• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ANALISIS

B. Analisis Psikologi Sastra dalam Novel Lintang

2. Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Akan Rasa Aman

Kebutuhan akan rasa aman terlindungi tentu dibutuhkan oleh semua orang. Dengan terpenuhinya kebutuhan itu maka manusia dapat hidup tentram. Setiap manusia mendambakan kehidupan yang nyaman dan aman, terbebas dari rasa kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan . Saat Lintang masih kecil, rasa tidak nyaman di dalam rumah ser ing dirasakannya. Seringkali ia menjadi pelampiasan amarah orang tuanya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(92) Aku menangis semakin menjadi. Dengan tenaganya yang kuat, bapak mengapit tubuhku dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya digunakan membekap mulutku. Bapak seperti orang kala p, menyeret tubuhku ke kamar tidur. Tubuhku dibanting di atas kasur. Saat pegangan tangan bapak lepas, sengaja aku menjerit keras -keras, aku ingin memberontak. Tapi tanpa pernah kuduga, bapak dengan mata nyalang, mengambil pisau di lemari. (hlm. 18)

(93) Tubuhku semakin gemetar. Air mata tumpah tiada terbendung. Bibirku kelu, suara tertahan di tenggorokan. Masih terdengar pertengkaran bapak dan ibu, walau tak sehebat tadi. (hlm. 19)

Perasaan kalut melanda diri tokoh utama ketika kisah cintanya dengan Anggit harus berakhir hanya karena ia tetap mempertahankan pilihannya untuk mendaftarkan diri di fakultas Kimia dan Ilmu Tanah UGM. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(94) Meski aku sudah siap menghadapi segala bahaya yang akan timbul dari pilihanku, tapi surat Anggit itu membuat ku seperti tersengat petir, badanku mendadak kaku setelah membaca suratnya. Persendianku lemas seketika. Aku ingin menjerit, tapi tak mampu bersuara, hanya terhenti di tenggorokkan. Tubuhku lemah terkulai, memegangi kertas putih yang telah menentukan nasib hubunganku dengan Anggit. (hlm. 42)

Setelah berumah tangga dengan Aji, Lintang sebagai tokoh utama tidak menemukan kenyamanan. Kekalutan dirasakan Lintang ketika mengetahui bahwa suaminya tidak setia. Ia membayangkan masa depannya yang suram. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(95) Aku berjalan gontai keluar kamar. Tenagaku habis untuk meredam gejolak dalam jiwaku. Yang tersisa hanya muka pucat, air mata, dan bibir yang terus bergetar tapi tak mamp u berkata-kata. (hlm. 73)

(96) Hidupku mendadak menjadi gelap. Bayangan masa depan terlihat begitu suram. Wanita mana yang hatinya bisa menerima kalau suaminya juga pernah berhubungan dengan wanita lain? (hlm. 78 )

Perasaan yang berkecamuk merupakan reaks i Lintang yang takut akan ketajaman lidah temannya, yaitu Katriningsih. Ia khawatir Katriningsih akan menyebarkan luaskan tentang kedekatannya dengan Anggoro. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(97) Sejak saat itu perasaanku berkecamuk antara bahagia b isa selalu berdekatan dengan Mas Anggoro, dan khawatir dengan ketajaman lidah Katriningsih. Pertempuran dua rasa dalam satu tubuh, pada akhirnya berdampak akan berdampak secara fisik. Dan itu terjadi padaku. Beberapa hari setelah bicara dengan Katriningsih di kamar itu, badanku lemas dan kepalaku pening. (hlm. 166)

(98) Perasaanku semakin gelisah. Kepala terasa berat. Kecurigaan Katriningsih semakin menjadi. Memang sudah beberapa kali dia memergokiku sedang bersama Mas Anggoro. Katriningsih menjadi o rang yang banyak tahu tentangku, juga tentang Mas Anggoro. (hlm. 167)

Rasa tidak aman berupa rasa cemas dan panik merupakan reaksi Lintang ketika melakukan perselingkuhan, kecemasan jika ada orang yang mengetahui hubungannya dengan Anggoro. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.

(99) Kenapa juga Pak Yanuar ikut -ikutan bersikap tak biasa? Aku terus bertanya-tanya. Aku mulai cemas, jangan -jangan Katriningsih telah menceritakan semuanya, termasuk soal Mas Anggoro. Apa jadinya kalau teman-teman kantor tahu tentang hubunganku itu? (hlm. 174)

(100) Jawaban itu semakin membuatku panik, aku seperti pesakitan yang dituduh melakukan kesalahan yang aku sendiri tak tahu kesalahan apa. Tapi aku berusaha tak menampakkan kepanikanku, aku berusaha tetap tenang, menguasai keadaan. (hlm. 175)

Rasa tidak aman berupa sikap waspada merupakan reaksi Lintang ketika melihat sorot mata Anggoro yang berbeda. Hal ini terdapat dalam kutipan berikut.

(101) Mas Anggoro memilih salah satu warung dipinggir jalan. Kami menikmati hangatnya wedang jahe, juga jadah bakar yang gurih. Mas Anggoro sepertinya sangat menik mati kebersamaan ini. Setelah beberapa waktu, kuperhatikan wajah Mas Anggoro, kutangkap sinar di ma tanya. Kulihat sorot mata yang lain. Tidak seperti yang ku kenal. Aku mulai bersikap waspada. (hlm. 184)

Reaksi Lintang yang mengingat kejadian yang telah lalu merupakan reaksi ketakutannya bahwa kejadian yang sama akan terulang kembali pada dirinya. Hal ini dapat dilihat melalui kutipan berikut.

(102) Mendadak dadaku bergemuruh hebat. Jantungku terasa berdetak lebih kencang, badanku mulai gemetar. Tiba -tiba ingatanku melayang pada kejadian sembilan tahun yang lalu. Tak jauh dari tempatku sekarang. Di

tempat itu aku telah melakukan dosa yang sangat terkutuk. Lantas, apakah aku akan menambah daftar panjang deretan dosa besar itu:

Dalam samar-samar bayangan, mendadak wajah -wajah yang kukasihi muncul dipikiran. Ibu, bapak, Mas Aji, Anti, Gilang, dan Wening. W ajah mereka muram, tampak kecewa menyaksikan perbuatanku. Hatiku tersentak, membuat tubuhku lemas seketika.

Jeng, kita istirahat di dalam vila ya,” pinta Mas Anggoro begitu memasuki pelataran vila. Wajahnya tampak memelas.

“Tidak!”jawabku tegas. Darah mengalir cepat ke kepala. “Kamu kenapa?”

“Mas, kita sudah melakukan kesalahan besar. Sangat besar. Jangan sampai kita terjerumus dalam dosa yang lebih besar. Jangan sampai!” Aku berdiri. Darahku mendidih. Raut mukaku merah padam, air mata menggelayut di pelupuk mata. (hlm. 185)

Rasa takut dan cemas diperlihatkan pada diri tokoh utama ketika berterus terang kepada suaminya tentang masalah yang membelenggunya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(103) Aku kembali keluar menemui suam iku dengan langkah ragu. Di tan ganku ada selembar kertas buram yang sudah kulipat. Agak lusuh. (hlm. 194) (104) Mas Aji tak menggubris permohonanku. Dia remas -remas kertas buram

itu, lantas dibanting ke meja. Bergegas dia meninggalkan beranda. Tak berapa lama lagi terdengar suara mesin mobil menderu. Suara deru mobil itu begitu menusuk ulu hatiku. Ternyata kejujuranku malah menimimbulkan masalah baru. Meski menimbulkan masalah, tapi ada sedikit ketenangan yang menyusup ke dalam hatiku. Beban perasaan bersalahku telah terkurangi. Antara siap dan tak siap, aku sudah memikirkan satu persatu resiko yang mesti aku tanggung.

Suamiku pergi entah kemana. Adzan Maghrib telah lama berkumandang dari mushola Nurul Inayah, Mas Aji belum juga pulang. Mau tidak mau aku mulai cemas. Apalagi setelah Anti menanyakan kemana bapaknya pergi. Tampaknya dia tahu bapaknya tidak pergi ke tempat praktik. Tas yang biasa dibawa saat praktik masih tergeletak di sofa tengah. (hlm. 195) Rasa tidak aman tokoh utama , yaitu Lintang mulai memuncak ketika menceritakan kepergiannya ke Kaliurang bersama Anggoro. Puncak dari rasa tidak

aman Lintang diperlihat kan oleh pengarang ketika mendengar Aji akan berbicara kepada Anggoro. Aji bermaksud meminta Anggoro menjadikan Lintang sebagai istri keduanya. Lintang tampak takut akan diceraikan oleh suaminya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(105) Pertanyaan itu benar-benar membuatku semakin tak bisa menahan gejolak hati. Ingin rasanya kuungkapkan semua, agar hilang ganjalan yang selama ini menyiksa batin. Namun, aku takut. Takut kalau suamiku tak bisa menerima, marah, lantas meninggalkanku. Aku hanya bisa menangis. (hlm. 204)

(106) Tengah malam, ketika yang terdengar hanya suara jangkrik di persawahan belakang Perumahan Nusa Wangi, barulah Mas Aji berbicara.

“Bu, aku sendiri yang akan meminta Anggoro menikahimu.

Menjadikanmu istri keduanya, kalau kamu lebih mencintainya.”

Dunia seperti berputar kencang, mendung berubah menjadi badai yang memorak-porandakan ketenangan batinku. Kata -kata Mas Aji bagai pesakitan yang divonis hukuman mati. Bagaiman apun, seorang istri, tetap saja takut bila mendengar kata -kata cerai, atau yang semakna dengan kalimat itu. (hlm. 205)

Perasaan tokoh utama selalu tidak nyaman ketika harus mengingat permasalahan hidup dan perselingkuhannya dengan Anggoro. Ia memutuskan u ntuk menceritakan semua permasalahan kepada ibunya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(107) Pada ibu, kuceritakan semua masalahku. Soal suamiku yang selalu bersikap tak peduli, tentang anak -anakku, juga tentang Mas Anggoro dan perselingkuhanku. Saat m enceritakan pertemuanku dengan Mas Anggoro di Kaliurang, air mataku tertumpah deras, setiap mengingat kejadian itu seperti ada duri-duri yang tajam menusuk hati. Perih (hlm. 207)

Rasa tidak aman berupa rasa cemas merupakan reaksi Lintang ketika Anggoro datang ke rumahnya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

(108) Mas Aji langsung berdiri, menyadari ada tamu yang datang. Begitu pintu depan mobil terbuka, lalu si pengendara keluar, aku begitu terperanjat,

antara percaya dan tidak, Mas Anggoro. Ya lelaki itu datang ke rumah, mengusik kedamaian yang sedang kami nikmati. Apa maunya. Dadaku berdebar-debar. Bukan lagi debaran cinta seperti dulu. Hanya debaran kaget dan bingung. (hlm. 212)

Dari kutipan no. 92—93, tampak rasa aman tokoh utama ketika mas ih anak-anak tidak terpenuhi. Rasa tidak nyaman ia rasakan ketika ayah dan ibunya terlibat dalam pertengkaran, biasanya hal ini menjadikan ia sebagai pelampiasan amarah ayahnya. Pada saat tokoh utama menginjak usia remaja, rasa tidak aman juga ia rasakan ketika ia mendapatkan surat dari Anggit, kekasihnya. Surat itu berisi pernyataan Anggit yang tidak dapat meneruskan hubungannya dengan tokoh utama. Hal ini dapat dilihat pada kutipan no. 94.

Reaksi tokoh utama dengan menangis dan bibir yang terus bergetar t idak mampu berkata-kata menampakkan bahwa dia sedang bergumul dalam permasalahan yang serius, hal ini menunjukkan tokoh utama mengalami rasa tidak aman. Ia membayangkan masa depannya akan suram, hal ini tampak jelas pada kutipan no. 95 dan 96.

Kutipan no. 97—100 memperlihatkan bahwa toko h utama mengalami rasa tidak aman dalam lingkungan kerjanya. Ia merasa tidak nyaman dengan sikap dan semua pertanyaan dari teman teman sekerjanya berkaitan hubungannya dengan laki -laki yang bernama Anggoro.

Pada kutipan no. 101 dan 102, terlihat perasaan dan pikiran yang berkecamuk dalam diri tokoh utama saat diajak oleh Anggoro untuk be ristirahat di vila daerah Kaliurang. Rasa takut akan terulangnya kembali peristiwa sembilan tahun lalu dan

takut membayangkan ke kecewaan orang-orang yang dikasihinya merupakan gambaran rasa tidak aman pada diri tokoh utama . Kesadarannya pada sang pencipta akan dosa membuat tokoh utama semakin berani dan bersikap tegas ketika menolak ajakan Anggoro.

Perasaan takut dan tidak nyaman karena masalah perselingkuhan yang membelenggunya menimbulkan konflik batin pada diri tokoh utama. Sebenarnya dia ingin segera berterus terang kepada suaminya, karena dia merasa masalah semakin hari semakin menyiksa batinnya. Perasaan takut akan diceraik an suaminya selalu menghantuinya. Hal ini tampak pada kutipan no. 103—106. Bercerita pada ibunya merupakan reaksi tokoh utama agar perasaan perasaannya dapat sedikit merasa nyaman, tampak pada kutipan no. 107. Pada kutipan no. 108 tampak adanya rasa tidak aman pada diri tokoh utama akan kedatangan Anggoro ke rumahnya.

Dokumen terkait