SANG TERDAKWA
KARYA INDRA TRANGGONO:
DINAMIKA KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA
SKRIPSI
OLEH:
KRISNA SILVIA PANDIANGAN
080701030
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
SANG TERDAKWA
KARYA INDRA TRANGGONO:
DINAMIKA KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA
OLEH
KRISNA SILVIA PANDIANGAN
080701030
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra dan telah
disetujui oleh:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. NIP. 19620419 198703 2 001 NIP. 19500411 198102 2 001
Departemen Sastra Indonesia Ketua,
ii
Karya sastra merupakan bentuk karya imajinatif yang dihasilkan oleh daya cipta manusia yang pada umumnya bersumber dari peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat. Dinamika kepribadian merupakan suatu tenaga atau semangat yang menggerakkan atau mendorong seseorang untuk mengambil sikap atau tindakan yang terjadi di sekitar lingkungan hidup masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dinamika kepribadian tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Sang Terdakwa karya Indra Tranggono. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisa Sigmund Freud. Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan beberapa unsur struktural dalam kumpulan cerpen kemudian dilanjutkan dengan menganalisis dinamika kepribadian yang dialami tokoh utama. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama memiliki dinamika kepribadian yang terdiri dari empat aspek yaitu naluri, baik naluri kehidupan maupun kematian, penyaluran dan penggunaan energi psikis, kecemasan kecemasan riel; kecemasan neurotik; maupun kecemasan moral, serta mekanisme pertahanan ego, yakni sublimasi;
displacement; dan represi. Dinamika kepribadian tersebut disebabkan oleh faktor sosiologis dan faktor psikis. Faktor sosiologis dan psikis tersebut menimbulkan dinamika kepribadian yang umumnya dialami oleh masyarakat dengan status sosial menengah ke bawah.
Kata-kata kunci:
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Sang Terdakwakarya Indra
Tranggono: Dinamika Kepribadian Tokoh Utama” adalah benar hasil karya penulis. Judul
yang dimaksud belum pernah dibuat, dipublikasikan atau diteliti oleh mahasiswa lain demi
memperoleh gelar kesarjanaan. Semua sumber data yang diperoleh telah dinyatakan dengan
jelas, benar sesuai aslinya. Apabila dikemudian hari, pernyataan yang saya buat ini tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh Departemen Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Medan, Desember 2012
Penulis
Nama : Krisna Silvia Pandiangan
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
kasih karunia-Nya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul
“Sang Terdakwa karya Indra Tranggono: Dinamika Kepribadian Tokoh Utama” disusun
untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan, baik
moril maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku Ketua Departemen Sastra
Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Drs. Haris
Sutan, M.Sp., selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis.
3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah banyak
memberikan ilmu, waktu, dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Yulizar Yunas, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah banyak
memberikan ilmu dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Ibu Drs. Hariadi Susilo, M.Si., selaku dosen penasehat akademik yang telah memberikan
v
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan
pengajaran kepada penulis.
7. Kedua orang tuaku yang terkasih dan tercinta, Ayahanda M. Pandiangan dan Ibunda T.
Sinaga yang telah banyak memberikan kasih sayang, pelajaran hidup bagi penulis dan
turut serta dalam mendidik, mendoakan dan mendukung baik moril maupun materil,
sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan ini.
8. Saudara-saudariku yang terkasih, Abang-abangku Parulian Pandiangan, Paulus
Pandiangan, Venansius Pandiangan, dan kakakku Leovanny Pandiangan, yang selalu
mendukung, mendoakan dan menjadi inspirasi bagi penulis dalam keadaan apapun untuk
tetap bersemangat, sehingga dapat menyelesaikan perkuliahan ini.
9. Seluruh Keluarga Mahasiswa Katolik yang turut menjadi bagian indah dalam hidupku,
Abang/Kakak dan Adik-adik di UKM KMK St. Albertus Magnus USU dan KMK St.
Gregorius Agung FIB.
10. Seluruh teman-teman di Komunitas Sant’ Egidio Medan yang tercinta, adik-adik Sekolah
Damai, dan Oma-Opa di Panti Jompo Karya Kasih, yang telah memberikan warna
pelangi dalam hidup penulis sebagai makhluk sosial yang berkarakter dan menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan.
11. Kakak Tika sebagai pegawai di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis.
12. Teman-temanku terkasih, Ivo Oscar Simamora yang telah meminjamkan kumpulan
vi
Ganda, Jigoro, Nandus, Bg Markus, Monika, Benediktus, Bernike, dan kak Noni yang
selalu menjadi keluarga bagi penulis.
13. Sahabat-sahabat Kepompongku, Novita, Susanti, Iwa, dan Adrina yang menjadi keluarga
kecilku di Departemen Sastra Indonesia Universitas Sumatera Utara.
14. Seluruh rekan-rekan 2008, abang/kakak stambuk 2004-2007, dan adik-adik 2009-2012
dari berbagai Fakultas dan Jurusan di Universitas Sumatera Utara.
15. Semua orang yang telah turut membentuk pribadi penulis menjadi seseorang yang
bertumbuh dalam iman dan cinta kasih, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis
membuka diri untuk menerima kritik dan saran yang membangun demi perkembangan ilmu
humaniora yang lebih bermanfaat.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna bagi pembaca dan seperti kata bijak yang
disampaikan oleh Mother Teresa bahwa “Mengenal diri sendiri membuat kita berlutut dengan
rendah hati”. Ad maiorem Dei Gloriam.
Sekian dan terima kasih.
Medan, Desember 2012
Penulis
Nama : Krisna Silvia Pandiangan
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
ABSTRAK ... ii
PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Masalah ... 3
1.3 Batasan Masalah ... 3
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4
1.4.1 Tujuan Penelitian ... 4
1.4.2 Manfaat Penelitian ... 4
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 5
2.1.1 Dinamika Kepribadian ... 5
2.1.2 Tokoh Utama ... 6
2.1.3 Id ... 6
2.1.4 Ego ... 7
2.1.5 Superego ... 7
2.2 Landasan Teori ... 8
2.3 Tinjauan Pustaka ... 10
3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 13
3.3 Teknik Analisis Data ... 14
BAB IV ANALISIS STRUKTURAL 4.1 Penokohan ... 15
4.1.1 Tokoh Utama ... 16
4.1.2 Tokoh Pendukung ... 17
4.2 Latar (setting) ... 32
4.2.1 Latar Fisik Berupa Wilayah dan Bangunan ... 32
4.2.2 Latar Sosial ... 37
4.3 Tema ... 40
BAB V DINAMIKA KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA 5.1 Naluri (Insting) ... 48
5.2 Penyaluran dan Penggunaan Energi Psikis ... 55
5.3 Kecemasan ... 63
5.4 Mekanisme Pertahanan Ego ... 72
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan ... 82
6.2 Saran ... 83
DAFTAR PUSTAKA
ii
Karya sastra merupakan bentuk karya imajinatif yang dihasilkan oleh daya cipta manusia yang pada umumnya bersumber dari peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat. Dinamika kepribadian merupakan suatu tenaga atau semangat yang menggerakkan atau mendorong seseorang untuk mengambil sikap atau tindakan yang terjadi di sekitar lingkungan hidup masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dinamika kepribadian tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh-tokoh yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Sang Terdakwa karya Indra Tranggono. Untuk mendapatkan hasil tersebut dipergunakan teori psikologi sastra dengan penerapan teori-teori psikoanalisa Sigmund Freud. Metode penelitian yang dipergunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih berdasarkan masalah yang akan dibahas. Analisisnya dilakukan dengan menganalisis dan mendeskripsikan beberapa unsur struktural dalam kumpulan cerpen kemudian dilanjutkan dengan menganalisis dinamika kepribadian yang dialami tokoh utama. Berdasarkan hasil analisis tersebut ditemukan bahwa tokoh-tokoh utama memiliki dinamika kepribadian yang terdiri dari empat aspek yaitu naluri, baik naluri kehidupan maupun kematian, penyaluran dan penggunaan energi psikis, kecemasan kecemasan riel; kecemasan neurotik; maupun kecemasan moral, serta mekanisme pertahanan ego, yakni sublimasi;
displacement; dan represi. Dinamika kepribadian tersebut disebabkan oleh faktor sosiologis dan faktor psikis. Faktor sosiologis dan psikis tersebut menimbulkan dinamika kepribadian yang umumnya dialami oleh masyarakat dengan status sosial menengah ke bawah.
Kata-kata kunci:
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan bentuk karya imajinatif yang dihasilkan oleh daya cipta
manusia yang pada umumnya bersumber dari peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat.
Jabrohim (2001:167) mengatakan bahwa:
Karya sastra adalah hasil pikiran pengarang yang menceritakan segala permasalahan yang ada di masyarakat pada kehidupan sehari-hari. Pengarang mengungkapkan permasalahan itu karena pengarang berada dalam ruang dan waktu. Di dalam ruang dan waktu tersebut pengarang senantiasa terlibat dengan beraneka ragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata, ruang dan waktu tertentu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata di dalamnya berinteraksi.
Hal ini berarti karya sastra dijadikan sebagai media pengungkapan pengarang dalam
menciptakan suatu karya imajinatif yang dekat dengan kondisi sosial masyarakat. Kondisi
sosial yang ada dalam masyarakat tersebut ternyata memberikan pengaruh yang besar
terhadap perkembangan pemikiran masyarakat, baik kondisi ekonomi, sosial, maupun politik.
Dalam hal ini karya sastra menjadi media pengungkapan yang tepat bagi pengarang dalam
menciptakan hasil karya yang imajinatif dan kreatif.
Karya sastra merupakan bentuk ekspresi kejiwaan seorang pengarang untuk
mengungkapkan isi hatinya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Endraswara (2008:102)
yang menyatakan bahwa “Karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang, yang
menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang
telah dimasak dalam jiwanya”. Oleh karena itu, sastra merupakan sesuatu yang dekat dengan
nilai-nilai yang dihayati penyair atau sastrawan serta keyakinannya yang melandasi pikiran
terhadap lingkungannya, hidup dan kehidupannya.
Kehidupan masyarakat dengan persoalan hidup dan berbagai macam goncangan
persoalan hidup yang tragis. Persoalan hidup di tengah kegoncangan sosial ini lebih
didominasi oleh masyarakat wong cilik , khususnya yang ada di kota-kota besar
(metropolitan). Situasi kecemasan dan kekuatan kekuasaan (politik) yang dialami
masyarakat, menjadikan perkembangan kepribadian manusia akan nilai sosial semakin
menurun. Secara psikologis, situasi tersebut memengaruhi kepribadian orang dewasa,
masyarakat secara keseluruhan termasuk anak-anak. Permasalahan yang terjadi pada
masyarakat ini secara riil memberikan suatu pengalaman yang dapat dijadikan bentuk karya
apresiasi sebagai keprihatinan akan kondisi tersebut.
Bicara soal wong cilik, ada satu hal penting yang tidak boleh dilupakan, yaitu status
sosial. Status sosial menjadi masalah yang penting bagi mereka, karena masalah sosial ini
tampaknya memengaruhi kepribadian seseorang yang riil dirasakan oleh mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Bertolak dari adanya rasa kurang nyaman akibat kondisi lingkungan
yang mengancam, menjadikan penelitian terhadap karya sastra ini penting, khususnya dari
segi psikologisnya sesuai dengan kepribadian seseorang yang menimbulkan berbagai
dinamika kepribadian berkaitan dengan psikologi sastra. Dalam hal ini Endraswara (2008:96)
mengatakan bahwa “Psikologi sastra adalah kajian yang memandang karya sebagai aktifitas
kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Karya sastra
yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan aspek-aspek kejiwaan
melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa”.
Dalam sebuah penelitian, topik yang akan dikaji harus menarik dan bermanfaat.
Sehubungan dengan uraian tersebut, penulis memilih kumpulan cerpen Sang Terdakwa
(selanjutnya disingkat ST) karya Indra Tranggono. Adapun alasan penulis memilih kumpulan
cerpen ST Indra Tranggono menjadi bahan analisis yaitu: (1) Tema dan permasalahan hidup
Imajinasi dan pengalaman pengarang sangat luas tentang sebuah dunia kejiwaan manusia
yang kelam. (3) Karakteristik tokoh dan isi cerita dalam setiap cerpennya menarik.
Dalam kumpulan cerpen STterdapat tokoh-tokoh yang mengalami goncangan dengan
pikiran dan pandangan-pandangan hidupnya sendiri, tidak hanya digambarkan dalam
tindakan-tindakan jasmani, tetapi justru reaksi-reaksi kejiwaan yang lebih mewarnai
kehidupan tokoh. Berdasarkan reaksi-reaksi kejiwaan yang dialami tokoh dalam menjalani
kehidupannya tersebut, penulis akan mendeskripsikan dinamika kepribadian tersebut sebagai
upaya menemukan hal-hal yang bermanfaat dalam penelitian psikologi sastra dengan
penerapan teori-teori psikoanalisa Sigmund Freud.
1.2 Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, masalah yang diteliti
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen Sang Terdakwa karya
Indra Tranggono?
2. Bagaimanakah dinamika kepribadian yang dialami tokoh utama dalam kumpulan
cerpen Sang Terdakwakarya Indra Tranggono ditinjau dari psikologi sastra?
1.3 Batasan Masalah
Sebuah penelitian sangat membutuhkan batasan masalah agar penelitian tersebut
terarah dan tidak terlalu luas sehingga tujuan penelitian dapat tercapai. Pembahasan dalam
kajian ini dibatasi pada unsur-unsur intrinsik berupa tokoh dan perwatakan, latar atau
setting, dan tema. Kemudian menganalisis dinamika kepribadian yang dialami tokoh utama
yang ditinjau dari segi psikologi sastra dengan menerapkan teori-teori psikologi khususnya
Kumpulan cerpen ST terdiri atas dua puluh cerpen, dan penulis hanya menganalisis
lima cerpen yang akan dijadikan pembahasan, yaitu Kota Kami Dicekam Ketakutan,
Palaran, Sepasang Mata yang Hilang, Burung-burung yang Menyergap, dan Anoman
Ringsek. Kelima cerpen yang akan dibahas tersebut memiliki dinamika kepribadian manusia
yang lebih kental dan dapat mewakili cerpen yang lainnya.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan cerpen ST karya Indra
Tranggono
2. Mendeskripsikan dinamika kepribadian yang dialami tokoh utama dalam kumpulan
cerpen STkarya Indra Tranggono ditinjau dari psikologi sastra.
1.4.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
1. Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan sastra
Indonesia terutama dalam pengkajian cerpen Indonesia modern dengan
pendekatan psikologi sastra.
2. Memperluas khasanah ilmu pengetahuan terutama bidang bahasa dan sastra
Indonesia, khususnya dalam analisis cerpen dengan tinjauan psikologi sastra.
b. Manfaat Praktis
1. Hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala apresiasi pembaca umum, khususnya
sastra Indonesia terhadap penganalisisan dinamika kepribadian seseorang.
2. Hasil penelitian ini dapat memperluas wawasan pembaca dalam mengetahui dinamika
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional (2008:725) “Konsep merupakan (1) rancangan atau buram
surat dsb; (2) ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret; (3) gambaran
mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi
untuk memahami hal-hal lain”. Jadi, konsep adalah unsur penelitian yang amat mendasar dan
menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Dengan kata
lain, konsep digunakan sebagai kerangka atau pijakan untuk menjelaskan, mengungkapkan,
menggambarkan, atau pun memaparkan suatu objek atau topik pembahasan. Konsep yang
dimaksud adalah gambaran dari objek berupa kumpulan cerpen ST karya Indra Tranggono
yang akan dibahas dalam tulisan ilmiah yang berjudul Sang Terdakwa Karya Indra
Tranggono : Dinamika Kepribadian Tokoh Utama. Berdasarkan pengertian di atas maka
karya ilmiah ini akan melibatkan beberapa konsep yang menjadi dasar pembahasan pada bab
selanjutnya. Konsep-konsep itu adalah sebagai berikut.
2.1.1 Dinamika kepribadian
Secara etimologi dinamika kepribadian berasal dari dua kata yaitu dinamika dan
kepribadian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:329) “Dinamika adalah gerak
(dari dalam); tenaga yang menggerakkan; semangat, sedangkan kepribadian adalah sifat
hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu bangsa yang membedakannya dari
orang atau bangsa lain”. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dinamika kepribadian itu adalah
sikap atau tindakan yang terjadi di sekitarnya. Penelitian ini berusaha menemukan dinamika
kepribadian tokoh utama berdasarkan peristiwa-peristiwa yang dialami yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Sang Terdakwakarya Indra Tranggono.
2.1.2 Tokoh Utama
Menurut Kamus Istilah Sastra (1990:56) “ Protagonis atau dengan istilah lain tokoh
utama, adalah tokoh dalam karya sastra yang memegang peran pimpinan di dalam drama atau
cerita rekaan. Protagonis tidak identik dengan wirawan (gagah perkasa), tetapi selalu menjadi
tokoh yang sentral”. Lebih lanjut Aminuddin (1987:80) menjelaskan bahwa tokoh protagonis
adalah pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca karena memiliki
watak. Jadi, dapat diartikan bahwa tokoh utama merupakan pelaku atau orang yang berperan
penting dan utama dalam sebuah cerita rekaan.
2.1.3 Id
Koswara (1991:32) menjelaskan defenisi id yaitu "Sistem kepribadian yang paling
dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan”. Id merupakan sistem
kepribadian yang paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan
dengan dunia luar. Lebih lanjut Freud (dalam Koswara, 1991:38-39) menjelaskan bahwa
“Faktor bawaan ini adalah insting atau naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri yang terdapat
dalam diri manusia dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri
kematian (death insticts)”. Berdasarkan uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa jika
pemenuhan kebutuhan id terhambat, akan terjadi konflik-konflik yang menimbulkan rasa
gelisah, sakit, dan perasaan lain yang tidak menyenangkan. Dalam pemenuhan kebutuhan id
2.1.4 Ego
Koswara (1991:33) mengatakan bahwa ego adalah “Sistem kepribadian yang
bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan
fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan (the reality principle)”. Hal ini dapat dikaitkan
seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan
(rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan
tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego.
Ego selain sebagai pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang antara dorongan naluri id
dengan keadaan lingkungan yang ada.
Menurut Freud (dalam Koswara,1991:34) “Ego dalam perjalanan fungsinya tidak
ditujukan untuk menghambat pemuas kebutuhan atau naluri yang berasal dari id, melainkan
bertindak sebagai perantara dari tuntunan–tuntunan naluriah organisme di satu pihak dengan
keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri–
naluri yang tidak layak atau yang tidak bisa diterima oleh lingkungan”. Hal ini berarti bahwa
ego berfungsi sebagai pemelihara kelangsungan hidup suatu individu.
2.1.5 Superego
Koswara (1991:33) mengatakan bahwa superego adalah sistem kepribadian yang
berisikan nilai-nilai dan aturan-aturan yang sifatnya evaluatif (menyangkut baik-buruk).
Selanjutnya Freud (dalam Koswara,1991:35) menjelaskan bahwa “Superego terbentuk
melalui enternalisasi nilai-nilai dan aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang
berperan, berpengaruh, atau berarti bagi individu tersebut seperti orang tua dan guru. Jadi,
bisa dikatakan superego terbentuk karena adanya fitur yang paling berpengaruh seperti orang
tua. Dengan terbentuknya superego pada individu, maka kontrol terhadap sikap yang
2.2 Landasan Teori
Dalam karya ilmiah ini, penulis menggunakan teori psikologi sastra. Endraswara
(2008:96) mengatakan bahwa “Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya
sebagai aktifitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam
berkarya. Karya sastra yang dipandang sebagai fenomena psikologis, akan menampilkan
aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh jika kebetulan teks berupa drama maupun prosa”.
Lebih lanjut Ratna (2004:350) mengatakan “Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada
aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh penelitian,
dapat diungkapkan gejala-gejala psikologis tokoh, baik yang tersembunyi atau sengaja
disembunyikan pengarang”. Uraian-uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa psikologi
sastra merupakan sebuah teori yang berusaha menemukan aktifitas serta aspek kejiwaan
tokoh dalam sebuah karya sastra.
Roekhan (dalam Endraswara, 2008:97) mengatakan bahwa “ Pada dasarnya, psikologi
sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan yaitu (1) pendekatan tekstual, (2) pendekatan
reseptif-pragmatik, (3) pendekatan ekspresif”. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
pendekatan yang pertama yaitu pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual yang dimaksud
yaitu mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Demikian pula halnya dalam karya
ilmiah ini yaitu sebuah kumpulan cerpen yang keseluruhan ceritanya membahas atau
mengungkapkan bagaimana ketakutan atau kecemasan yang dialami oleh tokoh-tokohnya
dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan jiwa tokoh mengalami pergolakan yang diakibatkan
oleh kekuatan (kekuasaan politik) yang terjadi pada situasi zaman yang diuraikan dalam
cerita-cerita tersebut. Berdasarkan pergolakan hidup yang dialami tokoh, perlu adanya
pendalaman akan unsur-unsur intrinsik sebagai pembangun dari karya sastra tersebut.
Analisis struktural diperlukan sebagai bahan kajian untuk membuat analisis lebih lanjut. Dari
sastra yang akan mempermudah dalam pembuatan analisis selanjutnya. Langkah dalam
menganalisis struktural adalah (a) mengidentifikasi unsur- unsur intrinsik yang membangun
karya sastra secara lengkap dan jelas, mana tema dan mana yang tokohnya, (b) mengkaji
unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui tema, alur, penokohan, latar dalam
sebuah karya sastra, (c) menghubungkan masing-masing unsur sehingga memperoleh
kepaduan makna menyeluruh dari sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 1998: 37).
Dalam menganalisis secara struktural, penelitian ini hanya membatasi pada tema,
tokoh, dan latar atau setting yang ada dalam cerpen-cerpen yang dipilih terkait dengan
persoalan yang diangkat yaitu dinamika kepribadian tokoh utama dari tinjauan psikologi
sastra. Oleh karena itu, tujuan analisis adalah membongkar dan memaparkan secermat,
seteliti, semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan anasir dan aspek
karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh ( Teeuw, 1984:135).
Analisis akan dilakukan dengan penerapan teori-teori psikologi khususnya
psikoanalisa Sigmund Freud dalam kumpulan cerpen tersebut. Sigmund Freud dianggap
sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisa yang membuka wacana
penelitian psikologi sastra. Freud (dalam Koswara, 1991:36) mengemukakan bahwa
“Manusia mempunyai daya pendorong untuk melakukan berbagai hal dengan menggunakan
energi. Energi ada dua yaitu energi fisik dan energi psikis. Energi fisik adalah energi yang
dipakai untuk kekuatan fisik, sedangkan energi psikis adalah energi yang digunakan untuk
kekuatan psikologis”.
Tujuan dari psikoanalisis dari Freud adalah membawa ke tingkat kesadaran mengenai
ingatan atau pikiran-pikiran yang direpres atau ditekan, yang diasumsikan sebagai sumber
perilaku yang tidak normal dari pasiennya (dalam Walgito, 2002:61). Demikian pula dalam
dinamika kepribadian, Freud menjelaskan tentang adanya tenaga pendorong (cathexis) dan
oleh id untuk suatu objek tertentu untuk memuaskan suatu naluri, sedangkan anti-kateksis
adalah penggunaan energi psikis (yang berasal dari id) untuk menekan atau mencegah agar id
tidak memunculkan naluri–naluri yang tidak bijaksana dan destruktif. Id hanya memiliki
kateksis, sedangkan egodan superego memiliki anti-kateksis, namun ego dan superego juga
bisa membentuk kateksis-objek yang baru sebagai pengalihan pemuasan kebutuhan secara
tidak langsung, masih berkaitan dengan asosiasi–asosiasi objek pemuasan kebutuhan yang
diinginkan oleh id. Hal ini dipertegas kembali oleh Koswara (1991:37) bahwa pengerahan
dan pengalihan energi psikis dari satu objek ke objek lain ini merupakan gambaran dari
dinamika kepribadian dalam teori Freud, yang sekaligus menunjukkan plastisitas dari tingkah
laku manusia. Oleh karena itu lingkungan merupakan bagian yang sangat mempengaruhi
kehidupan manusia.
Dalam kumpulan cerpen ST terdapat sejumlah peristiwa-peristiwa mengancam yang
dialami manusia di lingkungannya. Lingkungan tempat orang hidup tersebut memang kadang
kala bisa mengancam dan membahayakan. Dalam menghadapi ancaman biasanya orang
merasa takut, karena kewalahan menghadapi stimulasi berlebihan yang tidak berhasil
dikendalikan oleh ego, maka ego diliputi kecemasan. Freud (dalam Koswara, 1991:45)
membedakan kecemasan menjadi tiga, yaitu kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan
kecemasan moral atau perasaan bersalah. Fungsi kecemasan adalah memperingatkan individu
tentang adanya bahaya. Ketika timbul kecemasan, maka ia akan memotivasi individu untuk
melakukan sesuatu. Kecemasan adalah suatu konsep terpenting dalam psikoanalisa dan juga
memainkan peranan yang penting, baik dalam perkembangan kepribadian maupun dinamika
kepribadian.
2.3 Tinjauan Pustaka
Kumpulan cerpen ST karya Indra Tranggono merupakan kumpulan cerpen yang
kekuasaan, sehingga menarik untuk dianalisis.. Sepanjang sepengetahuan dan penelusuran
penulis, kumpulan cerpen STkarya Indra Tranggono belum pernah diteliti oleh mahasiswa di
Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara.
Namun penelitian dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra dengan objek
kajian yang berbeda telah dibahas oleh Fitrianingrum, Memi (UNM,2003) dengan judul
Dinamika Kepribadian Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Dua Dunia Karya N.H. Dini
(http:/s10.histats.com/107.swf/2/april/2012). Penelitian ini mendeskripsikan dinamika
kepribadian tokoh utama dalam tiap cerpen, dinamika kepribadian tokoh utama dalam
kumpulan cerpen Dua Dunia, dan faktor-faktor pembentuk dinamika kepribadian tokoh
utama dalam kumpulan cerpen Dua Dunia. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian
deskriptif kualitatif dengan memanfaatkan pendekatan psikologi psikoanalisis. Hasil analis
tersebut menunjukkan bahwa tokoh utama dalam kumpulan cerpen ini memiliki dinamika
kepribadian yang terdiri dari empat aspek yaitu insting baik insting kehidupan dan kematian,
distribusi dan penggunaan energi psikis, kecemasan atau ketakutan, dan mekanisme
pertahanan ego.
Paryano (UMS, 2003) dengan judul Aspek Moral dalam Novel Para Priyayi; Analisis
Psikologi Sastra (http://baktimu.blogspot.com.july/30/2012) yang mengkaji empat hal yaitu
(1) peranan keluarga terhadap perkembangan tokoh, (2) penyesuaian diri dalam masyarakat,
(3) agama dalam kehidupan tokoh, dan (4) motivasi kerja tokoh. Selain itu Dewi Ariani
(UNM, 1991) dengan judul Perkembangan Kepribadian Tokoh Chen Chen dalam Novel
Fatimah Chen Chen Kajian Psikologi Perkembangan, dengan mengkaji aspek perkembangan
kepribadian tokoh Chen dengan menghubungkan karakter penokohan dan aspek kejiwaan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Sebuah penelitian membutuhkan metode. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif kualitatif, Artinya, data yang dianalisis dan hasil analisisnya
berbentuk deskripsi dan tidak berupa angka-angka. Menurut Whitney (dalam Kaelan,
2005:58), metode dekriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan
sistematis. Misalnya dalam hubungannya dengan penelitian masyarakat, penelitian deskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tatacara yang berlaku dalam
mayarakat serta situasi tertentu. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk
kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah (Moleong, 2005:6). Uraian tersebut dapat kita simpulkan bahwa
penelitian ini bertujuan mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian
yang teliti dan menggambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu/kelompok).
Adapun hal-hal yang perlu dipaparkan dalam penelitian ini meliputi data, sumber
data, dan teknik pengumpulan data.
1. Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata atau kalimat-kalimat
dan bukan angka-angka. Dalam penelitian kualitatif, sebagai data formal adalah kata-kata,
kalimat, dan wacana (Ratna, 2004: 47). Data yang dimaksud adalah kata-kata, kalimat, dan
wacana yang terdapat pada kumpulan cerpen STkarya Indra Tranggono.
2. Sumber Data
Judul : Sang Terdakwa
Pengarang : Indra Tranggono
Penerbit : Yayasan Untuk Indonesia
Tebal Buku : 128 hal + xiii
Cetakan : Pertama
Tahun Terbit : 2000
Warna Sampul : Perpaduan warna hitam, coklat, dan abu-abu
Gambar Sampul : terdapat gambar perawakan manusia yang dibuat dengan garis-garis
hitam membentuk lukisan dan memperlihatkan jeruji besi di atasnya.
Desain Sampul : Ronny K. Sukmawanto
Sumber data di atas merupakan data primer yang akan dianalisis sebagai data utama.
Selain data primer terdapat juga data sekunder yang juga diperlukan seorang peneliti. Sumber
data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku sastra, artikel dari internet, dan
sebagainya yang relevan dengan penelitian.
3.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik pustaka,
menyimak, dan mencatat. Teknik pustaka dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber
tertulis untuk memperoleh data. Teknik simak dan catat yakni dilakukan dengan menyimak
secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer yang merupakan karya sastra
berupa teks kumpulan cerpen yaitu Sang Terdakwa. Hasil penyimakan terhadap sumber data
tersebut kemudian dirangkum dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan
Dalam data yang dicatat itu, disertakan pula kode sumber datanya untuk pengecekan
ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data (Subroto,
1992:41-42).
3.3 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk menganalisis kumpulan cerpen ST ini
adalah deskriptif analisis. Dalam analisis deskriptif ini, data yang diperoleh dicatat dan dipilih
berdasarkan masalah yang akan dibahas. Cara kerjanya ialah dengan mendeskripsikan
data-data yang sudah diidentifikasi lewat proses pembacaan berulang-ulang. Hal itu dapat
dilakukan dengan menganalisis masalah-masalah intrinsik dalam kumpulan cerpen ST
kemudian dilanjutkan dengan menganalisis dinamika kepribadian yang dialami tokoh utama.
Analisis tersebut didasari oleh teori-teori pendukung yang berhubungan dengan topik
penelitian yaitu penerapan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Dengan mendeskripikan
analisis secara benar dan terperinci maka akan dicapai kesimpulan yang akurat sebagai hasil
BAB IV
ANALISIS STRUKTURAL
4.1 Penokohan
Tokoh merupakan salah satu bagian penting dari suatu penciptaan karya sastra. Tokoh
sebagai salah satu unsur pembangun kesatuan dalam karya sastra, memberikan peran yang
istimewa sebagai pelaku dalam cerita. Kehadiran tokoh akan sangat memengaruhi
perkembangan jalan cerita maupun konflik dalam cerita. Menurut Jones (dalam
Nurgiyantoro, 1998:165) bahwa “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Gambaran tokoh yang dilakonkan oleh
seseorang tersebut tentunya memiliki karakter atau perwatakan tersendiri. Istilah tokoh dan
perwatakan sering dipergunakan dalam arti yang sama karena keduanya memiliki kepaduan
yang utuh. Dalam karya sastra, tokoh itu memiliki peranannya masing-masing. Tokoh dapat
berupa tokoh sederhana dan tokoh bulat. Nurgiyantoro (1998:181-183) mengatakan tokoh
sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak
yang tertentu saja. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai
kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya yang memiliki berbagai
sikap dan tindakan.
Tokoh utama merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam suatu karya
sastra. Dalam hal penceritaannya tersebut tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu
berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya. Nurgiyantoro (1998:177) memperjelas bahwa
tokoh utama selalu hadir sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik, penting
yang memengaruhi perkembangan plot, sedangkan tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan
cerita lebih sedikit dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama,
secara langsung ataupun tidak langsung. Demikian halnya dalam sebuah karya sastra,
menjadi tokoh protagonis dan ada pula tokoh antagonis. Aminuddin (1987:80) menjelaskan
bahwa tokoh protagonis adalah pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi
pembaca karena memiliki watak. Tokoh antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi
pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh yang
memiliki peranan penting dalam sebuah cerita yaitu tokoh utama. Dalam penceritaannya
tokoh utama menjadi inti dari suatu ide cerita yang disampaikan pengarang, sedangkan tokoh
tambahan atau pendukung menjadi pelengkap yang mengokohkan sebuah cerita. Dalam
kesempatan ini penulis akan membahas tokoh-tokoh yang penting saja berupa tokoh utama
dan tokoh tambahan dengan perwatakan yang paling menonjol dan berperan penting.
Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen Sang Terdakwaakan dipaparkan sebagai berikut:
4.1.1 Kota Kami Dicekam Ketakutan
4.1.1.1 Tokoh Utama
a. Ogaz
1) Tegar, Tangguh
Ogaz merupakan tokoh utama yang penting dalam cerpen ini. Ogaz adalah salah satu
pemuda desa yang ikut mengalami dan menyaksikan situasi mencekam yang dirasakan setiap
penduduk. Ketenteraman tidak lagi dapat dirasakan penduduk semenjak peristiwa-peristiwa
aneh yang mereka rasakan. Di kota mereka telah terjadi kematian yang secara mendadak
tanpa diketahui pati penyebabnya. Ogaz turut serta dalam menyaksikan korban-korban orang
tidak bertanggung jawab dan tidak dikenal mati secara kejam. Ogaz merupakan pemuda yang
tegar dan tangguh dalam menghadapi kejadian-kejadian yang dialami masyarakat kota
mereka. Ketegaran yang ada pada Ogaz menjadikannya pasrah dan ikhlas pada situasi.
kekuasaan. Orang-orang yang dianggap melawan dan mengganggu keamanan penguasa akan
kehilangan nyawanya. Hal tersebut menjadi suatu kecemasan bagi Ogaz yang merasa
ketakutan dan tertekan setiap waktunya. Ogaz harus menegarkankan hati menghadapi
kejadian yang mencekam kota mereka.
Ketenteraman itu sekarang terasa hilang dari genggaman kami dan berganti mimpi buruk yang begitu leluasa menindih hati kami. Seluruh warga kota kami sangsi, apakah kami masih hidup atau sudah mati. Kami sering berkelakar dan mencoba meyakinkan diri bahwa daya hidup masih kami miliki (ST, 2000 ; 2).
2) Taat Agama
Ogaz pun harus sering menahan air mata karena harus menyaksikan satu persatu
saudara-saudaranya meninggal tanpa sebab yang jelas. Ogaz merupakan pemuda jujur dan
sederhana yang merasa tertekan karena kondisi sosial. Hanya doa-doa dan pengharapan yang
saat itu ia ucapkan,
… kami pun rajin mengirimkan doa-doa agar saudara kami itu sedikit tertolong. Kepada Tuhan kami katakan, saudara kami itu memang kehilangan hati. Sama sekali tida ada niat untuk korupsi. Korupsi hanya menjadi urusan orang-orang rakus. Sedang saudara kami itu sangat tidak rakus dan sangat tidak berbakat untuk korupsi. Dan lagi, untuk apa mengkorupsi karunia Tuhan? Tuhan selalu member tanpa diminta (hal. 3). … Air mataku, air mata kami menetes. Dalam genangan linangan air mata, terbayang wajah-wajah yang ikut rapat. Wajah-wajah yang takut, cemas dan marah tapi tak mampu berbuat apa-apa (ST, 2000; 5).
Setiap ucapan yang disampaikan Ogaz hanyalah bentuk kecemasan yang dirasa sangat
menyakitkan dan menuntut kesabaran dan ketaatan kepada Tuhan. Tangisan tidak lagi dapat
ditahannya dan kepiluan akan situasi yang mencekam kota mereka tersebut. Wajah
kecemasan menjadi bagian dari diri mereka.
4.1.1.2 Tokoh Pendukung
a. Lolong
Lolong muncul ketika beberapa penduduk sedang berkumpul membicarakan kejadian
yang setiap hari merenggut nyawa saudara-saudara mereka. Dia berusaha untuk
penyebab. Peristiwa yang mencekam kota mereka tersebut membuat lolong hanya
menduga-duga penyebabnya. Namun, kekhawatiran dan kecemasan tetap tidak dapat dihindarinya.
Kami terhenyak, ketika Lolong, salah satu saudara kami mengabarkan bahwa ada seorang kaya raya dan berpengaruh sedang menjalani laku ilmu gaib tertentu. Katanya, ia membutuhkan ribuan hati manusia. Hati segar itu dikeringkan dan digerus, kemudian disedu dengan madu dan diminum. “ Siapa pun yang minum ramuan itu akan kuat selamanya,” ujar Lolong (ST, 2000; 3).
Situasi mencekam yang dirasakan ternyata dialami oleh Lolong tanpa ada yang
menduga. Sehari setelah mereka berkumpul, mayat Lolong pun ditemukan.
Kami pun dengan cemas meneliti wajah mayat itu. wajah yang penuh luka oleh benda tajam. Kami menemukan bekas luka cacar itu dipipi mayat itu. tubuh kami mendadak lemas. Kami pun memeriksa mayat-mayat yang lain. Kekhawatiran kami terbukti. Kami menemukan mayat Lolong (ST, 2000; 5).
Kepasrahan Lolong dan sikapnya yang hanya menduga-duga pelaku dari pembunuhan pada
malam itu, menjadi kata-kata terakhirnya sebelum menjadi korban ketidakadilan yang
mencekam kota mereka.
b. Brazak
Brazak merupakan salah satu teman Ogaz yang pemberani. Brazak sesekali
melontarkan kata-kata perlawanan terhadap kejadian yang mereka alami yang tidak tahu
siapa pelaku dibalik kejadian. Walaupun kekuatan kekuasaan yang lebih kuat pada saat itu, ia
tidak ingin pasrah dan hanya diam. Brazak berani melawan dan ingin mencari tahu apa,
mengapa, dan siapa yang menjadi penyebab meninggalnya saudara-saudara mereka. Hal
tersebut terlihat dari perkataan yang dilontarkan Brazak saat mengetahui semakin banyak
korban yang mati mendadak.
“Lebih baik melawan daripada mati konyol!” seru Brazak.
Seruan itu tak ada sahutan. Tak ada tanggapan. Kami membangu kesunyian menjadi makin perkasa mengurung kami (ST, 2000; 4).
Brazak ternyata tidak dapat menghindar dari maut. Sama seperti Lolong, sehari
setelah mereka berkumpul bersama, ia harus kehilangan nyawa. Seluruh penduduk kembali
berduka karena beberapa dari teman-teman Ogaz yang berkumpul menjadi korban kehilangan
nyawa.
4.1.2 Palaran
4.1.2.1 Tokoh Utama
a. Adipati Anom
1) Ambisius, egois
Adipati Anom adalah tokoh yang ambisius dan egois. Hal tersebut terlihat dari
keberhasilannya menantang dan memonopoli kekuasaan Adipati Sepuh yang dianggapnya
tidak bisa memimpin Kadipaten Padas Lintang. Melalui tembang Palaran yang dilantunkan
mampu menyulut api perlawanan pada rakyat yang kecewa terhadap Adipati Sepuh. Adipati
Sepuh merupakan tokoh masa lalu Adipati Anom yang dianggapnya gagal memimpin.
Adipati Sepuh dipenggal kepalanya dan Adipati Anom juga membersihkan orang-orang yang
dianggap mendukung Adipati Sepuh.
… ketika ia dengan gagah berani mengalunkan tembang palaran untuk menantang Adipati Sepuh yang dinilainya tak becus memimpin Kadipaten Padas Lintang. Kepala Adipati Sepuh dipenggal dan diarak keliling Kadipaten lalu digantung di alun-alun (hal.15).
Sejak peristiwa penggantungan itu, Adipati Anom makin sering mengumpulkan massa di alun-alun untuk membakar semangat para kawula, mencari pembenaran atas penyingkiran dan pembersihan para nara praja pendukung Adipati Sepuh. Kadipaten Padas Lintang dipenuhi aroma mayat ribuan orang. “Kadipaten ini bisa kokoh berdiri jika didukung orang-orang besih dan berwibawa,” Adipati Anom mengunci pidatonya (ST, 2000; 15).
Peristiwa tersebut memberikan tekanan psikis terhadap Adipati Anom. Setiap hari Adipati
Anom tersiksa dengan suara gamelan tembang palaran yang dianggap mengingatkannya pada
orang sekitarnya heran. Dia memaksa semua orang untuk tidak bermain gamelan dan dengan
kekuasaannya masyarakat Kadipaten harus patuh.
Gamelan menjadi benda haram. Tembang palaran menjadi hal yang tabu untuk dilantunkan. Dalang-dalang, para pemain ketoprak, para pemain wayang orang tidak ada yang berani memprotes aturan itu (ST, 2000; 16).
… untuk menghibur warga Adipati Anom mengundang ahli-ahli gendhing di pendopo kadipaten. Mereka diperintahkan untuk memainkan gamelan dan mengalunkan tembang yang berisi pemujaan atas keagungan Adipati Anom yang terbukti mampu membangun kejayaan Kadipaten Padas Lintang (ST, 2000; 16).
Adipati merasa bahwa dengan kekuatan dan kekuasaannya, dia akan dapat memimpin dan
berwenang sesuai dengan kebijakannya saja.
2) Emosional
Adipati Anom juga tokoh yang emosional. Sikap tersebut tampak pada tekanan yang
dialaminya. Istrinya, Nyai Adipati menjadi korban atas emosional yang dimiliki Adipati.
“Semprul! Kamu! Kamu bisanya Cuma macak dan manak!” Bentak Adipati Anom, kesal.
“Tutup semua pintu! Tutup semua jendela! Tutup semua lubang udara! Cepat! Guooooblok!” Adipati terguling-guling di peraduan (ST, 2000; 14).
Kemenangan yang didapat oleh Adipati Anom ternyata memberi tekanan baginya. Adipati
terus dibayangi oleh kekalahan Adipati Sepuh. Kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya
sekarang tidak dapat menghilangkan gangguan suara tembang palaran yang terus didengar
dan membayangi Adipati tersebut. Kemenangan yang didapat Adipati Anom membuat
kehidupannya tidak tenang.
4.1.2.2 Tokoh Pendukung
a. Nyi Adipati
1) Penyabar, Penurut
Peranan Nyi Adipati sebagai istri Adipati Nyoman dapat dikatakan figur yang
belakangan emosional. Akibat peristiwa yang dialami Adipati Anom yang istrinya pun tidak
mengerti penyebabnya, harus terpontang-panting mendampingi dan menerima perlakuan
Adipati. Nyi Adipati harus bersabar menghadapi dan melakukan setiap perintah yang
disuruh. Hal tersebut terjadi selama Adipati mengalami serangan tembang palaran.
… Adipati Anom menjerit keras. Sangat keras. Setengah telanjang Nyai Adipati bangun. Wajahnya pucat pasi melihat Adipati Anom terguling-guling di ranjang sambil terus menjerit. Nyai Adipati mencoba menenangkan suaminya (ST, 2000; 13).
Kesabaran Nyi Adipati harus semakin diperkuat ketika Adipati Anom semakin tidak nyaman
dengan suara gamelan yang melantunkan tembang palaran. Telinga Adipati terasa
menyakitkan dan terus terbayang akan wajah kemarahan Adipati Sepuh. Ketidaktenangan
Adipati tersebut membuat Nyi Adipati harus bertegar hati dan menuruti setiap perintah
Adipati yang mengeluarkan kata-kata kasar.
Nyai Adipati menggeleng. Pertanyaan itu kembali diulangi, tetapi jawabannya sama. Gelengan itu membuat Adipati murka.
“Semprul! Kamu! Kamu bisanya Cuma macak dan manak!” Bentak Adipati Anom, kesal.
“Tutup semua pintu! Tutup semua jendela! Tutup semua lubang udara! Cepat! Guooooblok!” Adipati terguling-guling di peraduan. Masih setengah telanjang Nyai Adipati bergega, lintang pukang menutup semua lubang udara dengan sobekan kainnya (ST, 2000; 14).
b. Warga Kadipaten
Warga Kadipaten memiliki peranan yang cukup penting dalam rangkaian cerita. Warga Kadipaten harus ikut mendapat imbas dari apa yang dialami Adipati Anom. Seluruh warga takut dan harus kehilangan mata pencaharian untuk beberapa waktu. Warga dilarang memainkan gamelan dan akan dikenakan sanksi jika tetap melantunkannya. Perintah yang dikeluarkan oleh Adipati sebagai pemimpin yang berkuasa, mau tidak mau harus dipatuhi. Warga harus menjadi korban kekuasaan Adipati yang dianggap di luar akal sehat.
… Gamelan-gamelan itu disita atas nama keamanan kadipaten. Kemudian diikuti keluarnya keputusan: siapapun dilarang keras menabuh gamelan dan mengalunkan tembang palaran. Jika melanggar, hukuman gantung sanksinya.
Keadaan tersebut harus dirasakan warga mengingat keadaan Adipati Anom yang terus merasa
terganggu akan tembang palaran yang didengarnya sendiri, yang orang lain tidak mendengar
apa-apa. Bayangan wajah amarah Adipati Sepuh membuat Adipati Anom tidak tenang dan
warga Kadipaten ikut merasakan akibatnya. Kekuasaan dan kemenangan yang didapat
Adipati Anom menjadi bumerang bagi kehidupannya.
4.1.3 Sepasang Mata yang Hilang
4.1.3.1 Tokoh Utama
a. Kamil
Kamil merupakan tokoh penting dan menjadi menjadi sorotan dalam cerpen ini. Dia
merupakan seorang pemuda yang baik dan jujur. Awalnya, Kamil seorang yang normal
dalam pergaulan di lingkungan sekitarnya. Namun semenjak Kamil jatuh di suatu
perempatan, ia memiliki sikap aneh yang tidak dapat diterima oleh dirinya sendiri dan
orang-orang di sekitarnya, termasuk orang-orang tuanya. Ia tanpa segan-segan mengatakan
sejujur-jujurnya dengan apa yang dia rasakan dan lihat.
Semula Kamil adalah pemuda desa yang perilakunya normal. Kejadian yang mengenaskan ini bermula ketika Kamil jatuh diperempatan jalan desa, sepulang dari mancing. Ia tidak luka sedikit pun. Ia Cuma pingsan. Tapi begitu ia membuka matanya, ia merasakan hal yang aneh. Matanya mampu melihat apa yang tak dilihat orang lain (ST, 2000; 20).
Keanehan yang dialami Kamil membuat dia merasa tertekan walaupun setiap tindakan yang
dilakukan dan perkataan yang disampaikannya merupakan suatu refleksi diri yang seharusnya
diketahui oleh orang yang menjadi sasaran. Kejujuran yang disampaikakan Kamil dianggap
aneh karena hanya ia yang bisa melihat dan merasa seperti apa buruknya wajah orang yang
dilihatnya. Salah satunya adalah juragan tembakau yang merasa sangat tersinggung akan
perkataan Kamil yang terang-terangan menghinanya.
itu berubah menjadi wajah raksasa dengan taring-taring tajam. Tidak hanya dua. Seluruh gigi Pak Karso berubah menjadi taring, dengan cipratan darah di sana-sini. Kamil berteriak histeris. Seluruh isi rumah kaget. Juga Pak Karso.
“Kamu itu ada apa, tho?” ibunya mendesak. “Saya… Saya melihat butho!”
“Di sini, di mana?” ujar Pak Karso nibrung pembicaraan. “Di sini. Di…di wajah sampeyan.”
Jawaban itu berubah menjadi petir yang mencabik-cabik perasaan Pak Karso (ST, 2000; 20).
Keberanian yang dimiliki Kamil dalam menyampaikan apa yang dilihatnya membuat orang
disekitarnya merasa tidak nyaman. Situasi zaman yang dirasakannya menjadikan dia dijauhi
dan diasingkan orang tuanya. Korban dari apa yang dilihat oleh matanya bukan hanya satu
atau dua orang saja, tetapi sudah banyak dan dari berbagai profesi. Namun, ada juga
masyarakat desa yang ketika diajak berbicara oleh Kamil, mereka sangat akrab dan Kamil
tidak ada menghina atau melihat wajah aneh dari lawan bicaranya.
“Apa mata Kamil selalu memandang aneh siap saja yang dijumpainya?” Tanya Pak Lik Kamil.
“Wah ya nggakmesti. Buktinya ia kemarin bisa ngobrol panjang dengan Pak Tular,” sahut Yu Sonto. bersinar, seperti sedang menemukan sesuatu (ST, 2000; 23).
Kehidupan yang dialami oleh Kamil sangat memprihatinkan. Sesungguhnya yang
dilihat dan disampaikan oleh Kamil merupakan suatu gambaran pribadi dari setiap orang
yang tidak bisa ditutup-tutupi, tetapi tidak ada yang menyadari apa sebenarnya yang telah
terjadi. Kejujuran dianggap suatu yang menyakitkan dan kehidupan yang tidak adil jelas
4.1.3.2 Tokoh Pendukung
a. Pak Kardi
Pak Kardi adalah ayah Kamil. Ayahnya menjadi pribadi yang kasar dan marah-marah,
terutama semenjak Kamil mengalami kejadian yang aneh. Pak Kardi merasa sangat malu
dengan perbuatan Kamil yang dianggap menghina orang yang dilihatnya tanpa sebab. Segala
cara dilakukan oleh Pak Kardi supaya tidak ada lagi yang mengeluh kepadanya akibat dari
tingkah Kamil yang aneh. Pak Kamil berusaha semaksimal mungkin agar tidak membuat
keluarga mereka malu. Namun setiap harinya selalu saja ada tetangga yang melapor tentang
sikap Kamil. Pak Kardi pun dengan terpaksa melarang Kamil keluar rumah dan disekap di
dalam kamar. Tindakan itu merupakan sikap yang tepat menurut Pak Kardi. Kamil merasa
sangat sedih dan protes akan tindakan ayahnya yang dianggap tidak adil bagi Kamil.
“Apa salah saya? Apa salah kedua mata saya?”
“Mau tahu? Karena kamu itu punya mata kurang ajar. Masih beruntung matamu itu tidak saya cungkil,” ujar ayahnya ketus, sambil mendorong Kamil masuk ke kamar dan menguncinya (ST, 2000; 22).
Keluarga Kamil sangat bingung, terutama Pak Kardi yang merasa punya tanggung
jawab sebagai orang tua Kamil. Kekuatan orang-orang yang memiliki kekuasaan, menjadi
bumerang bagi Pak Kardi dan keluarganya. Pak Kardi bingung mau berbuat apa, sehingga
Kamil harus menerima tekanan.
b. Yu Sonto
Yu Sonto merupakan ibu yang penyayang bagi Kamil. Meskipun Yu Sonto merasa
prihatin dan cemas dengan kelakuan Kamil yang aneh, ia tetap berusaha agar Kamil dalam
keadaan baik-baik saja. Hal tersebut berawal dari sikap Kamil yang berteriak histeris setiap
melihat orang yang dianggapnya seperti hantu, sampai ketika Pak Lik Kamil yang datang
… ia terus berteriak ketakutan. Tubuhnya mengejang. Yu Sonto mengambil minuman dingin. Dengan setengah dipaksa Kamil menenggak air itu.
“Kamu itu kerasukan setan, ya? Kok teriak-teriak kayak anak kecil. Sebenarnya itu ada apa tho?” ujar ibunya, cemas (ST, 2000; 20).
Ibu Kamil di dalam cerpen ini sebenarnya tidak begitu menunjukkan peran yang menonjol,
tetapi beberapa perkataan Yu Sonto memberi suatu gambaran yang jelas tentang apa yang
dialami oleh Kamil.
“Apa mata Kamil selalu memandang aneh siap saja yang dijumpainya?” Tanya Pak Lik Kamil.
“Wah ya nggakmesti. Buktinya ia kemarin bisa ngobrol panjang dengan Pak Tular,” sahut Yu Sonto.
“Pak Tular itu siapa?”
“Dia itu cikal bakal desa ini yang waktunya habis untuk memikirkan nasib orang lain.”
“Aneh, ya.”
“Berarti ada sesuatu yang aneh pada diri Kamil,” cetus Pak De Kamil dengan mata bersinar, seperti sedang menemukan sesuatu (ST, 2000; 23).
Kejadian-kejadian yang dialami oleh Kamil membuat Bu Yu Sonto cemas dan tetap
menunjukkan kasihh sayangnya kepada Kamil. Yu Sonto tetap berharap agar Kamil segera
cepat sembuh dari keanehannya.
Selain dari tokoh-tokoh yang disebutkan di atas masih ada beberapa tokoh yang
berperan sebagai pendukung yakni Pak Karso, Tante Trustikam, dan beberapa warga desa
yang menjadi korban keanehan Kamil. Kemudian ada juga tokoh yang dikenal dengan
julukan Dua sosok hitam yang tidak jelas orangnya, yang berusaha mengejar Kamil pada
tengah malam dan mencungkil kedua matanya.
4.1.4Burung-burung yang Menyergap
4.1.4.1 Tokoh Utama
a. Gerusta
Gerusta adalah seorang orator yang selalu tampil secara terhormat oleh setiap
kata-kata yang dikeluarkannya. Kata-kata-kata yang diberikan oleh Gerusta dianggap memiliki
kekuatan yang sangat berpengaruh bagi massa yang dipimpinnya. Ia hidup dengan dan oleh
kata-kata yang mampu memberikan semangat yang berkobar-kobar pada ribuan bahkan
jutaan massa. Gerusta bekerja sebagai orator yang biasanya memberikan arahan, janji-janji
yang dianggap dapat menyejahterakan hidup masyarakat. Arahan serta janji-janji yang
diberikan Gerusta merupakan sebuah arahan maupun bentuk pemantapan suatu kader organisasi
yang dianggap sangat berpengaruh.
Kehidupan Gerusta tak dapat dibebaskan dari kata-kata. Ia hidup dengan kata-kata. Ia hidup dari kata-kata. Entah sudah berapa juta kata yang sudah meluncur dari mulutnya. Kata-kata gemerlap yang mampu menggerakkan ratusan bahkan ribuan orang. Di tangannya, kata-kata bukan sekadar indah, gagah dan bermakna dalam, tetapi juga memiliki daya sihir yang luar biasa (ST, 2000; 53).
Berdasarkan keahlian yang dimiliki Gerusta dalam menyampaikan kata-kata, ia menjadi
merasa orang yang penting. Namun ia merasa sadar bahwa ia dikuasai oleh kata-kata yang
mengantarkannya pada tekanan akan munculnya burung-burung yang menyergap.
Tubuhnya yang loyo dan jiwanya yang lelah menyadarkan Gerusta, betapa kata-kata kini tak dimilikinya melainkan sudah memiliki dirinya. Bahkan menguasainya (ST, 2000; 53).
Setiap orasi yang diberikan dengan tujuan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat ternyata semakin menggambarkan Gerusta sebagai orator yang hanya
mengumbar janji lewat kata-kata. Perjuangan yang diharapkan masyarakat hanya sebuah
retorika yang dianggap sebagai harapan, yang tidak tahu kapan harapan-harapan tersebut
tercapai.
2. Hipokrit
Gerusta dikenal sebagai penggerak massa yang mampu memberi janji lewat kata-kata.
Situasi yang dihadapinya dalam berbagai orasi, baik janji dalam menyejahterahkan rakyat
dirinya. Sikap Gerusta yang hipokrit atau sosok yang munafik secara tidak langsung ada pada
pribadinya. Lewat kata-katanya, ia dengan sewenang-wenang dapat memberikan orasi kapan
saja dia mau. Sikapnya yang dianggap vokal ternyata hanya sebatas kata-kata yang munafik
karena dia sendiri tidak dapat lagi menguasainya, tetapi dikuasai oleh kata-kata.
Seperti biasa, mesin kata itu langsung memintal puluhan, ratusan, ribuan kata menjadi kalimat. Kalimat-kalimat itu pun begitu litany menganyam emosi massa.
… wajah Gerusta tampil begitu ekspresif, dengan mimik yang begitu terlatih (ST, 2000; 56).
Gerusta malahan menganggap bahwa anggotanya yang bekerja dengannya, tidak bisa dengan
baik menjalankan tugas. Mereka dianggap hanya bergantung pada kemampuannya. Dia
merasa menjadi “hero” dalam setiap orasinya, tetapi dibalik kata-kata yang dilontarkan
menjadi mimpi buruk bagi kehidupannya. Kejadian yang menimpa Gerusta yaitu
burung-burung yang menyergap, menjadi tekanan serta pukulan yang keras baginya atas perbuatan
yang dilakukannya selama ini. Dia merasa dikejar oleh burung-burung yang menyerbunya
sampai ia lemah, sama seperti sebelumnya ketika dia menyerbu tiap massa lewat kata-kata.
4.1.4.2 Tokoh Pendukung
a. Gretta
Gretta merupakan salah satu kader Gerusta yang cantik dan memiliki sifat yang
inisiatif. Peran yang dimiliki Gretta dalam rangkaian cerita cerpen ini tidak begitu banyak
namun penting. Gretta adalah salah satu kader yang menelepon Gerusta pada saat ia
menghadapi kejadian yang tidak tahu sebabnya, yaitu disergap oleh burung-burung. Gretta
meminta Gerusta untuk memberikan arahan, pemantapan, atau sejenis orasi kepada
kader-kadernya, sama seperti yang biasa dia lakukan di depan massa. Gretta berusaha meyakinkan
Gerusta untuk menghadiri acara yang dipersiapkan, tetapi Gerusta tidak mau datang dengan
alasan sakit. Gretta sebagai kader yang juga ikut menanti-nantikan orasi Gerusta, merasa
tidak yakin dengan keadaannya. Gretta pun berinisiatif untuk langsung menjumpai Gerusta ke
Usaha Gretta ternyata memberikan hasil, walaupun awalnya Gerusta merasa malu
harus bertemu dengan Gretta yang cantik. Gerusta merasa kalau wajahnya telah hancur
karena sergapan burung-burung, tetapi Gretta sama sekali tidak mendapati wajah Gerusta
yang rusak. Gretta berusaha meyakinkan Gerusta bahwa wajahnya tidak mengalami
kerusakan apa-apa. Pada akhirnya Gerusta pun bersedia kembali ke publik untuk memberikan
orasinya.
“Saya Gretta, Pak. Maaf Pak, kami sudah lama menunggu Bapak, suara seorang wanita dari dalam telepon.
“Kondisi kesehatan saya sedang buruk. Kalian khan bisa jalan sendiri,” Gerusta memperbesar vokalnya.
“Agak susah, Pak. Untuk pemantapan kader, hanya Bapak yang mampu. Mereka menunggu bimbingan, pengarahan dan restu sekaligus petunjuk Bapak.” (ST, 2000; 52).
“ Pak Gerusta, ini saya Gretta.”
Berhari-hari tak kenal wanita, suara kadernya yang cantik itu sedikit menghibur Gerusta. Pintu itu segera dibukanya (ST, 2000; 55).
Inisiatif yang dilakukan Gretta untuk menjumpai Gerusta secara langsung untuk
memintanya memberi orasi ternyata berhasil setelah meyakinkannya bahwa wajah Gerusta
dalam keadaan baik-baik saja.
Selain dari tokoh-tokoh yang disebutkan di atas masih ada beberapa tokoh yang
berperan sebagai pendukung yakni dokter Shoaraz yang merawat Gerusta ketika masuk
rumah sakit karena tekanan yang dialaminya, kemudian massa yang siap mendengarkan
pidato ataupun orasi yang disampaikan Gerusta.
4.1.5 Anoman Ringsek
4.1.5.1 Tokoh Utama
a. Wondo
1. Tegar
Wondo merupakan tokoh yang menjadi pusat perhatian dalam rangkaian cerita ini.
Dalam kehidupan sehari-harinya, Wondo bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga hanya
dari berperan sebagai wayang. Pendapatan yang dihasilkan sangat minim. Wondo dan
istrinya masih harus tetap mengutang ke warung atau tetangga, agar tetap hidup. Peran
Wondo sebagai wayang, dirasa sangat memprihatinkan kehidupannya. Penghasilan Wondo
sebagai wayang sangat kecil. Kehidupan yang lebih baik dengan harta yang berkecukupan,
menjadi impian Wondo. Namun, keadaannya sebagai “wong cilik” harus diterima oleh
keluarga dan teman-temannya yang juga sebagai wayang. Hal tersebut tergambar dari
keinginan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih maju.
Hampir dua puluh tahun Wondo menjadi anak wayang. Peran Anoman lekat dalam dirinya sejak lima belas tahun yang lalu (ST, 2000; 110).
“Tapi saya pengin kerja lain.”
“Apa? Pegawai? Ingat izsahmu. Atau kuli tukang batu?
Apa kamu mampu? Kemampuanmu Cuma jadi anak wayang. Menari. Itu kodrat, tekuni saja (ST, 2000; 111).
Ketegaran yang dimiliki Wondo ternyata memberikan tekanan yang kuat baginya.
Setelah selesai acara wayang digelar pada suatu malam, ia jatuh sakit dan sejak kejadian itu
kesadarannya dianggap tidak wajar oleh orang sekitarnya. Kehidupan “wong cilik” yang
dialami Wondo memberikan tekanan psikis baginya. Tingkahnya aneh dan menjadi tragis
Di panggung, para pemain mendadak kaget. Wondo, pemeran Anoman itu, menggelepar. Sekujur tubuhnya basah keringat dingin. Wajahnya pucat. Memutih (ST, 2000; 109).
Kejadian yang dialami Wondo merupakan cerminan suatu imajinasi dan kenyataan yang
hadir dalam kehidupannya yang membaur menjadi satu. Perannya sebagai pekerja wayang
yang diharapkan dapat menghasilkan kehidupan yang berkecukupan akhirnya hanya menjadi
benang kusut.
4.1.5.2 Tokoh Pendukung
a. Jaiman
Jaiman merupakan dalang yang juga merangkap sebagai juragan Ramayana dalam
pekerjaan wayang yang dilakoninya. Dalam rangkaian cerita ini, Jaiman memiliki peran yang
cukup penting yang sangat berpengaruh terhadap tokoh utama yaitu Wondo. Jaiman adalah
orang yang tegas dalam cerita ini. Kehidupannya sebagai “wong cilik” dianggap sebagai
sesuatu yang harus diterima. Bertahun-tahun Jaiman juga bekerja sebagai wayang dalam
pertunjukan, yang harus bertanggung jawab memperhatikan setiap anak wayangnya.
Penghasilan yang pas-pasan membuat Jaiman harus bisa mengatur keuangan untuk gaji para
wayang dan juga bagian administrasi lainnya yang harus dibayar selama pertunjukkan
wayang. Situasi zaman yang susah ekonomi dan juga sistem kekuatan politik, harus dihadapi
Jaiman dengan cukup sulit. Ini merupakan suatu realitas kehidupan sebahagian besar
penduduk di sekitar Tobong. Hal-hal demikian dapat terlihat dari setiap pergolakan hidup
yang mereka alami.
Dia Cuma capai. Sebentar lagi juga sadar. Bawa ke kamarnya.” ujar Jaiman setelah mengucapkan beberapa mantra.
“Biarkan ia istirahat. Jangan diganggu. Eeee… Min… Tukimin…gimana karcisnya? Berapa yang laku? Pajaknya besok saja. Bilang kita tombok terus. Eeee… Jo… tolong belikan rokok. Sekalian puyer untuk Wondo. Cepet! Rahwana kok klelar-kleler.” (ST, 2000; 109).
Jaiman merasa memiliki tanggung jawab sebagai dalang dan mencoba untuk melakukan yang
terbaik bagi anak wayang lainnya. Kejadian tersebut semakin memprihatinkan ketika Wondo
jatuh sait dan tidak bisa lagi bermain wayang sebagai Anoman.
Jaiman sendiri juga bingung. Ia harus mencari pengganti Wondo. Jaiman pusing memikirkan lakon Anoman Obong besok malam.
“Pak, tadi orang Dipenda datang lagi. Mereka minta uang pajak segera dilunasi.” Kasidi memberanikan diri bicara. Jaiman diam. Tangannya memegang kepalanya yang terasa berat (ST, 2000; 110).
Himpitan ekonomi yang dialami Jaiman dan saudara-saudaranya yang hidup dari hasil
bermain wayang semakin terasa sulit. Situasi sulit yang mereka hadapi tersebut memberikan