• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pemerintah Dalam Meningkatkan Pendidikan

BAB II KERANGKA TEORI

2.1. Kebijakan Pemerintah Dalam Meningkatkan Pendidikan

Menurut Robert K. Merton (Ritzer & Goodman, 2008:141) suatu sistem yang telah mandiri dapat ditandai dengan adanya fungsi manifest (nyata) dan fungsi latent (tersembunyi). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pendidikan memiliki fungsi manifest dengan tujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan bagi masyarakatnya adalah sebagai berikut: (a) harus menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yaitu pendidikan dibuat untuk mengembangkan suatu keyakinan di dalam diri peserta didik, kebiasaan berfikir, dan bertindak yang dianggap perlu diharapkan dalam masyarakat, (b) pendidikan harus mempertahankan solidaritas sosial dengan mengembangkan rasa saling memiliki hak dan kewajiban peserta didik serta keterikatan pada cara hidupnya di dunia pendidikan, (c) pendidikan harus menyampaikan pengetahuan yang meliputi warisan sosial, (d) mengembangkan potensi demi pemenuhan kebutuhan pribadi dan pengembangan masyarakat serta mengembangkan kemampuan berfikir secara rasional dan bebas, (e) mengembangkan cakrawala dan kretifitas peserta didik, (f) pendidikan juga diharapkan mengembangkan pengetahuan baru, (g) mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah, (h) mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi demi kepentingan masyarakat, (i) melestarikan kebudayaan, (j) menanamkan keterampilan yang dibutuhkan sebagai partisispasi dalam demokrasi.

Sementara itu fungsi latentnya (tersembunyi) yang tidak direncanakan lembaga pendidikan bagi masyarakatnya yaitu: (a) pemupukan keremajaan peserta didik, (b) pengurangan pengendalian orang tua, (c) penyediaan sarana untuk pembangkangan (d) dipertahankannya sistem kelas sosial, (e) sekolah merupakan tempat penitipan anak.

Dari fungsi pendidikan yang dikemukakan Merton di atas dapat dilihat bahwa pendidikan sangat berpengaruh besar dalam mengubah pola pikir masyarakat untuk mengembangkan potensi diri. Akan tetapi saat ini pendidikan di Indonesia masih belum mencapai kualitas pendidikan yang diharapkan. Karena telah masih rendahnya pemerataan pendidikan bagi semua warga negara, khususnya bagi generasi penerus bangsa. Berdasarkan hasil pengumuman yang di keluarkan Departemen Pendidikan pada tahun 2007 menunjukkan, secara nasional pendidikan di Sumatera Utara berada di peringkat ke 8. Dapat dikatakan bahwa Sumatera Utara berada di bawah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Bali. Prestasi ini tentu kabar duka cita yang mendalam bagi perkembangan pendidikan Sumatera Utara karena daerah ini yang sarat dengan masyarakat pendidik di tingkat nasional, kaya dengan sumber daya manusia, syarat dengan lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan hanya dapat mencapai peringkat delapan 14 November 2011 pukul 16:30).

Dengan ini sangat dibutuhkan peran pemerintah dalam melakukan pemerataan pendidikan di daerah ini dengan cara membuat kebijakan dalam mensejahterakan rakyatnya di dunia pendidikan secara merata. Karena pemerataan pendidikan sangat penting dilakukan guna untuk melancarkan aktifitas belajar mengajar masyarakat dalam menggali potensi-potensi yang ada di dunia pendidikan. Pemerataan tersebut dapat berupa menigkatkan daya tampung penerimaan peserta didik, pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana lainnya serta

meningkatkan tenaga kerja guru ke berbagai daerah-daerah terpencil yang jauh dari jangkauan pemerintah agar seluruh masyarakat dapat memiliki pendidikan yang layak. Oleh karena itu pemerintah telah membuat kebijakan yang diharapkan oleh masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan seluruh masyarakat di Indonesia.

Dalam hal ini dapat dilihat melalui pernyataan James E. Anderson yang bercerita tentang kebijakan publik. James E. Anderson mendefenisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah misalnya partai politik. Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan dan lain sebagainya (Subarsono, 2005:2). Kebijakan dilaksanakan harus dengan kesepakatan bersama melalui permasalahan-permasalahan yang terjadi dan kebutuhan masyarakat dengan tujuan untuk mensejahterakan warga negaranya. Hal ini berkenaan dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mencanangkan pemerataan pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk mengurangi beban ekonomi masyarakat dan memiliki beberapa proses yang harus dilewati sehingga kebijakan tersebut dapat terealisasikan tepat pada sasarannya. Menurut Michael Howlet dan Ramesh (1995:11) dalam (Subarsono, 2005:13-14) menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut:

1. Penyusunan agenda, yaitu suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah. Dalam proses ini, kebijakan muncul berdasarkan masalah-masalah yang terjadi pada saat ini. Misalnya kebijakan Bantuan Operasional sekolah (BOS) muncul karena naiknya harga sembako dan meninggkatnya harga bahan bakar minyak di

Indonesia membuat perekonomian masyarakat semakin lemah sehingga tidak mampu membayar biaya pendidikan anak. Padahal pendidikan itu sangat penting bagi seluruh masyarakat agar tidak tertinggal oleh zaman.

2. Formulasi kebijakan, yaitu proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah. Disini menjelaskan bagaimana cara pemerintah memecahkan permasalahan kemiskinan agar masyarakat mampu mengenyam pendidikan tanpa menambah beban ekonomi mereka.

3. Pembuatan kebijakan, yaitu proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan. Pembuatan kebijakan dilakukan apabila kebijakan tersebut benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat dan menjadi suatu pemecah permasalahan bagi pemerintah dalam mengurangi beban masyarakatnya. Misalnya dikeluarkannya kebijakan progaram dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS) guna untuk mengurangi biaya pendidikan bagi masyarakat miskin.

4. Implementasi kebijakan, yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil. Dalam pelaksaannya, pemerintah merealisasikan program dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan harapan dapat mengurangi kemiskinan di Indonesia.

5. Evaluasi kebijakan, yaitu proses untuk memonitor dan menilai hasil kinerja kebijakan. Setelah kebijakan tersebut diimplementasikan, pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut dengan cara melakukan pengawasan serta menilai berhasil atau tidaknya kebijakan tersebut.

Dari proses kebijakan diatas maka pemerintah dapat merealisasikan kebijakan kepada masyarakat. Dalam proses pembuatan kebijakan perlu juga melakukan pendekatan terhadap lingkungan. Teori sistem berpendapat bahwa pembuatan kebijakan tidak dapat dilepaskan dari

pengruh lingkungan. Tuntutan terhadap kebijakan dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan dan ditransformasikan ke dalam suatu sistem politik (Subarsono, 2005:14). Kebijakan dibuat berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan oleh DPR dan MPR sehingga kebijakan tidak lepas dari kendalinya. Begitu juga kebijakan publik yang telah dibuat dengan tujuan untuk mengontrol pemerintah yang di fokuskan pada sektor pendidikan nasional dalam melaksakan amanat yang telah disepakati bersama.

Kebijakan yang dicanangkan pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memiliki berbagai macam hasil yang telah dicapai untuk meringankan beban masyarakat terutama pada masyarakat yang kurang mampu. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang terdahulu, yang melihat berbagai keanekaragaman cara pemerintah maupun sekolah dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Menurut Rusdianto (2011) dalam penelitiannya di kecamatan Bluluk kabupaten Lamongan, telah menemui berbagai perbedaan dalam pelaksanaan program tersebut. “Dalam pengalokasian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sekolah masih banyak ditemui kelemahan-kelemahannya. Dimana prioritas penggunaan dana di sekolah belum menunjukkan keberpihakannya terhadap sasaran yang menjadi target kebijakan, yaitu siswa miskin, sebagian besar dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih tersedot pada anggaran belanja pegawai. Keberadaan RAPBS yang diterapkan sebagai fungsi kontrol dan acuan dalam penggunaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum berjalan sebagaimana mestinya, RAPBS hanya sebatas formalitas bagi sekolah untuk mendapatkan dana BOS. Program BOS juga belum menunjukkan dampak yang progresif dalam menekan laju angka putus sekolah, permasalahan murid putus sekolah ternyata bukan semata-mata karena biaya pendidikan yang membumbung tinggi”.Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum sepenuhnya mengurangi

tingkat putus sekolah di Indonesia, karena pemerintah belum matang dalam menyusun strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah masih saja berbicara tentang dana yang di butuhkan sekolah-sekolah. Sekolah juga masih kebingungan untuk membagi waktu dan kebutuhan materi yang paling diprioritaskan demi berjalannya kegiatan belajar mengajar guru dan siswa. Padahal sekolah harus berjalan secara bersamaan dalam melaksanakan program tersebut.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu pemikiran Robert K. Merton yaitu tentang fungsional, fungsi manifes (nyata), fungsi laten (tersembunyi), disfungsi, dan nonfungsional dalam suatu sistem (Ritzer & Goodman, 2008:141). Bagi Robert K. Merton pendekatan fungsional bukanlah suatu teori komperehensif dan terpadu, melainkan suatu strategi untuk analisa. Strategi ini merupakan suatu titik tolak dan memberikan suatu bimbingan, tetapi teori-teori taraf menengah yang dikembangkan dari titik tolak ini harus mampu berada dalam kesatuannya sendiri yang didukung oleh data empiris yang sesuai (Paul, 1990:146). Dari teori tersebut dapat diartikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan akan berjalan dengan teratur apabila strategi pengambilan kebijakan harus sesuai dengan sistematika pengawasan, kebutuhan sekolah maupun masyarakat, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah masing-masing sehingga kebijakan yang dikeluarkan dalam mengentaskan kemiskinan dapat berfungsi. Maka sangat dibutuhkan pengalaman dan pengetahuan yang lebih dalam melihat situasi masyarakat disuatu daerah tersebut.

Berlandaskan pemikiran Robert K. Merton mengenai fungsi kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah terbagi menjadi dua yaitu fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi manifest dalam Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sangat diinginkan oleh masyarakat

yang membutuhkan. Dengan kata lain, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diketahui masyarakat terutama peserta didik adalah memiliki pendidikan yang layak dan tidak di pungut biaya sedikitpun kepada siswa. Sehingga dengan adanya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diharapakan agar siswa siswi memiliki mutu pendidikan yang sangat baik tanpa ada hambatan berupa kurangnya biaya sekolah.

Fungsi manifest dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga dapat diilihat pada peraturan menteri pendidikan nasional Republik Indonesia nomor 37 tahun 2010 yang mengingat pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebenarnya sudah mengamanatkan tentang pentingnya alokasi anggaran dana untuk pembiayaan dan pembangunan pendidikan ini. Selain itu di dalam pasal 31 ayat (4) menyatakan bahwa “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Dari pasal tersebut telah melatarbelakangi terselenggaranya pengalokasian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dibuat oleh pemerintah. Berikut adalah fungsi manifest Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang berisikan tentang alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) berdasarkan peraturan menteri pendidikan nomor 37 tahun 2010 yang di tetapkan sebagai berikut:

1. Tim manajemen Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kabupaten/kota dengan koordinasi tim

manajemen Bantuan Operasional Sekolah (BOS) provinsi menyerahkan data jumlah siswa tiap sekolah kepada kementerian pendidikan nasional.

2. Atas dasar data jumlah siswa tiap sekolah, kementerian pendidikan nasional membuat alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tiap kabupaten/kota untuk selanjutnya dikirim ke kementerian keuangan.

3. Kementerian keuangan menetapkan alokasi anggaran sementara per kabupaten/kota melalui peraturan menteri keuangan.

4. Alokasi prognosa definitif Bantuan Operasional Sekolah (BOS) akan ditetapkan setelah kementerian keuangan menerima data rekonsiliasi mengenai jumlah sekolah da jumlah siswa tahun ajaran baru (2011-2012) dari kementerian pendidikan nasional.

5. Alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) per sekolah negeri ditetapkan oleh kementerian pendidikan nasional, sedangkan alokasi per sekolah swasta ditetapkan oleh pemerintah daerah (melalui pejabat pengelola keuangan daerah) atas usulan dinas pendidikan kabupaten/kota berdasarkan data jumlah siswa.

6. Alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) per sekolah untuk periode Januari-Juni 2011 didasarkan jumlah siswa tahun pelajaran 2010-2011, sedangkan periode Juli-Desember 2011 didasarkan pada data tahun pelajaran 2011-2012.

Dari hasil kebijakan pemerintah dalam mencanangkan program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bahwa pemanfaatan atau pengguanaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) harus berpedoman pada panduan pelaksanaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun anggaran 2011. Penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sekolah harus berdasarkan pada kesepakatan dan keputusan bersama antara tim manjemen Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sekolah, dewan guru, dan komite sekolah. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) harus di daftar sebagai salah satu sumber penerimaan dalam RKAS/RAPBS, disamping dana yang diperoleh dari pemerintah daerah atau sumber lain. Dari seluruh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima oleh sekolah, sekolah menggunakan dana tersebut untuk membiayai kegiatan-kegiatan berikut:

1. Pembelian/penggandaan buku teks pelajaran. Jenis buku yang dibeli/digandakan untuk SMP sebanyak 2 macam buku yaitu (a) pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan, dan (b) seni budaya dan keterampilan. Jika buku dimaksud belum ada di sekolah/belum mencukupi sebanyak jumlah siswa, maka sekolah wajib membeli/menggandakan sebanyak jumlah siswa. Jika jumlah buku telah terpenuhi satu siswa satu buku, baik yang telah dibeli dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) maupun dari pemerintah daerah, maka sekolah tidak harus menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pembelian/penggandaan buku tersebut. Selain daripada iu, dana Bantuan (BOS) juga boleh untuk membeli buku teks pelajaran lainnya yang mecukupi sejumlah siswa;

2. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, yaitu biaya pendaftaran,

penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang, pembuatan spanduk sekolah bebas pungutan, serta kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut (misalnya untuk fotocopy, konsumsi panitia, dan uang lembur dalam rangka penerimaan siswa baru, dan lainnya yang relevan);

3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, pembelajaran pengayaan, pemantapan persiapan ujian, olahraga, kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan sejenisnya (misalnya untuk honor jam mengajar tambahan di luar jam peajaran, biaya transportasi dan akomodasi siswa/guru dalam rangka mengikuti lomba, fotocopy, membeli alat olahraga, alat kesenian dan biaya pendaftaran mengikuti lomba);

4. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa (misalnya untuk fotocopy/penggandaan soal, honor koreksi, ujian dan honor guru dalam rangka penyusunan rapor siswa);

5. Pembelian bahan-bahan habis pakai seperti buku tulis, kapur tulis, pensil, spidol, kertas, bahan praktikum, buku induk siswa, buku inventaris, langganan koran/majalah pendidikan, minuman dan makanan ringan untuk kebutuhan sehari-hari di sekolah, serta pengadaan suku cadang alat kantor;

6. Pembiayaan langganan daya dan jasa, yaitu listrik, air, telepon, internet, termasuk untuk pemasangan baru jika sudah ada jaringan di sekitar sekolah. Khusus di sekolah yang tidak ada jaringan listrik, dan jika sekolah tersebut memerlukan listrik untuk proses belajar mengajar di sekolah, maka diperkenankan untuk membeli genset;

7. Pembiayaan perawatan sekolah, yaitu pengecatan, perbaikan atap bocor, perbaikan pintu dan jendela, perbaikan mebeler, perbaikan sanitasi sekolah, perbaikan lantai ubin/keramik dan perawatan fasilitas sekolah lainnya;

8. Pembayaran honorarium bulanan guru honorer dan tenaga kependidikan honorer.

9. Pengembangan profesi guru seperti pelatihan, KKG/MGMP dan KKS/MKKS. Khusus untuk sekolah yang memperoleh hibah/block grant pengembangan KKG/MGMP atau sejenisnya pada tahun anggaran yang sama tidak diperkenankan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk peruntukan yang sama;

10. Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke sekolah. Jika dinilai lebih ekonomis, dapat juga untuk membeli alat transportasi sederhana yang akan menjadi barang inventaris sekolah (misalnya sepeda, perahu penyeberangan, dll);

11. Pembiayaan pengelolaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seperti alat tulis kantor (ATK termasuk tinta printer, CD dan flash disk), penggandaan, surat-menyurat, insentif bagi bendahara dalam rangka penyusunan laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan biaya transportasi dalam rangka mengambil dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di Bank/PT Pos;

12. Pembelian computer (desktop/work station) dan printer untuk kegiatan belajar siswa, masing-masing maksimum 1 unit dalam satu tahun anggaran;

13. Bila seluruh komponen 1 s/d 12 di atas telah terpenuhi pendanaannya dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan masih terdapat sisa dana, maka sisa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tersebut dapat digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran, mesin ketik, peralatan UKS dan mebeler sekolah.

Dalam penggunaannya yang sudah ditetapkan pemerintah diatas, terdapat larangan yang tidak diperbolehkan pemerintah sama sekali untuk menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah tersebut. Adapun yang menjadi larangan dalam mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tersebut adalah sebagai berikut.

1. Disimpan dalam jangka waktu lama dengan maksud dibungakan.

2. Dipinjamkan kepada pihak lain.

3. Membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah dan memerlukan biaya besar, misalnya studi banding, studi tour (karya wisata) dan sejenisnya.

4. Membiayai kegiatan yang diselenggarakan oleh UPTD kecamatan/kabupaten/kota/provinsi/pusat, atau pihak lainnya walaupun pihak sekolah tidak ikut serta dalam kegiatan tersebut. Sekolah hanya diperbolehkan menanggung biaya untuk siswa/guru yang ikut serta dalam kegaitan tersebut.

5. Membayar bonus dan transportasi rutin untuk guru.

6. Membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah).

7. Digunakan untuk rehabilitasi sedang dan berat.

8. Membangun gedung/ruangan baru.

9. Membeli bahan/peralatan yang tidak mendukung proses pembelajaran.

10. Menanamkan saham.

11. Membiayai kegiatan yang telah dibiayai dari sumber dana pemerintah pusat atau pemerintah daerah secara penuh/wajar, misalnya guru kontrak/guru bantu.

12. Kegiatan penunjang yang tidak ada kaitannya dengan operasi sekolah, misalnya iuran dalam rangka perayaan hari besar nasional dan upacara keagamaan/acara keagamaan.

13. Membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan/sosialisasi/pendampingan terkait program BOS yang diselenggarakan lembaga di luar dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota dan kementerian pendidikan nasional.

Dari penggunaannya sudah jelas tertera bahwa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sudah ada upaya pemerintah dalam peningkatan fasilitas sekolah, guru dan juga siswanya dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Akan tetapi disisi lain, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar untuk dijalankan sesuai dengan pernyataan diatas bahwasanya masih ada yang melakukan tindak kecurangan dalam mengalokasikan diberikan pemerintah. Misalnya saja penyalahgunaan yang sudah jelas tidak diperbolehkan untuk penggunaan dana dalam kegiatan diatas. Sehingga terjadi disfungsi yaitu mengalami sebuah krisis pengetahuan karena telah membuat struktur dan sistem pendidikan kehilangan fungsinya.

Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Robert K. Merton dalam (Paul, 1990:153) tentang disfungsi laten atau masalah yang muncul dari tindakan manusia, banyak fungsi positif yang menguntungkan masyarakat atau diri seseorang sebagai individu berupa hasil produk sampingan yang tidak dimaksudkan dari tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan lain. Dengan kata lain bahwa fungsi kebijakan disalahgunakan oleh sistem dalam mencari

keuntungan melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari peraturan menteri pendidikan Republik Indonesia nomor 37 tahun 2010 sudah terlihat jelas bahwa kebijakan yang akan direalisasikan oleh pemerintah kepada sekolah dan siswanya namun terjadi penyelewengan serta kurangnya pengawasan dalam mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dilakukan oleh oknum pendidikan yang tidak bertanggung jawab. Selain itu masih ada infrastruktur sekolah yang tidak layak pakai, masih ada beban siswa dalam pembelian buku pelajaran, gaji para honorer yang tersendat, dan dana khusus untuk siswa kurang mampu dipotong oleh pihak sekolah tanpa ada alasan yang jelas.

Hal seperti inilah yang dinamakan disfungsi laten yaitu fungsi yang diharapkan masyarakat untuk dapat mengenyam pendidikan yang layak telah beralih fungsi menjadi kerugian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang disalahgunakan oleh oknum yang terdapat di instansi pendidikan. Karena telah terjadi ketidakmerataannya pengalokasian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah maupun pihak sekolah terutama untuk siswa kurang mampu yang seharusnya memiliki bantuan secara eksklusif berupa uang transportasi tetapi kurang terealisasikan dengan baik. Sehingga dapat dikatakan pihak sekolah belum mampu menjalankan amanah yang sudah tertera pada peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan nomor 37 tahun 2010 dalam mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan baik. Hadirnya kebijakan dalam program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tujuannya sebagai pemerataan pendidikan dianggap positif dalam kehidupan masyarakat. Tetapi kebijakan tersebut tidak semua dipandang positif bahkan kebijakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bisa dianggap negatif apabila kebijakan tersebut digunakan sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Masyarakat memandang negatif karena merasa telah dirugikan dan tidak

sesuai lagi dengan apa yang dijanjikan oleh pemerintah. Misalanya tidak adanya bantuan yang di khususkan untuk siswa kurang mampu dan kurang tepatnya sasaran pihak sekolah dalam memberikan dana bantuan kepada siswa yang sebenarnya tidak layak mendapatkan dana khusus untuk siswa kurang mampu.

Sedangkan fungsi latennya merupakan fungsi yang tidak dimaksudkan atau tidak diketahui perubahannya mengenai kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dapat dilihat dari pengaruh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terhadap minat belajar dan prestasi siswa. Pada awalnya kebijakan ini hanya terlihat sebatas kebutuhan materi yang menjadi suatu wadah untuk memenuhi kebutuhan kegiatan belajar mengajar di sekolah, tetapi disatu sisi telah memiliki pengaruh terhadap perkembangan siswa dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini dinetralisir dengan cara meningkatkan fasilitas infrastruktur yang baik dan kebutuhan sekolah yang cukup lengkap demi membatu meningkatkan mutu pendidikan siswa terutama bagi siswa kurang mampunya.

Selain itu Merton juga mengemukakan konsep nonfungsional yaitu sebagai akibat-akibat yang sama sekali tidak relevan dengan sistem yang sedang diperhatikan (Ritzer & Goodman, 2008:140). Kebijakan Bantuan Operasioanal Sekolah (BOS) dilihat berfungsi apabila seluruh sistem dan struktur sosial yang di dalamnya berjalan sesuai dengan fungsi yang diharapkan. Akan tetapi ketika sudah terjadi kesalahan yang bersifat nonfungsional di dalam sistem berarti salah satu sistem tidak berjalan karena adanya hambatan-hambatan yang terjadi dalam lembaga pendidikan maupun masyarakatnya. Misalnya ketika dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merugikan sekolah-sekolah yang dikarenakan terbatasnya dana yang diberikan membuat pihak sekolah kewalahan dalam mengatur dana yang dialokasikan pemerintah sementara kebutuhan