• Tidak ada hasil yang ditemukan

STATUS HUKUM TAP MPR DALAM HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan RI

Dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, tidak disinggung hal-hal mengenai garis-garis besar tentang kebijakan hukum nasional, akan tetapi TAP ini menentukan antara lain mengenai Sumber Tertib Hukum RI, yaitu Pancasila yang dirumuskan sebagai sumber dari segala sumber hukum, dan menegenai tata urutan peraturan perundang-undangan RI.

Dalam TAP MPRS ini, diuraikan lebih lanjut dalam lampiran I bahwa perwujudan sumber dari segala sumber hukum RI adalah:

1. Proklamasi; 2. Dekrit Presiden; 3. UUD Proklamasi;

4. Surat Perintah 11 Maret 1966.

Sedangkan dalam lampiran II tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan RI menurut UUD 1945, dalam huruf A. Bentuk-bentuk Peraturan Perundang-Undangan:

1. Bentuk Peraturan Perundangan RI menurut UUD 1945 sebagai berikut. a. UUD 1945.

77 c. UU/Perppu.

d. Peraturan pemerintah. e. Keputusan Presiden.

f. Peraturan-peraturan Pelaksana lainnya seperti: 1) Peraturan Menteri

2) Instruksi Menteri dan lain-lainya.

2. Sesuai dengan sistem konstitusi seperti yang dijelaskan dalam Penjelasan autentik UUD 1945, UUD RI adalah bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan-peraturan bawahan dalam negara.

3. Sesuai pula dengan prinsip Negara Hukum, maka setiap peraturan perundangan harus bersumber dan berdasar dengan tegas pada peraturan peraturan yang berlaku, yang lebih tinggi tingkatnya.140

Dengan demikian uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 juga mengakui adanya suatu sistem norma hukum yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, dimana suatu norma itu berlaku dan bersumber dari norma yang ada di atasnya dan diakui pula adanya norma tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi norma-norma di bawahnya seperti dalam teori Hans Kelsen.141

140

Indonesia, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, Lampiran II.

141

Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hlm. 47-48.

TAP MPR lahir ketika pada sidang pertama dan membuat keputusan-keputusan pada Tahun 1960. Praktik ini telah berjalan cukup lama sehingga dipandang sebagai salah satu peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam Peraturan Tata Tertib MPR disebutkan bahwa TAP

78

MPR terdiri dari dua jenis, yakni mengikat ke dalam dan mengikat ke luar MPR. Maka TAP MPR yang termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan ialah TAP MPR yang mengikat ke luar.

Menurut memorandum DPR-GR yang diambil-alih oleh MPR lewat TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 sumber hukum yaitu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita kemerdekaan individu, kemerdekaan bangsa, perikemanusian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, perdamaian nasional dan mondial, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, cita-cita moral mengenai kehidupan masyarakat dan keagamaan sebagai pengejawantahaan budi nurani manusia. Dan sumber dari segala sumber hukum bagi RI diwujudkan oleh Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden 5 juli 1959, UUD 1945, dan SP 11 Maret 1966.142

Menurut Usep Ranawijaya sebagaimana dikutip oleh A.S.S. Tambunan sumber hukum dibagi menjadi dua, yang Pertama dinamakan welborn (dilihat dari mana asal-usulnya) yaitu ilmu politik atau ilmu sosiologi hukum; dan yang kedua dinamakan kenborn (bentuk perwujudannya) yaitu hukum yang tertulis dan hukum adat.143 Joeniarto menambahkan satu sumber hukum , yakni adanya hal-hal yang seharusnya menjadi isi hukum positif.144

142

A.S.S. Tambunan. Op. Cit., hlm 333.

143

Usep Ranawijaya. Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia. Jakarta. 1983, hlm 21-22.

144

Joeniarto. Selayang Pandang tentang Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia, Liberty Edisi Kedua Cet. Pertama , Yogyakarta, 1987, hlm 487.

Achamad Sanusi dalam bukunya Achmad Sanusi, menyebutkan satu jenis sumber lainnya lagi yang

79

dinamakan sumber hukum yang abnormal seperti proklamasi dan revolusi kemerdekaan, Coup d’etat, takluknya suatu negara kepada negara lain.145

Dalam perkembangan selanjutnya TAP MPR menuai kritik dari para sarjana. Padmo Wahjono, mengemukakan bahwa rumusan itu secara teoritis-ilmiah memerlukan perbaikan. Abdul Hamid, berpendapat bahwa UUD dan TAP MPR tidak masuk sebagai bagian peraturan perundang-undangan.146

B. TAP MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Dengan menyandarkan pendapatnya terhadap pendapat Hans Kelsen , Carl Schmitt, Hans Nawiasky, Dia mengatakan Pancasila berikut bagian lain dari pembukaan merupakan norma dasar (grundnorm), batang tubuh UUD 1945 bersama-sama TAP MPR adalah peraturan dasar (grundgesetz). Norma hukum dalam UUD 1945 dan TAP MPR tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan UU formal biasa karena selain lembaga pembentuknya tidak sama dan kedudukannya juga tidak sama. Herman Sihombing, berpendapat TAP MPR lebih rendah derajatnya daripada UUD, kerena TAP MPR (yang mengandung norma hukum)bersifat melengkapi UUD.

Menurut Sri Soemantri, dalam setiap negara selalu ditemukan adanya bermacam-macam peraturan perundang-undangan yang mempunyai bentuk yang berbeda dan derajat peraturan yang tidak sama. Hal ini menimbulkan adanya hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan dalam setiap negara. Sama

145

Achmad Sanusi. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Penerbit Tarsito, Bandung, 1977, hlm. 34.

146

Padmo Wahjono. UUD-TAP MPR-UU Masalah Hukum Tata Negara Saat Ini. Ghalia. Jakarta. 1982. hlm. 127.

80

halnya dalam NRI, UUD atau konstitusi merupakan fundamental law dan merupakan landasan hukum peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah.

Dalam sejarah ketatanegaraan, TAP MPR/S dipergunakan sebagai sumber hukum. Sebelum perubahan UUD, TAP MPR menempati urutan kedua sumber hukum tertulis hukum tata negara (TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, dan TAP MPR No. III/MPR/2000). Tetapi tidak seluruh TAP MPR/S dapat dijadikan sebagai sumber hukum, namun terbatas pada TAP MPR/S yang dikelompokkan dalam peraturan perundang-undangan, yaitu TAP MPR/S bersifat mengatur (regeling) yang memiliki norma abstrak-umum atau konkrit-umum.147

Dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) TAP MPR No. III/MPR/2000, menyatakan, (1) “sesuai dengan tata urutan perundang-undangan ini maka setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentanagan dengan aturan hukum yg lebih tinggi.” (2) “Peraturan atau Keputusan Mahkamah Agung , Badan Pemeriksa Keuangan, Menteri, Bank Indonesia, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Dalam TAP MPR No. III/MPR/2000 Pasal 2 dikatakan bahwa :

“Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perundang undangan RI adalah :

1. UUD 1945; 2. TAP MPR RI; 3. UU; 4. Perppu; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah” 147

81

ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.” Pasal 5 Ketetapan No. III/MPR/2000 mengatur bahwa

“(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang Menguji peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. (2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang.

Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) TAP MPR No. III/MPR/2000, produk hukum MPR yaitu TAP MPR tetap dimasukkan ke dalam tata urutan perundang-undangan. Tetapi menurut Jimly Asshiddiqie148

Sebagai bentuk hukum perundangan-undangan,

tata perundang-undangan di atas kurang sempurna dan memiliki beberapa kelemahan yaitu:

“1. Karena naskah perubahan UUD sekarang dibuat terpisah, maka seharusnya penyebutan UUD 1945 tersebut di atas dilengkapi dengan’... dan Perubahan UUD’.

2. Penyebutan Perppu pada urutan keempat di bawah UU dapat menimbulkan penafsiran seakan-akan kedudukan Perppu itu berada di bawah UU. Padahal kedudukan keduanya adalah sederajat. Karena itu, seharusnya, seperti dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1966, keduanya ditempat pada urutan ketiga, yaitu ‘UU dan Perppu’.

3. Penggunaan nomenklatur Keputusan Presiden yang selama ini dipakai mengandung kelemahan karena tidak membedakan secara tegas antara keputusan yang mengatur (regeling) dengan keputusan yang bersifat administratif belaka (beschikking).

4. Bentuk Peraturan Menteri tidak disebut dalam tata urutan tersebut. Padahal, Peraturan Menteri itu sangat penting untuk ditempatkan dalam tata urutan di atas Perda, di samping produk peraturan tingkat menteri itu dalam praktik banyak sekali ditetapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari dan memerlukan penertiban sebagaimana mestinya.

149

148

Jimly Asshidiqie, “Tata Urutan Perundang-undangan dan Problematika dan Problem Peraturan Daerah”, disampaikan dalam rangka lokakarya anggota DPRD se-Indonesia, diselenggarakan di Jakarta, Jumat 22 Oktober 2000.

149

Sri Soemantri, UUD dan . . . Op.Cit., hlm 12.

TAP MPR menempati urutan kedua setelah UUD 1945 dalam hirarki tata urutan peraturan

82 perundang-undangan.150

C. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Penempatan tersebut tidak lain hanya dimaksudkan untuk mengurutkan tingkatan norma hukum perundang-undangan, dimana norma yang di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma di atasnya sesuai dengan stufentheory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen.

Dalam UU ini TAP MPR tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini didasarkan adanya pendapat bahwa berdasakan perubahan UUD 1945, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara berubah menjadi lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lainnya. Kewenangan MPR berdasarkan UUD 1945 menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara. Lahirnya TAP MPR yang bersifat mengatur ini, tentunya karena adanya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, maka ketika kewenangan tersebut dihapukan maka secara otomatis pula kewenanganya untuk mengeluarkan TAP MPR yang bersifat mengatur turut gugur. Hal ini terlihat dari adanya Aturan Tambahan Pasal 1 UUD NRI Tahun 1945: “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003.”

Dengan adanya ketetapan ini maka MPR melaksanakan rapat untuk melaksanakan peninjauan terhadap TAP MPR/S sesuai dengan amanat UUD NRI

150

83

Tahun 1945. Rapat tersebut telah mengahasilkan ketetapan baru yakni TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S dari Tahun 1960-2002, atau yang sering disebut sebagai peninjauan sapu jagat, karena MPR melakukan pengujian terhadap semua ketetapan yang pernah dikeluarkan oleh MPR dari tahun 1960-2002. Dari pertimbangan di atas maka para pembentuk UU No. 10 Tahun 2004 sepakat untuk tidak mamasukkan TAP MPR ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan karena alasan MPR tidak berwenang mengeluarkan Tap yang bersifat mengatur dan telah dilakukan pengujian terhadap TAP MPR/S.

D. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Perubahan kedudukan MPR dalam UUD NRI Tahun 1945, yang mana semula MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang kepadanya diberikan kedaulatan rakyat, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, namun menjadi lembaga negara yang kedudukannya setara dengan lembaga negara lainnya. Kedudukan tersebut menghantar perubahan terhadap tugas dan kewenangan MPR. MPR tidak lagi memiliki tugas dan kewenangan pokok dan rutin kecuali dalam hal perubahan UUD. Hal ini dipandang bahwa MPR tidak berhak lagi mengeluarkan ketetapan yang bersifat Regeling. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 1 Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945, MPR ditugasi untuk

84

melakukan peninjauan terhadap Materi dan Status hukum TAP MPR/S sejak Tahun 1960 sampai dengan 2002 untuk diambil putusan pada sidang MPR Tahun 2003, sehingga keluarlah TAP MPR No. III/MPR/2003 yang mengklasifikasikan TAP MPR ke dalam enam klasifikasi.

Dalam risalah sidang perubahan UUD 1945 keinginan yang melatarbelakangi keinginan meninjau TAP MPR tidak lain sebagi respon atas dihapusnya kewenangan MPR untuk mengeluarkan Garis-garis besar dari pada haluan negara, maka secara otomatis MPR tidak dapat mengelurkan TAP MPR yang bersifat mengatur dan mengikat umum. Oleh karena itu, diperlukan suatu cara untuk mengkomodasi nasib TAP MPR yang sudah ada. Dalam sidang tersebut, Soetjipto151

151

MK RI, Naskah Komperhensif Perubahan UUD RI Tahun 1945 Latar Belakang, Proses dan hasil Pembahasan: Buku X Perubahan UUD, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan (Edisi Revisi), Sekretariat Jendral dan kepaniteraan MK, Jakarta, 2010, hlm. 394-395.

dari Fraksi Utusan Golongan MPR RI berpendapat:

“Saya kira yang perlu lagi diperkirakan adalah kalau memang kita sepakat bahwa MPR sudah tidak boleh memuat TAP (maksudnya TAP MPR) lagi, TAP yang diatur di dalam Konstitusi kita atau pengaturannya tidak bisa dibatalkan, apakah hal ini bertentangan atau tidak bertentangan? Karena MPR sudah tidak boleh membuat Tap lagi. Saya kira disini perlu apakah itu dimasukkan dalam satu Aturan Peralihan dan Tambahan? Apakah MPR yang ada sekarang sampai 2004 nanti masih diberi kesempatan untuk meninjau TAP-TAP itu yang memang bertentangan dengan UUD. Memang dalam sistem hukum kita, saya kira kita semuanya mengetahui bahwa kalau hirarkinya, tidak cocok UU mencabut TAP menurut pendapat kami, begitu. Oleh karena itu, harus MPR yang mempunyai kewenangan mencabut TAP. Oleh karenanya perlu ada aturan keberadaan MPR yang memang di dalam konstitusi kita tidak memungkinkan memuat TAP itu diberi kesempatan. Jadi sampai hasil pemilu 2004 itu masih bisa melakukan tugasnya untuk meneliti dan memeriksa dan dalam suatu sidang untuk mencabut Tap ini. Saya kira perlu kita pikirkan bersama jangan sampai nanti menjadi permasalahan baru setelah MPR tidak bisa membuat TAP MPR.

85

MPR berpendapat, bahwa yang berhak menentukan nasib TAP MPR adalah MPR sendiri melalui peninjauan TAP MPR/S terdahulu, apakah dihapus, diubah dalam bentuk Undang-Undang maupun dipertahankan dengan ketetentuan masing-masing, pemikiran ini muncul karena menurut MPR yang membentuk TAP MPR adalah MPR, maka hanya MPR lah yang berhak menentukan nasib ketetapannya. Mendukung Pendapat Soetjipto, kemudian Andi Matalata152

152Ibid, hlm. 400.

dari Fraksi Partai Golkar MPR RI berpendapat:

“Kita menugaskan kepada MPR untuk meninjau kembali seluruh TAP-TAP MPR yang ada. Untuk diambil keputusan dalam bentuk TAP-TAP MPR yang dianggap tidak relevan lagi dicabut. Tapi yang diangap masih relevan untuk perkembangan kemajuan maka MPR menugaskan kepada Presiden dan DPR untuk menuangkannya dalam Undang-Undang.” Begitulah akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, dipimpin oleh Ketua MPR, M. Amien Rais, kemudian diacarakan pengesahan rancangan perubahan keempat UUD 1945, temasuk di dalamnya materi Aturan Tambahan tentang peninjauan TAP MPR/S. Akhirnya, para anggota MPR menyepakati materi muatan Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 secara aklamasi, dengan rumusan sebagai berikut.

Aturan Tambahan Pasal 1: “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003.”

86

Setelah lahirnya Aturan Tambahan ini, maka MPR segera melakukan peninjauan terhadap TAP MPR, melalui TAP MPR No. I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Hukum dan Status Hukum TAP MPR/S RI Tahun 1960-2002. Dalam Ketetapan ini, maka TAP MPR digolongkan ke dalam enam kelompok, yakni:

1. Pasal 1 TAP MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Pasal ini menentukan bahwa TAP MPR/S yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berjumlah 8 (delapan) TAP MPRS.

2. Pasal 2 TAP MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Pasal ini menentukan bahwa TAP MPR/S dinyatakan berlaku dengan ketentuan masing-masing berjumlah 3 (tiga) TAP.

3. Pasal 3 TAP MPR RI No I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Pasal ini menetukan bahwa TAP MPR/S yang tetap berlaku berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil Pemiliu 2004 sebanyak 8 (delapan) TAP MPR/S (sekarang tidak berlaku lagi karena pemerintahan hasil Pemilu telah terbentu).

4. Pasal 4 TAP MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Pasal ini menentukan bahwa TAP MPR/S tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU sebanyak 11 (sebelas) TAP MPR/S.

5. Pasal 5 TAP MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Pasal ini menentukan bahwa TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan tetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh MPR hasil Pemilu, ada 5 (lima) TAP MPR (sudah tidak berlaku lagi).

6. Pasal 6 TAP MPR RI No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR/S Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Pasal ini menentukan bahwa TAP MPR/S yang dinyatakan tidak perlu lagi dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak 104 (seratus empat) TAP MPR/S.

Berdasarkan pemaparan di atas, harus diakui bahwa masih ada TAP MPR yang masih mengikat dan berlaku hingga saat ini, namun dalam jenis

87

peraturan Perundang-undangan yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR tidak lagi dicantumkan sebagai sumber hukum formil. Hal ini sempat menimbulkan perdebatan-perdebatan. Oleh karena itu, ketika DPR dan Presiden akan mengubah UU No. 10 Tahun 2004, TAP MPR dimasukkan menjadi salah satu topik yang masuk daftar inventarisasi masalah (DIM) yang berasal dari Pemerintah.

Dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi: “a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Perintah suatu Undang-Undang untuk membentuk Undang-Undang; c. Pengesahan perjanjian Internasional tertentu; d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan/atau; e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Jika dilihat isi pasal 10 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak satupun materi muatan yang harus diatur UU yang menyinggung TAP MPR. Padahal berdasarkan teori stufenbau milik Hans Kelsen bahwa norma yang lebih rendah haruslah berasal dan bersumber dari norma yang berada diatasnya.

Dalam menentukan apakah TAP MPR dimasukkan ke dalam Hirarki peraturan perundang-undangan, terjadi perdebatan yang cukup panjang dalam rapat dengan Pendapat Umum Pansus Rancangan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan para pakar. Banyak diantara pakar yang sepakat TAP MPR dimasukkan dalam hirarki peraturan perundang-undangan, tetapi

88

banyak juga diantara pakar-pakar tersebut yang tidak sepakat TAP MPR dimasukkan kedalam hirarki peraturan perundang-undangan,153

Menurut Ni’matul Huda

bahkan tidak ada juga diatur mengenai pengujian bilamana suatu TAP MPR bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

154

1. Pencantuman TAP MPR dalam jenis dan hiraki peraturan perundang-undangan tersebut tidak diikuti dengan penyesuaian-penyesuaian melalui pembentukan atau perubahan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan judicial review TAP MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan judicial review peraturan perundang-undangan di bawah TAP MPR terhadap TAP MPR.

dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan (sumber hukum formal) merupakan suatu kerancuan hukum dalam sistem peraturan perundang-undangan di negara Indonesia. Ada beberapa alasan Ni’matul Huda mengatakan demikian, diantaranya:

2. Jika pencantuman TAP MPR dalam jenis hirarki peraturan perundang-undangan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan beberapa TAP MPR yang masih berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 TAP MPR No. I/MPR/2003, maka bunyi Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 yang melimitasi TAP MPR yang masih berlaku seharusnya dimasukkan ke dalam batang tubuh supaya memiliki kekuatan hukum

153

Januari Sihotang, Dalam Tesisnya yang berjudul Kedudukan Ketetapan MPR Dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan Implikasi Yuridisnya Terhadap Sistem Perundang-undangan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2010, hlm. 102.

89

mengikat. Sebab dengan pengaturan yang berlaku saat ini, MPR berpotensi membentuk kembali TAP MPR yang bersifat regeling karena UU No. 12 Tahun 2011 sendiri memberi peluang untuk hak tersebut.

90

BAB IV