• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V DINAMIKA KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA

5.3 Kecemasan

Peranan atau pengaruh lingkungan terhadap kepribadian seseorang menunjukkan bahwa lingkungan disamping dapat memuaskan atau menyenangkan seseorang, lingkungan juga bisa membuat seseorang mengalami frustasi, tidak menyenangkan, dan bahkan mengancam atau membahayakan diri sendiri. Freud (dalam Koswara, 1991:44) memperjelas bahwa dinamika-dinamika kepribadian sebagian besar diatur oleh keperluan memuaskan kebutuhan-kebutuhan di mana peran lingkungan sangat penting selain dari adanya tekanan stimulus-stimulus pada seseorang. Hal ini memperjelas bahwa stimulus yang mengancam atau membahayakan seseorang akan menunjukkan reaksi ketakutan pada dirinya sendiri, terlebih apabila stimulus-stimulus tersebut tidak bisa diatasi atau sulit dikendalikan. Demikian pula apabila stimulus-stimulus tersebut terus-menerus mengancam individu tersebut, maka seseorang tersebut akan mengalami kecemasan.

Kecemasan dibagi ke dalam tiga jenis, yakni kecemasan riel, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral. Kecemasan riel adalah kecemasan atau ketakutan individu terhadap bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia luar (api, binatang buas, orang jahat,

penganiayaan, hukuman), kemudian kecemasan neurotik adalah kecemasan atas tidak terkendalikannya naluri-naluri primitif oleh ego yang nantinya bisa mendatangkan hukuman. Kemudian kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul akibat tekanan superego atas ego individu berhubung individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral (Freud dalam Koswara, 1991:45).

Pada dasarnya kecemasan berfungsi sebagai peringatan bagi seseorang agar mengetahui adanya bahaya yang sedang mengancam, dan seseorang tersebut dapat mempersiapkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi bahaya yang mengancam tersebut. Hal ini dialami setiap individu dalam kehidupan, baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitar tempat tinggal seseorang. Maka dari itu perlu antisipasi dari diri sendiri maupun orang tua.

Kumpulan cerpen Sang Terdakwa sebagian besar isi cerita yang disampaikan pengarang mengandung kecemasan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Kecemasan yang dihadapi tokoh-tokoh bercerita tentang kehidupan sosial di tengah kekuasaan (kekuatan politik) orang-orang penting. Masyarakat dengan status sosial menengah ke bawah menjadi sasaran dari dampak kekuasaan tersebut. Kecemasan yang dialami tokoh dalam cerpen-cerpen yang akan dibahas dilihat berdasarkan ketiga jenis kecemasan yang disampaikan Freud sesuai dengan isi cerita. Adapun bentuk-bentuk kecemasan yang dialami tokoh utama dalam setiap cerpennya, antara lain sebagai berikut.

5.3.1 Kota Kami Dicekam Ketakutan

Cerpen ini menggambarkan kecemasan riel yang terjadi pada tokoh utama dalam lingkungan hidupnya. Kecemasan riel terjadi karena adanya ancaman dari dunia luar dari diri tokoh utama, sehingga menyebabkan kecemasan. Kecemasan-kecemasan yang dialami oleh tokoh utama tersebut berada pada proses pergolakan batin yang cukup riskan. Hal ini

disebabkan oleh karena situasi sosial masyarakat tokoh utama yang berada pada status sosial menengah ke bawah.

Ogaz merupakan tokoh utama dalam cerpen Kota Kami Dicekam Ketakutan. Ogaz mengalami kecemasan riel berupa ancaman dari luar dirinya yaitu ancaman pembunuhan oleh sekelompok orang suruhan yang tidak diketahui identitas dan alasan terjadinya pembunuhan tersebut. Saudara-saudara Ogaz sudah banyak yang kehilangan nyawa dengan kondisi tubuh yang hampir sama. Peristiwa tersebut yang membuat Ogaz dan saudara-saudara lainnya ketakutan dan merasa waswas dengan situasi yang mengancam kota tempat mereka tinggal. Berdasarkan beberapa gambaran isi cerpen tersebut, dapat diperlihatkan pada kutipan berikut.

Kami terhenyak, ketika Lolong, salah satu saudara kami mengabarkan bahwa ada seorang kaya raya dan berpengaruh sedang menjalani laku ilmu gaib tertentu. Katanya, ia membutuhkan ribuan hati manusia. Hati segar itu dikeringkan dan digerus, kemudian disedu dengan madu dan diminum. (ST, 2000; 3)

Kami saling memandang. Dalam hati kami menghitung jumlah korban. “Berarti masih dibutuhkan banyak hati,” wajah Labas cemas.

Tak ada jawaban. Kami saling memandang, kemudian saling menunduk. Kecemasan mengaduk-aduk pikiran dan hati kami (ST, 2000; 4).

Kecemasan yang dialami oleh Ogaz dan saudara-saudaranya tersebut terjadi setiap hari. Korban pembunuhan di kota mereka terus bertambah dan mengancam setiap orang diantara mereka yang mungkin saja akan menjadi korban selanjutnya. Situasi sosial yang saat itu sedang mengancam mereka, semakin meyakinkan mereka bahwa mereka adalah korban dari situasi politik negara. Namun mereka tidak dapat melawan, karena status mereka yang dianggap tidak diperhitungkan.

Korban pembunuhan diantara Ogaz semakin bertambah.

…Kekhawatiran kami terbukti. Kami menemukan mayat Lolong, Labas dan saudara lain yang mengunjungi rapat tempo hari.

“Yang selamat Cuma kamu, Ogaz,” Mirzza memelukku.

Air mataku, air mata kami menetes. Dalam genangan linangan air mata, terbayang wajah-wajah yang ikut rapat. Wajah-wajah yang takut, cemas dan marah tapi tak mampu berbuat apa-apa. (ST, 2000; 5)

Penyebab kematian yang dialami oleh saudara-saudara Ogaz tidak dapat dijelaskan. Kecemasan mengancam kehidupan Ogaz dan saudara-saudaranya yang masih hidup. Konflik batin dalam diri mereka hanya dapat mereka ungkapkan dengan diam dan air mata. Kecemasan riel yang dialami masyarakat menengah ke bawah atau sering disebut sebagai “wong cilik” menjadi korban ketidakadilan dari situasi sosial.

5.3.2 Palaran

Kecemasan dapat dipandang sebagai tanda bahaya bagi pertahanan fisik maupun psikis tubuh seseorang. Kecemasan yang dialami Adipati Anom merupakan kecemasan neurotik yang terjadi akibat tidak terkendalinya naluri-naluri primitif oleh egonya sendiri. Kecemasan terhadap ancaman suara tembang palaran yang dilantunkan dengan musik gamelan, membuat Adipati Anom merasa tertekan secara psikis. Adipati Anom merasa terganggu dengan setiap tembang gamelan. Hal tersebut mengingatkan Adipati pada perang perebutan kekuasaan yang terjadi dengan Adipati Sepuh. Ketika Adipati Anom merasa terancam dengan suara gamelan, Adipati mencoba segala cara agar tidak ada suara tembang tersebut. Setiap suara tembang yang terdengar, terbayang wajah Adipati Sepuh yang siap melawannya kembali.

Kecemasan neurotik yang dialami oleh Adipati Anom memberikan dampak psikis pada dirinya. Keadaan jiwanya sedikit terganggu akibat tekanan dan dorongan stimulus dari dalam diri Adipati. Kecemasan-kecemasan yang dihadapi Adipati Anom tersebut menjadi ancaman bagi dirinya dan segenap warga kadipaten yang mendadak kehilangan pekerjaan sebagai pelantun tembang gamelan. Seluruh penjaga kadipaten dikerahkan oleh Adipati Anom agar menelusuri dan memperketat penjagaan kadipaten dari suara gamelan. Suara-suara gamelan tersebut hanya Adipati Anom yang dapat mendengar dan merasakan

kecemasan neurotik tersebut, sehingga warga kadipaten merasa heran dan hanya bisa menuruti kemauan Adipati.

Kecemasan-kecemasan neurotik yang dialami Adipati Anom membawa ancaman bagi kehidupannya. Kecemasan tersebut dapat diperhatikan pada kutipan berikut.

SUDAH hampir seminggu Adipati Anom terganggu suara gamelan itu. ia tak bisa tidur wajar. Selera makannya merosot tajam. Di ranjang, ia pun makin dingin dengan istri dan selir-selirnya. Suara gamelan itu dirasa mengancam dirinya. Suara gamelan itu mengingatkan dirinya akan peristiwa puluhan tahun yang lalu… (ST, 2000; 14) DENGAN telinga tersumpal kapas, Adipati Anom merasa terbebas dari suara gamelan dan tembang yang dikhawatirkan tiba-tiba menyeruak udara. Suara gamelan dan tembang yang selalu dikutuknya, tapi ia sendiri tak tahu siapa penabuh dan penembangnya (ST, 2000; 17).

Adipati Anom merasa dikejar oleh bayangan Adipati Sepuh dan mencoba untuk mencari cara agar bayangan tersebut hilang dari pikirannya. Naluri Adipati akan ketenangan dari ancaman suara gamelan semakin tidak terkendali. Hal tersebut menyebabkan Adipati semakin terancam oleh bayangan yang yang bisa dirasakannya sendiri.

…Tapi kapas itu sia-sia menahan laju palaran. Seluruh pori-porinya tertembus gamelan dan tembang. Beribu kunang-kunang muncul dari pandangnya. Lalu muncul ringkik ratusan kuda. Ditatapnya pasukan aneh dan kerumunan orang yang mendadak muncul di depannya (ST, 2000; 17).

… “Kalian siapa? Kalian mau apa? Kalian minta apa?” bentak Adipati. Kata-kata itu hanya menerpa udara hampa.

Kerumunan orang itu tetap bungkam. Mereka menjawabnya dengan pandangan mata nanar. Mata mereka menatap lekat-lekat Adipati yang berdiri dengan kaki gemetar. Tatapan mata Adipati yang culas itu tak mampu membalas tatapan lawannya. Kecemasan Adipati memuncak (ST, 2000; 17).

Sikap Adipati yang tidak masuk akal membuat seluruh warga bingung dan prihatin dengan keadaan psikis Adipati. Pada akhirnya, Adipati tidak dapat mengendalikan sistem kepribadiannya yaitu id, ego, maupun superego. Adipati tertekan dan terancam dengan bayangan-bayangan berperang. Kemudian kehilangan nyawanya dengan keris yang tertancap di dadanya, setelah bertarung dengan kecemasannya sendiri.

Cerpen ini menceritakan sebuah kecemasan yang terjadi pada Kamil sebagai tokoh utama. Penglihatan Kamil mendadak berubah tidak seperti biasanya semenjak jatuh di persimpangan di desanya. Kamil akan berteriak histeris dan menghina setiap orang yang dianggapnya munafik. Korbannya adalah para juragan, orang-orang yang berpengaruh di desanya yang biasanya memanfaatkan warga miskin. Kamil akan mendadak melihat sosok raksasa yang siap memangsa pada setiap korbannya. Hal tersebut membuat seluruh warga mengejek dan mengucilkannya, karena penglihatannya dianggap tidak masuk akal.

Kamil merasa bingung dengan keadaan dirinya dan berusaha untuk menghindar dari penglihatannya yang aneh. Akibat sikap Kamil, orang tua Kamil, Pak Kardi, merasa malu dan mengurung Kamil di kamar. Seluruh anggota keluarga berusaha untuk mencari jalan keluar atas kejadian yang dialami Kamil. Kamil pun hari demi hari semakin cemas, karena akan dibawa ke rumah sakit jiwa. Kamil dianggap tidak waras, karena sepasang matanya yang mempermalukan orang. Sistem ego sebagai pengendali energi psikis dan superego sebagai pengontrol dalam diri Kamil berusaha mempertahankan energi psikisnya. Nasihat-nasihat dari orang tua Kamil sangat memperngaruhinya. Namun, rencana membawa Kamil ke rumah sakit jiwa menjadi ancaman dalam dirinya. Mendadak Kamil merasa sangat ketakutan, cemas, dan memutuskan untuk lari dari rumahnya karena dianggap mengganggu orang lain.

KEANEHAN mata Kamil menelan banyak korban. Tidak hanya Pak Karso. Tapi juga Karsan, orang kaya dari Desa Duwitan tapi tak jelas pekerjaannya. Karsan marah-marah dan sakit hati karena dianggap Kamil berwajah lintah raksasa yang hitam, kasar, buas dan menakutkan (ST, 2000; 21).

Kecemasan moral merupakan kategori kecemasan yang dialami oleh Kamil. Kecemasan moral merupakan kecemasan yang menganggap dirinya bersalah dan merasa berdosa terhadap yang dilakukannya. Kecemasan moral yang dihadapi Kamil bersifat nyata, artinya bahwa tekanan superego atas egonya menimbulkan ancaman dari orang tua maupun masyarakat. Kecemasan moral yang dihadapi Kamil dapat diperhatikan pada kutipan berikut.

TELINGA Kamil sejak pertemuan itu dibuka, mendengar seluruh pembicaraan di ruang tamu yang hanya disekat oleh tripleks untuk memisahkannya dar kamarnya. Ia mendadak cemas.

Bayangan ia diseret ke rumah sakit menghantui dirinya. Bayangan itu meronta-ronta mengganggu tidurnya. Bayangan disakiti menteror dirinya. Menggema teriakan-teriakan dalam gelap.

Kamil tegang. Takut. Wajah kematian seperti selalu membayanginya. Ia mengutuk dirinya. Ia mengutuk sepasang matanya yang membikin ia dibenci orang banyak. Bagi yang lain, itu mungkin karunia. Tapi bagi Kamil itu bencana (ST, 2000; 24).

Diskusi keluarga Kamil mengenai kejadian yang dialami Kamil dan keputusan untuk membawanya ke rumah sakit, menjadi ancaman bagi Kamil. Kecemasan moral yang dihadapi Kamil menghimpun energi psikisnya untuk mempertahankan keselamatan dirinya.

Timbunan ketakutan telah menggerakkan Kamil untuk lari. Dengan sisa kekuatannya ia lari dan terus lari. Selapis demi selapis dinding malamyang gelap, diterobos Kamil (ST, 2000; 25).

Kecemasan menjadi peringatan bagi tubuh yang sebenarnya mengganggu individu dan menuntut sebuah pertahanan sebagai strategi agar tidak menimbulkan keburukan bagi yang bersangkutan. Setiap manusia pernah mengalami kecemasan dan menjadi bagian dari peringatan sistem kepribadian bagi tubuh. Kecemasan dalam cerpen ini mengacu pada nasib “wong cilik” sebagai pihak yang biasanya terabaikan.

5.3.4 Burung-burung yang Menyergap

Kecemasan yang dialami tokoh utama yaitu Gerusta tergolong pada kecemasan neurotik. Kecemasan ini dialami Gerusta berasal dari ancaman burung-burung yang tiba-tiba menyergap seluruh tubuhnya. Tiba-tiba puluhan burung menyerang Gerusta dan membuat tubuhnya lemah oleh burung-burung yang dianggapnya sangat mengganggu. Burung-burung yang menyergap tubuh Gerusta hanya bayangan atau dengan kata lain ilusi yang dihasilkan oleh pikirannya. Tubuhnya masih utuh dan bersih dari patukan burung, namun Gerusta tidak yakin dengan keadaannya.

Burung-burung membayangi pikiran Gerusta dan dia seolah-oleh diserbu hingga wajahnya penuh luka dan berlumur darah. Burung-burung yang menyergap Gerusta tersebut menjadi ancaman dan membuatnya tidak dapat berkata-kata sedikit pun. Burung-burung yang mendadak menyerangnya tersebut merupakan gambaran kata-kata yang biasanya menjadi hal yang mudah untuk dikuasainya. Gerusta tetap merasa tidak tenang dan merasa terus diintai oleh puluhan bahkan ribuan burung. Kejadian yang dialami Gerusta ini merupakan kecemasan neurotik. Individu akan merasa terancam dengan kondisi dunia luar dan kecemasan-kecemasan tersebut berasal dari dalam dirinya sendiri.

….Dengan mata liar, puluhan, mungkin ratusan burung itu mematuk-matuk wajah Gerusta. Pada puncak sakitnya, Gerusta tidak merasakan apa-apa. Ia hanya merasakan basah darah segarnya, setelah siuman, setelah serangan membadai itu mereda. Susah payah Gerusta bangkit, berjalan sempoyongan. Cermin di kamarnya yang sudah lima puluh tahun selalu setia memantulkan wajahnya, mengirimkan kecemasan (ST, 2000; 51).

Gerusta merupakan seorang orator yang terbiasa dan sangat menguasai kata-kata. Ia sering memberi pidato dan orasi-orasi di depan masyarakat dengan memberkan janji-janji kesejahteraan. Semenjak Gerusta merasa diserang dan dibayangi oleh ratusan burung-burung, ia tidak lagi mampu berorasi bahkan merasa tidak berdaya. Freud (dalam Koswara, 1991:45) menjelaskan bahwa “Kecemasan neurotik sumbernya berada di dalam diri, yang pada dasarnya berlandaskan kenyataan, sebab hukuman yang ditakutkan oleh ego individu berasal di dunia luar”. Hal ini berarti memperjelas bahwa yang dialami Gerusta merupakan suatu kecemasan yang timbul dari aktifitas sehari-harinya sebagai orator dan menimbulkan depresi atau tekanan secara psikis terhadap yang dilakukannya dalam kenyataan.

Kecemasan-kecemasan tersebut menguras tenaga dan kekuatan fisik maupun psikis Gerusta. Ia terancam dan sangat ketakutan pada burung-burung yang dianggapnya selalu mengintainya.

BURUNG-BURUNG ganas itu masih menjadi mimpi buruk yang menguras energi Gerusta. Burung-burung itu telah menjaring Gerusta menjadi tawanan yang siap dicincang oleh kelaparan mereka. Gerusta membangun pertahanan. Ia tutup jendela

dan pintu. Ia tutup seluruh lubang angin. Ia bakar album. Televisi. Radio. Buku-buku. Internet. Kulkas. Telepon genggam. Peta. Dan seluruh benda yang memungkinkan burung-burung itu bersembunyi dan sewaktu-waktu menyerangnya. Ia telah mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan (ST, 2000; 54).

Ancaman dari serangan bayangan burung-burung membuat Gerusta menutup diri dari dunia luar dan terus berusaha agar terhindar dari ancaman-ancaman tersebut. Pertahanan yang dibangun tubuhnya ternyata tidak membuahkan hasil, bahkan Gerusta terus terbayang oleh burung-burung yang selalu mengintainya. Pada akhirnya dia dikabarkan bunuh diri akibat senapan yang menembak mulutnya sendiri.

…Dari rongga mulut itu ia merasakan ada yang bergerak. Ada gumpalan bulu yang menyentuh langit-langit mulutnya. Gerusta mau muntah. Tapi tak bisa. Berjejal-jejal burung keluar dari mulutnya. Mereka menyergap Gerusta. Sempoyongan Gerusta melangkah, meraih senapan dan mengokangnya. Telunjuk Gerusta gemetaran menarik picu senapan yang diarahkan ke mulutnya (ST, 2000; 57).

5.3.5 Anoman Ringsek

Cerpen ini menggambarkan sebuah kehidupan masyarakat yang berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Wondo sebagai tokoh utama mengalami kecemasan neurotik. Wondo mengalami depresi akibat kondisi ekonomi kehidupannya yang sangat minim. Keinginannya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik, tidak dapat terpenuhi oleh karena keterbatasan status sosial dan pendidikan. Kehidupan Wondo sebagai rakyat “wong cilik” menjadi tantangan berat baginya agar bisa bertahan hidup.

Keinginan Wondo tersebut merupakan bentuk harapan yang membaur dalam imajinasi dan kenyataan. Harapan yang ingin dicapai tersebut menjadi kecemasan dalam dirinya sendiri. Imajinasi Wondo memiliki kehidupan ekonomi yang berkecukupan menjadi ancaman baginya. Keinginan tersebut menjadi bayangan-bayangan ketakutan dan hal inilah yang menjadi kecemasan neurotik bagi Wondo. Kecemasan-kecemasan Wondo tersebut dapat diperhatikan pada kutipan-kutipan berikut.

SEJAK pingsan di panggung, Wondo selalu dibayangi ketakutan. Sepuluh wajah raksasa menyergapnya. Beribu rasa ketakutan menekan dan mengurungnya.

Wajah-wajah raksasa berbagai peringai, dengan gigi dan taring menyeringai selalu berkelebat dalam benak anak wayang itu. mata raksasa itu merah. Membelalak. Menatap nanar, penuh amarah.

“Bukan saya yang merusak negara Gusti Prabu. Tapi Anoman…” igau Wondo sepanjang malam (ST, 2000; 110).

Kecemasan yang menjadi ancaman bagi diri Wondo tersebut merupakan bagian dari imajinasinya akan kehidupan yang lebih baik. Energi psikis Wondo memberikan tekanan yang memacu nalurinya menjadi lebih kuat.

…“Saya penginjadi uwong. Jadi manusia. Mosokdari dulu giniterus. Yoto saja yang Cuma penari ajaran, sudah bisa hidup enak sejak jadi main Ramayana di hotel (ST, 2000; 111).

Wondo tak terpengaruh impian yang ditiupkan Jaiman. Niatnya untuk keluar dari

tobong terus berdetak dalam dirinya. Tapi bagai benang kusut, ia tak pernah mampu menemukan lubang jarum untuk bisa menjahit nasibnya yang koyak moyak. Wondo terus jadi Anoman, meskipun jiwanya sumpekdan nasibnya ringsek. (ST, 2000; 112). ....Tapi terlambat. Seperti ada kekuatan yang melemparkan Wondo ke tanah. Orang-orang menjerit histeris. Perempuan dan anak-anak menangis. Wondo terkapar. Darah segar mengalir dari hidung, mulut dan telingannya. Deras. Surti menjerit. Lemas dan pingsan (ST, 2000; 114).

Kecemasan yang dialami Wondo mengantarkannya pada nasib yang buruk. Wondo meninggal dengan bertarung bersama sosok yang tidak diketahui wujudnya. Kejadian tersebut membuat seluruh saudaranya termasuk isterinya terkejut dan tidak menyangka bahwa nasib Wondo akan buruk.

Dokumen terkait