• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN …

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat menambah potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Fungsi pendidikan sangat penting sebagai salah satu faktor pendorong pembangunan sumber daya manusia dengan tujuan meningkatkan kemampuan pada masyarakatnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga teknologi-teknologi canggih supaya mampu menyaingi negara-negara lain yang sudah lebih maju dari negara Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah berkomitmen dalam meningkatkan kesempatan kepada warga negaranya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Tujuannya agar seluruh rakyat Indonesia menjadi warga negara yang mengenal dan mencintai tanah air juga memanfaatkan sumber daya dan peka terhadap situasi yang ada pada saat ini supaya terhindar dari dehumanisasi, eksploitasi dan juga intervensi dari negara lain maupun negara sendiri. Akan tetapi sampai saat ini pendidikan belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia dikarenakan fasilitas dan kesadaran pemerintah terhadap pendidikan masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang terdapat di benua Asia.

Menurut Nursyam, berdasarkan laporan Kompas, 29/09/2011, melalui Education Development Index (EDI) mengungkapkan bahwa dari sebanyak 127 negara, Indonesia menempati peringkat ke 69, sementara Malaysia berada di urutan 65 dan Brunei di urutan 34. Brunei memang maju pesat dalam indeks pendidikannya yang tentu saja disebabkan oleh kepedulian pemerintah terhadap dunia pendidikan. Malaysia juga berkembang pesat dalam pengelolaan pendidikannya, meskipun di tahun 1970-an pernah memperoleh bantuan asistensi dalam program pendidikan tinggi dari Indonesia. Selain itu, berdasarkan konsepsi Education for All (EFA), yang kemudian dijadikan sebagai tolok ukur oleh Global Monitoring Report (GMR) setiap tahun, maka Indonesia menempati angka 0,934 pada tahun 2008. Education Development Index (EDI) dikatakan tinggi jika capaiannya adalah 0,95. Kategori medium jika capaiannya adalah di atas 0,80 dan rendah adalah di bawah angka 0,80. Nilai Education Development Index (EDI) Indonesia sebesar 0,934 tersebut diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD). Pencapaian angka Education Development Index (EDI) Indonesia ini tentu saja bukan sesuatu yang menggembirakan mengingat bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia memiliki peluang yang besar untuk peningkatan Education Development Index (EDI) ini

Dapat dilihat bahwa saat ini bangsa Indonesia masih terbentur pada berbagai permasalahan yang ditunjukkan dari kenyataan masih banyaknya masyarakat yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu disebabkan masalah kemiskinan dan mahalnya biaya pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam melihat kondisi kemiskinan secara keseluruhan pada bulan maret tahun 2010 bahwa jumlah dan presentase penduduk miskin dihitung per provinsi dengan garis kemiskinan yang berbeda-beda. Misalnya di Jakarta besaran garis kemiskinan mencapai Rp 331.169 per kapita setiap bulannya, sementara di Papua besaran garis kemiskinannya Rp 259.128 per kapita setiap bulannya. Jadi data di level nasional merupakan penjumlahan keseluruhan penduduk miskin di seluruh provinsi sehingga jumlah keseluruhannya sebesar 31,02 juta (13,33%) dari total keseluruhan penduduk dengan garis kemiskinan sebesar Rp 211,726 per kapita setiap bulannya. Penyebab terjadinya kemiskinan karena naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan mengakibatkan harga sembako juga naik membuat perekonomian masyarakat semakin lemah. Banyaknya jumlah penduduk miskin membuat masyarakatnya tidak mampu untuk mengikuti perkembangan dunia pendidikan bahkan sampai putus di tengah jalan yang dikarenakan faktor ekonomi yang semakin lemah.

Upaya pemerintah dalam menuntaskan kesejahteraan masyarakatnya di dunia pendidikan dapat dilihat pada UUD RI 1945 dalam perubahan keempatnya tentang pendidikan dan kebudayaan pada pasal 31 ayat (3) bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang” tidak sepenuhnya berjalan dengan efektif karena masih banyak masyarakat yang kekurangan dalam mengenyam pendidikan yang lebih baik. Akan tetapi pemerintah juga menegaskan lagi di dalam UUD 1945 RI perubahan keempat pada pasal 31 ayat (2) bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal ini dapat dilihat bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada masyarakatnya dalam memberikan pendidikan yang layak tanpa mengenakan biaya kepada masyarakatnya.

Dalam undang-undang yang tertera diatas maka pemerintah memiliki beberapa landasan dalam membuat program kebijakan untuk meningkatkan fasilitas sekolah serta mutu pendidikannya bagi masyarakat terutama pada masyarakat yang memiliki ekonomi lemah, karena di Indonesia kebutuhan pendidikan selalu dikaitkan dengan dana yang cukup mahal sehingga masyarakat kurang mampu masih menjadi salah satu pusat perhatian pemerintah dalam mengentaskan masalah pendidikan yang layak. Salah satu program pemerintah yang tertera dalam undang-undang tersebut adalah program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Bantuan Operasional Sekolah (BOS) terealisasikan mulai tahun 2005 yang menyediakan bantuan bagi sekolah dengan tujuan membebaskan biaya pendidikan bagi seluruh siswa. Berdasarkan peraturan menteri pendidikan nasional no.37 tahun 2011 mengatakan bahwa jumlah dana yang dialokasikan pada tahun 2011 ini adalah sebanyak 16,265 triliun rupiah. Melalui program ini pemerintah memberikan dana kepada sekolah-sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah

Menengah Pertama (SMP) berupa perlengkapan sekolah berupa alat tulis, perbaikan infrastruktur, gaji guru honor, dan lain-lain. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diberikan ke sekolah untuk dikelola sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Besarnya dana untuk tiap sekolah ditetapkan berdasarkan jumlah keseluruhan siswa yang ada di sekolah tersebut. Sehingga semua siswa baik dari kondisi sosial ekonomi tinggi maupun kondisi sosial ekonomi yang rendah mendapatkan bantuan tersebut. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 bahwa jumlah sekolah pada tingkat SMP secara keseluruhan yang ada di Indonesia kurang lebih sebanyak 34.185 sekolah dengan jumlah siswa secara keseluruhan sebanyak 9.526.216 siswa.

Dalam pengalokasian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga terdapat dana khusus bagi siswa kurang mampu yang menghadapi masalah biaya transportasi ke sekolah. Setiap sekolah memiliki cara yang berbeda-beda dalam memberikan dana bantuan khusus kepada siswa kurang mampu yang dilihat dari kebijakan kepala sekolah dalam memberikan bantuan khusus tersebut. Misalnya saja sekolah swasta yang tidak langsung memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) berupa uang transportasi bagi siswa kurang mampu, tetapi uang tersebut langsung dibayarkan untuk biaya pembangunan sekolah dan hutang uang buku pelajaran dengan guru. Ada juga sekolah yang tidak menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi siswa kurang mampu tetapi pihak sekolah memberiakan bantuan kepada siswa kurang mampu melalui program lain misalnya dari Beasiswa Siswa Miskin (BSM) dan beasiswa dari bank BTN.

Berdasarkan buku petunjuk teknis penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun anggaran 2011 yaitu bantuan khusus bagi siswa miskin berupa uang transportasi dapat direalisasikan dalam bentuk barang berupa sepeda ataupun perahu. Dari hasil pra observasi

peneliti di Aeknabara Kabupaten Labuhanbatu bahwa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan kepada siswa kurang mampu berupa uang tunai diberikan kepada siswa kurang mampu sesuai dengan jumlah siswa kurang mampu yang terdaftar di setiap sekolah. Jadi siswa diharapkan tidak memiliki kendala untuk pergi ke sekolah dengan alasan biaya sekolah yang kurang memadai baik dalam kebutuhan alat tulis, seragam sekolah dan perlengkapan sekolah lainnya. Sehingga Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat meringankan beban bagi siswa kurang mampu maupun orang tua siswa kurang mampu yang memiliki kondisi sosial ekonomi yang lemah.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ternyata tidak semuanya berjalan dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah, karena dalam pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih banyak sekolah-sekolah yang serba kekurangan untuk melakukan aktifitas belajar mengajar. Misalnya saja infrastruktur sekolah yang tidak layak, gaji guru honor yang tersendat, dan masih ada siswa kurang mampu yang serba kekurangan dalam memiliki buku pelajaran, alat tulis, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi masalah bagi pemerintah dan juga instansi pendidikan yang kurang melakukan pengawasan dalam mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke daerah-daerah kecil.

Salah satu contoh kasus penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seperti yang terjadi di salah satu daerah Kabupaten Karo misalnya. Menurut Surbakti (dalam Koran Sinar Indoneia Baru 2012) telah terjadi penyalahgunaan pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan beasiswa di Kecamatan Laubaleng, Kecamatan Mardinding, Tiganderket dan umumnya terjadi di setiap kecamatan di Kabupaten Karo. Salah satunya di SMPN 3 Lau Solu Kecamatan Mardinding, diungkapkan bahwa bantuan beasiswa kepada siswa yang kurang mampu dipotong oknum kepala sekolah sekitar Rp 100.000 per siswa dan

penyaluran dan pemanfaatan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak dimusyawarahkan dengan komite sekolah, orang tua siswa ataupun para guru yang bersangkutan. Pengurus komite sekolah, oknum guru serta beberapa orangtua siswa mengaku, mereka tidak dilibatkan dan tidak pernah diundang kepala sekolah untuk musyawarah tentang penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan penyaluran beasiswa. Termasuk berapa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima pun sama sekolah tidak diketahui (Koran Sinar Indonesia Baru, Rabu, 15 Februari 2012, hal 14).

Berbeda di kabupaten Labuhanbatu, penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sekitar 20 miliar rupiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pasalnya, angka itu tidak masuk dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) bupati Labuhanbatu. Berdasarkan data dinas pendidikan Kabupaten Labuhanbatu, jumlah dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 77,5 miliar rupiah. Bantuan itu ditujukan kepada sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI) dan sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTS). Sementara itu, dalam LKPj Bupati yang disampaikan di hadapan anggota dewan baru-baru ini disebutkan bahwa dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang direalisasikan hanya 57,3 miliar rupiah. Dengan begitu, terdapat selisih sekira 20 miliar rupiah dengan data Dinas Pendidikan. Sementara itu, seluruh data penerima dan besaran anggaran yang diterima masing-masing sekolah telah diserahkan kepada petugas pembuat LKPj Bupati. Data itu juga telah diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) sebagai bentuk pertanggungjawaban laporan realisasi penggunaan anggaran. Dan faktanya sampai sekarang data itu tidak ada lagi dipertanggungjawabkan dengan apa yang diharapkan dan yang ada hanya data

ini membuat oknum pendidikan yang telah melakukan tindak kecurangan kepada siswa kurang mampu lebih leluasa memperuntungkan dirinya dalam menikmati dana yang di alokasikan oleh pemerintah. Karena kurangnya pengawasan sehingga memuculkan kesempatan kepada orang yang melakukan tindakan kejahatan demi mendapatkan keuntungan pribadi saja.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, Kabupaten Labuhanbatu merupakan salah satu wilayah yang terletak di provinsi Sumatera Utara dan ibu kotanya adalah Rantauprapat dengan luas wilayah sekitar 2.562,01 km2 dan jumlah penduduknya sebanyak 857.692 jiwa. Dan berdasarkan ketetapan departemen pendidikan bahwa jumlah siswa SMP sebanyak 15.379 siswa dengan jumlah sekolah sebanyak 56 sekolah. Selain itu, Kabupaten Labuhanbatu memiliki sembilan kecamatan yaitu dan kecamatan Bilah Barat, Bilah Hilir, Bilah Hulu, Panai Hulu, Panai Hilir, Panai Tengah, Pangkatan, Rantau Utara dan Rantau Selatan. Dari ke sembilan kecamatan, maka sekolah yang akan dijadikan lokasi penelitian ini dilakukan di kecamatan Bilah Hulu yaitu di SMPN 1 Bilah Hulu dan SMP swasta Bina Widya yang akan di jadikan lokasi penelitian.

SMPN 1 Bilah Hulu merupakan SMP negeri yang terletak di kecamatan Bilah Hulu, kabupaten Labuhan Batu tepatnya di daerah dekat perkebunan kelapa sawit milik PT. Perkebunan Nusantara III (PTPN III). Dari hasil observasi, peneliti melihat SMP ini sedang melakukan perehapan gedung belajar yang sudah tidak layak pakai. Menurut kepala sekolah SMPN 1 Bilah Hulu, dana tersebut berasal dari PTPN III yaitu salah satu progaram Corporate Social Responsibility (CSR) yang sengaja diberikan untuk SMP tersebut pada tahun 2011. Sekolah ini memiliki jumlah siswa yang cukup banyak yaitu kurang lebih 859 siswa. Dari jumlah

keseluruhan siswa yang telah di seleksi sesuai dengan kriteria yang dicari oleh pihak sekolah, jumlah siswa kurang mampu pada tahun 2011 sebanyak 232 siswa. Masuk dan mulai di alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di sekolah ini pada tahun 2005, tetapi masih banyak infrastuktur dan siswa kurang mampu kekurangan fasilitas belajarnya. Sehingga dari jumlah siswa kurang mampu tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah melalui pihak sekolah untuk meringankan beban biaya sekolah mereka melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Lain halnya dengan SMP swasta Bina Widya Aeknabara yang merupakan salah satu sekolah milik yayasan Bina Widya. Sekolah ini memiliki infrastruktur yang memadai, tetapi minat masyarakat di kecamatan Bilah Hulu untuk sekolah di SMP ini kurang. Dapat dilihat dari jumlah siswa SMP secara keseluruhan hanya 47 orang. Hal ini mungkin dikarenakan biaya sekolah yang terlalu membebani orang tua siswa. Karena biaya sekolah di SMP negeri lebih murah daripada SMP swasta. Oleh karena itu masyarakat lebih banyak menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri. Dapat dilihat di SMP Swasta Bina Widya ini bahwa 50% siswa-siswinya memiliki latar belakang keluarga kurang mampu. Dari hasil pendataan pihak sekolah tahun 2011 bahwa siswa kurang mampu di SMP ini sebanyak 20 orang. Biaya sekolah di SMP ini cukup mahal bagi masyarakat kurang mampu, yaitu sebesar Rp 50.000 per bulannya. Hal ini sudah menjadi beban kepada orang tua untuk membiayai pendidikan anaknya walaupun alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diterima pihak sekolah setiap tahunnya.

Dapat dilihat dalam perspektif sosiologi makro yaitu dalam teori sruktural fungsional bahwa semua kebijakan memiliki ikatan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini struktural fungsional sangat mempengaruhi kebijakan yang diturunkan pemerintah kepada sekolah dan siswa kurang mampunya. Akan tetapi apabila suatu kebijakan terkendala dalam

mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada siswa kurang mampu dan pihak sekolah maka kegiatan belajar mengajar akan terkendala. Dapat dilihat dari kasus diatas bahwa masih ada kendala yang membuat sistem pendidikan yang seharusnya tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Padahal peraturan yang dikeluarkan pemerintah sangat banyak untuk mengantisipasi terjadinya disfungsi di lembaga pendidikan. Meskipun demikian, alokasi yang diberikan pemerintah masih banyak yang berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan oleh pengaruh dari pemerintah daerah dan kepala sekolahnya dalam mensejahterakan guru dan siswa kurang mampu. Apabila dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dijalankan sesuai dengan yang diharapkan sehingga siswa kurang mampu tidak terkendala untuk ke sekolah. Karena dengan adanya dana khusus berupa uang transportasi yang tertera dalam program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diharapkan siswa kurang mampu tidak memiliki kendala untuk pergi ke sekolah.

Penyelewengan dana yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab atas sasaran yang dituju mengalami hambatan dalam pengalokasiannya, karena lembaga pendidikan telah mengalami disfungsi dalam menjalankan program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dikalangan struktur maupun sistem pendidikannya. Maksud disfungsi yang terjadi pada instansi pendidikan disini yaitu telah terjadi pemotongan dana khusus siswa kurang mampu yang tidak jelas alasannya, pertanggungjawaban dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang tidak sesuai dengan kenyataannya di sekolah, serta tertundanya gaji guru honor, gaji petugas tata usaha sekolah, dan gaji petugas kebersihan sekolah. Hal seperti ini dikemukakan oleh Robert K. Merton dalam konsep disfungsi yang terkait dengan teori struktural fungsionalnya. Padahal secara fungsional kebijakan tersebut sangat membantu masyarakat untuk mengurangi beban hidup keluarga terutama kepada siswa kurang mampu. Alokasi dana serta pengawasan harus

diperhatikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sehingga sekolah-sekolah yang membutuhkan tidak kebingunan dalam mengatur kebutuhan yang diperlukan sekolah. Selain untuk pembangunan infrastruktur, gaji guru honor, gaji tata usaha, gaji petugas kebersihan, bantuan buku pelajaran maupun bantuan sosial lainnya, beberapa sekolah juga memberikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) kepada siswa kurang mampu.