• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin

Dalam dokumen KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN PANGKALAN M (Halaman 34-41)

KEBIJAKAN PERTAHANAN JEPANG

A. Kebijakan Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin

Seperti yang telah dijelaskan di atas, berakhirnya perang dingin membawa perubahan yang sangat besar terhadap arah kebijakan pertahanan Jepang. Konsep kokusai koken (contribution to the international community) menjadi panduan penting dalam pembentukan kebijakan pertahanan Jepang. Di mana konsep ini tidak hanya terbatas dalam isu ekonomi saja, tetapi juga isu-isu yang berkaitan dengan keamanan dan stabilitas perdamaian dunia.58

56 Takehiko Ochiai, “Beyond TICAD Diplomacy: Japan’s African Policy and African Initiatives In Conflict Response.”

57 Louis G. Perez, Japan at War: An Encyclopedia (California: ABC-CLIO, 2013), 371.

58 In Sung Jang, “How the Japanese Understand International Responsibility and Contribution: Its Historical Nature as Featured in the International System,” [artikel on-line]; tersedia di

http://dev.wcfia.harvard.edu/us-japan/research/pdf/05-06.Jang.pdf; Internet; diunduh pada 14 Oktober 2016.

Masifnya perkembangan isu keamanan pasca perang dingin mendorong pemerintah Jepang untuk meningkatkan pengaruhnya dalam politik internasional. Di bawah pemerintahan Toshiki Kaifu, Jepang ingin menjadi pihak independen yang mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah Asia.59

Hal ini tercermin dalam pidatonya di Singapura yang menyatakan bahwa, “Jepang akan mengambil peran politik untuk memberikan kontribusi bagi stabilitas wilayah Asia, khususnya Indochina, dan Jepang bersumpah tidak akan lagi menjadi kekuatan militer.”60 Implementasi dari pidato tersebut yakni keikutsertaan Jepang

dalam misi yang dilakukan PBB untuk menyelesaikan konflik internasional, khususnya di wilayah Asia.

Perang teluk pada 1990-1991 menjadi batu loncatan bagi Jepang untuk terlibat dalam isu keamanan internasional khususnya di Asia.61 Kontribusi Jepang dalam

penyelesaian konflik di wilayah tersebut lebih bersifat bantuan logistik dan bantuan finansial untuk pembangunan kembali infrastruktur yang rusak akibat perang.62 Total

dana bantuan yang dikeluarkan Jepang dalam konflik tersebut sebesar 13 miliar dolar AS.63

59 Keiko Hirata, “Reaction and Action: Analyzing Japan’s Relations With The Socialist Republic Of Vietnam,” dalam Regionalism and Japan: The Bases of Trust and Leadership, Routledge, New York, 2001, hal. 113.

60 Keiko Hirata, “Reaction and Action: Analyzing Japan’s Relations With The Socialist Republic Of Vietnam,” hal. 114.

61 “Current Issues Surrounding UN PKO & Japanese Perspective,”

http://www.mofa.go.jp/policy/un/pko/issues.html. Diakses pada tanggal 31 Juli 2016, pukul 17:45.

62 “Japan’s Response To The Gulf Crisis,”

http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/1991/1991-2-2.htm. Diakses pada tanggal 31 Juli 2016, pukul 17:58.

63 Amy L. Catalinac, “Identity Theory and Foreign Policy: Explaining Japan’s Responses To The 1991 Gulf War & The 2003 US War In Iraq,” Politics & Policy, Vol. 35, No. 1, Cambridge, 2007,

Untuk melegitimasi tindakannya, pemerintahan Toshiki Kaifu membuat sebuah rancangan undang-undang yang bernama UN Peace Cooperation Bill. RUU ini diajukan ke parlemen pada Oktober 1990.64 Akan tetapi, parlemen Jepang menolak

untuk menyetujui undang-undang tersebut, hal ini diakibatkan adanya penolakan publik terhadap keterlibatan pasukan Jepang dalam konflik internasional.65

Selain itu, sebagian besar publik Jepang pada masa Toshiki Kaifu merasa pengiriman tersebut telah melanggar konstitusi.66 Dalam Peace Constitution 1947,

secara jelas menyatakan bahwa, “Dengan hati yang tulus didasarkan pada keadilan dan ketertiban bagi perdamaian internasional, rakyat Jepang selamanya menolak perang dan ancaman atau penggunaan kekerasan sebagai hak kedaulatan bangsa dalam menyelesaikan konflik internasional. Untuk memenuhi tujuan paragraf sebelumnya, angkatan darat, laut, dan udara, demikian pula potensi perang lainnya, tidak akan dipelihara. Hak beligerensi negara tidak akan diakui.67

Walaupun intensitas penolakan terhadap keterlibatan pasukan SDF dalam misi internasional masih cukup tinggi. Pemerintahan Toshiki Kaifu tetap berusaha untuk membuat sebuah landasan hukum agar pasukan SDF memiliki legitimasi dalam setiap

hal. 62.

64 Inoguchi Takashi & Purnendra Jain, “Japanese Foreign Policy Today,” Palgrave, New York, 2000, hal. 127.

65 Namzariga Adamy, “Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin,” Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004, hal. 6.

66 Japan’s Response To The Gulf Crisis.

http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/1991/1991-2-2.htm. Diakses pada tanggal 1 agustus 2016, pukul 10:30.

67 “The Constitution of Japan”,

http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/constitution_e.html. Diakses pada tanggal 4 November 2015, pukul 21:35.

misi yang akan dijalankannya. Maka, dicetuskanlah kembali RUU yang bernama International Peace Cooperation Bill pada September 1991.68

Akan tetapi, RUU ini tidak langsung disahkan oleh parlemen. Sampai akhirnya RUU ini disetujui pada 9 juni 1992 dan disahkan pada 15 juni 1992 dengan nama International Peace Cooperation Act di bawah pemerintahan Miyazawa Kiichi.69 Tujuan utama dibentuknya undang-undang ini adalah untuk meningkatkan

peran Jepang dalam menjaga keamanan dan stabilitas perdamaian dunia, melalui peacekeeping operation di bawah naungan PBB.70

Prinsip-prinsip yang ada dalam undang-undang tersebut adalah (1) kesepakatan gencatan senjata di antara kedua belah pihak terjadi, (2) Kedua pihak setuju akan adanya operasi penjaga perdamaian yang dilakukan oleh Jepang di bawah naungan PBB, (3) Pasukan perdamaian harus menjaga netralitas di antara pihak yang berkonflik, (4) Jika prinsip-prinsip di atas tidak terpenuhi, pemerintah Jepang dapat menarik pasukan perdamaiannya, dan (5) penggunaan senjata diperbolehkan dalam batas seminimal mungkin untuk melindungi nyawa pasukan.71

68 Namzariga Adamy, “Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin,” Tesis Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004, hal. 6.

69 Namzariga Adamy, “Kebijakan PKO Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Paska Perang Dingin.”

70 Patrick M. Cronin & Michael J. Green, Redefining the US-Japan Alliance: Tokyo’s National Defense Program, (Washington: National Defense University Press, 1994), 37.

71 Andrew L. Oros & Yuki Tatsumi, Global Security Watch Japan, (California: Praeger, 2010), 13.

Adapun dalam pelaksanaannya, peacekeeping operation yang dilakukan Jepang dapat dibagi dalam 4 macam, yaitu: peacekeeping missions, humanitarian relief operations, election monitoring activities, dan in-kind contributions.72 Sejak

diberlakukannya PKO Act oleh Jepang pada Agustus 1992,73 terlihat bahwa Jepang

memiliki keinginan besar untuk ikut terlibat dalam mendukung stabilitas keamanan sistem internasional.

Pengiriman pasukan Self-Defense Force ke Kamboja di bawah naungan United Nations Transitional Authorities in Cambodia (UNTAC) menjadi misi pertama pasukan Jepang di bawah undang-undang hukum tersebut.74 Peristiwa ini

merupakan peristiwa yang bersejarah dalam kebijakan pertahanan Jepang. Karena untuk pertama kalinya di bawah legitimasi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan, Jepang mengirimkan pasukannya di bawah naungan PBB untuk menjaga stabilitas keamanan internasional.

Setelah pengesahan PKO Act, pada 1995 pemerintah Jepang melakukan revisi terhadap National Defence Program Outline (NDPO) yang dibuat pada 1976.75 Revisi

tersebut menghasilkan dua poin penting, pertama yaitu perluasan peran pasukan SDF

72 MOFA Japan, “Japan’s Contribution Based on the International Peace Cooperation Act,” [berita resmi on-line]; tersedia di http://www.mofa.go.jp/fp/ipc/page22e_000684.html; Internet; diunduh pada 17 Oktober 2016.

73 MOFA Japan, “Outline of Japan’s International Peace Coopeation,” [berita resmi on-line]; tersedia di http://www.mofa.go.jp/fp/ipc/page22e_000683.html; Internet; diunduh pada 17 Oktober 2016.

74 Peter J. Woolley, Japan’s Navy: Politics and Paradox 1971-2000, (Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc., 2000), 124.

75 Bhubhindar Singh, Japan’s Security Identity: From a Peace-State to an International State, (New York: Routledge, 2013), 118.

dalam kerjasama keamanan multilateral, seperti bantuan bencana dan peacekeeping operation yang diinisiasi oleh PBB. Kedua, menyusun kembali hal-hal yang menjadi prioritas dalam kebijakan pertahanan Jepang dan menekankan pentingnya aliansi antara Jepang dan AS sebagai inti dari strategi keamanan Jepang.76

Sebagai tindak lanjut dari strategi keamanan Jepang yang menjadikan aliansi Jepang dan AS sebagai intinya. Pada April 1996, Jepang dan AS secara resmi menandatangani ‘US-Japan Joint Declaration on Security – Alliance for the 21st

Century’.77 Perjanjian ini dilakukan untuk menegaskan kembali US-Japan Security

Treaty yang ditandatangani pada 1960. Fokus utama dari perjanjian tersebut adalah menjadi panduan bagi koordinasi kebijakan pertahanan antara Jepang dan AS untuk saling mendukung dalam menghadapi ancaman regional maupun internasional pasca Perang Dingin.78

Revisi NDPO pada 1995 dan ditandatanganinya Joint Declaration antara AS dan Jepang pada 1996 tidak terlepas dari beberapa peristiwa penting yang menimbulkan gejolak militer di kawasan Asia Timur. Adapun peristiwa penting yang melatarbelakangi Jepang meningkatkan kebijakan pertahanannya yakni, keputusan Korea Utara untuk menarik diri dari perjanjian Non Proliferation Treaty (NPT) pada

76 Bhubhindar Singh, Japan’s Security Identity: From a Peace-State to an International State.

77 Bhubhindar Singh, Japan’s Security Identity: From a Peace-State to an International State, 119.

78 Bhubhindar Singh, Japan’s Security Identity: From a Peace-State to an International State.

12 Maret 1993, sehingga memungkinkannya untuk meneruskan program nuklirnya tanpa pengawasan dari International Atomic Energy Agency (IAEA).79

Selain itu, Korea Utara juga melakukan uji coba misil Rodong pada 1991 yang berakhir dengan kegagalan. Pada 1993, Korea Utara kembali mengulangi uji coba misil Rodong jarak menengah dan sukses.80 Kesuksesan tersebut menarik minat

Iran, di mana minat tersebut ditunjukkan dengan pemesanan 150 misil Rodong pasca kunjungan militer Korea Utara ke Iran pada Maret 1993.81

Peristiwa lain yakni peningkatan kapabilitas militer China secara signifikan yang dimulai pada 1990. Di mana peningkatan kapabilitas ini meliputi kemampuan maritim, misil anti kapal, rudal balistik jarak pendek dan menengah, rudal jelajah, kapal selam siluman, dan kemampuan cyber serta teknologi ruang angkasa.82

Selanjutnya uji coba nuklir yang dilakukan oleh China dari 1992 sampai dengan 1995 yang mengakibatkan diberhentikannya bantuan ODA dari Jepang ke China.83

Kemudian serangkaian uji coba misil dan latihan militer yang dilakukan oleh China dari 1995 sampai dengan 1996.84 Adapun uji coba misil dan latihan militer

yang dilakukan oleh China merupakan aksi intimidasi China terhadap Taiwan agar 79 D. Ellsworth Blanc, North Korea, Pariah?, (New York: Nova Science Publishers, Inc., 2001), 29.

80 Andrew T. H. Tan, The Global Arms Trade: A Handbook, (New York: Routledge, 2014), 97.

81 Andrew T. H. Tan, The Global Arms Trade: A Handbook.

82 T. V. Paul, Accomodating Rising Powers: Past, Present, and Future, (Cambridge: Cambridge University Press, 2016), 49.

83 James Reilly, Strong Society, Smart State: The Rise of Public Opinion in China’s Japan Policy, (New York: Columbia University Press, 2012), 85

84 Sheng Lijun, China’s Dilemma: The Taiwan Issue, (New York: I.B. Tauris & Co. Ltd., 2001), 28-32.

Taiwan kembali lagi menjadi bagian dari Republik Rakyat China.85 Selanjutnya pada

31 Agustus 1998, Korea Utara kembali melakukan uji coba misil Taepo Dong-1 yang memiliki jarak tempuh sejauh 1.500-2.000 kilometer. Di mana dalam uji coba ini, misil tersebut melintas tepat di atas wilayah Jepang.86

Kemampuan misil Korea Utara yang berhasil melintas di atas wilayah Jepang tentunya memberikan ancaman yang sangat nyata bagi keamanan kedepannya. Maka dari itu, untuk mengantisipasi hal tersebut, pada 1999 pemerintah Jepang dan AS menandatangani sebuah kesepakatan. Kesepakatan ini berisi tentang kerjasama penelitian dan pengembangan sistem Theater Missile Defense (TMD) yang ditujukan untuk menangkal ancaman serangan rudal yang masuk ke wilayah Jepang.87

Dapat dilihat bahwa kebijakan peningkatan pertahanan Jepang pasca Perang Dingin merupakan bentuk respon dari terjadinya peristiwa-peristiwa penting yang mengancam eksistensi Jepang di regional Asia Timur. Bentuk respon ini dapat dianggap sebagai langkah Jepang untuk meningkatkan keamanan negaranya agar tetap bisa survive dalam sistem internasional yang anarki.

Dalam dokumen KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN PANGKALAN M (Halaman 34-41)