BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.2 Saran
Kumpulan cerpen Sang Terdakwa memberikan nilai bahwa karya sastra memiliki makna yang berlimpah. Hasil permenungan Indra Tranggono dengan latar belakang hidup di tengah kegoncangan sosial, menunjukkan bahwa ia memiliki wawasan intelektual dan budaya yang luas. Pengarang mampu melukiskan kondisi masyarakat ke dalam bentuk situasi yang paradoksal dan ironis, sehingga memberikan gambaran tentang zamannya yang semakin berubah. Pengarang juga mampu melukiskan kondisi dan situasi para tokoh-tokohnya dengan kreatif dan imajinatif, sehingga gambaran psikologis tokoh-tokoh menarik. Berdasarkan kualitas dan kreatifitas pengarang dalam melukiskan cerita yang imajinatif, maka kumpulan cerpen Sang Terdakwa ini tepat untuk dijadikan sebagai objek penelitian dari beragam unsur sosial lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra:Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Presindo.
Jabrohim, dkk. 2001. Metodologi Penelitian sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco.
Moleong, Loxy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
M.S., Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat. Yogyakarta: Paradigma.
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rahmad. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.
Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subroto. 1992. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo Persada.
Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI-Press.
. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka jaya.
Walgito, Bimo. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
KAMUS
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
INTERNET
www.ensiklopediaindonesia.co.id. 2011.
http://baktimu.blogspot.com. 2012.
Lampiran 1
SINOPSIS
a. Kota Kami Dicekam Ketakutan
Cerpen Kota Kami Dicekam Ketakutan ini menceritakan sebuah kota yang berada di pulau kecil dan diapit oleh gunung yang tinggi dan pantai. Di kota tersebut ada beberapa
penduduk yang jumlahnya tidak begitu besar. Penduduk dapat dikategorikan pada masyarakat
menengah ke bawah dan hidup sederhana dengan penghasilan yang pas-pasan. Setiap malam
penduduk merasa dicekam oleh ketakutan dan memilih untuk diam di dalam rumah serta
menyimpan sejuta tanya tentang kabar yang terjadi di kota mereka. Ketenteraman di kota itu
sudah hilang dan diliputi oleh kecemasan. Orang yang sehat walafiat mendadak meninggal
secara mengenaskan. Setiap malam selalu ada mayat yang ditemukan dan keadaannya selalu
sama. Beberapa penduduk, seperti Ogaz ikut cemas dengan keadaan tersebut. Suatu malam
beberapa penduduk berkumpul, di antaranya Lolong, Labas, Brazak, Azbakh, Rumi, dan
penduduk lainnnya.
Ogaz dan beberapa penduduk mengadakan rapat dan diskusi tentang kematian yang
terjadi di kota itu. Seluruh masyarakat cemas, berusaha untuk melawan, tetapi mereka tidak bisa
berbuat apa pun karena mereka tidak tahu siapa pelakunya. Yang mereka tahu adalah bahwa
orang-orang yang berkuasalah yang bergentayangan mencabuti nyawa teman-teman mereka
setiap malam. Kemudian malam berikutnya, Ogaz dan beberapa teman lainnya harus
menyaksikan mayat teman mereka yang kemarin ikut rapat yaitu Lolong, Labas, dan Brazak
sudah menjadi mayat. Penduduk cemas, ketakutan dan hanya kepasrahan yang mereka hadapi.
Ogaz dan teman lainnya hanya bisa menangis, dan berdoa akan kota mereka yang dicekam
b. Palaran
Perang yang terjadi di kawasan Padas Lintang menyisakan kepedihan dan tekanan psikis
bagi sang pemenang. Perang yang menyebabkan kawasan Padas Lintang menjelma kolam darah
melibatkan Adipati Sepuh yang dianggap tidak becus memimpin Padas Lintang dengan Adipati
Anom sebagai pencetus perang dan penngumpulan massa yang ingin memberontak Adipati
Sepuh. Adipati Anom juga merupakan tokoh utama dalam cerpen ini.
Setelah peperangan usai, kekuasaan Adipati Sepuh digantikan oleh Adipati Anom. Selang
beberapa tahun kepemimpinannya, Adipati Anom mengalami tekanan psikis karena teringat akan
masa peperangan masa lalu. Nyanyian Palaran dengan alunan musik gamelan yang dulunya dipakai sebagai pemicu emosi masyarakat dalam berperang, kini selalu mengiang di telinga
Adipati Anom. Beberapa tekanan ini terjadi pada Adipati Anom, menyebabkan Adipati Anom
mengambil keputusan untuk melarang seluruh permainan gamelan dari nyanyian Palaran di kawasan Padas Lintang.
Hal ini hanya sesaat saja mengurangi tekanan yang terjadi pada Adipati Anom, tetapi
hari-harinya kembali dihantui masa peperangan dulu dengan nyanyian Palaran dan alunan gamelan. Akibat tekanan ini, kejadian buruk terjadi pada Adipati Anom, tetapi hal ini dianggap
biasa oleh masyarakat Padas Lintang.
c. Sepasang Mata yang Hilang
Kamil adalah seorang pemuda desa yang kesehariannya tinggal bersama orang tuanya
yaitu Pak Kardi dan Yu Sonto. Semula Kamil adalah pemuda desa yang perilakunya normal,
tetapi tiga hari setelah ia jatuh di suatu perempatan jalan desa, Kamil merasakan hal yang aneh
ketika melihat sesuatu. Matanya mampu melihat apa yang tidak dilihat orang lain. Kamil sangat
bidang sosial maupun ekonomi dianggapnya sebagai makhluk jadi-jadian seperti sosok raksasa
yang besar.
Setiap harinya Kamil takut untuk membuka mata karena pemandangan yang dilihatnya.
Ketika ia memandang tempe di piring dan air teh, ia seperti melihat tenunan jutaan baksil yang
mengonggok dan jutaan bakteri yang memenuhi piring dan gelas tersebut. Kemudian ia pun
memeriksakan matanya ke dokter, namun dokter menyatakan matanya sehat. Dokter pun
menyarankannya untuk mendatangi psikiater.
Keanehan mata Kamil menelan banyak korban. Pak Karso, orang kaya yang disegani
merasa tersinggung ketika Kamil berteriak dan mengatakan bahwa wajah Pak Karso seperti
wajah raksasa dengan taring-taring tajam. Kemudian Pak Karsan yang juga orang kaya dari Desa
Duwitan, tetapi tidak jelas pekerjaannya, marah-marah dan sakit hati karena dianggap Kamil
berwajah lintah raksasa yang hitam , kasar, buas dan menakutkan. Tante Trustikam, Roto Julik,
Godrah, Likat, Tiras dan banyak orang lainnya, menjadi korban dari penglihatan Kamil. Pak
Kardi dan keluarganya benar-benar gelisah dan cemas dengan mata Kamil karena dianggap tidak
tahu tata krama dan sopan santun. Kebingungan yang memuncak adalah ketika Kamil
mencalonkan diri untuk menjadi Lurah di desanya. Akhirnya, Kamil pun dikurung di kamar dan
tidak boleh keluar rumah. Keluarganya berniat untuk membawa kamil ke rumah sakit jiwa.
Kamil semakin merasa takut dan tertekan dengan hal yang dialaminya. Dia cemas dan
dihantui oleh kematian. Sampai pada suatu waktu, ia lari dan merasa diikuti oleh dua sosok kuat,
tetapi tidak kelihatan. Kamil terus berlari sampai dia pun terjatuh dalam kegelapan dan menabrak
dua sosok kuat tersebut. Kemudian dia merasakan ada benda tajam yang menghujam kedua
matanya. Darah pun mengucur dari matanya dan bajunya pun basah. Ia kaget tidak lagi
itu, Desa Krowotan tenang kembali dan Kamil hidup dengan tongkat menyusuri jalan-jalan desa
mencari sepasang matanya yang hilang.
d. Burung-burung yang Menyergap
Gerusta adalah seorang orator ulung yang kesehariannya hidup dari kata-kata dalam
sebuah organisasi politik di masyarakat. Gerusta biasanya tampil untuk berpidato di depan
ratusan bahkan jutaan massa. Pada suatu waktu, Gerusta disergap oleh burung-burung yang
jumlahnya tidak dapat lagi terhitung, mencoba masuk jendelannya. Burung-burung berbulu
hitam, berparuh runcing sebesar jalak itu menyergap wajah Gerusta. Gerusta menjerit
memandangi wajahnya yang bopeng, penuh luka dengan bercak-bercak darah menguasai
wilayah wajahnya. Dia pun mengambil senjata untuk berjaga-jaga kalau burung tersebut datang
lagi
Hanya kecemasan yang dirasakannya. Pada saat itu juga, salah seorang kader wanita
yaitu Gretta menelepon Gerusta untuk memberikan orasi untuk pemantapan para kader. Gerusta
pun menolak untuk datang karena ia merasa malu dengan wajahnya yang penuh luka. Sampai
pada akhirnya, Gretta pun datang ke rumah Gerusta untuk memberikan orasi. Ketika Gretta
datang, Gerusta malu dan berusaha menutup wajahnya yang sebenarnya tidak mengalami
apa-apa. Wajahnya masih utuh seperti sebelumnya dan yang dirasakannya hanya loyo dan jiwanya
lelah. Hal ini menyadarkannya, betapa kata-kata kini tidak dimilikinya melainkan sudah
memiliki dirinya, bahkan menguasainya.
Gerusta merasa terkungkung dan terancam oleh karena sergapan burung yang
menantinya, yang sebenarnya hanya ilusinya saja dan mengalami tekanan psikis. Bayangan ilusi
massa mengabarkan tewasnya Gerusta sebagai tokoh penting partai. Ia dikabarkan “mengalami
kecelakaan senapan” tanpa usut riwayat kasus yang masih gelap.
e. Anoman Ringsek
Wondo adalah satu-satunya yang ahli memainkan Anoman dalam suatu pertunjukan
wayang di desanya. Ketika itu, selesai pertunjukan wayang Sinta dan Rama, Wondo yang
berperan sebagai anoman mendadak pingsan di panggung. Tubuhnya lemas dan ia segera dibawa
pulang. Para pemain yang lainnya pun panik dengan kondisi Wondo termasuk Jaiman yaitu
dalang yang merangkap sebagai juragan Ramayana. Surti yang merupakan istri Wondo terus
menjaga suaminya yang panas tubuhnya tidak juga reda. Semenjak pingsan, ternyata Wondo
mengalami ketakutan. Dia selalu dibayangi oleh wajah raksasa yang selalu mengikutinya dan
seolah ingin menyergapnya.
Wondo merasa bosan dan tidak berpenghasilan baik dengan bermain wayang sebagai
Anoman. Ia merasa iri dengan teman-temannya yang lain yang bisa menari di hotel dengan
bayaran yang lebih besar. Istrinya harus hutang ke sana kemari karena penghasilan yang tidak
cukup. Kehidupan yang sederhana dan penghasilan yang pas-pasan membuat Wondo suntuk dan
bernasib ringsek(rusak dan pesuk) seperti benang kusut.
Sepanjang malam semenjak pingsan, di tempat tidur Wondo hanya mengigau ketakutan.
Kecemasan selalu menghantuinya. Istrinya mengira suaminya kerasukan makhluk halus, dan dia
hanya bisa menangis. Tiba suatu malam, surti dikagetkan oleh suara riuh dari kamar mereka.
Ternyata Wondo mengamuk seperti sedang berkelahi dengan orang di dalam kamar. Wondo
melompat dan menari seperti Anoman layaknya orang yang berkelahi, tetapi tidak jelas siapa
pun pergi ke luar melalui jendela. Istri dan warga lainnya berusaha untuk mengejarnya, tetapi
tidak berhasil. Wondo histeris sendiri dengan melompat dan mengamuk seperti Anoman.
Pada akhirnya, Wondo pun terlempar ke tanah setelah memanjat sebuah pilar. Darah
segar mengalir dari hidung, mulut, dan telinganya. Ternyata impian Wondo akan kehidupan yang
lebih baik membuat jiwanya tertekan. Impiannya yang tidak tercapai malah membawanya ke