• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

B. Landasan Teori

2. Kecerdasan Ganda

Kata “ganda”, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976:621) berarti:

tidak tunggal; terjadi dari beberapa bagian yang merupakan kesatuan.

Berdasarkan arti tersebut di atas maka kecerdasan ganda dapat diartikan sebagai suatu kemampuan atau potensi umum yang dimiliki oleh individu yang menggejala ke dalam berbagai dimensi dan merupakan kesatuan.

Kecerdasan, dilihat dari perspektif kecerdasan ganda, tidak terbatas hanya kecerdasan kognitif saja tetapi kecerdasan dalam arti keseluruhan kemampuan yang dimiliki oleh individu yang tercermin dari cara bagaimana individu itu

menyikapi dan menyiasati keadaan yang terjadi di sekitarnya. Jadi kecerdasan itu dapat berupa kecerdasan musik, kecerdasan bahasa, kecerdasan matematis, kecerdasan emosi, kecerdasan interpersonal, spiritual, dan lain-lain.

Teori kecerdasan ganda ( multiple intelligences atau MI ) ini ditemukan dan dikembangkan oleh Howard Garder, seorang ahli psikologi perkembangan dan professor pendidikan dari Graduate School of Education, Harvard University, Amerika Serikat. Ia menuliskan gagasannya tentang kecerdasan ganda dalam bukunya Frames of Mind pada tahun 1983. Pada tahun 1993 ia mempublikasikan bukunya berjudul Multiple Intelligences, setelah melakukan banyak penelitian tentang implikasi teori inteligensi ganda di dunia pendidikan. Teori ini dilengkapi

lagi dengan terbitnya buku Intelligence Reframe pada tahun 2000 (Suparno, 2004: 17).

Gardner mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu seting yang

bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata (dalam Suparno, 2004: 17). Gardner menemukan ada sembilan inteligensi pada manusia, yaitu:

1. Inteligensi Linguistik (Linguistic Intelligence)

Bagi Gardner (Suparno, 2004) inteligensi linguistik merupakan kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya pendongeng, orator atau politisi) maupun tertulis (misalnya sastrawan, penulis drama, editor, wartawan). Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dimensi pragmatik atau penggunaan praktik bahasa. Penggunaan bahasa

ini antara lain mencakup retorika (penggunaan bahasa untuk mempengaruhi orang lain melakukan tindakan tertentu), hafalan (penggunaan bahasa untuk mengingat informasi), eksplanasi (penggunaan bahasa untuk memberi informasi), dan meta bahasa (penggunaan bahasa untuk membahas bahasa itu sendiri).

Kegiatan atau usaha yang cocok bagi orang yang mempunyai inteligensi linguistik tinggi adalah penulis puisi, novel, cerita, berita, dan sejarah. Pekerjaan sebagai wartawan, jurnalis, editor, kritikus sastra, ahli sastra, cocok juga bagi orang yang mempunyai inteligensi linguistik yang tinggi. Mereka baik juga menjadi pembicara, termasuk para pencerita di depan banyak orang, seperti orator, tukang kampanye, penjual jamu di depan umum. Mereka cocok menjadi penceramah, pemandu tamu asing, dan bekerja di kantor berita, radio dan televisi. Sebagai pribadi mereka juga dapat menjadi penikmat hasil karya tertulis atau lisan seperti dalam membaca dan menjadi pendengar yang baik ( Suparno, 2004: 27 ).

Guru yang inteligensi linguistiknya menonjol akan merasa senang jika mengajar Sains dengan menggunakan metode ceramah, metode debat, bercerita atau mendongeng. Guru senang menceritakan pemikirannya kepada orang lain.

Siswa yang inteligensi linguistiknya menonjol mudah memahami pelajaran dengan cara mendengarkan gurunya bercerita, mudah menangkap kata-kata gurunya ketika mengajar. Biasanya siswa yang inteligensi linguistiknya menonjol kurang senang dengan pelajaran yang berkaitan dengan hitungan atau latihan soal.

2. Inteligensi Matematis-logis (Logical-Mathematical Intelligence)

Menurut Gardner (Suparno, 2004), inteligensi matematis-logis merupakan kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya ahli matematika, akuntan pajak, ahli statistik) dan melakukan penalaran yang benar (misalnya sebagai ilmuwan, pemrogram komputer, atau ahli logika). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis, pernyataan dalil (jika-maka, sebab-akibat), fungsi logis dan abstraksi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan matematis-logis ini antara lain: kategorisasi, klasifikasi, pengambilan kesimpulan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis.

Orang yang kuat dalam inteligensi matematis-logis secara menonjol dapat melakukan tugas memikirkan sistem-sistem yang abstrak, seperti matematika. Orang yang berinteligensi matematis-logis mudah belajar berhitung, kalkulus, dan bermain dengan angka. Bahkan, ia dengan senang menggeluti simbol angka dalam buku matematika daripada kalimat yang panjang-panjang. Silogismenya kuat sehingga mudah dimengerti dan mudah mempelajari persoalan yang analitis (Suparno, 2004: 29-30).

Guru yang inteligensi matematis-logisnya menonjol senang mengajar dengan menggunakan latihan soal, mengajar dengan cara yang sistematis atau berurutan, senang menggunakan bagan atau skema, senang menganalisis persoalan sehingga memunculkan suatu kerangka berpikir yang berguna bagi anak didiknya.

Siswa yang inteligensi matematis-logisnya menonjol sangat senang mengerjakan latihan soal yang diberikan oleh gurunya, senang memecahkan

persoalan yang timbul pada saat pelajaran berlangsung, pemikiran siswa rasional dan logis. Siswa kurang suka dengan pelajaran yang banyak menggunakan cerita yang panjang.

3. Inteligensi Spasial (Spatial Intelligence)

Bagi Gardner (Suparno, 2004), inteligensi spasial merupakan kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat (misalnya sebagai pemburu, pemandu) dan mentransformasi persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya dekorator interior, arsitek, seniman). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang dan hubungan antar unsur tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan ide secara visual atau spasial, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam matriks spasial.

Guru yang inteligensi spasialnya menonjol senang mengajar dengan menggunakan gambar, grafik, diagram, senang berdemonstrasi di dalam kelas untuk memperkenalkan cara kerja suatu benda atau alat dan menjelaskan bagaimana benda tersebut dapat berubah.

Siswa yang inteligensi ruang-visualnya menonjol senang belajar dengan menggambar, senang membayangkan letak suatu benda dalam ruang, senang melakukan kegiatan percobaan dan mengenal bermacam-macam bentuk benda, senang membuat grafik, skema atau diagram, senang dengan warna-warna, senang menyusun balok-balok untuk dijadikan suatu bangunan. Cara terbaik untuk memotivasi mereka adalah melalui media seperti film, slide, video, diagram, peta dan grafik.

4. Inteligensi Kinestetik-badani (Bodily-Kinesthetic Intelligence)

Inteligensi kinestetik-badani menurut Gardner (Suparno, 2004) merupakan keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya sebagai perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah). Kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang spesifik, seperti koordinasi, keseimbangan, ketrampilan, kekuatan, ketentuan, dan kecepatan maupun kemampuan menerima rangsangan (proprioceptive) dan hal yang berkaitan dengan sentuhan (tactile dan haptic).

Guru yang inteligensi kinestetik-badaninya menonjol senang mengajar dan mengungkapkan pelajaran, senang mengadakan kegiatan percobaan di dalam kelas supaya anak didiknya bisa ikut serta mencoba alat-alat percobaan selama pelajaran berlangsung.

Siswa yang inteligensi kinestetik-badaninya menonjol tidak pernah diam jika berada di dalam kelas, suka bergerak kesana kemari, suka belajar sains dengan menggunakan alat-alat percobaan lalu mencoba alat-alat tersebut dan kadang-kadang suka menggangu temannya ketika pelajaran berlangsung.

5. Inteligensi Musikal (Musical Intelligence)

Gardner (Suparno, 2004) menjelaskan inteligensi musikal sebagai kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi (misalnya, sebagai pemusik), membedakan (misalnya sebagai kritikus musik), penggubah (misalnya sebagai komposer), dan mengekspresikan (misalnya sebagai penyanyi). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titi nada atau melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu.

Guru yang inteligensi musikalnya menonjol suka mengajar dengan menggunakan nyanyian atau lagu, alat musik, guru sangat mudah mengungkapkan pemikiran mereka ke dalam bentuk musik, guru dengan sekreatif mungkin menjadikan suatu materi pelajaran sains menjadi bait-bait lagu dan ia akan senang sekali jika anak didiknya bisa bernyanyi dengan baik.

Siswa yang menonjol inteligensi musikalnya akan mudah memahami suatu materi jika materi pelajaran sains dibawakan dalam bentuk musik dan lagu, senang jika belajar diiringi musik, mampu bernyanyi dengan baik dan penuh semangat.

6. Inteligensi Interpersonal (Interpersonal Intelligence)

Menurut Gardner (Suparno, 2004), inteligensi interpersonal merupakan kemampuan meresapi dan membedakan suasana hati, maksud, serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini merupakan kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak-isyarat, kemampuan membedakan berbagai macam tanda interpersonal, dan kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu (misalnya mempengaruhi sekelompok orang untuk melakukan tindakan tertentu). Secara umum inteligensi interpersonal berkaitan dengan kemampuan orang untuk menjalin relasi dan komunikasi dengan berbagai orang. Inteligensi ini banyak dipunyai oleh para komunikator, fasilitator, dan penggerak masa.

Guru yang inteligensi interpersonalnya menonjol senang mangajar sains dengan cara berdiskusi bersama, diskusi kelompok-kelompok kecil yang nantinya diakhiri dengan presentasi di depan kelas, memberikan tugas atau pekerjaan rumah yang dikerjakan bersama-sama.

Siswa yang inteligensi interpersonalnya menonjol senang belajar sains dengan cara berdiskusi dengan teman-temannya, kurang suka jika belajar seorang diri, senang mengadakan belajar kelompok, jika diberi tugas oleh gurunya ia akan cepat mencari teman untuk diajak bekerja sama, senang belajar di kelas dengan model presentasi.

7. Inteligensi Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence)

Inteligensi intrapersonal menurut Gardner (Suparno, 2004), adalah kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri yang akurat (kekuatan dan keterbatasan diri); kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri.

Siswa yang menonjol dalam inteligensi intrapersonal sering kelihatan pendiam, lebih suka termenung di kelas. Bila ada waktu istirahat, kalau teman-teman lain bermain, ia kadang lebih suka sendirian berefleksi atau berpikir. Ia lebih suka bekerja sendiri. Bila guru memberikan tugas bebas, siswa ini kadang diam lama merenungkan tugas itu sebelum mengerjakan sendiri. Ia tidak tertarik

bahwa teman-temannya mengerjakan tugas itu berkelompok (Suparno, 2004: 41).

Guru yang inteligensi intrapersonalnya menonjol senang mengawali pelajaran sains dengan berdoa, berefleksi, senang memberikan tugas secara perorangan, kurang suka dengan diskusi.

Siswa yang inteligensi intrapersonalnya menonjol senang belajar sendiri, kurang suka dan kurang tertarik dengan diskusi dan belajar kelompok, senang menyendiri dan berpikir tentang pelajaran yang didapat dengan cara seperti orang yang sedang melamun atau merenung di kelas tetapi ia mudah berkonsentrasi dengan baik.

8. Inteligensi Lingkungan (Naturalist Intelligence)

Inteligensi lingkungan menurut Gardner (Suparno, 2004) merupakan keahlian mengenali dan mengkategorikan spesies flora dan fauna di lingkungan sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada fenomena alam lainnya (misalnya formasi awan dan gunung-gunung) dan bagi mereka yang dibesarkan di lingkungan perkotaan, kemampuan membedakan benda tak hidup, seperti mobil, sepatu karet dan sampul kaset CD. Siswa yang mempunyai inteligensi lingkungan tinggi kiranya dapat dilihat pada kemampuan mengenal, mengklasifikasi, dan menggolongkan tanaman-tanaman, binatang, serta alam mini yang ada di sekolah. Barangkali kepada siswa dapat diberikan banyak tanaman dan mereka diminta menggolongkan secara teratur untuk dapat menjelaskan.

Guru yang inteligensi lingkungannya menonjol senang mengajar sains di luar kelas, senang menciptakan suasana belajar seperti benar-benar berada di suatu alam dan senang mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, memberikan benda-benda yang berhubungan dengan sains supaya siswanya bisa menggolongkan benda-benda tersebut dan menjelaskannya.

Siswa yang inteligensi lingkungannya menonjol senang belajar di luar kelas, senang menanyakan kegunaan dari benda-benda yang ia jumpai di

lingkungannya, senang bila diajak gurunya belajar di museum sains, mampu mengenal, mengklasifikasi dan menggolongkan benda-benda yang diperlihatkan dan diajarkan oleh gurunya.

9. Inteligensi Eksistensial (Existential Intelligence)

Gardner (Suparno, 2004) menambahkan satu inteligensi lagi, yaitu

inteligensi eksistensial. Inteligensi ini lebih menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu antara lain: mengapa aku ada, mengapa aku mati, apa makna hidup ini, bagaimana kita sampai ke tujuan hidup. Inteligensi ini tampaknya sangat berkembang pada banyak filsuf, terlebih filsuf eksistensialis yang selalu mempertanyakan dan mencoba menjawab persoalan eksistensi hidup manusia. Filsuf-filsuf seperti Sokrates, Plato, Thomas Aguinas, Descrartes, Kant,

Sastre, Neitzsche termasuk memiliki inteligensi eksistensial tinggi (Suparno, 2004: 43-44).

Guru yang inteligensi eksistensialnya menonjol senang memancing pertanyaan agar siswanya dapat bertanya pada dirinya sendiri dan mengajak berdiskusi kepada siswanya, senang mengajak siswanya untuk berefleksi dan berpikir bahwa keberadaan siswanya di dunia ini bukan semata-mata untuk hidup saja tetapi juga untuk belajar.”Mengapa aku belajar sains ? Untuk apa ?”

Siswa yang inteligensi eksistensialnya menonjol peka dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai keberadaannya sendiri, bagaimana aku berada di dunia ini ? Kenapa aku belajar sains di dalam kelas ?

b. Perbedaan pengukuran inteligensi dengan inteligensi ganda

Pengukuran kecerdasan menjadi suatu tolak ukur yang sangat memperhitungkan tingkat kecerdasan anak-anak. Banyak orang tua risau ketika anaknya tidak secerdas yang mereka bayangkan setelah mengikuti serangkaian tes kecerdasan. Seolah-olah hasil tes itulah satu-satunya harapan bagi masa depan anaknya. Gardner (dalam Paul Suparno, 2004:17) mengatakan: “…..Dalam pengertian lama, inteligensi seseorang dapat diukur dengan tes tertulis (tes IQ)”.

Tingginya tingkat kecerdasan seseorang dilihat dari sudut pandang kecerdasan ganda apabila ia dapat memecahkan persoalan dalam hidup nyata dan situasi yang bermacam-macam, situasi hidup yang sungguh kompleks. Inilah perbedaannya dengan pengukuran IQ seseorang. IQ diukur dengan tes di atas meja. Maka, mungkin terjadi bahwa IQ seseorang tinggi, tetapi ia tidak berhasil dalam pekerjaan, dalam situasi yang lebih kompleks dan nyata. Misalnya, orang yang ber-IQ tinggi belum tentu sukses dalam menjalin hubungan dengan teman-teman lain atau sukses dalam bertanding olah raga atau bermain musik.

Tidak salah jika orang tua atau guru menginginkan anaknya cerdas. Tapi alangkah bijaksananya jika orang tua atau guru mau berusaha melihat lebih jauh dan mendalam keberadaan anaknya atau siswa yang diajarnya. Dengan demikian kita tidak lekas melancarkan tuduhan secara dangkal bahwa anak kita atau anak didik kita tidak cerdas. Gardner (2000) menyinggung bagaimana dampak

pemahaman guru terhadap konsep kecerdasan yang baru ini sebagai berikut:

“Dengan inteligensi ganda pendidik dapat menaruh perhatian ada perbedaan di

antara anak-anak didik dan mencoba menggunakannya dalam pembelajaran dan

pendidikan serta evaluasi yang lebih personal. Sehingga anak didik tidak

dianggap sebagai blok-blok yang sama atau anonim” (Gardner dalam Paul

Suparno, 2004:45)

Pemahaman baru tentang arti kecerdasan dilihat dari teori kecerdasan ganda membuat kita sebagai praktisi pendidikan harus berefleksi bahwa ternyata anak didik kita sebenarnya memiliki potensi kesembilan kecerdasan tersebut. Hanya yang jadi masalah, mungkin saja kesembilan kecerdasan itu belum sepenuhnya teraktualisasikan.

Dokumen terkait