• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL

4.2 Latar ( setting )

4.2.2 Latar Sosial

Latar sosial yang terdapat dalam kumpulan cerpen Sang Terdakwa karya Indra Tranggono terdiri dari beragam perilaku kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Lebih jelas Nurgiyantoro (1998:234) mengatakan bahwa “Latar sosial juga dapat berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas”. Dalam hal ini, penulis mendeskripsikan status sosial tokoh dalam kehidupan bermasyarakatnya sehari-hari. Beberapa diantaranya ialah status sosial tokoh yang dominan berada dalam lingkup masyarakat Jawa. Latar sosial tersebut dideskripsikan sebagai berikut:

4.2.2.1 Kota Kami Dicekam Ketakutan

Cerpen ini terdapat latar sosial yang menunjukkan bahwa gaya hidup masyarakatnya masih sederhana. Mata pencaharian utama adalah nelayan dan petani. Namun situasi sosial kehidupan mereka mulai tumbuh dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Dalam perkembangan tersebut, masyarakat lebih memilih untuk hidup sederhana dan tidak mengikuti perkembangan zaman yang terjadi di pusat kota. Kondisi sosial di pusat kota

dianggap masyarakat cenderung pada hidup kemewahan yang tidak dapat menjanjikan ketenteraman.

Bukannya kami tak butuh uang. Kami hanya merasa cukup bisa hidup dari penghasilan kami. Gunung member kami kesuburan buah-buahan, padi dan rempah-rempah yang melimpah. Pantai member kami ikan yang segar. Kami juga merasa tidak perlu dibujuk oleh iklan-iklan di televisi untuk mengubah gaya hidup kami, menjadi gaya hidup orang-orang di pusat negeri (ST, 2000; 1).

Status sosial masyarakat yang sebagian besar menengah dan rendah ini, mengalami ketakutan dan cemas dengan kejadian yang menimpa kota mereka akibat dari kekuatan politik di negara mereka. Warga mereka banyak yang mendadak kehilangan nyawa tanpa sebab yang jelas.

4.2.2.2 Palaran

Latar sosial pada cerpen ini menunjukkan cara hidup di sebuah kerajaan yaitu Kadipaten Padas Lintang. Penduduk kerajaan ini berada pada lingkungan dan kebiasaan hidup masyarakat Jawa. Hal tersebut dapat terlihat dari nama-nama tokoh dan tradisi yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya. Masyarakat kadipaten biasanya mengalunkan tembang gamelan baik untuk acara pesta, pemicu peperangan, maupun kebiasaan Jawa lainnya. Hal ini terlihat dari Adipati Anom yang merasa cemas dengan perebutan kekuasaan yang dulu terjadi dengan Adipati Sepuh dan kembali teringat dengan suara gamelan yang dimainkan oleh warga kadipaten.

Suara gamelan itu dirasa mengancam dirinya. Suara gamelan itu mengingatkan dirinya akan peristiwa puluhan tahun yang lalu, ketika ia dengan gagah berani mengalunkan tembang palaran untuk menantang Adipati Sepuh yang dinilainya tak becus memimpin Kadipaten Padas Lintang. Dan tembang palaran yang dilantunkan mampu menyulut api perlawanan di kalangan rakyat yang sejak lama kecewa terhadap Adipati Sepuh (ST, 2000; 14).

4.2.2.3 Sepasang Mata yang Hilang

Latar sosial dari cerpen ini adalah situasi sosial maupun cara hidup dengan beragam status sosial yang beragam. Ada yang tingkat atas, menengah, dan bawah. Status sosial

tokoh-tokoh pada cerpen ini memberikan perbandingan nyata akan situasi sosial yang dialami masyarakat dalam kehidupan nyata. Perbandingan status sosial ini digambarkan melalui perilaku Kamil yang aneh semenjak jatuh. Kamil seolah-olah mampu melihat orang-orang kaya yang tamak, orang munafik dan sebagainya, dalam rupa sosok raksasa yang menakutkan. Masyarakat lain menganggap Kamil aneh, namun hal ini cukup jelas memperlihatkan perbedaan status sosial kita dalam kehidupan sehari-hari yang penuh dengan perbedaan. Beberapa bahasa Jawa yang dipakai tokoh-tokohnya dalam berdialog, juga menggambarkan latar sosial kehidupan masyarakat Jawa.

…terutama setelah kejadian Sabtu kemarin, ketika Pak Karso, juragan tembakau yang sukses itu, mengunjungi ayahnya (ST, 2000; 20).

“Pak Kardi, jangan cengengesan. Anaksampeyanitu sakit. Gendeng. Edan!” katanya sambil membanting daun pintu.

“Anak kurang ajar. Rezeki yang seharusnya sudah di tangan jadi lepas. Gara-gara kamu, Pak Karso jadi batal membeli tembakau kita. Kalau caranya begini bisa-bisa usaha kita ini hancur!” ujar Pak Kardi (ST, 2000; 21).

4.2.2.4 Burung-burung yang Menyergap

Latar sosial dalam cerpen ini menunjukkan adanya situasi sosial masyarakat yang berada di bawah kekuatan (kekuasaan politik). Hal tersebut dapat dilihat dari peranan Gerusta sebagai seorang orator yang biasa menyampaikan berbagai kata-kata untuk membangkitkan semangat masyarakat yang sepenuhnya tidak memahaminya. Masyarakat dihadapkan pada situasi sosial yang menjanjikan sebuah kesejahteraan. Namun, Gerusta sendiri semakin tidak mampu menguasai kata-kata yang biasa dipakai dalam orasinya. Cara hidup atau kebiasaan yang dilakukan ternyata memberi pengaruh buruk bagi Gerusta, sehingga ia tidak dapat lagi menguasai dirinya. Antara imajinasi dan kenyataan memberikan gambaran jelas bahwa situasi sosial tidak selamanya dapat mendukung.

PULUHAN ribu massa tak sabar menunggu Gerusta. Menunggu tumpahan kata-kata yang menjadi kristal-kristal penuh cahaya berpendar dalam rongga dada, dan menerbitkan harapan dalam lorong sunyi jiwa mereka (ST, 2000; 56).

4.2.2.5 Anoman Ringsek

Latar sosial dalam cerpen ini menunjukkan bahwa status sosial masyarakat bawah memberikan tekanan bagi yang mengalaminya. Keadaan ekonomi yang rendah memacu seseorang untuk bertindak lebih berani agar dapat mempertahankan hidupnya. Namun situasi sosial, khususnya dalam hal ekonomi, membuat masyarakatnya tidak dapat membedakan antara imajinasi dan kenyataan. Wondo yang bosan dan lelah dengan keadaan ekonomi yang pas-pasan, mengalami tekanan dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Selain itu, dalam cerpen ini kebiasaan hidup tokoh-tokohnya adalah masyarakat Jawa. Pertunjukkan ketoprak merupakan sumber penghasilan Wondo dan teman-temannya. Penghasilan yang didapat mereka sangat minim dan mereka dihadapkan hanya pada pilihan tersebut.

Wondo tak terpengaruh impian yang ditiupkan Jaiman. Niatnya untuk keluar dari

tobong terus berdetak dalam dirinya. Tapi bagai benang kusut, ia tak pernah mampu menemukan lubang jarum untuk bisa menjahit nasibnya yang koyak moyak. Wondo terus jadi Anoman, meskipun jiwanya sumpekdan nasibnya ringsek(ST, 2000; 112).

Dokumen terkait