• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V DINAMIKA KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA

5.4 Mekanisme Pertahanan Ego

Mekanisme pertahanan ego merupakan suatu sistem pertahanan tubuh manusia atau individu dalam mengatasi kecemasan-kecemasan. Kecemasan-kecemasan tersebut berfungsi sebagai peringatan bagi individu agar mengetahui adanya bahaya yang sedang mengancam, sehingga individu tersebut bisa mempersiapkan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasi penyebab kecemasan tersebut.

Freud (dalam Koswara 1991:46) mengatakan bahwa “Mekanisme pertahanan ego sebagai strategi yang digunakan individu untuk mencegah kemunculan terbuka dari

dorongan-dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan bisa dikurangi atau diredakan”. Hal ini berarti menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan ego menjadi mekanisme yang bersifat preventif agar kecemasan- kecemasan yang dialami seseorang tersebut dapat dikendalikan dan dikontrol. Kecemasan yang dialami seseorang akan menjadi pengganggu yang sama sekali tidak diharapkan kemunculannya oleh individu. Ego sebagai pengarah atau pengendali akan menjalankan pertahanan apabila kecemasan tersebut berlebihan dan taraf tegangan yang ditimbulkannya relatif tinggi.

Menurut Freud (dalam Koswara 1991:46-48) mekanisme pertahanan ego terdiri dari tujuh macam mekanisme, yaitu:

a. Represi merupakan mekanisme yang dilakukan oleh ego untuk meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan yang menjadi penyebab kecemasan tersebut ke dalam tak sadar.

b. Sublimasi merupakan mekanisme pertahanan ego yang ditujukan untuk mencegah dan atau meredakan kecemasan dengan cara mengubah dan menyesuaikan dorongan primitif id yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk (tingkah laku) yang bisa diterima dan, bahkan dihargai oleh masyarakat.

c. Proyeksi merupakan pengalihan dorongan, sikap, atau tingkah laku yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain.

d. Displacement merupakan pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam dibanding dengan objek atau individu semula.

e. Rasionalisasi merupakan upaya individu menyelewengkan atau memutarbalikkan kenyataan, yang mengancam ego melalui alasan tertentu yang seakan-akan masuk

akal, sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu yang bersangkutan.

f. Reaksi formasi merupakan ego individu yang mengendalikan dorongan-dorongan primitif agar tidak muncul sambil secara sadar mengungkapkan tingkah laku sebaliknya.

g. Regresi merupakan suatu mekanisme di mana individu, untuk menghindarkan diri dari kenyataan yang mengancam, kembali kepada taraf perkembangan yang lebih rendah serta bertingkah laku seperti ketika dia berada dalam taraf yang lebih rendah. Mekanisme-mekanisme pertahanan ego yang dijelaskan di atas merupakan bentuk- bentuk pertahanan tubuh untuk mengontrol energi-energi agar sistem kepribadian individu dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan nilai-nilai moral kehidupan. Demikian pula halnya dalam kumpulan cerpen Sang Terdakwa bahwa mekanisme pertahanan ego pada tokoh-tokoh utama terlihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan berdasarkan kondisi lingkungan dan psikis tokohnya. Berdasarkan konflik-konflik yang dialami tokoh utama dalam setiap cerpen yang dibahas, akan diuraikan mekanisme pertahanan ego yang dialami tokohnya sesuai dengan macam mekanisme pertahanan ego tersebut.

5.4.1 Kota Kami Dicekam Ketakutan

Cerita dalam cerpen ini menggambarkan suatu kehidupan masyarakat yang cemas akibat masalah sosial politik negara. Beberapa warga diantara masyarakat sekitarnya dibunuh dengan cara yang mengerikan. Masyarakat tidak mengetahui secara jelas alasan pembunuhan tersebut, tetapi isu tentang seorang yang kaya raya dan berpengaruh merupakan pelakunya. Masyarakat merasa cemas dan takut akan peristiwa yang menimpa kota mereka. Setiap hari selalu ada korban yang dibunuh dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap kekuatan kekuasaan tersebut. Ancaman pembunuhan yang terjadi di kota mereka menimbulkan ketakutan yang sangat mencekam. Akibat ketakutan atau kecemasan yang dialami oleh

masyarakat tersebut, setiap individu berusaha mempertahankan diri dengan mekanisme pertahanan ego mereka masing-masing untuk mnghindari dan mengendalikan tekanan- tekanan id yang dapat mengancam nyawa.

Mekanisme pertahanan ego yang digunakan tokoh utama dalam mengendalikan ego adalah mekanisme sublimasi. Mekanisme sublimasi merupakan upaya positif dalam mekanisme pertahanan ego sebagai upaya melindungi diri dari dorongan-dorongan negatif id. Mekanisme sublimasi yang terdapat pada cerpen ini dapat diperhatikan pada kutipan-kutipan berikut.

Seluruh warga kota kami sangsi, apakah kami masih hidup atau sudah mati. Kami sering berkelakar dan mencoba meyakinkan diri bahwa daya hidup masih kami miliki. Kami tertawa keras-keras. Sangat keras. Tapi kami pun mendadak menangis, ketika kesangsian atas hidup kami muncul kembali. Hidup dan mati timbul tenggelam memainkan perasaan kami (ST, 2000; 2).

….Kami selalu menjaga hati kami. Jam tidur kami kurangi. Mata kami, terpaksa kerja keras setiap hari. Lebih baik sakit mata daripada kehilangan hati. Kami pun saling mengingatkan untuk hati-hati dengan hati kami sendiri (ST, 2000; 3).

Mekanisme pertahanan ego tersebut merupakan bentuk pertahanan yang dapat meredakan dan menghindari tindakan-tindakan negatif yang mungkin muncul dari alam tidak sadar manusia tersebut. Dorongan untuk pergi dari kota atau bunuh diri akibat kecemasan yang mereka alami, bisa timbul. Namun, dengan berjaga-jaga dan saling waswas dengan kondisi sekitar merupakan cara untuk meredakan kecemasan yang mereka alami.

“Tapi kenapa kota kita yang menjadi sasaran?” Keheningan kembali mengurung kami.

“Kenapa mereka tidak kita lawan?” Wajah kami beku.

“Mereka siapa? Musuh kita tidak jelas!”

“Melawan berarti setor mayat. Setor hati. Semakin dilawan mereka semakin senang, karena ada alasan untuk membunuh. Mereka punya pasukan lenngkap. Mereka sangat terlatih...” ujar Lolong.

“Lebih baik melawan daripada mati konyol!” seru Brazak (ST, 2000; 4).

Dorongan-dorongan id untuk mencari akar masalah dan melawan pelaku pembunuhan merupakan tekanan terhadap ego. Masyarakat tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa-apa

sebagai pihak yang lemah, sehingga masyarakat hanya bisa diam dan menangisi nasib yang mereka hadapi. Kondisi dan sikap diam tak bisa berbuat apa-apa merukan suatu bentuk mekanisme pertahanan ego yang dilakukan tokoh agar terhindar dari konflik yang lebih besar.

5.4.2 Palaran

Adipati Anom sebagai tokoh utama dalam cerpen ini mengalami kecemasan akibat ancaman akan suara tembang palaran yang dilantunkan dengan gamelan. Tembang palaran

tersebut mengingatkan Adipati pada sebuah perang dalam perebutan kekuasaan dengan Adipati Sepuh. Adipati Anom merasa tersiksa karena selalu mendengar tembang gamelan dari segala sudut kadipaten. Setiap mendengar suara gamelan, Adipati langsung terbayang oleh wajah kemarahan Adipati Sepuh yang tegak menatap dan mengejek Adipati Anom.

Sudah berhari-hari Adipati Anom mengalami kecemasan akan suara gamelan tersebut. Seluruh pasukan kadipaten dikerahkan agar mencari sumber suara, tetapi siapa pun kecuali Adipati tidak mendengar suara gamelan. Berdasarkan kecemasan yang dialami Adipati Anom, bentuk mekanisme pertahanan ego yang difungsikan oleh egonya sebagai pengendali adalah mekanisme displacement. Artinya, Adipati Anom menyalurkan atau mengungkapkan dorongan yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya kepada orang disekitarnya, yaitu istri dan warga kadipaten yang bekerja sebagai pemain gamelan. Bentuk mekanisme pertahanan ego tersebut dapat diperhatikan pada kutipan-kutipan berikut.

Gamelan itu terus mengalun. Menerobos pagi yang sunyi. Menerobos telinga Adipati. Adipati kembali tersentak. Gamelan itu mengalunkan tembang palaran yang berisi tantangan perang untuk dirinya.

…. “Kurang ajar. Dia pikir aku ini apa? Eee tapi kamu mendengarnya, khan?”

Nyai Adipati menggeleng. Pertanyaan itu kembali diulangi, tetapi jawabannya sama. Gelengan itu membuat Adipati murka.

Semprul! Kamu! Kamu bisanya Cuma macak dan manak !” Bentak Adipati Anom, kesal. (ST, 2000; 14).

Pengungkapan kecemasan yang dilakukan oleh Adipati Anom tersebut merupakan bentuk mekanisme pertahanan ego yang dialami dirinya sebagai pengganti Adipati Sepuh dan suara gamelan yang tidak dapat ditemukan sebagai asal kecemasannya. Selain itu, seiring dengan ancaman suara gamelan yang masih mengusik pikiran dan pendengaran Adipati, seluruh warga dilarang dan akan dihukum apabila memainkan gamelan.

Mereka mencari sumber suara gamelan dan tembang palaran. Tapi mereka hanya menangkap udara hampa dan wajah-wajah kosong yang dililit ketakutan. Beberapa pembuat gamelan juga dikorek tuntas. Begitu pula para priagung yang menyimpan gamelan di pendoponya. Gamelan-gamelan itu disita atas keamanan Kadipaten. Kemudian diikuti keluarnya keputusan: siapapun dilarang keras menabuh gamelan dan mengalunkan tembang palaran. Jika melanggar, hukuman gantung sanksinya

(ST, 2000; 16).

Seluruh warga Kadipaten Padas Lintang menjadi korban dari displacement Adipati Anom. Mekanisme pertahanan ego tersebut menjadi upaya yang digunakan oleh individu untuk mengurangi kecemasan yang mengancam individu tersebut. Mekanisme pertahanan- pertahanan ego tersebut berfungsi untuk mengurangi kecemasan yang dialami Adipati, walaupun hanya sementara terlepas dari penyaluran dan penggunaan energi psikis Adipati Anom itu sendiri.

5.4.3 Sepasang Mata yang Hilang

Mekanisme pertahanan ego Kamil sebagai tokoh utama dalam cerpen ini adalah mekanisme represi. Mekanisme represi merupakan bentuk mekanisme pertahanan ego Kamil dalam meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan atau keinginannya ke dalam alam tidak sadar. Berdasarkan kejadian yang dialami Kamil dengan sepasang matanya, menimbulkan kecemasan bukan pada Kamil saja, melainkan kedua orang tuanya juga. Kejadian yang dianggap memalukan keluarga Kamil tersebut, membuat Ayah Kamil mengambil keputusan agar Kamil di bawa ke Rumah Sakit Jiwa.

Kecemasan Kamil pun semakin memuncak dan pergi melarikan diri dari rumah. Keputusan yang diberikan kepadanya menjadi ancaman bagi hidupnya. Ketika Kamil pergi dari rumah dan menyusuri malam, dua sosok hitam mengikuti Kamil. Dua sosok hitam tersebut berusaha mengejarnya dan seluruh tenaga dikerahkannya agar tidak tertangkap oleh dua sosok hitam tersebut. Pertahanan fisik Kamil tidak mampu menghindar dari tangkapan orang yang mengejarnya dan Kamil pun akhirnya kehilangan sepasang mata. Setelah peristiwa yang menimpanya tersebut, Kamil mengalami depresi dengan kondisi sepasang matanya yang hilang.

Mekanisme represi memerlukan energi psikis yang besar agar dorongan-dorongan yang menyebabkannya cemas tidak muncul ke alam sadar. Freud (dalam Koswara, 1991:46) menjelaskan bahwa “ Pengurasan energi psikis oleh mekanisme represi bisa membawa akibat berupa tidak efektifnya ego dalam memelihara dan menuntun tingkah laku individu. Tingkah laku neurotik, penyakit-penyakit psikosomatik, dan penyimpangan seksual, adalah akibat- akibat lain yang bisa ditimbulkan oleh pengurasan energi psikis itu”. Hal ini berarti bahwa energi psikis Kamil terkuras, sehingga menimbulkan tingkah laku neurotik atau depresi akibat peristiwa yang dialaminya yaitu kehilangan sepasang mata. Bentuk mekanisme pertahanan ego dan pengurasan energi psikis yang dialami Kamil dapat diperhatikan pada kutipan berikut.

Timbunan ketakutan telah menggerakkan Kamil untuk lari. Dengan sisa kekuatannya ia lari dan terus lari. Selapis demi selapis dinding malam yang gelap, diterobos Kamil. … Suara itu menyadarkan Kamil bahwa ia diikuti seseorang. Ketakutan mendadak menyelimuti rongga dada Kamil. Sesak. Detak jantungnya terpacu. Kamil menoleh. Dua sosok hitam itu terus memburunya. Ia menyelinap di balik rerimbunan perdu. …Kemudian dirasakan ada benda tajam menghujam kedua matanya. Perih. Sangat perih. Sakit. Sangat sakit. Darah mengucur. Deras. Sangat deras. Baju Kamil basah. Malam makin gelap (ST, 2000; 25).

Ketika energi psikis Kamil terkuras, ia pun tidak lagi bisa menghindar dari dua sosok hitam yang berniat jahat dan melukai sepasang matanya. Beberapa orang yang tidak senang dengan

apa yang dilakukan Kamil merasa tenang, karena Kamil tidak lagi mengganggu orang-orang yang dianggap tamak.

Sejak kejadian itu Desa Krowotan tenang kembali. Sedangkan Kamil, setiap har, dengan tongkatnya menyusuri jalan-jalan desa. Mencari sepasang matanya yang hilang. Setiap orang yang berpapasan selalu ditanya, “Kamu melihat mata saya?” (ST, 2000; 25).

Sudah ribuan orang yang ditanya. Sudah sepuluh tahun kejadian itu berlangsung. Bukan lagi keharuan yang muncul dari warga desa, melainkan ejekan. Setiap menjumpai Kamil, anak-anak kecil dan orang tua selalu berteriak, “Mil, ini lho

matamu!”

Dan tawa mereka pun meledak setiap kali Kamil menoleh (ST, 2000; 26).

Kejadian tersebut dialami oleh orang-orang yang tidak berdaya untuk melawan. Kondisi ekonomi yang minim menjadikan pihak-pihak “wong cilik” terkadang tidak mendapatkan haknya sebagai makhluk sosial yang sama dihadapan hukum.

5.4.4 Burung-burung yang Menyergap

Gerusta adalah seorang orator partai yang mampu menyampaikan kata-kata yang berisi kesejahteraan bagi rakyat. Mendadak Gerusta diserang oleh puluhan hingga ribuan burung. Burung-burung terus mengintai Gerusta dan datang dengan menyerang seluruh tubuhnya. Ketidakberdayaan Gerusta dalam menghadapi serangan burung-burung tersebut, menyadarkannya bahwa betapa kata-kata tidak lagi dimiliknya, tetapi sudah memiliki dirinya. Bayangan akan serangan burung-burung tersebut menjadi ancaman dan kecemasan bagi dirinya. Segala cara dilakukan Gerusta agar ia tidak diintai oleh bayangan burung.

Kecemasan akan ancaman burung yang menyergap seluruh tubuhnya, membuat Gerusta memberikan pertahanan. Mekanisme pertahanan ego yang bekerja dalam dirinya adalah bentuk mekanisme displacement yaitu dorongan yang menimbulkan kecemasan pada dirinya diungkapkan kepada objek atau individu lain yang kurang berbahaya atau kurang mengancam. Mekanisme pertahanan ego Gerusta tersebut menjadi pertahanan sementara yang dapat mengurangi atau meredakan kecemasan atau ketakutan yang dialaminya akan

serangan burung-burung. Mekanisme pertahanan ego yang dialami Gerusta tersebut dapat diperhatikan pada kutipan berikut.

BURUNG-BURUNG ganas itu masih menjadi mimpi buruk yang menguras energi Gerusta. Burung-burung itu telah menjaring Gerusta menjadi tawanan yang siap dicincang oleh kelaparan mereka. Gerusta membangun pertahanan. Ia tutup jendela dan pintu. Ia tutup seluruh lubang angin. Ia bakar album. Televisi. Radio. Buku-buku. Internet. Kulkas. Telepon genggam. Peta. Dan seluruh benda yang memungkinkan burung-burung itu bersembunyi dan sewaktu-waktu menyerangnya. Ia telah mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan (ST, 2000; 54).

Pengalihan dorongan kecemasan yang dialami Gerusta tersebut merupakan upaya yang dapat mengurangi ketakutannya. Segala yang berhubungan dengan bayangan burung-burung, dijauhkan dari hadapannya, bahkan Gerusta memilih untuk tidak bertemu dengan orang lain dan berhadapan dengan lingkungan luar. Semua kecemasan yang dialami Gerusta tersebut menjadi mimpi buruk bagi kehidupannya.

5.4.5 Anoman Ringsek

Wondo adalah seorang anak wayang yang bekerja dengan penghasilan yang pas- pasan. Keadaan ekonomi keluarganya yang minim tersebut menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Keinginan Wondo untuk keluar dari tobong dan mencari pekerjaan yang lebih menghasilkan uang banyak hanya menjadi imajinasinya saja. Keinginan-keinginannya tersebut tidak dapat ia wujudkan oleh karena segala keterbatasan status sosialnya. Keinginan dan dorongan dalam dirinya tersebut menimbulkan kecemasan serta sekaligus menjadi ancaman bagi hidupnya.

Berdasarkan kecemasan-kecemasan yang dialami Wondo tersebut, dibutuhkan mekanisme pertahanan ego dari tubuhnya sendiri. Bentuk mekanisme pertahanan ego Wondo adalah mekanisme represi, yaitu meredakan kecemasan yang dialami tersebut dengan cara menekan atau merepres dorongan atau keinginan tersebut ke alam tidak sadar. Mekanisme pertahanan tersebut dapat kita perhatikan pada kutipan berikut.

SEJAK pingsan di panggung, Wondo selalu dibayangi ketakutan. Sepuluh wajah raksasa menyergapnya. Beribu rasa ketakutan menekan dan mengurungnya. Wajah-

wajah raksasa berbagai peringai, dengan gigi dan taring menyeringai selalu berkelebat dalam benak anak wayang itu. mata raksasa itu merah. Membelalak. Menatap nanar, penuh amarah.

“Bukan saya yang merusak negara Gusti Prabu. Tapi Anoman…” igau Wondo sepanjang malam (ST, 2000; 110).

Seiring dengan upaya mekanisme pertahanan ego yang bekerja dalam tubuh Wondo, mekanisme pertahanan ego ini membutuhkan energi psikis yang besar. Ketika energi psikis tersebut dikuras, maka dorongan-dorongan atau keinginan-keinginan tersebut akan muncul ke alam sadar manusia. Hal ini akan menimbulkan tingkah laku yang menyimpang, seperti frustasi atau kelainan kejiwaan lainnya yang berdampak buruk bagi individu. Demikian halnya dengan Wondo, energi psikis dalam tubuhnya terkuras oleh mekanisme represi tersebut, sehingga ia tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri.

Mendadak Surti dikejutkan dengan suara orang berkelahi dari kamar Wondo. Suara gedebag-gedebug itu semakin keras.

…Wondo meloncat. Menari persis Anoman. Dari gerakan-gerakannya ia seperti sedang berkelahi. Tapi siapa yang dilawan? Pikir Surti. (ST, 2000; 113)

…Wondo terkapar. Darah segar mengalir dari hidung, mulut dan telinganya. Deras. Surti menjerit. Lemas dan pingsan (ST, 2000; 114).

Kondisi inilah yang dialami oleh Wondo dalam menghadapi persoalan kehidupan. Kecemasan muncul dalam berbagai dinamika kehidupan yang diproses dalam dinamika kepribadian masing-masing individu sebagai makhluk sosial.

Dokumen terkait