• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF POLITIK ISLAM

C. Kebijakan Politik dalam Islam

Kebijakan politik adalah sistem konsep resmi yang menjadi landasan perilaku politik negara.56 Kebijakan politik juga ada kaitannya dengan sebuah sistem yang saling kait mengkait antara beberapa bagian, sampai bagian yang terkecil, bila suatu atau sub bagian tergangu maka bagian lain juga ikut merasa keterganguan. Jadi kebijakan politik tidak terlepas dari suatu sistem kesatuan yang kuat mengkait satu sama lain, bagian atau anak cabang dari suatu sistem tersebut, menjadi induk dari rangkaian selanjutnya. Begitulah selanjutnya sampai pada bagian terkecil, sehingga rusaknya salah satu bagian tersebut akan meng-gangu kestabilan sistem itu sendiri secara keseluruhan. Pemerintah Indonesia adalah suatu contoh sistem, sedangkan cabangnya adalah sistem kebijakan politik daerah, kemudian seterusnya sampai pemerintahan kelurahan dan desa.57

Dalam politik Islam, pokok-pokok yang menjadi prinsip penting dalam kebijakan bernegara adalah pemimpin dan pemerintah yang menjamin

56

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), h. 131

57

Inu Kencana Syafile dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2005), h. 4

dilaksanakan hukum Allah SWT yang adil dan sesuai dengan fitrah manusia, yaitu adanya beberapa perkara yang menjadi prinsip dasar negara Islam. Perkara tersebut diantaranya, hanya hukum Allah SWT yang ditegakkan, syura, keadilan, kebenaran (al-haq), kebebasan dan persamaan.58

Menurut Abdul Hadi Awang, politik Islam tidak menyentuh hal prinsip dan hukum-hukum yang qath’i. Politik Islam melibatkan cara pelaksanaan hukum supaya lebih cermat, bijaksana dan adil, serta menhadapi hal-hal baru yang muncul dalam masyarakat. Ia memerlukan penterjemahan pelaksanaan hukum Allah SWT yang memberi kebahgiaan di dunia dan akhirat. Di antara contohnya tidak menjatuhkan hukuman hudud kepada pencuri dikarenakan keadaan ekonomi, apabila diberi upah tidak sesuai, negara dalam keadaan menghadapi ancaman musuh, ditukar kepada hukuman ta’azir melalui ijtihad.59

Sebuah negara harus memiliki pemimpin yang bertanggung jawab terhadap negaranya. Imam al-Mawardi menyebutkan bahwa ada sepuluh kewajiban pemimpin terhadap Negara antara lain:

1. Melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsip-Nya yang

establish, dan ijma’ generasi salaf. Jika muncul pembuat bid’ah atau orang

sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia harus menjelaskan hujjah kepadanya, menerangkan yang benar kepadanya dan menindaknya sesuai

58

Abdul Hadi Awang, Sistem Pemerintahan Negara Islam. h. 78

59Ibid,

dengan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindungi dari segala penyimpangan dan ummat terlindung dari usaha penyesatan.

2. Menerapkan hukum kepada dua pihak yang berperkara, dan menghentikan permusuhan di antara dua pihak yang berselisih, agar keadilan menyebar secara merata, kemudian orang-orang tiranik tidak sewenang-wenang, dan orang teraniaya tidak merasa lemah.

3. Melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci, agar manusia bebas bekerja, dan berpergian kemanapun dengan aman dari ganguan terhadap jiwa dan harta.

4. Menegakkan supremasi hukum (hudud) untuk melindungi larangan-larangan Allah SWT dari upaya pelanggaran terhadapnya, dan melindungi hak-hak hamba-Nya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya.

5. Melindungi daerah-daerah perbatasan dengan benteng yang kokoh, dan kekuatan tangguh hingga musuh tidak mampu mendapatkan celah untuk menerobos masuk guna merusak kehormatan, atau menumpahkan darah orang muslim, atau orang yang berdamai dengan orang muslim (ahlu dzimmahi).

6. Memerangi orang yang menentang Islam setelah sebelumnya ia didakwahi hingga masuk Islam, atau masuk dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu

dzimmah), agar hak Allah SWT terealisir yaitu kemenangan-Nya atas seluruh

7. Mangambil fai (harta yang didapatkan kaum muslimin tanpa pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan Syari’at secara tekstual atau ijtihad tanpa rasa takut dan paksa.

8. Menentukan gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam Baitul Mal (kas negara) tanpa berlebih-lebihan, kemudian mengeluarkannya tepat pada waktunya; tidak mempercepat atau menunda pengeluarannya.

9. Mengangkat orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur untuk mengurusi masalah keuangan, agar tugas-tugas ini dikerjakan oleh orang yang ahli, dan keuangan dipegang oleh orang-orang yang jujur.

10.Terjun langsung dalam segala persoalan, dan menginspeksi keadaan, agar ia sendiri yang memimpin ummat dan melindungi agama, tugas-tugas tersebut, tidak boleh ia delegasikan kepada orang lain dengan alasan sibuk istirahat atau ibadah. Jika tugas-tugas tersebut ia limpahkan kepada orang lain, sungguh ia berkhianat kepada ummat, dan menipu penasihat.60 Allah SWT berfirman

dalam al-Qur’an:  2 3-4'56 7- & 8 9:; 5 , <5= >? *@A $ B =C D F F9 GHI: J 5D KL MN57OP Q R S 74 (T U  GV 5W / XY Z

Artinya: “Hai Daud, sesungguh Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa

60

Abî al-Hasan 'Alî bin Muhammad bin Habîb al-Basrî al-Bagdâdî al-Mâwardî, ( al-Ahkâm al-Sulthâniyah, T.tp: Dâr al-Fikr, 1960), cet. I, h. 15

nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT”.

(Q.S: Shaad/38: 26)

Pada ayat di atas, Allah SWT tidak hanya memerintahkan pelimpahan tugas, namun lebih dari itu Dia memerintahkan penanganan langsung. Ia tidak mempunyai alasan untuk mengikuti hawa nafsu. Jika hal itu ia lakukan, maka ia masuk katagori orang tersesat. Inilah kendati pelimpahan tugas dibenarkan berdasarkan hukum agama dan tugas pemimpin, ia termasuk hak politik setiap pemimpin.61

Dapat disimpulkan bahwa, politik Islam (siyasah syar’iyyah) sebagai kebijakan penguasa atau pemerintah dalam menjaga ketertiban masyarakat, baik di tetapkan atau tidak ditetapkan oleh syari’ah, merupakan suatu yang sah secara sejarah dan sesuai dengan tujuan syari’ah. Kebijakan tersebut diakui dalam semua sistem pemerintahan modern. Permasalahannya adalah bahwa kebijakan tersebut harus ditetapkan berdasarkan undang-undang dan berjalan sesuai dengan konstitusi negara. Hal itu untuk mencegah kerusakan yang lain dari sikap penguasa atau pemerintah yang mengeluarkan kebijakan atas pertimbangan sendiri tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat yang sesungguhnya. Kerusakan tersebut dalam bahasa sekarang adalah dalam bentuk dictatorship,

korupsi, kolusi dan nepotisme.62

61

Ibid.

62

Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Quran, cet, I, (Jakarta: Khairul Bayaan, Sumber Pemikiran Islam, 2005), h. 114

Kebijakan yang pernah diambil oleh pemerintah Islam di zaman klasik dapat dicontoh untuk praktik pemerintahan pada zaman sekarang, selama kebijakan itu sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang, tidak bertentangan dengan syari’ah secara keseluruhan, dan merupakan upaya untuk menegakkan syri’ah itu sendiri di zaman sekarang. Politik Islam adalah bagian dari konstitusionalisme Islam yang diatur oleh undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia adalah bagian dari sistem pemerintahan Islam yang memegang amanah khalifah Allah SWT di bumi dalam rangka menjalankan syari’ah, menegakkan keadilan, menghapus kezaliman, dan menjadikan masyarakat tertib, aman, adil, dan makmur.

Kebijakan politik yang dapat diambil atau dibuat oleh pemimpin Negara dalam melaksanakan tugas kepemerintahannya dapat meliputi berbagai bidang, seperti dalam bidang ekonomi, pendidikan sosial dan budaya. Politik ekonomi bertujuan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan hidup manusia dalam bidang ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh negara (khalifah Islamiyah) untuk menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.63 Politik ekonomi Islam lebih menekankan

63

M.Shalahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2007), h. 285

pada pemenuhan kebutuhan masyarakat secara individual, bukan secara kolektif. Maka dari itu, politik ekonomi Islam bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan sebuah negara semata, tetapi juga menjamin setiap orang untuk menikmati peningkatan taraf hidup tersebut.

Sistem ekonomi Islam berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (baik Muslim mau pun non-Muslim) secara menyeluruh. Barang-barang berupa pangan (makanan pokok), sandang (pakaian) dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Keamanan, kesehatan dan pendidikan juga merupakan tiga kebutuhan penting dan harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya.64

Menyangkut keamanan, tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitisnya terutama aktivitas yang wajib seperti ibadat wajib, bekerja, bermuamalat secara islami, termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamanan yang menjamin pelaksanaannya. Jadi, jelas harus ada jaminan keamanan bagi setiap warga negara. Kemudian dalam hal kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktivitas sehari-harian tanpa adanya kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya. Artinya, kesehatan juga termasuk kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap manusia.

64Ibid,

Demikian juga dengan pendidikan. Tidak mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahgiaan di dunia, apalagi di akhirat, kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapainya. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui pendidikan.65

Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap Negara, baik Negara maju maupun Negara berkembang. Kedua-nya sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu-membahu dalam proses pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya satu sama lain saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar kepada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan.66

65Ibid,

h. 287

66

BAB III