• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ANALISIS

B. Analisis Psikologi Sastra dalam Novel Lintang

3. Kebutuhan Akan Rasa Cinta dan Rasa Memiliki

Dalam novel Lintang, kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki kurang didapatkan oleh tokoh utama dari suaminya. Hal ini terlihat dari kutipan berikut ini.

(109) Kesibukan membuat suamiku sedikit berubah. Dia menjadi sosok yang pendiam. Waktu di rumah benar -benar dimanfaatkan untuk istirahat. Tidur, atau duduk santai sambil merokok. Kesibukannya itu menimbulkan perasaan tidak nyaman di hatiku, aku mulai tersisih. Perhatian Mas Aji padaku jauh berkurang. (hlm. 83)

(110) Sambil menggendong Gilang, hatiku kembali menjerit. Kenapa ujian hidup tiada berkesudahan. Kenapa pula harus aku sendiri yang memikirkan kesehatan Gila ng. Dimana Mas Aji? Cukupkah dia hanya memberi nafkah lahir untuk keperluan pengobatan Gilang? Itupun selalu terlambat. Begitu bebalnya suamiku, tak bisa merasakan apa yang aku rasakan. Hatiku benar-benar berontak. Keadaan semestinya tidak seperti ini. Tak semestinya aku berdiri berdesak -desakan dalam mobil angkutan,

meninggalkan pekerj aan kantor, menebalkan telinga setiap kali teman kantor membicarakanku. Mas Aji memang sibuk bekerja. Namun, kalau berniat meluangkan waktu, pasti bisa. Apalagi Mas Aji bekerja di Rumah Sakit Dokter Sardjito, tempat Gilang menjalani pengobatan dan terapi. Bukankan Gilang anak kami berdua? (hlm. 107)

Setelah Aji kembali dari Philipina, Lintang tak juga merasakan kasih sayang dari Aji. Kekecewaan Lintang terhadap Aji lantaran Aji lebih suka bermain bridge sambil merokok bersama dengan temannya. Keinginan Lintang untuk dapat bercengkrama dengan suaminya tidak terwujud. Hal ini dapat terlihat dalam kutipan berikut.

(111) Namun kepulangannya membuatku kecewa, dia pulang bersama temannya, Joni. Sebulan terakhir Joni sering sekali datang. Harapanku dapat bercengkraman dan mendiskusikan tugas kursus AMDAL itu buyar seketika. Setelah membukakan pintu, aku langsung masuk ke dalam rumah, karena tak ada harapan lagi bagiku untuk dapat berdua dengan suamiku malam ini. Aku sudah bisa menebak, apa yang bakal terjadi . Kartu bridge berjajar di meja, asap rokok mengepul memenuhi ruangan, juga obrolan ngalor ngidul. Sama seperti malam-malam sebelumnya. Tak akan ada waktu untukku. (hlm. 137—138)

Lintang mengharapkan perhatian dari suaminya saat ia akan mengikuti kursus AMDAL yang diadakan oleh kantornya. Ia berharap Aji berharap Aji akan menanggapinya dengan serius, namun seperti yang dibayangkannya Aji hanya menanggapi dengan komentar biasa -biasa saja. Hal ini tedapat pada kutipan berikut.

(112) Jawaban Mas Aji tepat seperti bayanganku. Mas Aji tak pernah mengekangku soal karir. Seperti juga dia tidak pernah merasa ada masalah dalam hidupnya. Terlalu cuek dan santai. (hlm. 139)

Lintang sering meneteskan air mata. Hal ini merupakan reaksi tidak terpenuhinya rasa cinta dan rasa memiliki dari Aji, suaminya. Sering ia memberontak,

baik dengan kata-kata halus maupun dengan kemarahan. Reaksi ini terlihat dalam kutipan berikut.

(113) Tak tertakar berapa air mata yang kucurahkan, merasakan tabiat suam iku semakin menghujamkan sembilu ke ulu hati. Perih. Harus dengan cara apa lagi aku berontak? Kalimat halus hanya disepelekan. Kemarahan hanya akan menyiksa diriku. Semakin diam, aku semakin tersisih. Apakah suamiku memang sudah tak punya hati? Tak punya rasa? (hlm. 144)

Sikap Aji sangat cuek dan kurang perhatian terhadap urusan rumah. Jika sudah seperti itu, Lintang hanya bisa menggelengkan kepala dan mengelus dada. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(114) “Bu, aku mau tenis dulu, abis tenis langsung ke rumah sakit.”

Mas Aji berjalan tergesa-gesa, mengeluarkan sepeda motor dari garasi. Memanaskan mesin motornya sejenak, kemudian berlalu dengan motor merahnya. Aku hanya menggelengkan kepala, dan mengelus dada. (hlm 145)

Lintang adalah orang yang anti dengan asap rokok, namun akhirnya ia nekat merokok. Hal ini merupakan reaksi Lintang yang ingin memberontak kepada Aji, suaminya. Tidak terpenuhinya rasa cinta dan rasa memiliki ini mendorongnya untuk merokok, dia berpikir dengan merokok mungkin suaminya akan berubah dan memperhatikannya. Di bawah ini adalah kutipan yang menunjukkan hal tersebut.

(115) Kututup rapat dan kukunci pintu kamar, karena khawatir kala u tiba-tiba Anti membuka pintu. Cepat kuraih bungkus rokok di atas meja. Masih ada empat batang. Kusu st batang pertama. Kuhisap, lalu kukepulkan asapnya. Persis seperti yang dilakukan suamiku. Ini pertama kali seumur hidupku merokok. Beberapa kali aku batuk -batuk, karena asap memenuhi tenggorokkan dan menyesakkan dada, tapi aku tak mau menyerah. Ini pemberontakan, aku ingin suamiku juga tahu. Aku bisa melakukan seperti yang ia lakukan. (hlm. 146)

Lintang merasakan kekecewaan karena sikap Aji, meskipun Lintang telah menghabiskan empat puntung rokok, Aji tidak terlalu menggubrisny a. Aji tidak memperhatikannya, hanya sesal yang Lintang rasakan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

(116) Jantungku seakan hampir berhenti berdetak. Kenapa hanya itu? Kenapa sebatas itu Mas Aji menanggapi pemberontakan yang sudah kulakukan dengan susah payah? Seharusnya dia kaget alang kepalang. Tidakkah dia khawatir? Mengapa dia tidak memarahiku? Perasaanku hancur, dongkol, marah, malu. Malu pada diri sendiri. Amarah dan emosi telah membuatku nekat melakukan hal sia-sia. Aku sadar, seharusnya aku tidak melakukan perbuatan konyol itu. Bersusah payah, berkorban, menahan sesak di dada demi menghabiskan empat batang rokok. Tetap saja hasilnya nihil. Perhatian suamiku tak juga aku dapatkan. Yang ada hanya penyesalan. Entah terbuat dari apa hati suamiku. Kena pa begitu bebal? (hlm. 147) Aji sangat sulit untuk ditemui dan cuek dengan omongan tetangga mengenai dirinya. Ia dan teman-temannya sangat hobi main bridge sehingga tidak ada waktu untuk Lintang, istrinya. Lintang tidak ada kesempatan untuk berbicara mes ki lewat telepon. Hal ini terlihat paa kutipan berikut.

(117) Siang tadi, aku menelepon ke Rumah Sakit Sardjito, ingin menghubungi suamiku. Aku sudah mempertimban gkan dengan cermat kapan waktu yang tepat untuk menelepon, yaitu waktu Mas Aji selesai praktik dan belum pulang. Terlambat sedikit saja, Mas Aji sudah pergi. Meski sudah menelepon tepat waktu, ternyata aku masih kalah cepat dengan Joni. Begitu kata bagian resepsionis. Katanya sejak sebelum selesai praktik Mas Aji sudah ditunggui pria berkulit putih, tinggi, plonthos. Pasti Joni. Siapa lagi kalau bukan Joni? Dan apa lagi yang ada dalam otak mereka berdua, selain kartu-kartu sialan itu? Bridge! Hobi yang membuat kesabaranku nyaris habis. (hlm. 158)

(118) …Suamiku sangat cuek. Dia lebih senang berkumpul dengan teman -temannya ketimbang bercengkrama dengan keluarga. Saat ini dia sedang gila bermain bridge. Seenak hati dia bekumpul d engan teman-temannya di rumah kami setiap malam. Praktis, kebiasaan suamiku menjadin pergunjingan tetangga. Tapi dasar suamiku sudah tak punya hati, tak

punya rasa. Dia sama sekali tak terpengaruh omongan tetangga.” (hlm. 162)

Lintang sangat senang saat mendapatkan perhatian dari Anggoro. Selama bersama Aji tidak pernah ia mendapatkan perhatian seperti itu. Hal ini terdapat pada kutipan berikut ini.

(119) “Kok merokok? Sudah sering?” tanya Mas Anggoro penuh selidik.

Mendengar pertanyaannya, hatiku semakin berbunga-bunga. Aku membutuhkan perhatian itu. Aku rindu perlakuan seperti itu. Perlakuan yang selama ini aku harapkan dari suamiku, namun tak pernah kudapatkan.(hlm. 160)

(120) Apalagi selama aku dirawat di rumah sakit, Mas Anggoro hampir setiap hari datang menjenguk. Dia tak pernah datang dengan tangan kosong. Kadang membawakan makanan, kadang bacaan -bacaan ringan untukku. Perhatian Mas Anggoro itu membuatku menjadi manusia yang berharga, sesuatu yang sanagt kuharapkan bisa aku peroleh dari suamik u. Bukan hanya itu, Mas Anggoro bahkan rela membawakan baju ko torku ke loundry, lalu mengantarnya kembali setelah bersih. (hlm. 168)

(121) Justru yang terjadi, semakin hari hubun gan kami semakin dekat. Pernah sekali waktu Mas Anggoro telepon ke kantor, hanya sekedar menanyakan apakah aku sudah makan siang atau belum. Meski hanya sekedar bertanya soal makan siang atau belum. Meski hanya sekedar bertanya soal makan siang, tapi bagiku itu sangat berarti. Perhatian seorang lelaki yang sangat aku harapkan, ternyata bisa dipenuhi oleh Mas Anggoro, bukan dari suamiku sendiri. (hlm. 178)

Saat dihadapkan dengan Anggoro yang penuh dengan perhatian, Lintang mulai membandingkan dengan sikap Katriningsih teman sekantornya dan juga sikap suaminya sendiri. Sikap Lintang ini merupakan reaksi yang muncul karena perhatian teman dan suaminya tidak ia dapatkan. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(122) Berbeda dengan Katriningsih, teman satu kanto r dan satu kamarku itu tak pernah menjengukku. Tak urung sikap itu menjadi bahan perbincangan sesama peserta kursus. (hlm. 168)

(123) Saat aku berjumpa dengannya, tak ada yang berubah dari dia. Dia tetap memberi perhatian lebih padaku. Dia pribadi yang sa ngat baik dalam

bekerja sama. Aku menyaksikannya sendiri saat penyusunan laporan kkelompok. Dia juga tipe pekerja keras, begitu fokus saat bekerja. Tidak seperti… Ah, aku tak pantas membandingkan mereka. (hlm. 177)

Emosi yang memuncak membuat Lintang mengucapkan kata perceraian kepada Aji, suaminya. Reaksi Lintang ini terjadi karena kurangnya kasih sayang Aji, tetapi hal tersebut membuat ia menyesal karena ucapannya diketahui oleh anaknya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(124) “Aku sudah tak tahan jadi istrimu, Mas. Aku minta cerai saja!”

Sungguh aku mengucapkan kalimat itu tanpa sadar, hanya karena emosi yang mencapai puncak. Suamiku yang biasanya santai, mendengar kata -kataku juga kaget bukan kepalang. Dan terlebih yang memb uatku menyesal, saat itu ternyata Anti mendengar. (hlm. 238)

Setelah menikah dengan Aji, perhatian dan rasa kasih sayang tidak didapat oleh tokoh utama. Tokoh utama sering meneteskan air mata. Hal ini merupakan reaksi tidak terpenuhinya rasa cinta dan ras a memiliki dari Aji, suaminya. Hal ini tampak pada kutipan no. 109—114. Pada kutipan no. 115 dan 116, tokoh utama ingin memberontak dengan cara ia merokok. Hal ini dilakukan semata -mata untuk mendapatkan perhatian dari suaminya, meski pun hal tersebut hanya sia -sia dan kecewa yang di dapat. Kutipan no. 117 dan 118 memperlihatkan bahwa suami tokoh utama sangat cuek dan tidak memiliki waktu untuk istrinya.

Saat dihadapkan dengan Anggoro yang penuh perhatian, Lintang mulai membandingkan dengan sikap Katriningsih teman sekantornya dan juga sikap suaminya sendiri. Sikap Lintang ini merupakan reaksi yang muncul karena perhatian teman dan suaminya tidak ia dapatk an. Hal ini tampak pada kutipan no. 119—123.

Permintaan cerai diucapkan oleh tokoh utama y ang terlihat pada kutipan no. 124 yang merupakan puncak reaksi ketidak terpenuhinya rasa kasih sayang dan perhatian sang suami.

Dokumen terkait