• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Bawah UU Oleh MA

KEWENANGAN PENGUJIAN TAP MPR

A. Lembaga Negara yang Berwenang Melakukan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 Perundang-Undangan Berdasarkan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945

1. Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Bawah UU Oleh MA

Forum akademis Seminar Hukum Nasional yang diselenggarakan pada tanggal 23-30 Desember 1968 di Semarang membahas empat masalah penting yaitu (1) Mekanisme Demokrasi Pancasila, (2) Menegakkan Kekuasaan Kehakiman yang bebas, (3) Hukum Acara Pidana dan Ham, (4) Hukum Dagang. Dalam seminar tersebut judicial review menjadi agenda penting dan perlu ditindaklanjuti.160

159

Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, P.T. Alumni, Bandung, 1992, hlm 148.

160

Himawan Estu, Negara Hukum . . . Op.Cit., hlm. 102.

Sri Soemantri berpendapat tentang ruang lingkup hak menguji UU tersebut, yaitu:

93

a. Hak menguji meliputi hukum dan perundang-undangan (TAP MPR dan perundang-undangan di bawahnya);

b. Pengujian terbatas pada UU dan peraturan di bawahnya dan; c. Terbatas pada perundang-undangan di bawah UU.161

Usulan kewenangan pengujian oleh MA hanya terbatas di bawah UU diajukan oleh Ismail Sunny dalam makalah “Mekanisme Demokrasi Pancasila.” Argumentasi Ismail Sunny didasarkan atas pertimbangan bahwa Indonesia menganut supremasi parlemen, maka TAP MPR dan UU sebagai produk legislatif tertinggi tidak bisa diuji oleh MA. Menanggapi hal ini, Deliar Noer berpendapat bahwa apabila supremasi parlemen dianalogikan oleh Ismail Sunny dengan supremasi MPR, tidak dengan DPR, maka pengujian terhadap UU dapat dinilai oleh pihak lain secara hukum.162

161Ibid.

162Ibid, hlm. 103.

Dalam seminar ini Oemar Seno Adji selaku menteri kehakiman pada waktu itu berpendapat bahwa, terkait dengan persoalan fungsi dan posisi MA dalam hubungannya dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif yang cenderung menolak MA menguji UU. Para pembahas seperti Soepomo, Ismail Sunny, Jendral Sudirman cenderung menganggap sistem UUD 1945 adalah sistem tengah sebagaimana di Inggris sehingga kewenangan menguji UU adalah terbatas terhadap di bawah UU.

Realisasi dari seminar tersebut adalah diundangkannya UU No. 14 Tahun 1970 dengan memberikan kewenangan kepada MA menguji materil hanya terbatas di bawah UU. Bunyi lengkap dari Pasal ini adalah:

94

(1) MA berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkatan yang lebih rendah dari UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundan-undangan dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi;

(3) Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut tersebut dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

Sehubungan dengan hal di atas Moh. Koesnoe Sebagaimana dikutip oleh Himawan Estu, pembentuk UU tidak berwenang memeberikan wewenang kepada MA, karena wewenang MA menguji UU telah diberikan dan diatur dalam penjelasan Pasal 24 dan 25.163

(a) MA mempunyai wewenang menguji secara materil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Perdebatan mengenai pasal ini semakin memanas setelah keluarnya dua produk hukum yang mengatur tentang MA, yaitu TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi dan Kedudukan Lembaga Tinggi Negara dan terbentuknya UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA. Dalam Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985, diatur mengenai kewenangan MA, yang berbunyi:

(b) MA berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(c) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan tingkat kasasi.

Uraian pendapat di atas menunjukkan adanya perbedaan terhadap kewenangan MA dalam menjalankan kekuasaan kehakimannya. Akan tetapi yang perlu diperhatikan, bahwa pendapat yang telah diuraikan mengindikasi adanya

163

95

kesepahaman, bahwa MA memiliki peran penting untuk menciptakan negara hukum di Indonesia.

The founding father (para pendiri) Negara Kesatuan RI bersepakat untuk membentuk sebuah “Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia.” Oleh sebab itu kini Indonesia termasuk ke dalam kategori konsep Negara Kesejahteraan (Welfare State) atau negara Hukum Modern.164

(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Untuk menetapkan hal tersebut, the founding father telah menetapkan UUD yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUD 1945 yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar dan faedah-faedah fundamental untuk menjadi pedoman dalam menata kehidupan bernegara. Dalam UUD NRI Tahun 1945, telah diatur dalam Pasal 24:

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.

Mengenai kewenangan MA ialah mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-Undangan di bawah UU terhadap UU, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU.

Cita hukum ialah suatu gagasan, rasa, karsa, cipta, dan pemikiran yang hendak diwujudkan mengenai hukum sebagai aturan tingkah laku masyarakat. Para pejuang dan pendiri negara telah menetapkan Pancasila sebagai “Cita Hukum” yang harus menjiwai prilaku segenap subyek hukum masyarakat

164

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 333.

96

Indonesia, dengan demikian terwujud negara Indonesia sebagai “Negara Hukum” sebagaimana yang ditegaskan dalam UUD 1945.165

Esensi utama dari Negara Hukum ialah adanya kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UUD. Cita hukum tentang kekuasaan kehakiman dimuat dalam pembukaan, batang tubuh UUD 1945 sebelum perubahan, dan penjelasannya, yaitu pada pasal 24 dan 25. Secara singkat digambarkan bahwa cita hukum tentang kekuasaan kehakiman yaitu bahwa, “Kekuasaan Kehakiman ialah Kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan.” Dalam cita hukum tentang kekuasaan kehakiman tersebut ternyata mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu: “1. Esensi kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara; 2. Ruang lingkup kekuasaan kehakiman; 3. Sifatnya yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”166

Berbicara mengenai rechtsidee kekuasaan kehakiman tidak dapat lepas dari cita negara hukum yang demokratis dan konsitusional yang dicita-cita oleh the founding father. Moh. Koesnoe sebagaimana dikutip oleh Purwoto S. Gandasbrata, berpendapat bahwa setelah mengadakan metode penafsiran yuridis dogmatis dan yurudis historis tentang Hukum Dasar Negara yang terdapat dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, ternyata ditemukan ajaran tentang kedaulatan (integralistik) negara, aliran dichotomi kekuasaan, dan ajaran Duo Pilitica yang tersirat dalam Hukum Dasar Negara kita.167

165

M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1997, hlm 88.

166

A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal MA. Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2001. Hlm. 145.

167

Purwoto S. Gandasubrata, Renungan Hukum, Ikahi MA, Jakarta, 1998, hlm 42.

Selanjutnya Moh Kosnoe mengemukakan pandangannya bahwa kekuasaan kehakiman bukan

97

bertugas mempertahankan UU tetapi tugasnya “mempertahankan dan mewujudkan hukum dasar sebagai rechtsidee kita.”168

1. Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU, dan memiliki kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU.

Setelah perubahan ke tiga UUD 1945, terjadi perubahan terhadap struktur Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 tentang kekuasaan kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman terdiri dari 3 lembaga negara yang memiliki kewenangan yang berbeda-beda, diantaranya:

169

2. Pasal 24 B ayat (1) UUD NRI 1945, bahwa “KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenaang lain dalam rangka menjaga keluhuran martabat, serta prilaku hakim.”170

3. Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusanya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran Partai Politik, dan Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.171