• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyaluran dan Penggunaan Energi Psikis

BAB V DINAMIKA KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA

5.2 Penyaluran dan Penggunaan Energi Psikis

Penyaluran dan penggunaan energi psikis pada suatu individu merupakan bagian dari dinamika kepribadian. Tempat energi psikis disalurkan dan digunakan adalah id, ego, dan superego. Jumlah energi dari ketiga sistem tersebut terbatas dan hal ini membuat ketiganya mengalami persaingan dalam mengambil kendali dan memperoleh energi yang lebih banyak satu sama lain dengan tujuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan suatu individu.

Dalam dinamika kepribadian, Freud (dalam Koswara, 1990:41-42) menjelaskan tentang adanya tenaga pendorong (cathexis) dan tenaga penekanan (anti–cathexis). Kateksis

adalah pemakaian energi psikis yang dilakukan oleh id untuk suatu objek tertentu untuk memuaskan suatu naluri, sedangkan anti-kataeksis adalah penggunaan energi psikis (yang berasal dari id) untuk menekan atau mencegah agar id tidak memunculkan naluri–naluri yang tidak bijaksana dan destruktif. Id hanya memiliki kateksis, sedangkan ego dan superego memiliki anti-kateksis, namun ego dan superego juga bisa membentuk kateksis-objek yang baru sebagai pengalihan pemuasan kebutuhan secara tidak langsung, masih berkaitan dengan asosiasi–asosiasi objek pemuasan kebutuhan yang diinginkan oleh id. Pengerahan dan pengalihan energi psikis dari satu objek ke objek lain.

Lingkungan tempat orang hidup kadang kala bisa mengancam dan membahayakan. Dalam menghadapi ancaman biasanya orang merasa takut, karena kewalahan menghadapi stimulasi berlebihan yang tidak berhasil dikendalikan oleh ego. Berdasarkan tugas dan fungsi id, ego, dan superego, energi psikis yang ada dalam diri suatu individu dalam memenuhi kebutuhan akan tercapai dengan hasil dan dampak yang berbeda terhadap kepribadian individu itu sendiri. Penyaluran dan penggunaan energi psikis akan berlangsung sesuai dengan pemenuhan kebutuhan individu. Demikian pula dalam kumpulan cerpen Sang Terdakwa, penyaluran dan penggunaan energi psikis tokoh-tokoh utamanya dapat kita perhatian dari persoalan-persoalan yang mempengaruhi tokoh secara langsung maupun tidak langsung.

5.2.1 Kota Kami Dicekam Ketakutan

Cerpen ini menceritakan tentang masyarakat yang hidup dengan kekhawatiran terhadap suatu situasi sosial (politik). Namun masyarakat tidak mengetahui maksud dan tujuan dari situasi yang sedang mengancam mereka secara jelas. Kematian menghantui kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya Ogaz yang menjadi salah satu incaran pembunuh yang tidak diketahui identitasnya. Pembunuhan terjadi secara tersembunyi dan hanya meninggalkan mayat yang mengenaskan. Kejadian ini membuat Ogaz dan masyarakat

lainnya ketakutan dan cemas. Dalam situasi tersebut Ogaz membutuhkan kenyamanan dan ketentraman dalam jiwanya agar tidak lagi diliputi oleh ketakutan. Proses pemenuhan kebutuhan Ogaz untuk mendapatkan keselamatan dari pembunuhan yang terjadi disekitarnya, memacu id, ego, dan superego untuk menyalurkan dan menggunakan energi psikis Ogaz secara integratif.

Peristiwa yang dialami oleh Ogaz dan masyarakat lainnya memberikan kesedihan dan tekanan psikis. Penyaluran dan penggunaan energi psikis dalam cerpen ini dapat diperhatikan dalam kutipan berikut.

“Tapi kenapa kota kita yang menjadi sasaran?” Keheningan kembali mengurung kami.

“Kenapa mereka tidak kita lawan?” Wajah kami beku.

“Mereka siapa? Musuh kita tidak jelas!”

“Melawan berarti setor mayat. Setor hati. Semakin dilawan mereka semakin senang, karena ada alasan untuk membunuh. Mereka punya pasukan lenngkap. Mereka sangat terlatih...” ujar Lolong.

“Lebih baik melawan daripada mati konyol!” seru Brazak. (ST, 2000; 4)

Dorongan untuk melawan pembunuh yang mengganggu ketenteraman Ogaz dan teman-temannya yang lain terlihat dari percakapan dalam cerpen. Dalam hal ini ego berusaha menyalurkan dan menggunakan energi psikis Ogaz dan teman-temannya sebagai pertahanan diri dari kematian yang bisa saja lebih cepat menghampiri mereka. Disamping itu superego menggunakan energi psikis sebagai pengontrol atau pengendali moral dari tokoh untuk menghindari kejahatan yang dapat menimbulkan peperangan. Hal ini menjelaskan bahwa superego bertindak sebagai pengarah ego kepada tujuan-tujuan yang sesuai dengan moral.

…Rumi meyakinkan kami, mayat itu adalah Brazak, saudara kami yang menganjurkan perlawanan kepada para pembunuh.

…”Yang selamat Cuma kamu, Ogaz,” Mirzza memelukku (ST, 2000; 5).

5.2.2 Palaran

Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Adipati Anom. Adipati merupakan penguasa yang mengatur kebijakan-kebijakan yang berlaku di Kadipaten Padas Lintang. Adipati Anom

mengalami tekanan psikis akibat dari tembang palaran yang dilantunkan dengan iringan gamelan. Tembang palaran menjadi pemicu yang menyulut api perlawanan di kalangan rakyat dalam perlawanan dengan Adipati Sepuh, yang akhirnya kalah. Adipati Anom merasa dibayangi oleh wajah Adipati Sepuh yang sudah lama kalah dan meninggal dalam perlawanan.

Kehidupan Adipati Anom tidak tenang dan merasa alunan Gamelan yang dimainkan rakyat adalah mimpi buruk baginya. Warga kadipaten dilarang untuk memainkan gamelan yang merupakan mata pencaharian rakyatnya sendiri. Adipati Anom tidak peduli dengan sekitarnya. Dia hanya tidak ingin mendengar suara gamelan. Walau seluruh kawasan kadipaten tidak lagi terdengar suara tembang gamelan, namun Adipati masih merasa diusik dengan suara gamelan. Hal ini membuat warga semakin bingung. Adipati menginginkan kesunyian dan jauh dari suara gamelan yang dianggap sebagai kehancuran dalam hidupnya.

Energi psikis yang ada dalam diri Adipati Anom mendorong seluruh system kepribadiannya untuk mengambil alih. Bentuk penyaluran dan penggunaan energi psikis dari Adipati Anom dalam cerpen ini dapat diperhatikan dari kutipan berikut.

Angin bertiup kencang menerobos jendela, ketika tembang palaran yang sangat ia benci itu kembali didengarkannya. Dia memperketat sumpalan kapas di telinganya. Tapi kapas itu sia-sia menahan laju palaran. Seluruh pori-porinya tertembus gamelan dan tembang (ST, 2000; 17).

Kutipan tersebut merupakan reaksi ego dalam mengendalikan energi psikis Adipati Anom dalam melawan kecemasan yang dialaminya. Namun ketika energi psikis lebih didominasi oleh id, maka ego dan superego akan kekurangan energi yang menyebabkan kepribadian Adipati Anom tidak seimbang yang menimbulkan tekanan untuk bunuh diri.

…Adipati Anom terus mengayun-ayunkan kerisnya. Satu dua orang tertikam lambungnya. Tapi mereka tidak surut. Mereka terus merangsek. Di pojok ruangan itu, Adipati Anom terdesak tak berdaya. Ia merasa menghirup bau kematian. Sontak, orang-orang itu merampas keris dan menghujamkan ke dada Adipati.

Adipati Anom tumbang. Meninggalkan jeritan panjang. Tubuhnya bersimbah darah. Sebilah keris tertancap di dada.

Nyai Adipati mendadak terbangun. Ia menjerit sangat keras. Para penjaga kadipaten berlari ke sumber suara.

“Kangmas Adipati bunuh diri!” pekik Nyi Adipati. Cemas. (ST, 2000; 18)

5.2.3 Sepasang Mata yang Hilang

Penyaluran dan penggunaan energi psikis pada tokoh utama dalam cerpen ini didasari oleh rasa ketakutan yang dialami oleh Kamil. Kamil tidak nyaman dengan kondisi matanya yang dianggap mengganggu. Apabila bertemu dan melihat seseorang yang dianggap tamak, sombong, dan hidupnya suka memanfaatkan masyarakat miskin, Kamil akan histeris dan seolah-olah melihat raksasa yang kejam. Keadaan tersebut mengganggu beberapa warga tempat Kamil tinggal dan mengucilkan sikap yang dialami Kamil. Akibat keanehan yang terjadi pada mata Kamil tersebut, Ayahnya berniat untuk membawanya ke rumah sakit jiwa sebagai solusi terakhir. Hal tersebut membuat Kamil tertekan dan khawatir, karena tidak ingin diasingkan ke rumah sakit. Kamil mencari cara untuk menghindar dengan jalan melarikan diri dari rumahnya.

Energi psikis Kamil terpacu untuk mencari solusi mengatasi keadaan mata yang setiap hari membuat tersinggung beberapa pihak. Kamil membutuhkan obat sekaligus mencari alasan atas peristiwa yang dialami oleh matannya. Kepribadian Kamil sebenarnya bertujuan pada sesuatu yang positif, atas kondisi beberapa pihak yang suka memanfaatkan masyarakat miskin. Berdasarkan hal tersebut, dapat diperhatikan beberapa proses penyaluran dan penggunaan energi psikis yang dialami Kamil dalam kutipan berikut.

Bayangan ia diseret ke rumah sakit menghantui dirinya. Bayangan itu meronta-ronta mengganggu tidurnya. Bayangan ia disakiti menteror dirinya. Menggema teriakan-teriakan dalam gelap (ST, 2000; 24).

Keadaan tersebut membuat Kamil pergi dari rumah pada malam hari. Ketakutan yang dialami Kamil semakin menjadi-jadi karena bayangan rumah sakit yang menakutkan baginya. Hal ini tergambar dari sistem kepribadiannya yang saling mendominasi. Superego yang

berusaha untu mendominasi Kamil hanya memiliki energi yang terbatas dibanding dengan id, sehingga Kamil kehilangan sepasang matanya.

Timbunan ketakutan telah menggerakkan Kamil untuk lari. Dengan sisa kekuatannya ia lari dan terus lari. Selapis demi selapis dinding malam yang gelap, diterobos Kamil. … Suara itu menyadarkan Kamil bahwa ia diikuti seseorang. Ketakutan mendadak menyelimuti rongga dada Kamil. Sesak. Detak jantungnya terpacu. Kamil menoleh. Dua sosok hitam it uterus memburunya. Ia menyelinap di balik rerimbunan perdu. …Kemudian dirasakan ada benda tajam menghujam kedua matanya. Perih. Sangat perih. Sakit. Sangat sakit. Darah mengucur. Deras. Sangat deras. Baju Kamil basah. Malam makin gelap (ST, 2000; 25).

… Bukan lagi keharuan yang muncul dari warga desa, melainkan ejekan. Setiap menjumpai Kamil, anak-anak kecil dan orang tua selalu berteriak, “Mil, ini lho

matamu!”

Dan tawa mereka pun meledak setiap kali Kamil menoleh (ST, 2000; 26).

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, id, ego, dan superego menggunakan energi psikis dengan hasil atau dampak yang berbeda terhadap kepribadian individu dengan masing-masing tugas dan fungsinya. Peristiwa yang dialami Kamil membuat dia khawatir dan dikejar-kejar oleh rasa ketakutan dan mencoba untuk mempertahankan dirinya.

5.2.4 Burung-burung yang Menyergap

Gerusta merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Energi psikis yang dimilikinya semakin memacu semangatnya untuk menghindar dan memusnahkan burung-burung yang menyergap tubuhnya. Gerusta dibayangi oleh sergapan burung-burung yang tidak diketahui sumbernya. Namun burung-burung ini menjadi simbol kekuatan dari ribuan kata-kata yang biasanya diorasikan oleh Gerusta. Kata-kata merupakan hal yang mudah untuk diucapkan bagi Gerusta, sebagai pembangkit semangat masyarakat akan janji kesejahteraan. Gerusta biasanya memberikan orasi kepada orang banyak sebagai janji-janji.

Kehidupan Gerusta bersumber dari kata-kata. Hidupnya tidak dapat dibebaskan dari kata-kata. Demikian pula burung-burung yang tiba-tiba menyergap tubuhnya datang seperti ribuan kata-kata yang siap disampaikan. Namun hal tersebut membuat Gerusta tidak berdaya dan tertekan dengan kondisi tersebut. Energi Gerusta habis oleh karena pertahanannya dalam

menghadapi burung-burung. Ia bingung dengan tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi ancaman burung-burung. Berdasarkan ancaman kekhawatiran akan serangan burung-burung tersebut, penyaluran dan penggunaan energi psikis pada kepribadiannnya berusaha bertahan dengan sistem kepribadiannya. Penyaluran dan penggunaan energi tersebut dapat diperhatikan dari kutipan berikut.

DARI mana burung-burung itu? Siapa yang mengirimkannya untukku? Ia dibalut spiral pertanyaan yang tak kunjung mampu di jawab. Ia mengutuk burung-burung yang tak manusiawi itu. Amarahnya yang menggumpal menjelma tenaga yang mendorong ia bangkit dan keluar rumah. Ia muntahkan peluru itu di pepohonan, atap rumah dan semak-semak (ST, 2000; 52).

Tindakan Gerusta tersebut merupakan bentuk pertahanan sistem energi psikisnya yang dapat mengurangi tegangan akan burung-burung yang menyerang.

…Dari rongga mulut itu ia merasakan ada yang bergerak. Ada gumpalan bulu yang menyentuh langit-langit mulutnya. Gerusta mau muntah. Tapi tak bisa. Berjejal-jejal burung keluar dari mulutnya. Mereka menyergap Gerusta. Sempoyongan Gerusta melangkah, meraih senapan dan mengokangnya. Telunjuk Gerusta gemetaran menarik picu senapan yang diarahkan ke mulutnya (ST, 2000; 57).

Sistem pertahanan ego dalam kepribadian Gerusta tidak mampu mengendalikan energi psikisnya yang begitu besar berpihak pada id. Gerusta menembak mulutnya sendiri akibat dari tekanan atau stimulus internal Gerusta yang semakin meningkat. Hal ini merupakan dorongan dari kebutuhan internal tubuhnya untuk terhindar dari ancaman yang menyerang. Ego dan antikateksis tubuh Gerusta tidak cukup kuat dalam mendapatkan energi, sehingga penyaluran dan penggunaan energi psikis yang diharapkan menuju pada proses moral menjadi tidak tercapai.

5.2.5 Anoman Ringsek

Penyaluran energi psikis dalam tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Wondo sebagai tokoh utama merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya yang mendesak. Sistem kepribadian id, ego, dan superego Wondo, berusaha untuk memperoleh

energi psikis yang mendominasinya secara keseluruhan. Ego sebagai pengendali serta penghambat bagi dorongan-dorongan primitif id harus mampu mempertahankan integrasi yang baik antara ketiga sistem kepribadian tersebut. Tekanan yang dimunculkan akibat kondisi lingkungan sosial, menjadi pendorong utama bagi ego untuk menyeimbangkan seluruh aspek penting kepribadian agar tidak terjadi tindakan amoral. Namun energi yang lebih dominan akan lebih kuat pula dalam menguasai perilaku seseorang.

Wondo bekerja sebagai wayang dengan penghasilan yang kurang. Wondo merasa bosan dengan kondisi perekonomian keluarganya yang pas-pasan bahkan sampai hutang. Ia ingin mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan uang lebih banyak dengan tingkat pendidikan yang pas-pasan. Keinginan tersebut tidak dapat terpenuhi, sehingga Wondo mengalami tekanan psikis yang membawanya dalam keadaan kurang baik. Kebutuhan-kebutuhan hidup Wondo tidak dapat terpenuhi dan menunjukkan bahwa proses metabolismenya semakin tidak teratur. Penyaluran dan penggunaan energi psikis dari Wondo dapat diperhatikan pada kutipan berikut.

…“Saya penginjadi uwong. Jadi manusia. Mosokdari dulu giniterus. Yoto saja yang Cuma penari ajaran, sudah bisa hidup enak sejak jadi main Ramayana di hotel (ST, 2000; 111).

Wondo tak terpengaruh impian yang ditiupkan Jaiman. Niatnya untuk keluar dari

tobong terus berdetak dalam dirinya. Tapi bagai benang kusut, ia tak pernah mampu menemukan lubang jarum untuk bisa menjahit nasibnya yang koyak moyak. Wondo terus jadi Anoman, meskipun jiwanya sumpekdan nasibnya ringsek. (ST, 2000; 112) Individu didorong untuk mampu membedakan antara dunia dalam (pikiran) dan dunia luar atau kenyataan. Artinya, dalam hal ini Wondo harus belajar membedakan antara pikiran atau bayangan tentang suatu keadaan yang tidak akan bisa hadir dalam kenyataan. Keinginan untuk mendapat penghasilan yang lebih inilah yang menjadi kebutuhan Wondo sebagai individu. Kemudian apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi, maka akan muncul energi-energi psikis pada individu yang berusaha mendapatkan kebutuhan tersebut melalui id, ego dan superego.

Mendadak Surti dikejutkan dengan suara orang berkelahi dari kamar Wondo. Suara gedebag-gedebug itu semakin keras.

…Wondo meloncat. Menari persis Anoman. Dari gerakan-gerakannya ia seperti sedang berkelahi. Tapi siapa yang dilawan? Pikir Surti. (ST, 2000; 113)

…Wondo terkapar. Darah segar mengalir dari hidung, mulut dan telinganya. Deras. Surti menjerit. Lemas dan pingsan (ST, 2000; 114).

Ketidakmampuan Wondo dalam memenuhi keinginannya untuk hidup lebih maju membuat antikateksis yaitu ego dan superego yang ada pada dirinya mendapat energy yang lemah. Energi id menjadi lebih dominan sehingga cara Wondo dalam memenuhi keinginannya menjadi salah. Tekanan psikis yang dialami Wondo menghasilkan kesedihan bagi keluarganya. Kekuatan pencegahan oleh antikateksis tidak mampu mempertahankan energi psikis Wondo ke arah yang diinginkan.

Dokumen terkait