Pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik diarahkan untuk memenuhi pertumbuhan beban yang direncanakan, dan pada beberapa wilayah tertentu diutamakan untuk memenuhi kekurangan pasokan tenaga listrik. Pengembangan kapasitas pembangkit juga dimaksudkan untuk meningkatkan keandalan pasokan yang diinginkan, dengan mengutamakan pemanfaatan sumber energi setempat, terutama energi terbarukan.
Pengembangan kapasitas pembangkit tenaga listrik sejauh mungkin dilakukan
secara optimal dengan prinsip biaya penyediaan listrik terendah (least cost),
dengan tetap memenuhi tingkat keandalan yang wajar dalam industri tenaga
listrik. Biaya penyediaan terendah dicapai dengan meminimalkan net present
value semua biaya penyediaan listrik yang terdiri dari biaya investasi, biaya
bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan, dan biaya energy not served6.
Tingkat keandalan sistem pembangkitan diukur dengan kriteria Loss of Load
Probability (LOLP)7 dan cadangan daya (reserve margin). Pembangkit sewa
6
Biaya energy not served adalah nilai penalti ekonomi yang dikenakan pada objective function
untuk setiap kWh yang tidak dapat dinikmati konsumen akibat padam listrik
7 LOLP dan
14 RUPTL 2015- 2024
dan excess power tidak diperhitungkan dalam membuat rencana
pengembangan kapasitas jangka panjang, namun dalam jangka pendek diperhitungkan untuk menggambarkan upaya PLN dalam mengatasi kondisi krisis kelistrikan.
Namun demikian, sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk lebih banyak mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan, pengembangan panas
bumi dan tenaga air tidak mengikuti kriteria least cost, sehingga dalam proses
perencanaan mereka diperlakukan sebagai fixed plant8. Walaupun demikian,
pengembangan pembangkit panas bumi dan tenaga air tetap memperhatikan
keseimbangan supply–demand dan besar cadangan yang tidak berlebihan,
serta status kesiapan pengembangannya.
Kebijakan dalam hal besarnya cadangan daya diambil dengan mengacu kepada kecukupan pemenuhan tenaga listrik sesuai kriteria perencanaan. Kebutuhan cadangan daya yang wajar dilihat dari kemampuan pembangkit-pembangkit memasok tenaga listrik secara terus-menerus sesuai kriteria perencanaan. Dengan nilai cadangan daya tertentu, pembangkit-pembangkit di suatu sistem mampu memasok tenaga listrik secara terus-menerus.
PLN mempunyai kebijakan untuk membolehkan rencana reserve margin yang
tinggi melebihi kebutuhan yang wajar dengan pertimbangan sebagai berikut:
x Pada beberapa daerah yang merupakan sumber utama energi primer
nasional maupun yang memiliki potensi mineral yang signifikan namun telah lama kekurangan pasokan tenaga listrik, yaitu Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pelaksanaan proyek-proyek pembangkit di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera seringkali
mengalami keterlambatan, pembangkit existing telah mengalami derating
yang cukup besar dan adanya keyakinan bahwa tersedianya tenaga listrik yang banyak di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan akan memicu
tumbuhnya demand listrik yang jauh lebih cepat9.
x Apabila terdapat penugasan dari Pemerintah untuk mempercepat
pembangunan pembangkit.
8
Fixed plant adalah kandidat pembangkit yang langsung dijadwalkan pada tahun tertentu tanpa menjalani proses optimisasi keekonomian.
9
PLN meyakini bahwa demand listrik di daerah yang telah lama mengalami pemadaman merupakan demand yang tertekan (suppressed demand) dan tidak dapat diproyeksi hanya dengan metoda regresi berdasar data historis.
RUPTL 2015- 2024 15
x Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan keterlambatan penyelesaian
pembangunan pembangkit.
Berkaitan dengan kebijakan tersebut, PLN akan memonitor progres implementasi proyek pembangkit dari tahun ke tahun. Apabila progres fisik proyek pembangkit berjalan baik atau dapat diselesaikan lebih awal, maka PLN akan mengimbanginya dengan mitigasi tertentu. Mitigasi tersebut misalnya pemasaran agresif untuk menyeimbangkan penjualan dengan pasokan maupun memastikan interkoneksi dengan sistem kelistrikan lain sehingga dapat
dilakukan power exchange.
Pemilihan lokasi pembangkit dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber energi primer setempat atau kemudahan pasokan energi
primer, kedekatan dengan pusat beban, prinsip regional balance¸ topologi
jaringan transmisi yang dikehendaki, kendala pada sistem transmisi10, dan
kendala-kendala teknis, lingkungan dan sosial11. Lokasi pembangkit yang
tercantum dalam RUPTL merupakan indikasi lokasi yang masih dapat berubah sesuai dengan perkembangan dalam penyiapan proyek di lapangan.
Pemenuhan kebutuhan beban puncak sistem besar dengan pembangkit berbahan bakar BBM tidak direncanakan lagi. Untuk selanjutnya PLN hanya merencanakan pembangkit beban puncak yang beroperasi dengan gas (LNG, mini LNG, CNG). Apabila ada potensi hidro, PLN lebih mengutamakan
pembangkit hidro, seperti pumped storage, PLTA peaking dengan reservoir.
BBM hanya direncanakan sebagai buffer untuk mempercepat ketersediaan daya sebelum tersedianya energi primer lebih ekonomis.
Proyek PLTGU berbahan bakar gas lapangan (gas pipa) hanya direncanakan apabila terdapat kepastian pasokan gas. Dalam hal tidak tersedia pasokan gas lapangan, maka PLTGU sebagai pembangkit medium (pemikul beban menengah) menjadi tidak dapat direncanakan. Konsekuensinya sebagian pembangkit beban dasar, yaitu PLTU batubara, dapat dioperasikan sebagai pemikul beban menengah dengan capacity factor yang relatif rendah, walaupun
10
Pembebanan lebih, tegangan rendah, arus hubung singkat terlalu tinggi, stabilitas tidak baik.
11
16 RUPTL 2015- 2024 untuk fungsi tersebut PLTU batubara perlu dibantu oleh pembangkit jenis lain
yang mempunyai ramping rate12 tinggi seperti PLTG dan PLTA Bendungan.
Penyelesaian kekurangan pasokan listrik jangka pendek dilakukan melalui
pengembangan mobile power plant (MPP) yang bisa dibangun dalam waktu
relatif cepat dan sifatnya yang mobile. Tipe MPP yang bisa dikembangkan
meliputi barge mounted, truck mounted dan container. Pengembangan MPP
juga difungsikan untuk mengurangi ketergantungan pada mesin sewa. Untuk fleksibiltas dalam hal bahan bakar, MPP direncanakan menggunakan bahan
bakar gas dengan teknologi pembangkit dual fuel.
Untuk pengembangan kelistrikan di sistem kelistrikan yang isolated dan di pulau-pulau kecil masih diperlukan pembangkit berbahan bakar minyak. Secara jangka panjang perlu kajian penggunaan teknologi yang memungkinkan untuk mengganti bahan bakar minyak menjadi bahan bakar yang lebih efisien misalnya LNG, biomassa dan batubara. Teknologi yang potensial untuk mengganti hal tersebut di atas antara lain pembangkit thermal modular pengganti diesel (PTMPD) dengan bakar bakar biomassa dan batubara,
PLTMG, PLTD dual fuel serta pembangkit energi terbarukan yang di-hybrid
dengan PLTD maupun alternatif penggunaan bahan bakar biofuel untuk PLTD.
Untuk sistem kelistrikan Jawa-Bali, PLN telah merencanakan PLTU batubara
kelas 1.000 MW dengan teknologi ultra super critical13 untuk memperoleh
efisiensi yang lebih baik dan emisi CO2 yang lebih rendah. Penggunaan ukuran
unit sebesar ini dimotivasi oleh manfaat economies of scale dan didorong oleh
semakin sulitnya memperoleh lahan untuk membangun pusat pembangkit skala besar di pulau Jawa. Pertimbangan lainnya adalah ukuran sistem Jawa Bali telah cukup besar untuk mengakomodasi unit pembangkit kelas 1.000 MW. Secara umum pemilihan lokasi pembangkit diupayakan untuk memenuhi prinsip
regional balance. Regional balance adalah situasi dimana kebutuhan listrik
suatu region dipenuhi sebagian besar oleh pembangkit yang berada di region tersebut dan tidak banyak tergantung pada transfer daya dari region lain melalui saluran transmisi interkoneksi. Dengan prinsip ini, kebutuhan transmisi interkoneksi antar region akan minimal.
12
Ramping rate adalah kemampuan pembangkit dalam mengubah outputnya, dinyatakan dalam % per menit, atau MW per menit.
13
PLTU ultra super critical merupakan jenis clean coal technology (CCT) yang telah matang
secara komersial. Jenis CCT lainnya, yaitu Integrated Gassification Combined Cycle (IGCC)
RUPTL 2015- 2024 17
Namun demikian kebijakan regional balance ini tidak membatasi PLN dalam
mengembangkan pembangkit di suatu lokasi dan mengirim energinya ke pusat beban melalui transmisi, sepanjang hal tersebut layak secara teknis dan ekonomis. Hal ini tercermin dari adanya rencana untuk mengembangkan PLTU mulut tambang skala besar di Sumatra Selatan dan menyalurkan sebagian besar energi listriknya ke pulau Jawa melalui transmisi arus searah tegangan
tinggi (high voltage direct current transmission atau HVDC)14. Situasi yang
sama juga terjadi di sistem Sumatera, dimana sumber daya energi (batubara, panas bumi dan gas) lebih banyak tersedia di Sumbagsel, sehingga di wilayah ini banyak direncanakan PLTU batubara dan PLTP yang sebagian energinya akan ditransfer ke Sumbagut melalui sistem transmisi tegangan ekstra tinggi. Kepemilikan proyek-proyek pembangkitan yang direncanakan dalam RUPTL disesuaikan dengan kemampuan pendanaan PLN. Mengingat kebutuhan investasi sektor ketenagalistrikan yang sangat besar, PLN tidak dapat secara sendirian membangun seluruh kebutuhan pembangkit baru. Dengan demikian sebagian proyek pembangkit akan dilakukan oleh listrik swasta sebagai
independent power producer (IPP) maupun pihak ketiga non-IPP dengan model
bisnis tertentu seperti power wheeling, kerjasama excess power, penetapan
wilayah usaha tersendiri dan sebagainya.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik bagi smelter dan kawasan industri
baru dimana PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listriknya, pengembang
smelter atau kawasan industri tersebut dapat membangun pembangkit sendiri
atau memanfaatkan pembangkit yang dimiliki oleh pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (IUPTL) lain dan memanfaatkan jaringan transmisi
atau distribusi milik PLN atau pemegang IUPTL lain melalui skema power
wheeling, dengan tetap memperhatikan kemampuan transmisi atau distribusi
tersebut.
Berikut ini kebijakan PLN dalam mengalokasikan kepemilikan proyek kelistrikan:
Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek PLN apabila telah
mendapat indikasi pendanaan dari APLN maupun lender, telah mempunyai
14
Persyaratan untuk melaksanakan proyek interkoneksi Sumatera – Jawa ini adalah kebutuhan
18 RUPTL 2015- 2024 kontrak EPC/penunjukan pemenang lelang EPC, atau ditugaskan oleh Pemerintah untuk melaksanakan sebuah proyek pembangkit.
Proyek pembangkit direncanakan sebagai proyek IPP apabila PLN telah
menandatangani PPA/Letter of Intent, PLN telah menyampaikan usulan
kepada Pemerintah bahwa suatu proyek dikerjakan oleh IPP, atau pengembang swasta telah memperoleh IUPTL dari Pemerintah.
Rencana proyek baru yang belum ditetapkan calon pengembang maupun
sumber pendanaannya, dapat dibangun oleh PLN maupun IPP atau dalam bentuk kerja sama khusus dimana PLN tidak menjadi off-taker sepenuhnya,
dimasukkan dalam kelompok proyek “unallocated”.
Berdasarkan UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan menyatakan bahwa
BUMN diberikan prioritas pertama melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, namun demikian terbuka peluang bagi BUMD, badan usaha swasta atau koperasi. Dalam RUPTL ini, peluang
tersebut terbuka untuk proyek unallocated. Dalam hal tidak ada BUMD,
badan usaha swasta atau koperasi yang dapat mengembangkan proyek
unallocated tersebut, maka Pemerintah wajib menugasi BUMN untuk
melaksanakannya.
PLTP: Sesuai dengan peraturan dan perundangan di sektor panas bumi,
pengembangan PLTP pada umumnya didorong untuk dikembangkan oleh
swasta dengan proses pemenangan WKP melalui tender sebagai total
project 15. Sedangkan potensi panas bumi yang WKP-nya dimiliki oleh
Pertamina berdasar regulasi terdahulu, Pertamina dan PLN dapat bekerja
sama mengembangkan PLTP 16. Beberapa WKP PLTP di Indonesia Timur
yang dimiliki PLN akan dikembangkan sepenuhnya sebagai proyek PLN. Disamping itu, pengembangan PLTP yang baru baik oleh PLN maupun IPP tidak boleh mengorbankan pasokan uap untuk PLTP eksisting yang sudah berjalan.
15 Total project PLTP adalah proyek dimana sisi hulu (uap) dan hilir (pembangkit listrik)
dikerjakan oleh pengembang dan PLN hanya membeli listrik.
16 Yaitu Pertamina mengembangkan sisi hulu dan PLN membangun power plant, atau
RUPTL 2015- 2024 19