunan cukup drastis akibat adanya anomali cuaca.

Produksi garam di Indonesia sebagian besar merupakan produksi garam rakyat dengan luas areal rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan letak yang terpencar-pencar. Untuk mengembangkan garam dalam skala besar yang terintegrasi dan efisien dibutuhkan satu kesatuan lahan datar yang cukup luas yaitu antara 4 ribu hingga 6 ribu hektar sehingga mendapat manfaat dari skala ekonomi (Puska PDN, 2011).

Selain itu, usaha garam di Indonesia juga merupakan usaha musiman yang sangat bergantung pada musim. Di luar musim produksi, petani garam sebagian besar melakukan usaha lain misalnya budidaya tambak udang seperti yang dilakukan oleh petambak garam di pulau Jawa. Dengan melihat kondisi-kondisi tersebut di atas, produktivitas garam rakyat tentu dinilai belum optimal dan masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara produsen garam laut lainnya, seperti Australia yang mampu memproduksi garam sebesar 350 ton/hektar (Kompasiana, 2015).

Luas Lahan dan Produktivitas Garam Rakyat

Produktivitas garam Indonesia sendiri dibagi menjadi 2 yaitu produktivitas garam yang masuk ke dalam program PUGAR dan garam yang masuk ke dalam program non PUGAR. Garam yang masuk ke dalam program PUGAR, memiliki produktivitas sebesar 43,0 ton/ha di tahun 2013, sementara garam yang masuk kategori non PUGAR memiliki produktivitas sebesar 23,7 ton/ha, lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas garam PUGAR (Tabel 2.4).

Tingginya produktivitas garam PUGAR disebabkan karena adanya penguatan kapasitas petani yang menerima bantuan PUGAR melalui sosialisasi, pelatihan dan pendampingan serta tambahan dana berupa bantuan

(29)

(KUKP). Sebesar kurang lebih 81,6% dari total produksi garam rakyat berasal dari produksi dengan mendapat bantuan PUGAR, sementara hanya sebagian kecil lainnya yang belum mendapat bantuan PUGAR (KKP, 2014b). Namun demikian, berdasarkan hasil wawancara dengan KKP, program PUGAR terus berusaha untuk memperluas cakupannya agar dapat semaksimal mungkin dapat memberikan bantuan pada seluruh petani garam rakyat.

Tabel 2.4 Luas Lahan dan Produktivitas Garam Indonesia

Tahun Lokasi Luas Lahan Masa Produksi Produktivitas (Kab/Kota) (Ha) (Bulan) (Ton/Musim/Tahun)

PUGAR Non PUGAR 2011 40 24.139,94 3,50 78,04 58,28 2012 40 26.975,44 4,80 96,79 74,26 2013 42 29.367,82 2,00 43,02 23,67

2014 43 27.898,00 4,00 89,72 n/a

Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) (2014b)

Tenaga Kerja Garam Rakyat

Produksi garam rakyat hingga saat ini masih dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana sehingga dalam berproduksi masih bergantung pada tenaga kerja manusia. Tenaga kerja yang terdapat pada sektor garam dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok, yaitu tenaga kerja yang terlibat langsung dan tenaga kerja yang tidak terlibat langsung (Puska PDN, 2011). Tenaga kerja yang terlibat langsung antara lain penggarap (tukang garam), tukang pikul, tukang pemelihara areal dan penjaga. Namun demikian, pada areal produksi garam rakyat yang memiliki luas areal produksi relatif sempit, tugas dari tenaga-tenaga kerja tersebut dirangkap oleh penggarap (tukang garam) dengan jumlah rata-rata sebanyak 4 orang tiap hektar areal produksi. Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka dengan luas lahan produksi sebesar 27,9 ribu hektar, tenaga kerja langsung di Indonesia berjumlah 111,6 ribu tenaga kerja.

Sementara itu, yang dimaksud dengan tenaga kerja tak langsung adalah para pemilik lahan, penyewa lahan dan pengepul yang rata-rata tiap hektar areal terdapat 2 orang tenaga kerja tak langsung (Puska PDN, 2011). Dengan demikian, jumlah tenaga kerja tak langsung pada 2014 berjumlah 55,8 ribu tenaga kerja. Secara total, tenaga kerja yang bekerja di sektor garam diprediksi berjumlah 167,4 ribu tenaga kerja. Lebih lanjut, Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor garam juga hanya terpusat di wilayah Madura dan Jawa Timur sehingga SDM di areal produksi lainnya perlu diberikan pelatihan untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keahliannya.

(30)

Teknologi Produksi Garam Rakyat

Hampir keseluruhan garam Indonesia diproduksi dengan menggunakan teknologi penguapan air laut dengan tenaga sinar matahari (solar evaporation). Secara umum, pembuatan garam air laut dengan metode tersebut dilakukan melalui proses pemekatan dan proses pemisahan garam (kristalisasi) (Assadad dan Utomo, 2011). Proses pemekatan dilakukan dengan menguapkan airnya dengan panas matahari. Setelah garam melalui proses kristalisasi maka garam akan mengandung berbagai macam unsur mineral lainnya yang disebut dengan impurities yaitu sulfat, magnesium dan kalsium (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Proses Pembuatan Garam dengan Metode Kristalisasi.

Sumber: Assadad dan Utomo (2011)

Proses solar evaporation secara lebih detail dilakukan melalui tahapan- tahapan berikut (Puska PDN, 2011):

1. Air laut dimasukkan ke dalam waduk penampungan pada saat pasang melalui saluran induk;

2. Dari waduk penampungan garam dipompa ke areal penguapan pada level yang tertinggi;

3. Dari areal penguapan yang mempunyai level paling tinggi air dialirkan secara gravitasi ke petak penguapan lainnya. Dalam perjalanannya air laut dipetak penguapan ini mendapatkan pemanasan sinar matahari dan hembusan angin sehingga terjadilah penguapan, hingga air laut menjadi jenuh (konsentrasi air garam tinggi atau pekat);

4. Air laut yang jenuh dialirkan ke petak kristalisasi untuk mengkristalkan garam;

5. Di petak kristalisasi ini, garam dibiarkan mengendap dengan jangka waktu:

(31)

Pegaraman Rakyat tiap umur garam 4-6 hari lalu dipanen Pegaraman PT. Garam tiap umur +/- 10 hari lalu dipanen

6. Garam yang sudah dipungut lalu diangkut ke gudang untuk diproses lebih lanjut.

Langsung dikarungi dan dijual sebagai garam bahan baku

Dicuci (washing), dikeringkan (drying) dan digiling (crushing) menjadi garam meja (halus)

Teknologi pembuatan garam rakyat masih tradisional, baik ditinjau dari peralatannya maupun proses produksinya:

Tata letak: Petakan trap luasan kecil (waduk kecil, paminihan yang kadang-kadang merangkap sebagai meja kristalisasi; di beberapa tempat disediakan tempat timbunan garam. Luas areal per unit pergaraman adalah 0,5-3 hektar.

Pungutan: Pungutan garam langsung di atas lantai tanah. Umur pungutan garam 3-5 hari; cara pungutan dengan menggunakan tenaga manusia (padat karya).

Pengangkutan dan handling: dipikul, sepeda, pick-up mini

Dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional dalam proses produksi garam rakyat tersebut, maka faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas garam yang kemudian menjadi kendala dalam proses produksi antara lain (Puska PDN, 2011):

a. Air laut yang bercampur dengan polutan dan air tawar

Indonesia memiliki laut yang amat luas, 2/3 bagian Indonesia merupakan lautan. Namun demikian, di banyak tempat di Indonesia air laut tersebut bercampur dengan air tawar karena laut banyak menjadi muara bagi aliran sungai tawar. Selain itu, banyak air laut Indonesia yang telah tercemar dengan polutan sehingga tentu berpengaruh pada produksi.

b. Curah hujan yang cukup tinggi di areal produksi

Indonesia sebagai negara tropis mengalami musim kemarau yang cukup panjang, berlangsung 4 hingga 6 bulan, namun di beberapa tempat khususnya areal produksi garam musim kemarau yang berlangsung tersebut masih diselingi oleh hujan. Curah hujan di areal produksi garam Indonesia pada musim kemarau berkisar 100 – 300 mm per musim dengan tingkat kelembaban 60% - 80%, sementara curah hujan pada musim kemarau di negara produsen garam dunia seperti Australia hanya berkisar 10 – 100 mm per musim dengan tingkat kelembaban 30% - 40%.

Selain itu, musim kemarau di Indonesia juga berlangsung relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan Australia dimana musim kemaraunya berlangsung selama 9 hingga 10 bulan. Dengan memperhatikan faktor-

(32)

faktor tersebut, maka tingkat kecepatan penguapan di Indonesia relatif lebih lama jika dibandingkan dengan Australia.

c. Kualitas produk yang belum bisa memenuhi kebutuhan garam industri Konsekuensi yang ditimbulkan dari pembuatan garam dengan solar evaporation pada areal (petak) yang kecil adalah ketidak seragaman dari sisi kualitas. Garam rakyat memiliki kandungan NaCl berkisar 81%

- 96%, sementara kadar NaCl yang dibutuhkan industri adalah rata-rata di atas 95%, meskipun ada beberapa yang di bawah 95%. Beberapa uji yang pernah dilakukan untuk mengetahui kualitas garam rakyat antara lain (KKP, 2014b):

- Berdasarkan hasil analisis uji sampel garam dari 42 Kabupaten/

Kotamadya kepada para penerima program PUGAR yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tanggal 3 Juni 2013 menyatakan bahwa garam tersebut memiliki rata-rata kandungan NaCl 92,69%, Kadar Air 2,24%, Pb 8,9 ppm, Cu 3,23 ppm, Arsen 0 ppm;

- Hasil pengujian laboratorium beberapa Industri Pengolahan Garam pada tahun 2014 menyatakan bahwa garam rakyat memiliki kandungan NaCl sebesar 81,1 – 86,91%; kadar air = 9,68 – 9,77%;

Ca = 0,15 – 2,02%; Mg = 0,89 – 2,31%, dimana hasil sampel diambil langsung dari tambak garam (Hasil Peninjauan Tim Kemenko Perekonomian, Kemenperin, KKP dan Kemendag);

- Hasil pengujian laboratorium garam bahan baku premium PT. Garam (14 Maret dan 15 April 2014) menyatakan bahwa garam tersebut memiliki kandungan NaCL (adbk) 95,47% – 96,45%, H2O: 0,24 – 6,23%, Ca 0,22 – 0,58.

Perbedaan hasil yang cukup signifikan dari beberpa hasil uji tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan sampel yang digunakan oleh masing- masing institusi. Dengan demikian, garam rakyat hingga saat ini masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam industri di dalam negeri yang mensyaratkan kualitas garam memiliki kandungan NaCl sebesar 85% hingga 99,8% serta standar kandungan mineral lainnya yang terkandung di dalamnya serta dalam kuantitas yang juga cukup besar.

Namun demikian, berdasarkan informasi yang diberikan oleh petani garam di Pati pada acara bedah naskah BRIK Garam yang diselenggarakan oleh BPPP Kementerian Perdagangan, melalui program PUGAR produksi garam dengan menggunakan media isolator terbukti mampu memperbaiki kualitas garam rakyat, dengan peningkatan kadar NaCl yang bisa mencapai lebih dari 95% dalam garam meskipun kadar air yang terkandung masih

(33)

belum memenuhi standar yang disyaratkan. Tabel 2.5. dan Tabel 2.6. berikut merupakan hasil uji garam yang merupakan hasil produksi dengan media isolator di daerah Pati dengan kadar NaCL berkisar 97%-98%.

Tabel 2.5 Hasil Analisis Laboratorium Garam dengan Media Isolator No Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji

1 Kadar Air % bb 11,44 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.2 2 Kadar NaCl dihitung dari

Jumlah Khlorida % bb adbk 97,73 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.3 3 Bagian Tidak Larut dalam Air % bb adbk Tak nyata SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.5 4 Yodium dihitung sebagai

Kalium Iodat (KIO3) mg/Kg adbk 2,09 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.4

5 Cemaran logam

- Timbal (Pb) mg/Kg 1,45 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.6.1 - Kadmium (Cd) mg/Kg <0,01 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.6.1 - Raksa (Hg) mg/Kg <0,02 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.6.2 6 Cemaran Arsen mg/Kg <0,005 SNI 3556:2010 lamp.B Butir B.7

Keterangan: Uji dilakukan oleh Ir. Bambang Sugeng Suryatna, MT (Dosen FT Unnes Semarang) Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016b)

Tabel 2.6 Hasil Laboratorium Analisis dan Kalibrasi Badan Kajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri, Balai Besar Industri Agro No. Parameter Satuan Hasil Uji Metode Uji

1 Kadar Air % bb 10,3 SNI 01-4435-2000, butir 6.4

2 Kadar NaCl dihitung dari Jumlah Khlorida % bb adbk 98,4 SNI 01-4435-2000, butir 6.3 3 Bagian Tidak Larut dalam Air % 0 SNI 01-4435-2000, butir 6.5

4 Kalsium (Ca) mg/100gram 148 A A S

5 Kalsium (Ca) mg/100gram 1446 A A S

6 Cemaran logam

Timbal (Pb) mg/Kg <0,040 AOAC. 999.11 / 9.1.09.2015 Kadmium (Cd) mg/Kg <0,005 SNI 01-2896-1998, Butir 5 Raksa (Hg) mg/Kg <0,005 SNI 01-2896-1998, Butir 6 7 Cemaran Arsen mg/Kg <0,003 SNI 01-4866-1998

Sumber: BPPP Kementerian Perdagangan (2016b)

2.5 Kebijakan Pemerintah Untuk Mendorong Produksi Garam Nasional

Sebagai salah satu komoditas strategis nasional, pemerintah telah berupaya untuk dapat mendorong produksi garam nasional melalui kebijakan- kebijakan yang dikeluarkan, salah satunya adalah Program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.41/MEN/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun 2011. Pada saat diluncurkan, PUGAR merupakan salah satu komponen dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP) yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan melalui

Gambar

Gambar 2.1   Pengelompokan Garam Berdasarkan Permenperin   No. 88/M-IND/PER/10/2014.
Tabel 2.1 Produsen Garam Dunia, 2010 - 2013
Tabel 2.3 Pangsa Produksi Garam Rakyat Tiap Daerah Terhadap  Produksi Garam Nasional Tahun 2014
Tabel 2.4 Luas Lahan dan Produktivitas Garam Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran

Bahan Berbahaya yang Harus Terdaftar (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia) Tidak diatur. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 254/MPP/Kep/7/2000, Lampiran