• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Fisik Berupa Wilayah dan Bangunan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL

4.2 Latar ( setting )

4.2.1 Latar Fisik Berupa Wilayah dan Bangunan

Latar fisik merupakan latar peristiwa yang terdapat pada suatu rangkaian cerita yang digambarkan dengan fisik atau tempat. Unsur tempat digunakan dalam sebuah cerita fiksi

untuk memberikan kaitan atau jalinan cerita yang erat dengan unsur lainnya. Beberapa wilayah, bangunan yang menjadi latar dalam kumpulan cerpen Sang Terdakwa karya Indra Tranggono antara lain sebagai berikut:

4.2.1.1 Kota Kami Dicekam Ketakutan

Pada awalnya dimulai dengan situasi malam hari di suatu kota yang terdapat di sebuah pulau kecil. Tempat yang dijadikan sebagai latar dari rangkaian cerita ini, merupakan sebuah di pulau yang diapit oleh gunung. Daerah tersebut memberikan kehidupan bagi masyarakat dengan beberapa pantai yang dijadikan sebagai sumber penghasilan, seperti nelayan. Latar tempat dalam cerita ini tidak begitu dominan, namun sedikit menggambarkan situasi kehidupan masyarakat di suatu kota yang mengalami ketakutan karena kejadian yang mencekam.

Kota kami berdiri di sebuah pulau kecil dan diapit oleh gunung yang tinggi dan pantai yang sangat indah. Jika senja tiba, pantai kami membentangkan sunset yang jauh lebih memukau dari gambar-gambar di kantor pos (ST, 2000; 1).

Kondisi mencekam yang dialami penduduk kota membuat mereka harus berjaga-jaga di tempat-tempat yang dianggap sumber ancaman dari ketakutan mereka.

Meskipun kami telah memperkuat penjagaan di gerbang kota—karena kami mendengar pembunuh itu dating dari luar kota—masih saja maut itu bergentayangan mencabuti nyawa warga kami… (ST, 2000; 4).

4.2.1.2 Palaran

Dalam rangkaian cerita ini, latar tempatnya adalah sebuah kerajaan yang bernama Kadipaten Padas Lintang. Tempat ini merupakan sebuah kawasan Adipati Anom, Nyai Adipati, selir-selirnya, serta anggota kadipaten lainnya. Kawasan Kadipaten Padas Lintang ini merupakan tempat peraduan Adipati yang memimpin rakyatnya. Di kawasan ini juga, Adipati sehari-harinya hidup dan mengalami tekanan akibat kekuasaan yang didapat Adipati

dari Adipati Sepuh yang dianggapnya tidak bisa memimpin kadipaten dengan baik. Latar yang dimaksudkan dapat dilihat dari kutipan berikut.

…ketika ia dengan gagah berani mengalunkan tembang palaran untuk menantang Adipati Sepuh yang dinilainya tak becus memimpin Kadipaten Padas Lintang (ST, 2000; 15).

Cerita ini tidak begitu menonjolkan latar fisiknya. Rangkaian cerita dipusatkan pada kondisi dan situasi di kawasan Kadipaten Padas Lintang. Namun ada juga beberapa tempat seperti di kamar dan istana, tempat Aipati mengurung diri dari suara gamelan yang membuatnya merasa terancam dan ketakutan.

Dan angin yang bertiup dari bukit-bukit yang jauh mengirimkan suara itu ke peraduan Adipati Anom.

…wajahnya pucat pasi melihat Adipati Anom terguling-guling di ranjang sambil terus menjerit (ST, 2000; 11).

4.2.1.3 Sepasang Mata yang Hilang

Korban keanehan mata Kamil yang pertama adalah Pak Karso seorang juragan tembakau. Kamil mengatakan bahwa Pak Karso adalah seorang raksasa yang kejam. Perkataan itu disampaikan di rumahnya sendiri yang berlangsung di serambi rumah Kamil, ketika Pak Karso dan ayahnya sedang berbincang-bincang.

…ketika Pak Karso, juragan tembakau yang sukses itu, mengunjungi ayahnya. Tanpa diduga ia bertatapan dengan Pak Karso di serambi. Sontak ia melihat wajah juragan itu berubah menjadi wajah raksasa dengan taring-taring tajam. Kamil berteriak histeris. Seluruh isi rumah kaget. Juga Pak Karso (ST, 2000; 20).

Perilaku kamil yang aneh semakin membuat resah masyarakat di Desa Krowotan, yaitu desa tempat Kamil tinggal. Di desa tersebutlah keseharian dan tingkah laku Kamil yang aneh dengan sepasang matanya, melakukan aktifitas dan meresahkan masyarakat. Di Desa Krowotan, ia banyak bertemu dengan orang-orang yang setiap harinya lalu-lalang. Kemudian Kamil menyampaikan apa yang dilihatnya, walaupun membuat orang yang dijumpainya

tersinggung. Kejadian aneh tersebut terus terjadi dan banyak korban yang merasa terhina. Desa Krowotan menjadi perbincangan oleh desa-desa lainnya.

Perilaku Kamil membikin seluruh warga Desa Krowotan heboh. Desa itu pun menjadi sorotan desa-desa lain. Pak Kurah yang sebentar lagi diganti itu tak suka dengan kejadian ini. Ia memanggil Pak Kardi (ST, 2000; 22).

4.2.1.4 Burung-burung yang Menyergap

Rangkaian cerita dalam cerpen ini tidak begitu menonjolkan latar yang dominan. Ada beberapa tempat yang dijadikan pengarang sebagai lokasi tokoh mengalami pergolakannya, yaitu di rumah Gerusta. Gerusta adalah seorang orator ulung yang biasanya menyampaikan bentuk-bentuk orasi kepada masyarakat. Pada waktu itu, Gerusta sedang beristirahat di rumah dan beberapa saat setelah membuka jendela rumahnya, ia pun diserang oleh burung-burung. Gerusta berada di dalam rumahnya sendiri dan merasa sangat terancam. Terkadang ia juga keluar rumah untuk memberikan perlawanan kepada burung dengan senjata pelurunya. Sergapan burung-burung yang menghampirinya merupakan suatu halusinasi akan kehidupannya sehari-hari. Ia tidak dapat menghadapi gejolak hidup yang dialaminya, yang pada dasarnya antara imajinasi dan kenyataan terkadang tidak semua orang dapat memahaminya.

Begitu jendela dibuka, burung-burung, yang jumlahnya mungkin puluhan, mungkin ratusan, menyergap wajah Gerusta (ST, 2000; 51).

Ia mengutuk burung-burung yang yang tak manusiawi itu. Amarahnya yang menggumpal menjelma tenaga yang mendorong ia bangkit dan keluar rumah. Ia muntahkan peluru itu di pepohonan, atap rumah dan semak-semak. Tapi hanya ranting yang patah atau daun-daun yang jatuh berserakan di halaman rumahnya (ST, 2000; 52).

Akibat serangan burung-burung yang menghantui hidupnya pada hari itu, Gerusta sangat merasa tertekan. Ia mengalami kecemasan dan takut dengan bayangan burung-burung yang terus ada mengintainya dan merusak wajahnya. Kemudian Gretta yang pada waktu itu dating ke rumahnya, meyainkan bahwa wajahnya tidak rusak sama sekali dan tidak ada

burung di sekitar rumahnya. Namun tekanan dan kecemasan yang masih dirasakan Gerusta membuat dia lemas dan mendadak jatuh pingsan. Ia pun di bawah ke rumah sakit.

“Dokter, tolong tutup semua pintu dan jendela.” “Bapak tidak usah khawatir. Rumah sakit ini aman.”

“Dokter, tolong suruh ajudan saya untuk mengirim senapan.” “Senapan? Untuk apa? Apa Bapak mau…”

“Senapan, Dokter!”

“Ya…ya…” Dokter Shoaraz meninggalkan ruangan (ST, 2000; 57).

Sampai pada akhirnya, Gerusta meninggal di rumah sakit akibat tekanan yang dialaminya. Dia mendadak merasa bahwa burung-burung keluar dari mulutnya dan segera menembakkan ujung senapannya ke mulutnya sendiri.

4.2.1.5 Anoman Ringsek

Cerpen ini mengisahkan tentang kecemasan dan tekanan yang dialami oleh Wondo sebagai seorang anak wayang. Dia hidup dengan keadaan ekonomi yang sangat terbatas. Kehidupan ekonomi yang terbatas tersebut membuat Wondo pusing dan berniat untuk memiliki kehidupan ekonomi yang lebih maju. Mata pencaharian yang didapatnya hanya dari bbermain ketoprak. Mereka biasanya bermain pertunjukan wayang Rama dan Sinta di atas panggung yang biasa disebut tobong ketoprak. Mereka membuat pertunjukkan ke desa-desa dengan membuat tempat yaitu tobong. Namun Wondo tiba-tiba jatuh pingsan di panggung dan membuat seluruh penghuni tobongbingung.

Di panggung, para pemain mendadak kaget. Wondo, pemeran Anoman itu, menggelepar…

…Hampir setengah jam warga tobong itu panik karena jeritan Wondo (ST, 2000; 109).

Surti terus menangis. Kondisi suaminya sangat mengenaskan. Ia juga dihadang hutang-hutang kepada Mbok Gadang, pemilik warung makan sebelah tobong (ST, 2000; 110).

Wondo tak terpengaruh impian yang ditiupkan Jaiman. Niatnya untuk keluar dari

Sejak pingsan di panggung, Wondo selalu dibayangi ketakutan. Dia sering mengigau pada waktu istirahat dan menjerit seperti orang kesurupan di dalam kamar. Di dalam kamar, Wondo beristirahat dan mengalami ketakutan.

Jarum jam warisan dari orang tua Wondo yang tergolek di pojok kamar tanpa henti mengiris waktu. Angin pun merambah kamar. Surti membetulkan selimut Wondo (ST, 2000; 113).

Pada akhirnya, Wondo meninggal secara mengerikan di sekitar tobong disaksikan oleh saudara-saudaranya. Ia meninggal setelah terlempar karena tingkahnya yang mengamuk seperti Anoman di pertunjukkan.

Dokumen terkait