• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Balancing Jepang Terhadap Cina di Asia Timur

Dalam dokumen KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN PANGKALAN M (Halaman 90-101)

KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN PANGKALAN MILITER DI DJIBOUT

C. Upaya Balancing Jepang Terhadap Cina di Asia Timur

Menurut Waltz, upaya negara dalam meningkatkan security adalah untuk memelihara balance of power yang sudah ada. Hal ini dilakukan demi 247 United Nations of Economic Commission for Africa, “The Demographic Profile of African Countries.”

248 Istvan Tarrosy, “In the Wake of TICAD V: Japan-Africa Relations Today,” International Journal of Area Studies, Vol. 9, No. 4, (2014): 162.

mempertahankan posisi mereka dalam sistem internasional.249 Karena security

merupakan tujuan tertinggi untuk tetap survive dalam sistem yang anarki, dan power adalah instrumen penting untuk mencapai tujuan tersebut.250

Seperti yang telah dijelaskan oleh Walt, upaya Jepang melakukan tindakan balancing terhadap Cina dapat diasumsikan sebagai, reaksi terhadap besarnya power suatu negara yang berpotensi menimbulkan ancaman, sehingga mendorong negara lain untuk meng-counter power tersebut.251 Respon ini merupakan wujud dari

ketakutan negara terhadap power yang dimiliki oleh negara lain, sehingga mendorong negara itu untuk meningkatkan relative power-nya.252 Hal ini menunjukkan bahwa

upaya balancing dilakukan untuk merespon ancaman yang ditimbulkan oleh negara lain, daripada mengimbangi negara super power yang tidak mengancam eksistensi negara tersebut dalam sistem internasional.253

Berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Walt, upaya balancing Jepang terhadap Cina dilakukan karena secara aggregate power, proximate power, offensive power, dan offensive intention mengancam eksistensi Jepang di kawasan Asia Timur. Munculnya potensi ancaman seiring dengan peningkatan power China yang sangat

249 Baohui Zhang, China’s Assertive Nuclear Posture: State Security in an Anarchic International Order (New York: Routledge, 2015), 34.

250 Baohui Zhang, China’s Assertive Nuclear Posture: State Security in an Anarchic International Order.

251 Victor Teo & Caroline Rose, The United States Between China & Japan (England: Cambridge Scholars Publishing, 2013), 176.

252 Baohui Zhang, China’s Assertive Nuclear Posture: State Security in an Anarchic International Order, 36.

253 Kai He, Institutional Balancing in the Asia Pacific: Economic Interdependence and China’s Rise (New York: Routledge, 2009), 4.

signifikan, menjadi faktor utama yang mendorong Jepang untuk meng-counterpower tersebut.

Dari sisi aggregate power, kapabilitas Cina dalam hal perekonomian dan militer jauh melampaui Jepang. Secara ekonomi, Cina dinobatkan sebagai negara dengan total GDP terbesar kedua di dunia setelah AS. Total perolehan GDP Cina saat ini mencapai $12 triliun, 3 kali lipat dari GDP yang dihasilkan oleh Jepang.254 Dilihat

dari kapabilitas militer, Cina berada di urutan ketiga dunia sedangkan Jepang berada di urutan ke tujuh.255

Kemudian secara proximate power, letak geografis Jepang berdekatan dengan Cina, karena berada dalam satu kawasan, yakni Asia Timur. Selanjutnya, dilihat dari offensive power, kapabilitas militer Cina yang didukung oleh sistem persenjataan yang modern, anggaran militer yang besar, serta kemampuan untuk membuat senjata nuklir menjadi ancaman yang nyata bagi Jepang.256

Dari sisi offensive intention, tingginya permintaan energi untuk mencukupi kebutuhan industri, mendorong Cina untuk melakukan eksplorasi energi secara legal maupun ilegal. Tindakan tersebut dapat dilihat dari klaim sepihak yang dilakukan oleh Cina atas Laut Cina Selatan dan kepulauan Diaoyu/ Senkaku, sehingga 254 CNN, “World’s Largest Economies,” [berita on-line]; tersedia di

http://money.cnn.com/news/economy/world_economies_gdp; Internet; diunduh pada 20 Desember 2016.

255 GFP, “Countries Ranked by Military Strength,” [berita on-line]; tersedia di

http://www.globalfirepower.com/countries-listing.asp; Internet; diunduh pada 20 Desember 2016.

256 David C. Gompert & Phillip C. Saunders, The Paradox of Power: Sino-American Restraint in an Age of Vulnerability (Washington: National Defense University Press, 2011), 6.

menimbulkan sengketa dengan negara-negara yang juga berkepentingan atas wilayah tersebut.257

Sengketa antara Cina dan Jepang atas kepemilikan kepulauan Senkaku/ Diaoyu, menjadi latar belakang penting bagi upaya Jepang untuk melakukan upaya balancing terhadap agresifitas Cina di kawasan Asia Timur. Adapun sengketa ini dimulai pada 2008, di mana untuk pertama kalinya kapal Cina melakukan patroli di sekitar kepulauan Diaoyu/ Senkaku yang masih menjadi sengketa dengan Jepang.258

Sejak saat itu, intensitas kehadiran angkatan laut Cina di sekitar Laut Cina Timur lebih signifikan dari sebelumnya.259 Puncak dari sengketa ini terjadi pada

September 2010, ketika kapal penjaga pantai Jepang menangkap nelayan Cina karena telah memasuki wilayah perairan Diaoyu/ Senkaku yang masih disengketakan antara kedua belah pihak.260 Hal ini membuat hubungan antara kedua negara tersebut

semakin memanas. Tidak lama setelah itu, Cina melakukan penundaan ekspor sumber daya mineral ke Jepang sebagai respon atas penahanan warga negaranya.261

AS sebagai sekutu utama Jepang di kawasan Asia Timur juga tidak tinggal diam atas peristiwa tersebut. Dalam pernyataan resminya melalui Menlu Hillary Clinton, AS menegaskan bahwa sengketa antara Jepang dan Cina atas kepemilikan 257 Ian Storey & Cheng-Yi Lin, The South China Sea Dispute: Navigating Diplomatic and Strategic Tensions (Singapore: ISEAS Publishing, 2016), 273.

258 Andrew T.H. Tan, Security and Conflict in East Asia (New York: Routledge, 2015), 84.

259 Andrew T.H. Tan, Security and Conflict in East Asia.

260 Andrew T.H. Tan, East and South-Easr Asia: International Relations and Security Perspectives (New York: Routledge, 2013), 68.

261 Andrew T.H. Tan, East and South-Easr Asia: International Relations and Security Perspectives.

kepulauan tersebut lebih baik dirundingkan dalam meja dialog.262 Akan tetapi, AS

juga menegaskan bahwa US-Japan Treaty of Security and Mutual Cooperation berlaku terhadap sengketa tersebut, sehingga jika terjadi konflik, AS akan melindungi dan mempertahankan Jepang dari serangan Cina.263 Adanya keterlibatan AS

menjadikan sengketa tersebut berpotensi sebagai salah satu konflik yang paling berbahaya di dunia.264

Pada 2014, untuk kedua kalinya kapal Cina melakukan manuver dan memasuki perairan di sekitar kepulauan Diaoyu/ Senkaku yang masih menjadi sengketa.265 Bahkan pelanggaran batas teritorial yang dilakukan Cina terhadap Jepang

sepanjang 2014 telah mencapai 32 kali.266 Tentunya peningkatan intensitas kehadiran

militer Cina di Laut Cina Timur sangat mengancam eksistensi Jepang di kawasan tersebut, apalagi kedua negara terlibat persengketaan atas kepulauan Diaoyu/ Senkaku yang ada di perairan itu.

Berdasarkan peristiwa di atas, agresifitas Cina di kawasan Asia Timur menjadi faktor penting yang mempengaruhi Jepang untuk meningkatkan hubungannya dengan kawasan Afrika. Peningkatan intensitas hubungan dengan Afrika merupakan jalan 262 Joseph Yu-shek Cheng, China’s Foreign Policy: Challenges and Prospects (Singapore: World Scientific Publishing, 2016), 270.

263 Joseph Yu-shek Cheng, China’s Foreign Policy: Challenges and Prospects.

264 Tim F. Liao, Kimie Hara, & Krista Wiegand, The China-Japan Border Dispute: Islands of Contention in Multidisciplinary Perspective (New York: Routledge, 2015), 178.

265 MOFA, “Diplomatic Bluebook 2015: Japan’s Foreign Policy that Takes a Panoramic Perspective of the World Map,” [berita on-line]; tersedia di

http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/2015/html/chapter2/c020102.html; Internet; diunduh pada 20 Desember 2016.

266 MOFA, “Diplomatic Bluebook 2015: Japan’s Foreign Policy that Takes a Panoramic Perspective of the World Map.”

alternatif yang ditempuh oleh Jepang untuk meningkatkan relative power-nya, agar dapat melakukan upaya balancing terhadap Cina di kawasan. Selain itu, peningkatan hubungan dengan Afrika, terutama dalam hal perekonomian menunjukkan bahwa Jepang ingin mengurangi interdependensi terhadap Cina secara ekonomi, sehingga jika terjadi konflik di kemudian hari, dampak konflik terhadap perekonomian Jepang bisa diminimalisir.

Upaya Jepang meningkatkan kerjasama ekonominya dengan Afrika mulai terlihat signifikan pasca kedatangan PM Shinzo Abe pada 2014. Kunjungan PM Abe ke Pantai Gading, Mozambique, dan Ethiopia menunjukkan bahwa Jepang ingin meredefinisi kembali hubungannya dengan Afrika dan menjadikan Afrika sebagai alternatif utama pemasok kebutuhan industri Jepang.267

Dua tahun pasca kedatangan PM Shinzo Abe, tepatnya pada 27 Agustus 2016, Jepang kembali melaksanakan TICAD yang keenam di Nairobi Kenya.268 Dalam

pidatonya, PM Abe menjanjikan bahwa Jepang akan menyediakan dana sebesar $30 miliar yang akan dialokasikan selama tiga tahun kedepan, di mana sepertiga dari dana tersebut akan digunakan untuk meningkatkan infrastruktur di Afrika.269 Perlu

dipahami bahwa sebelumnya TICAD hanya dilaksanakan selama lima tahun sekali.

267 Edward Shizha & Lamine Diallo, Africa in the Age of Globalisation: Perceptions, Misperceptions, and Realities, 134.

268 MOFA, “TICAD VI: Nairobi Decalaration,” [berita on-line]; tersedia di

http://www.mofa.go.jp/af/af1/page3e_000543.html; Internet; diunduh pada 20 Desember 2016.

269 Ismail Akwei, “Over 30 African Leaders Attend the First TICAD Summit Held in Africa,” [berita on-line]; tersedia di http://www.africanews.com/2016/08/27/over-30-african-leaders-attend-the- first-ticad-summit-held-in-africa-photos/; Internet; diunduh pada 21 Desember 2016.

Selain itu, dari sejak pelaksanaan TICAD pertama sampai dengan TICAD yang kelima, selalu diadakan di Jepang.

Yang menarik, pada TICAD VI adalah Jarak waktu pelaksanaannya hanya terpaut tiga tahun dari TICAD V, dan untuk pertama kalinya acara ini dilaksanakan di Afrika. Dalam dokumen Nairobi Declaration di paragraf terakhir, secara tidak langsung Jepang menegaskan bahwa untuk kedepannya TICAD akan diadakan setiap tiga tahun sekali.270 Hal ini menunjukkan bahwa Jepang ingin membangun hubungan

yang lebih intensif dengan Afrika untuk mencapai kepentingannya terhadap kawasan tersebut.

Keputusan Jepang meningkatkan hubungannya dengan Afrika melalui TICAD secara signifikan juga dapat diasumsikan sebagai langkah Jepang dalam mengurangi ketergantungan ekspor kebutuhan industri dari Cina. Interdependensi Jepang terhadap Cina dapat dilihat dari data ekspor-impor pada 2011, di mana 21,5% Jepang mengimpor kebutuhan industri dari Cina dan mengekspor 20% dari total ekspornya ke Cina.271 Ketergantungan tersebut menjadikan Cina sebagai mitra perdagangan

terbesar bagi Jepang.272

Ketergantungan Jepang terhadap Cina yang sangat tinggi dalam hal perekonomian, akan berdampak besar terhadap Jepang jika hubungannya dengan Cina kembali memanas di kemudian hari. Maka dari itu, peningkatan hubungan

270 MOFA, “TICAD VI: Nairobi Decalaration.”

271 Inderjit Kaur Nirvikar Singh, The Oxford Handbook of the Economics of the Pacific Rim (New York: Oxford University Press, 2014), 371.

antara Jepang dan Afrika yang sangat signifikan dapat dilihat sebagai sebuah upaya Jepang untuk mencari alternatif importir demi mencukupi kebutuhan industrinya. Selain itu, Afrika juga bisa menjadi alternatif utama ekspor hasil produksi Jepang, mengingat Afrika memiliki potensi yang besar dalam menyerap hasil produk industri padat modal seperti yang dihasilkan oleh Jepang.

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Keputusan Jepang membangun pangkalan militer di Djibouti yang telah diresmikan pada Juni 2011 merupakan tindak lanjut dari kebijakan Jepang dalam misi pemberantasan perompak di sekitar perairan Somalia dan Teluk Aden. Pangkalan ini dibuat dengan tujuan untuk mendukung misi tersebut, sehingga pasukan Jepang dapat dengan mudah melakukan operasi di sekitar perairan Somalia dan Teluk Aden. Tingginya angka pembajakan kapal yang mencapai 111 insiden pada 2008 menjadi latar belakang penting yang mendorong Jepang untuk membuat keputusan tersebut.

Misi pemberantasan pembajakan kapal yang dilakukan oleh Maritime Self Defense Force secara legalitas memang diperbolehkan, karena misi ini merupakan operasi untuk memberantas kejahatan kriminal bukan operasi militer. Adapun hukum-

hukum yang menjadi landasan penting bagi misi ini adalah resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1816 yang memperbolehkan setiap negara untuk mengambil tindakan dalam menanggulangi aksi pembajakan kapal di perairan Somalia dan Teluk Aden.

Kemudian, Japan’s Basic Act on Ocean Policy yang memuat tentang kewajiban negara untuk menjamin keamanan dan keselamatan kapal-kapal Jepang. Selanjutnya Basic Plan on Ocean Policy berisikan tentang pembuatan dasar-dasar hukum untuk menekan aksi pembajakan kapal berdasarkan hukum internasional yang berlaku. Ada juga pasal 82 yang ada dalam Self Defense Force Law yang menjadi dasar hukum pengiriman kapal perang Jepang ke perairan Somalia dan Teluk Aden. Terakhir yakni Law on Punishment of and Measures against Acts of Piracy yang menjadi dasar hukum dalam operasi pemberantasan pembajakan kapal oleh MSDF.

Akan tetapi, diresmikannya pangkalan militer Jepang di Djibouti pada 2011 menimbulkan pertanyaan tersendiri. Respon Jepang terhadap aksi pembajakan kapal di perairan Somalia dan Teluk Aden yang sangat responsif tidak sebanding dengan sikapnya terhadap aksi pembajakan kapal di perairan Selat Malaka.

Kerangka pemikiran neo realism yang dikombinasikan dengan konsep national interest dan balance of power menjadi kerangka penting yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di atas. Dalam penelitian ini, dengan menggunakan kerangka pemikiran di atas, ditemukan jawaban-jawaban penting yang

menjadi alasan mengapa Jepang tetap membangun pangkalan militer di Djibouti serta memperpanjang aktivitas pangkalan militer tersebut walaupun aksi pembajakan kapal berhasil di atasi.

Jawaban pertama, pembangunan pangkalan militer Jepang di Djibouti pada 2011 merupakan tindak lanjut dari operasi anti pembajakan kapal yang dilakukan di sekitar perairan Somalia dan Teluk Aden. Adanya eskalasi kebijakan luar negeri Jepang terhadap kejahatan transnasional tersebut menunjukkan bahwa Jepang memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap keamanan jalur transportasi maritim yang melewati kawasan tersebut. Karena sebagian besar perdagangan Jepang dilakukan melalui transportasi laut.

Dalam kerangka national interest menurut kaum neo realisme, hal ini merupakan hal yang sangat wajar bagi sebuah negara. Karena setiap negara akan melakukan hal serupa jika kepentingannya terancam. Apalagi jika kepentingan tersebut merupakan kepentingan yang digunakan untuk mendukung upayanya agar tetap bisa survive dalam sistem internasional yang anarki.

Kedua, keputusan Jepang untuk tetap mempertahankan pangkalan militernya di Djibouti dengan alasan agar lebih mudah dalam merespon fenomena-fenomena keamanan di kawasan, menunjukkan bahwa Jepang memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap stabilitas keamanan di sekitar kawasan ini. Sehingga, Jepang tetap memutuskan untuk mempertahankannya walaupun bertentangan dengan

pernyataan sebelumnya. Di mana ketika upaya penanggulangan aksi pembajakan kapal tetah tercapai, pangkalan tersebut akan dihentikan pengoperasiannya.

Dilihat dari kacamata national interest, ada indikasi bahwa Jepang ingin mengejar kepentingan-kepentingan yang lain, setelah kepentingan dasar yang berupa survival telah tercapai. Keinginan Jepang untuk mengejar kepentingan yang lain menunjukkan bahwa ada upaya untuk meningkatkan relative power, sehingga kesempatanya untuk mengamankan upaya survival-nya dalam sistem internasional yang anarki semakin meningkat.

Ketiga, keputusan Jepang untuk tetap mempertahankan pangkalan militer ini juga bisa dianggap sebagai eskalasi kepentingan Jepang, bahwa Afrika merupakan kawasan penting yang bisa menjadi alternatif utama untuk mengembalikan kejayaan ekonomi Jepang seperti di masa lalu. Tidak heran jika Jepang semakin meningkatkan kerjasamanya lebih intensif lagi dengan negara-negara di kawasan tersebut melalui TICAD.

Upaya peningkatan relative power yang dilakukan oleh Jepang dengan cara meningkatkan kerjasama dengan negara-negara di Afrika, dapat dianggap sebagai upaya Jepang untuk melakukan balancing terhadap Cina di kawasan Asia Timur. Di mana kedua negara ini sering terlibat dalam sengketa batas teritorial memperebutkan kepulauan Diaoyu/ Senkaku. Klaim sepihak yang dilakukan oleh Cina terhadap kepulauan tersebut mendorong Jepang untuk meningkatkan relative power-nya,

sehingga agresifitas Cina dalam mengklaim kepulauan tersebut dapat diredam semaksimal mungkin.

Dalam dokumen KEPENTINGAN JEPANG MEMBANGUN PANGKALAN M (Halaman 90-101)