Estimasi total investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan pembangkitan, transmisi dan distribusi sampai dengan tahun 2024 adalah sebesar 132,2 miliar USD. PLN akan mendanai pengembangan pembangkitan, transmisi, dan
distribusi sebesar 69,4 miliar USD (tidak termasuk interest during
construction/IDC, development cost) sedangkan sisanya sebesar 62,8 miliar
USD diharapkan dari partisipasi listrik swasta.
Selain tantangan pembangunan sarana ketenagalistrikan, penyediaan tenaga listrik saat ini juga dibebani oleh biaya produksi yang tinggi. Pendapatan dari pelanggan hanya menutupi sekitar 50-60% dari biaya produksi PLN. Selisih antara biaya produksi dan pendapatan PLN merupakan beban subsidi listrik pada APBN. Pada tahun 2012 subsidi listrik mencapai Rp 103,3 triliun. Subsidi listrik yang diberikan sejak tahun 2000-2012 cukup untuk menutupi biaya operasi, tetapi kurang memadai untuk menunjang investasi pengembangan sistem kelistrikan.
Penjelasan atas UU 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 66 ayat 1 menyatakan bahwa jika BUMN diberikan penugasan khusus oleh
Pemerintah yang secara finansial tidak feasible maka Pemerintah harus
memberikan kompensasi atas biaya yang telah dikeluarkan termasuk margin yang diharapkan. Pemerintah menugaskan PLN menyediakan tenaga listrik dan meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia tetapi harga jual tenaga listrik ditetapkan oleh Pemerintah, dimana harga jual ini tidak sesuai dengan harga keekonomiannya. Oleh karena itu Pemerintah harus memberikan margin PSO ke PLN dengan besaran tertentu untuk memastikan keuangan PLN tetap sehat dan dapat memenuhi semua kewajiban korporasinya. Margin ini diperlukan oleh PLN untuk menjamin terciptanya laba perusahaan dan meminimalisir risiko-risiko unsur biaya pembentuk BPP seperti risiko-risiko fluktuasi harga energi primer, risiko kurs, risiko beban pinjaman, dan sebagainya. Pada tahun 2009, 2010, 2011, 2012 dan 2013 Pemerintah mengalokasikan margin sebesar 5%, 8%, 8%, 7% dan 7% untuk mendukung kemampuan meminjam PLN untuk investasi. Program percepatan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 10.000 MW yang ditugaskan Pemerintah kepada PLN melalui Peraturan Presiden Nomor 71 tahun 2006 sepenuhnya didanai oleh pinjaman. Sejak program ini digulirkan, PLN untuk pertama kalinya harus melakukan pinjaman
RUPTL 2015- 2024 153 langsung secara besar-besaran, baik melalui penerbitan obligasi internasional maupun pinjaman kepada perbankan nasional dan internasional. Kondisi dengan pinjaman besar-besaran yang dilakukan, sementara struktur pendapatannya belum dibenahi, telah berakibat pada memburuknya neraca
keuangan PLN (financial leverage menjadi tinggi) yang ditunjukkan dengan
meningkatnya Debt to Equity Ratio (DER) dari 28% pada tahun 2002 menjadi
281% pada akhir tahun 2013.
Sejak tahun 2005 sebagian besar dana pembangunan bersumber dari hutang. Hutang tersebut berasal dari hutang Pemerintah maupun hutang korporasi. Kedua jenis hutang tersebut memiliki kewajiban yang harus dijaga oleh PLN untuk menjamin kemampuan pengembalian hutangnya. Kewajiban tersebut
adalah covenant pinjaman.
Covenant adalah komitmen untuk menjaga kondisi keuangan perusahaan yang
dituangkan dalam sebuah perjanjian hutang. Dari beberapa covenant yang ada,
umumnya covenant yang perlu dijaga oleh PLN terdiri dari 2 (dua) buah
indikator: (i) Consolidated Interest Coverage Ratio (CICR) dan (ii) Debt Service
Coverage Ratio (DSCR). CICR merupakan rasio antara Consolidated Cash
Flow dengan Consolidated Interest Expense, yang merupakan persyaratan
bond holder dari pendanaan Global Bond dengan angka mínimum 2 kali. DSCR
adalah persyaratan pinjaman dari multilateral bank (2 lender utama PLN yaitu IBRD dan ADB) dengan angka minimum sebesar 1,5 kali. Masing-masing
lender memberi definisi berbeda untuk DSCR :
“The net revenues of PLN for the twelve months prior to the date of such incurrence shall be at least 1.5 times the estimated maximum debt service requirement of PLN for any succeeding fiscal year on all debts of PLN including the debt to be incurred.” (ADB).
“... the estimated net revenues of PLN for each fiscal year during the term of the debt to be incurred shall be at least 1,5 times the estimated debt services requirements of PLN in such year” (IBRD).
Dalam kurun waktu tahun 2002–2012, PLN masih mampu memenuhi covenant
pinjaman (DSCR dan CICR) dalam posisi batas aman sebagaimana gambar 7.6.
Namun pada tahun-tahun mendatang PLN akan kesulitan untuk memenuhi
154 RUPTL 2015- 2024 semakin besarnya beban hutang, maka diperlukan kepastian pendapatan yang
semakin besar agar beban bunga dan cicilan tetap dapat dipenuhi melalui pendapatan.
Gambar 7. 6 Posisi Indikator DSCR dan CICR Periode Tahun 2002-2013
Semakin besarnya hutang PLN terlihat pada Gambar 7.7 yang menunjukkan
bahwa kecenderungan Debt to Equity Ratio (DER) PLN makin membesar.
Dalam gambar tersebut terlihat bahwa Modal (Equity) PLN relatif tidak
bertambah dan berkisar pada nilai Rp 133 Trilyun. Sedangkan beban hutang bertambah dari sekitar Rp 34 T menjadi Rp 374 T.
Gambar 7. 7 Posisi Indikator DER periode Tahun 2002-2013
Sejak tahun 2012 pelaporan sistem akuntasi PLN harus menggunakan ISAK 8 (Interpretasi Standar Akuntasi Keuangan) sesuai peraturan dari Bapepam yang mensyaratkan agar seluruh perusahaan di Indonesia mengikuti PSAK 30
5,0 6,8 5,6 2,6 3,0 2,5 2,1 2,1 2,3 2,2 2,1 2,2 2,1 2,5 3,3 2,9 2,1 2,3 1,4 1,9 1,7 1,5 1,7 1,7 -1 2 3 4 5 6 7 8 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Ra si o ( x ) CICR DSCR 22% 21% 24% 23% 39% 49% 75% 87% 131% 156% 209% 281% 374 133 0% 50% 100% 150% 200% 250% 300% -50 100 150 200 250 300 350 400 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 DER Trilion RP
RUPTL 2015- 2024 155 (Prinsip Standar Akuntansi Keuangan). Dengan adanya standar ini maka kewajiban dari listrik swasta/IPP secara akuntansi menjadi kewajiban dari PLN.
Penerapan PSAK 30 yang mengatur tentang “Sewa” dan ISAK 8 yang
mengatur mengenai “Penentuan Apakah Suatu Perjanjian Mengandung Suatu Sewa” ini akan mempunyai implikasi terhadap laporan keuangan PLN.
Perjanjian Power Purchase Agreement (PPA) dengan IPP termasuk suatu
perjanjian yang mengandung suatu sewa, sehingga penerapan ini mempunyai implikasi menyebabkan diakuinya aset dan kewajiban terkait perjanjian sewa dalam laporan posisi keuangan PLN serta mengakibatkan perubahan pada saldo laba/rugi pada laporan laba/rugi komprehensif PLN tahun sebelumnya. Dampaknya, rasio-rasio keuangan perusahaan pun ikut berubah dan berpotensi
mengakibatkan terjadinya pelanggaran beberapa covenant atas pinjaman yang
dimiliki PLN.
Kondisi melemahnya kemampuan investasi PLN juga sudah diketahui oleh
pasar keuangan. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan dari rating agency yang
menyatakan bahwa sustainibility PLN mengkhawatirkan karena investasi yang
agresif serta financial leverage yang sudah mengkhawatirkan. Dalam roadshow
PLN banyak investor yang mengkhawatirkan sustainability PLN akibat semakin
membesarnya debt to ebitda ratio PLN.
Dengan adanya indikasi memburuknya financial leverage PLN, maka akan
berakibat pada kemampuan meminjam PLN menjadi semakin lemah.
7.7.2 Perbaikan Struktur Modal Perusahaan
Dalam rangka meningkatkan kemampuan PLN dalam menyediakan fasilitas tenaga listrik diperlukan penguatan modal perusahaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan cara:
1. Peningkatan pendapatan internal PLN baik melalui kenaikan tarif dan
atau subsidi, yang mampu meningkatkan kemampuan investasi.
2. Dukungan Pemerintah dalam penyediaan dana investasi dalam
Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk mengurangi beban pinjaman.
3. Restrukturisasi pinjaman PLN yang saat ini cukup besar antara lain
dengan melakukan swap Sub-Loan Agreement (SLA) menjadi PMN,
156 RUPTL 2015- 2024
7.7.3 Pengembangan Model Bisnis Kerjasama PLN dan Pihak Ketiga Non-IPP
Agar pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu dengan keterbatasan kemampuan pendanaan PLN, diperlukan langkah-langkah terobosan perubahan model bisnis sektor ketenagalistrikan. Langkah-langkah ini antara lain memberikan kesempatan kepada pihak ketiga non-IPP untuk berpartisipasi dalam pembangunan pembangkit serta memasok industri agar PLN tidak
menjadi satu-satunya off-taker sepenuhnya, misalnya melalui skema power
wheeling, kerja sama antar wilayah usaha. Dengan model bisnis seperti ini
maka investasi yang dilakukan oleh pihak ketiga non-IPP tidak akan membebani keuangan PLN secara jangka panjang.
RUPTL 2015- 2024 157
BAB VIII
ANALISIS RISIKO JANGKA PANJANG
Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam RUPTL 2015-2024 adalah tersedianya pasokan tenaga listrik yang cukup, andal dan efisien, guna mengantisipasi pertumbuhan konsumsi tenaga listrik dan mendukung terciptanya ketahanan energi.
Dalam pencapaian sasaran strategis tersebut PLN telah berkomitmen
menerapkan paradigma risk management melalui implementasi ERM
(Enterprise Risk Management). Hal tersebut selain bertujuan untuk
meningkatkan value bagi perusahaan, sekaligus juga sebagai salah satu unsur
GCG (Good Corporate Governance) dalam pengelolaan perusahaan
sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan GCG pada BUMN. Peletakan dasar-dasar (fundamental) untuk implementasi Manajemen Risiko di lingkungan PT PLN (Persero) telah dimulai pada tahun 2010 dengan ditetapkannya kebijakan implementasi Manajemen Risiko sesuai KEPDIR No. 537.K/DIR/2010 beserta pedoman pelaksanaannya sesuai Edaran Direksi No. 028.E/DIR/2010.
Bab ini menggambarkan Profil Risiko Jangka Panjang PLN yang dinilai dominan berpotensi mempengaruhi pencapaian sasaran tersebut di atas dalam kurun waktu tahun 2015-2024, dimana telah teridentifikasi terdapat pada aspek
regulasi Pemerintah, aspek financing (pendanaan), security of supply dan
aspek operasional. Hal tersebut sejalan dengan isu-isu utama RUPTL, yaitu proyeksi kebutuhan / permintaan tenaga listrik, pengembangan pembangkit, transmisi dan distribusi, serta proyeksi pasokan energi primer dan kebutuhan investasi, baik oleh PLN maupun oleh swasta.