• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan MPR Sebelum Perubahan UUD 1945

MPR SEBELUM DAN SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945 A.MPR RI Sebelum Perubahan UUD 1945

1. Kedudukan MPR Sebelum Perubahan UUD 1945

Sejak keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, landasan struktural pemerintahan Republik Indonesia adalah UUD 1945 dan landasan idealnya ialah Pancasila.86

Masalah Kedudukan MPR sesungguhnya sudah jelas dalam UUD 1945 beserta penjelasan umumnya. Menurut teori ilmu hukum tata negara Indonesia, Dengan keluarnya Dekrit Presiden ini, maka kedudukan MPR kembali seperti semula, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 oleh para pendiri bangsa.

85

Pasal 2 UUD 1945. 86

49

MPR merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai supremasi, yang mengandung dua prinsip:87

Dalam Pasal 37 UUD 1945 antara lain ditentukan, bahwa MPR memiliki kewenangan untuk mengubah UUD. Akan tetapi di samping mengubah UUD ternyata lembaga tertinggi negara tersebut juga mempunyai kekuasaan untuk menetapkan UUD

“a. Sebagai badan yang berdaulat yang memegang kekuasaan berdasarkan hukum untuk menetapkan segala sesuatu yang telah ditegaskan oleh UUD 1945, disebut “legal power”.

b. No. rival authority, artinya tidak ada suatu otoritas tandingan baik perseorangan maupun badan yang mempunyai kekuasaan untuk melanggar atau mengeyampingkan sesuatu yang telah diputuskan oleh MPR.”

88

Berdasarkan kedua Pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa disatu sisi MPR adalah Konstituante yang membuat UUD. Kekuasaan MPR yang menjelma dalam tugas serta wewenang tersebut bersumber pada Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Lebih lanjut, berdasarkan penjelasan UUD 1945 bahwa kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR.

, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945 sebagai berikut: “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan negara.”

89

Apabila kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dikaitkan dengan macam-macam aspek seperti yang dikemukakan oleh C.F Strong dalam bukunya

87

Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 16.

88

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945, PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 185

89

Sri Soemantri, Kedududukan Lembaga-lembaga Negara dan Hak Menguji Menurut UUD 1945, Sinar Grafika Cetakan pertama, Jakarta. 1987, hlm 45.

50

Sri Soemantri dapat ditarik kesimpulan bahwa pertama-tama kedaulatan tersebut menyangkut kedaulatan ke dalam, dari rumusan di atas, juga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan MPR terhadap individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat negara tersebut terbatas dalam batas yurisdiksinya, artinya adalah MPR berkuasa menetapkan bermacam-macam putusan yang ditujukan kepada siapa pun yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan RI.90 MPR adalah lembaga negara yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan yang tertinggi. Kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak ditetapkan secara limitatif melainkan enunsiatif yang bersumber pada Pasal 1 ayat (2) itu sendiri. Dengan demikian Majelis mempunyai kedudukan yang tertinggi diantara lembaga-lembaga negara lainnya. MPR inilah yang mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah “mandataris” dari Majelis, ia wajib menjalankan putuan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.91

Akan tetapi dalam praktik ketatanegaraan, telah terjadi penyimpangan yang dilakukan terhadap ketentuan UUD 1945, yang menyebabkan MPR tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk merealisasikan hal tersebut dan sebagai tahap awal bagi pelaksanaan demokrasi terpimpin telah dirumuskan

90

Sri Soemantri, Kedudukan Lembaga-Lembaga . . . Op. Cit., hlm 186 .

91

51

langkah-langkah yang harus diambil sebagaimana dikemukaan oleh Hasan Zaini sebagaimana dikutip olehEddy Purnama92

1. Dibidang kepartaian harus diadakan “penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kepartaian.”

, antara lain:

2. Untuk kelancaran roda pemerintahan dan stabilitas politik “golongan-golongan fungsional, yaitu kekuatan-kekuatan potensi nasional dalam masayarakat, yang tumbuh bergerak secara dinamis” harus disalurkan secara efektif dalam perwakilan.

3. Harus diciptakan suatu sistem “yang lebih menjamin kontinuitas dari pemerintah, yang sanggup bekerja melaksanakan program. Namun jika ditilik lebih jauh, maka dengan cara-cara di atas telah berhasil membentuk sebuah konstruksi politik yang menempatkan kekuasaan eksekutif pada posisi yang sangat kuat, yang memiliki kewenangan yang besar tanpa khawatir akan kekuatan politik yang akan menghalang-halanginya. Hal ini dapat dilihat dalam melaksanakan “penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kehidupan kepartaian” telah dikeluarkan segala bentuk ketentuan Presiden. Pengaturan tersebut menyangkut syarat-syarat dalam penyederhanaan kepartaian, pengakuan, pengawasan serta pembubaran partai-partai telah menempatkan kekuasaan Presiden sebagai faktor penentu nasib sebuah partai.93

Kekuasaan eksekutif yang berada pada posisi yang sangat kuat, dapat terlihat dari pendapat Budiman Sagala yang mengatakan:94

”Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, ternyata baik pada MPRS masa orde lama maupun orde baru, semua anggotanya diangkat oleh Presiden. Sejak berdirinya MPRS, 610 orang anggota diangkat dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPRS. Dari penjelasan Pasal 1 Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 menyatakan bahwa MPRS hanya berwenang

92

Eddy Purnama, Op. Cit., hlm 174-175 .

93Ibid., hlm. 174-175

94

Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Ghali Indonesia, Jakarta, 1981, hlm 77.

52

menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara haluan negara. Ini berarti, bahwa Presiden telah mencampuri bahkan membatasi wewenang MPRS. Ismail Sunny dalam buku Riri Nazriyah menyebutkan, sebagai “wewenang yang terbatas”, urusan-urusan internal Majelis banyak ditentukan oleh Presiden. Semua pimpinan MPRS dalam praktik adalah diangkat oleh Presiden Sendiri, sebagaimana diatur dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 yang kemudian dilaksanakan dengan surat Keputusan Presiden No. 292 Tahun 1969 tertanggal 9 November 1960. Dari praktik-praktik di atas maka semasa MPRS Orde Lama, Majelis bukan lagi sebagai lembaga negara yang tertinggi, MPRS mempunyai kedudukan di bawah Presiden. Para pemimpin MPRS yang diangkat adalah juga sebagai menteri yang memegang departemen-departemen, ini berarti kekuasaannya jelas berada di bawah Presiden berdasarkan Pasal 17 UUD 1945. Dengan demikian, pada masa MPRS tahun 1960-1965 bukanlah lembaga tinggi negara, tetapi suatu Majelis yang kedudukannya di bawah Presiden.”

Kedudukan MPRS yang demikian disebabkan karena golongan-golongan fungsional yang akan duduk dilembaga perwakilan, Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang MPRS memberikan hak yang besar sekali kepada Presiden dalam menentukan jumlah dan menentukan golongan dan orang-orang yang akan mewakili golongan, baik di DPR maupun di MPR. Presiden dalam al ini dianggap tidak mengikuti Penjelasan UUD 1945 tetapi telah diperluas. Dari sudut pandang hukum tata negara hal ini merupakan penyimpangan konstitusional, karena telah memosisikan kedua ketentuan, yaitu UUD 1945 dan Peraturan Presiden No. 12 Tahun 1959 pada posisi yang sejajar.95

Menyadari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 oleh lembaga-lembaga kenegaraan di atas, maka MPRS masa orde baru telah memulai menempatkan Majelis sebagai suatu lembaga negara yang tertinggi, dengan kewenangan-kewenangan yang dapat dilaksanakan pada saat itu. Majelis telah

95

53

mengangkat Pejabat Presiden seperti yang ditetapkan dengan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, mengangkat Presiden berdasarkan TAP MPRS No. XLIV/MPRS/1968, mencabut kekuasaan pemerintahan/memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden (TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967) tentu setalah Majelis meminta dan menilai lebih dahulu pertanggungjawaban Presiden. Bertitik tolak dari kewenangan-kewenangan di atas, berarti sudah dapat dikatakan bahwa Presiden pada masa Soekarno maupun pada masa Soeharto telah merupakan suatu lembaga tinggi negara yang berada di bawah MPRS. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara di bawah Majelis, namun belum murni. Hal ini disebabkan karena MPR pada waktu itu ialah hasil pengangkatan/penunjukan Presiden. Di samping itu DPRGR Orde Baru pernah infunctie, yang tidak berfungsi karena beku, selama waktu hampir setahun. DPRGR berhenti pada saat DPR hasil Pemilahan Umum dilantik pada tanggal 28 Oktober 1971. Dengan demikian otomatis berhentilah 414 orang dari 828 anggota MPRS pun tidak mungkin bisa melaksanakan tugas dan wewenangnya sebab 414 orang anggota MPR tersebut berasal dari pengangkatan/penunjukan Presiden yang telah digantikan oleh DPR hasil Pemilihan Umum. Dilihat dari materi ketatanegaraan maka MPRS sebagai lembaga tertinggi negara telah bubar, akibatnya vakum hingga tanggal 28 Oktober 1972, saat dilantiknya anggota MPR RI hasil pemilihan umum. Memang secara formal, MPRS belum bubar berdasarkan TAP MPR No. XLII/1968, tetapi dalam arti materil Majelis itu tidak berfungsi lagi. Walaupun MPRS itu bersifat sementara, akan tetapi pada hakikatnya ia adalah sama dengan MPR yang

54

dimaksudkan UUD 1945 serta menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945. Hal ini jelas ditentukan dalam pasal 1 UU No. 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPR Gotong Royong,96

“ Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang diatur berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959, Undang-undang ini tetap diberi nama Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara selanjutnya disingkat MPRS, menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 sampai MPR hasil pemilihan umum mulai menjalankan tugas dan wewenangnya.”

yang berbunyi:

97

Dalam Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPR Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum, berbunyi: “Sebelum MPR dan DPR Hasil Pemilihan Umum yang sekarang ada menurut Undang-undang ini berkedudukan dan berfungsi sebagai MPR dan DPR yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.”98

Dari dua kali pemilihan umum yang diselenggarakan di bawah UUD 1945, boleh dikatakan bahwa MPR RI (Periode 1972-1977 dan periode 1977-1982) diproses dan dibentuk oleh pemilihan umum. Memang secara yuridis, MPR RI adalah melalui proses pemilihan umum, namun tidak dapat disangkal bahwa anggota Majelis mayoritas merupakan pengangkatan dan penunjukan Presiden. Sejak berdirinya RI, telah ada pengakuan bahwa MPR adalah lembaga tertinggi negara, bahkan oleh Majelis sendiri menyebutkan dirinya sendiri sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Akan tetapi kenyataannya, dalam praktik

96

Budiman B. Sagala, Op.Cit., hlm. 77.-78.

97

Pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPR Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Tahun 1966 No. 38, Tambahan Lembaran Negara No. 2813.

98

Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPR Gotong Royong Menjelang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Tahun 1966 No. 38, Tambahan Lembaran Negara No. 2813.

55

ketatanegaraan, MPR adalah lembaga yang lemah dibandingkan eksekutif yang berada pada posisi yang lebih kuat. Belum pernah anggota mejelis sebagai lembaga tertinggi negara meminta dan menilai pertanggungjawaban dari presiden yang diangkat, pada hal MPR berwenang untuk itu. MPR adalah wakil rakyat, wakil aspirasi masyarakat yang sewaktu-waktu dapat direcall oleh rakyat melalui organisasi sosial politik, majelis harus memberikan laporan pertanggungjawabannya pada seluruh rakyat yang memilihnya pada saat sidang umum pada saat masa keanggotaannya telah berakhir.99

Hak-Hak Badan Permusyawaratan Perwakilan Rakyat Untuk dapat melaksanakan fungsinya, M.P.R. mempunyai hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945.”

Sehubungan dengan kedudukan MPR hasil pemilu telah diatur dalam BAB V Kedudukan MPR Pasal 31 UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD yang berbunyi:

“Pasal 31

100

MPR merupakan lembaga tertinggi negara, artinya bahwa MPR merupakan super body yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas, hal ini dikemukan dalam Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 yang menyebutkan: “oleh karena MPR memegang kedaulatan negara maka kekuasaannya tidak terbatas”. Sejalan dengan hal itu, TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara telah menentukan dan menempatkan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi

99

Budiman B. Sagala, Op.Cit., hlm. 78-79.

100

Pasal 31 UU No 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Lembaran Negara Tahun 1969 No. 59, Tambahan Lembaran Negara No. 1969.

56

negara.101 Dalam hubungan ini Sri Soemantri mengatakan bahwa; pemakaian istilah sebagai “Lembaga Tertinggi Negara”, dan “Lembaga Tinggi Negara” dan “ Lembaga Negara” adalah satu istilah yang mempunyai satu maksud dan pengertian. Istilah itu adalah padanan kata poltical institution. Dengan demikian seharusnya digunakan istilah “Lembaga Negara Tertinggi dan Lembaga Negara Tinggi.102