• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

B. Landasan Teori

4. Variasi Strategik dalam Pengembangan Kecerdasan Ganda

Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam mengembangkan kecerdasan ganda siswanya adalah dengan mengubah proses pembelajaran yang semula teacher oriented menjadi student oriented. Proses pembelajaran yang demikian ini membuat guru harus aktif mencari dan menggunakan bermacam-macam pendekatan belajar.

Variasi-variasi yang dilakukan guru sepanjang proses pembelajaran membuat anak-anak menikmati pelajaran yang disampaikan. Kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam pembelajaran, yang dimungkinkan dilakukan oleh siswa, tidak dipandang sebagai sesuatu yang fatal dan merusak pembelajaran tapi dipandang sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. Yang perlu diperhatikan oleh guru adalah dengan segala kerendahan hatinya tetap memberikan kesempatan dan membimbing siswa untuk belajar, sampai mereka menemukan sendiri bahwa dirinya telah mampu mempelajari sesuatu. Kriteria keberhasilan belajar ditandai dengan terjadinya perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar baik pada aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya.

Dalam rangka penggunaan berbagai strategi dalam mengajar yang dapat mengembangkan kecerdasan ganda peserta didik, penggabungan beberapa mata pelajaran lainnya sebagai variasi mengajar sangat membantu sekali terhadap

pengelolaan kelas. Kelas menjadi tidak monoton, tidak tegang tetapi rileks. Belajar menjadi sesuatu kegiatan yang menggembirakan.

Perlu disadari oleh para guru bahwa proses pembelajaran dengan memperhatikan kecerdasan masing-masing siswa dan menempatkan mereka sebagai subyek belajar, tidak membuat tugas kita sebagai guru menjadi ringan, karena guru dituntut untuk menunjukkan kreativitas dan keprofesionalannya baik dalam mengolah materi pelajaran maupun mengelola kelas agar dapat mendukung pembelajaran tersebut. Paul Suparno (2004:126) menjelaskan tentang model pembelajaran dengan pendekatan inteligensi ganda sebagai berikut: “Model pembelajaran atau pendidikan dengan pendekatan inteligensi ganda memang sangat lain dengan model pembelajaran klasik yang terlalu menekankan pada guru. Model pembelajaran ini lebih berpusat pada siswa, bukan terutama pada guru”.

Secara umum inteligensi ganda yang belum berkembang dapat dibantu menjadi lebih baik lewat pendidikan. Haggerty (dalam Paul Suparno, 2004:65-67) mengungkapkan beberapa prinsip umum untuk membantu mengembangkan inteligensi ganda pada siswa yaitu:

1. Pendidikan harus memperhatikan semua kemampuan intelektual siswa. 2. Pendidikan seharusnya individual dengan memperhatikan inteligensi siswa. 3. Pendidikan harus dapat menyemangati siswa untuk dapat menentukan tujuan

dan program belajar mereka.

4. Sekolah sendiri harus menyediakan fasilitas dan sarana yang dapat dipergunakan oleh siswa.

5. Evaluasi belajar harus lebih kontekstual dan bukan tes tertulis. 6. Pendidikan sebaiknya tidak dibatasi di dalam gedung sekolah.

Jika siswa kita masing-masing memiliki kesembilan kecerdasan tersebut, adalah tugas kita membantu mengembangkannya melalui kegiatan pembelajaran yang variatif dan menyenangkan.

Pembelajaran sebagai proses pembimbingan benar-benar membantu anak untuk memahami bahwa setiap pelajaran yang diberikan sangat penting dan berguna bukan hanya bagi diri mereka sendiri tapi juga bagi orang lain. Kepandaian sebagai hasil dari belajar itu tidak hanya dinikmati oleh diri sendiri tapi perlu juga dibagikan kepada orang yang tidak mampu dengan cara tidak menyombongkan diri, tapi mau menolong dan mengerti kesulitan orang lain.

5. Pembelajaran a. Pengertian Belajar

Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah lewat teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan (Suparno, 1997:61). Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:

1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.

2. Konstruksi arti adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.

3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996 dalam Suparno, 1997), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.

4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.

5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungannya (Bettencourt, 1989 dalam Suparno, 1997).

6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si pelajar. Konsep-konsep, tujuan dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.

Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang berbeda (Suparno, 1997).

Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang

mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka (Suparno, 1997).

b. Pengertian Mengajar

Bagi kaum konstriktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Suparno, 1997).

Driver dan Oldman dalam Matthews (1994) dalam suparno (1997) menjalankan beberapa ciri mengajar konstruktivis sebagai berikut:

1) Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.

2) Elicitasi. Murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar, ataupun poster.

3) Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal:

a. Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya

kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.

b. Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman.

c. Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru.

4) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hali ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengetahuannya.

5) Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu keterangan ataupun mungkin dengan menjadi lebih lengkap.

Dokumen terkait