KOTA DENPASAR
6.3 Kebijakan Kepariwisataan Bidang Akomodasi
Suatu daerah yang melakukan pembangunan pasti akan mengalami perkembangan. Perkembangan yang terjadi akan memberikan dampak bagi masyarakat baik dampak postif ataupun negatif. Demikian pula dengan perkembangan city hotel di Kota Denpasar telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap usaha hotel melati seperti pembahasan di atas.
Hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan faktor harga sewa kamar, tingkat hunian hotel, jumlah tamu menginap, pendapatan hotel, lama tinggal tamu dan jenis tamu, menunjukkan perkembangan tersebut memberikan dampak negatif terhadap usaha hotel melati di Kota Denpasar. Meski demikian, hasil penelitian juga mendapatkan gambaran dampak positif yang diterima sebagai suatu introspeksi oleh pengusaha hotel melati untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas yang dimiliki apabila ingin tetap berbisnis di bidang perhotelan.
Adanya dampak negatif dan positif pada perkembangan city hotel di Kota Denpasar memang tidak dapat dihindari, sebagaimana diketahui bisnis pariwisata, khususnya bisnis perhotel sangatlah dinamis. Untuk menghindari persaingan yang tidak sehat dan demi keberlangsungan pariwisata Bali selanjutnya,
Pemerintah perlu menetapkan beberapa kebijakan kepariwisataan. Kebijakan kepariwisataan khususnya di bidang sarana akomodasi yang lebih spesifik karena sifat bisnis ini merupakan bisnis jasa yang mengutamakan pelayanan dan kepuasan pelanggan.
Hasil penelitian menunjukkan informasi dari para informan menyampaikan beberapa dampak negatif yang terjadi akibat perkembangan city hotel yaitu terjadinya persaingan yang tidak sehat antar hotel. Persaingan tidak saja terjadi antara city hotel dengan hotel melati, namun juga antar city hotel itu sendiri. Persaingan menjadi tidak sehat karena perbedaan tipis antara harga sewa kamar
city hotel yang berfasilitas lebih bagus dengan harga sewa kamar hotel melati
yang lebih sederhana. Perbedaan tipis ini menyebabkan tamu-tamu cenderung memilih city hotel untuk tempatnya menginap, sedangkan hotel melati hanya kebagian tamu rombongan yang datang pada saat liburan. Kondisi ini menyebabkan tingkat hunian hotel melati pada hari-hari biasa, tingkat hunian hotel melati sangat rendah.
Untuk mengantisipasi persaingan harga sewa kamar antar hotel yang semakin tidak sehat, Pemerintah Kota Denpasar diharapkan menyusun suatu kebijakan yang mengatur standar harga sewa kamar hotel sesuai dengan kelasnya seperti yang disampaikan oleh pengelola Hotel Puri Gatsu Indah, Hotel Warta Sari, Hotel Taman Wisata, Hotel Puri Nusa Indah, Hotel Puri Royan dan Hotel Ratu. Menurut Pengurus ASITA Bali, Ketut Ardana, SH, kebijakan tentang standar harga ini perlu diatur agar city hotel baik yang berbintang ataupun yang non-bintang tidak mengobral harga sehingga harga sewa kamar hotel melati
berada di titik terendah. Pendapat lain dari Pengurus PHRI Kota Denpasar, A.A. Adhi Ardana, ST menyatakan bahwa kebijakan standar harga sewa kamar ini mungkin akan sulit ditetapkan karena dalam bisnis apapun, harga dikendalikan pasar, namun yang perlu ditetapkan adalah harga terendah dan tertinggi sesuai dengan fasilitas yang disediakan hotel dan juga kebijakan pengenaan pajak tertentu setiap kamar untuk hotel berbintang sehingga hotel tidak bisa lagi mempermainkan harga karena berkaitan dengan pajak yang harus dibayarkan.
Persaingan harga sewa kamar ini tidak saja dirasakan oleh hotel melati, namun pengelola city hotel kelas bintang menyatakan bahwa persaingan sangat mengancam bisnis hotel di Kota Denpasar, seperti yang disampaikan oleh Pengelola Hotel Pop Harris Teuku Umar, Hotel Lifestyle Express , Hotel Golden Tulip Essential dan Bali Rama City Hotel.
Menurut hasil kajian Badan Penanaman Modal dan Perizinan tahun 2012, mengenai kebutuhan akomodasi hotel di Bali 2012-2022 disebutkan bahwa Kota Denpasar telah kelebihan jumlah kamar hotel bintang dari tahun 2012 sampai dengan 2014, sedangkan untuk hotel non-bintang kelebihan kamar dari tahun 2012-2018. Meskipun disebutkan terjadi kelebihan kamar untuk hotel non-bintang, namun tidak perlu dilakukan moratorium karena perhitungan jumlah kamar telah disesuaikan dengan asumsi kenaikan kunjungan wisatawan asing untuk hotel bintang dan non-bintang meningkat setiap tahunnya rata-rata sebesar 10-15 persen dan asumsi kenaikan kunjungan wisatawan domestik untuk hotel bintang dan non-bintang meningkat setiap tahunnya rata-rata sebesar 5-10 persen .
Mencermati dari hasil kajian tersebut dan dibandingkan dengan data tamu menginap di Kota Denpasar selama 2011-2013 terlihat mengapa jumlah hotel terlihat lebih banyak dari tamu. Dalam kajian disebutkan perkembangan tamu setiap tahunnya meningkat sekitar 5 persen-15 persen , sedangkan dari data tamu menginap di Kota Denpasar menggambarkan adanya kunjungan tamu yang berfluktuasi. Pada tahun 2012 jumlah tamu asing menginap di hotel mengalami penurunan sekitar 7,7 persen dan pada tahun 2013 terjadi penurunan sekitar 8,5 persen pada tamu domestik. Hal ini yang menyebabkan jumlah hotel tidak sebanding dengan jumlah tamu yang menginap karena kunjungan tamu yang tidak stabil. Maka dari itu, Pemerintah Kota Denpasar diharapkan agar lebih selektif memberikan izin usaha hotel, mengatur pembangunan hotel dengan membatasi pembangunan di wilayah yang sudah padat dan melaksanakan moratorium dengan tegas, hal ini disampaikan oleh sebagain besar Pengelola seperti Hotel Graha Cakra Bali, Hotel Cianjur dan Hotel Harrads. Selain itu, Pengelola Hotel Warta Sari, juga menyampaikan bahwa Kota Denpasar telah diserbu oleh hotel-hotel yang dikelola oleh manajemen hotel-hotel tingkat dunia, untuk itu Pemerintah Kota disarankan untuk membuat kajian mengenai city hotel yang berjaringan internasional agar keberadaannya tidak menjadi momok bagi hotel kelas melati.
Selain masalah persaingan harga sewa kamar, lama tinggal tamu di Kota Denpasar juga tidak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yaitu hanya berkisar 2 hari, salah satu penyebabnya karena Kota Denpasar belum mempunyai suatu daya tarik wisata yang mampu menarik tamu untuk tinggal lebih lama. Hal ini menjadi perhatian dari Pengelola hotel Grand Santhi, Wayan Budiartha, yang
menyampaikan agar Kota Denpasar membuat suatu kebijakan peningkatan kualitas daya tarik wisata Kota Denpasar dalam suatu area tertentu yang mampu menarik perhatian tamu.
Tingginya minat investor menanamkan modalnya di sektor pariwisata dan serta meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan tingginya alih fungsi lahan di Kota Denpasar. Buku Data Mini Selayang Pandang Kota Denpasar tahun 2014, menyebut selama kurang lebih lima tahun ini luas lahan sawah berkurang sekitar 283 Ha atau tiap tahunnya mengalami penyusutan sekitar 2,8 persen. Untuk mencegah hal semakin tingginya alih fungsi lahan, menurut Pengurus PHRI Kota Denpasar, A.A.Ngurah Adhi Ardana,ST, Pemerintah Kota Denpasar perlu mempertegas kebijakan tentang peruntukan pembangunan sarana pariwisata khususnya sarana akomodasi.
Saat ini, Pemerintah Kota Denpasar telah menetapkan lima kebijakan terkait bidang sarana akomodasi, selain itu juga telah diterbitkan Peraturan Walikota Denpasar Nomor 26 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Usaha Akomodasi, Jasa Makanan dan Minuman, Kegiatan Hiburan dan Rekreasi. Petunjuk pelaksanan ini mengatur mengenai ketentuan klasifikasi usaha pariwisata yang mencakup aspek fisik, pelayanan dan pengelolaan yang harus dipatuhi oleh pengusaha. Dalam aspek fisik meliputi 3 unsur yaitu Fasilitas public, fasilitas tamu dan fasilitas pendukung, sedangkan dari aspek pelayanan meliputi 6 unsur yaitu kantor depan, tata graha, binatu, ruang makan dan minum,
meliputi 4 unsur yakni organisasi, sistem manajemen, sumber daya manusia, kemudahan dan penggunaan produk dalam negeri.
Dalam peraturan ini telah diuraikan beberapa ketentuan unsur dari ketiga aspek yang harus dipenuhi oleh pengusaha sesuai dengan usaha yang dikelolanya. Sebagai contoh, hotel bintang 1 mutlak memiliki taman di luar atau di dalam bangunan hotel, demikian pula ketentuan area parkir mutlak disediakan oleh pihak hotel dengan kapasitas satu tempat parkir untuk 6 kamar hotel dan atau 20 persen dari luas lantai. Mencermati dari peraturan tersebut, berbagai macam ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola hotel telah diatur meskipun tidak secara detail seperti menyebutkan luas area pertamanan dan parkir suatu hotel yang mutlak disediakan untuk tamu. Namun dalam pelaksanaannya kurang mendapatkan pengawasan sehingga dalam kenyataannya banyak hotel yang belum memenuhi sebagai ketentuan yang sudah diatur.
Guna meminimalisir pelanggaran baik pembangunan hotel di luar daerah peruntukan ataupun pelanggaran lainnya, menurut Kepala Bidang Usaha Jasa dan Sarana Wisata, Dinas Pariwisata Kota Denpasar, Drs. I Ketut Arya, pihak Dinas Pariwisata telah melakukan pengawasan dan pengendalian secara rutin dengan turun ke lapangan bersama Tim yang terdiri dari Satpol PP, Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal serta didampingi oleh perwakilan dari Kecamatan. Tim ini memberikan pembinaan dan mensosialisasikan aturan-aturan yang berlaku (Wawancara, 29 Januari 2015).
Merujuk kepada teori kebijakan yang diulas pada Bab II, penyusunan suatu kebijakan publik diawali dengan adanya isu yang berkembang dan ramai dibicarakan di media mass dan dampak yang ditimbulkan dirasakan oleh masyarakat, dalam hal ini mengenai pesatnya perkembangan city hotel di Kota Denpasar yang mengancam usaha hotel melati akibat persaingan harga sewa kamar. Setelah dilakukan penelitian melalui wawancara dengan pengelola hotel, pengurus PHRI dan ASITA yang kemudian memberikan saran kepada Pemerintah Kota Denpasar untuk menyusun kebijakan kepariwisataan untuk mengatur dan mengendalikan usaha sarana akomodasi di Kota Denpasar antara lain: Kebijakan yang mengatur standar harga sewa kamar hotel sesuai dengan fasilitas yang disediakan sehingga tidak terjadi persaingan harga. Kebijakan tentang pemerataan pembangunan hotel di wilayah Kota Denpasar sesuai dengan peruntukan yang ditetapkan dalam RTRW Kota Denpasar. Dalam kebijakan ini diharapkan tertera penentuan wilayah secara jelas guna menghindari pelanggaran dan ketentuan luas lahan untuk pembagian tata bangunan dan halaman yang diperlukan untuk pembangunan hotel. Menyusun kajian tentang kebutuhan kamar hotel yang diperlukan di Kota Denpasar agar jumlah tamu menginap sesuai dengan jumlah kamar yang tersedia sehingga hotel mendapatkan bagian secara merata. Kebijakan tentang pencegahan alih fungsi lahan dengan merancang secara detail peruntukan wilayah khusus pembangunan sarana akomodasi dan Kebijakan mengenai peningkatan kualitas daya tarik wisata di Kota Denpasar.
Kebijakan-kebijakan tersebut belum cukup untuk mengatur dan mengendalikan perkembangan city hotel di Kota Denpasar, harus diproses untuk
menjadi sebuah produk hukum. Menurut Anang, produk hukum merupakan realisasi dari kebijakan pemerintah. Hukum memberikan legitimasi bagi pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam rangka menata masyarakat maupun mengarahkan masyarakat sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, maka penggunaan hukum sebagai instrumen kebijakan mempunyai arti yang penting.4
Mengacu kepada Peraturan Menteri dalam Negeri RI Nomor 53 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, Pembentukan produk hukum di daerah bersifat pengaturan dan penetapan dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan Peraturan Bersama. Program pembentukan Peraturan Daerah harus disusun secara terencana, terpadu dan sistematis yang sering disebut Program Legislasi Daerah (Prolegda) yang disusun oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Penyusunan Prolegda berdasarkan atas perintah penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pemebantuan dan aspirasi masyarakat daerah. Selaras dengan yang disyaratkan dalam Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah bahwa produk hukum yang akan disusun mengenai pengaturan dan pengendalian pembangunan city hotel ini merupakan aspirasi masyarakat khususnya kalangan pengusaha hotel melati. Menurut Kepala Subbagian Peraturan Perundang-undangan, Bagian Hukum Setda. Kota Denpasar, I Komang Agus Budiyasa, SH.MH, proses penetapan produk hukum di Kota Denpasar telah sesuai dengan Permendagri Nomor 53 ______________________________________________________
4
Kajian Normatif Pembentukan Peraturan Perundangan sebagai Instrumen Kebijakan Pemerintah, https://interspinas.wordpress.com/2010/01/27/13/.
Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah baik dalam penetapan peraturan daerah ataupun peraturan walikota, dimana Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) teknis yang menyiapkan draft rancangan selanjutnya diserahkan kepada Bagian Hukum untuk dibahas bersama Tim Penyusun. Setelah dibahas bersama Tim disosialisaikan kepada stakeholder. Langkah selanjutnya draft Ranperda final diajukan kepada DPRD untuk dibahas. Beberapa draft Ranperda harus dievaluasi dan dikonsultasikan ke Kemendagri dan Provinsi. Hasil evaluasi tersebut disampaikan ke DPRD dan kemudian ditetapkan oleh DPRD berdasarkan Keputusan Pimpinan DPRD.
Prosedur Penetapan Peraturan Walikota diawali dengan pengajuan konsep Perwali diajukan oleh SKPD teknis kemudian disampaikan ke Bagian Hukum untuk dikoreksi. Setelah dikoreksi, kemudian dikoordinasikan dan dibahas kembali dengan SKPD teknis. Bila telah diperbaiki, konsep tersebut diberi nomor Registrasi dan diparaf oleh Kabag hukum, Asisten I dan Sekretaris Daerah untuk selanjutnya ditandatangani oleh Walikota (Wawancara, 26 Februari 2015).
Mencermati substansi dari berbagai kebijakan dalam pengaturan dan pengendalian pembangunan city hotel hasil penelitian tersebut akan melibatkan beberapa SKPD sebagai koordinator dan melibatkan pemangku kepentingan terkait, sebagai contoh kebijakan standar harga sewa kamar sebagai SKPD teknis adalah Dinas Pariwisata bermitra dengan PHRI dan ASITA, sedangkan kebijakan tentang pemerataan pembangunan hotel di wilayah Kota Denpasar akan dikoordinir oleh Dinas Tata Ruang dan Perumahan Kota Denpasar bermitra
dengan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal Kota Denpasar serta lembaga terkait lainnya.
Dengan telah terimplementasinya kebijakan kepariwisataan dalam suatu produk hukum diharapkan dapat menjadi pedoman dalam menjaga iklim usaha sarana akomodasi di Kota Denpasar tetap kondusif dapat menarik kunjungan wisatawan lebih banyak lagi, meningkatkan jumlah tamu menginap dan tingkat hunian hotel sehingga meningkatkan pendapatan hotel sehingga kepariwisataan di Kota Denpasar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Menurut Laporan Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kota Denpasar Tahun Anggaran 2014 yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah, tercantum jumlah Pajak Hotel yang diterima adalah sebesar 119 milyar. Jumlah ini telah melebihi dari target yang dirancang sebesar 105 milyar.
Angka ini menunjukkan penerimaan dari pajak hotel merupakan pendapatan daerah yang dominan diantara pajak lainnya. Untuk itu penerimaan tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas daya tarik wisata yang ada di Kota Denpasar ataupun membina pengusaha kepariwisataan lokal untuk meningkatkan kualitas manajemen dan pelayanannya agar dapat bersaing dengan manajemen hotel jaringan Internasional.
Dengan adanya produk hukum sebagai pedoman dalam penataan pembangunan hotel di Kota Denpasar dan adanya legalitas sebagai perusahaan yang berbadan hukum, pengusaha hotel melati diharapkan mampu bertahan dalam
persaingan dengan city hotel. Menurut Supasti, dkk (2014), pengusaha hotel melati juga diharapkan dapat memiliki kemampuan untuk mengembangkan hotelnya menjadi hotel jaringan franchising dengan nama brand sendiri. Dari hasil studi empiris menunjukkan model penguatan city hotel lokal di Bali dapat dilakukan melalui model kemitraan dengan pola CSR. Model kemitraan antara pengelola hotel franchising dengan hotel melati melalui pelatihan tentang manajemen franchising Internasional. Model kemitraan ini dikuatkan dalam bentuk Perda dan Self Regulatory Body dari para stakeholders baik pengelola hotel ataupun perbankan dengan berfokus pada aspek permodalan dan bantuan pelatihan manajemen franchising.
125