• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian UU terhadap UUD 1945 Oleh MK

KEWENANGAN PENGUJIAN TAP MPR

A. Lembaga Negara yang Berwenang Melakukan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945 Perundang-Undangan Berdasarkan Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945

2. Pengujian UU terhadap UUD 1945 Oleh MK

Sebuah tonggak sejarah baru dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia ialah dibentuknya Mahkamah Konstitusi oleh MPR ketika melakukan perubahan Ketiga UUD 1945. Dalam Aturan Peralihan Pasal III UUD 1945 ditentukan bahwa, “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Artinya, sejak disahkannya naskah baru Perubahan UUD 1945 pada tanggal 11 Agustus 2002 sampai dengan terbentuknya

168

Ibid., hlm 49.

169

Pasal 24A UUD NRI Tahun 1945.

170

Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945.

171

98

Mahkamah Konstitusi, Kewenanngan judisial untuk melakukan pengujian konstitusional itu sudah berlaku dan sementara waktu dijalankan oleh Mahkama Agung yang bertindak selaku Mahkamah Konstitusi Sementara.172

Dibanyak negara dikatakan bahwa MK adalah pelindung konstitusi. Sejak di inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam UUD NRI 1945, maka fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights)173

“.... salah satu substansi penting perubahan UUD NRI Tahun 1945 adalah keberadaan MK sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu dibidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang ditimbulkan tafsiran ganda terhadap konstitusi.”

. Penjelasan UU MK, mengatakan sebagai berikut:

174

“Dalam konteks ketatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. MK bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsistensi yang ada, MK berperan sebagai penafsiran agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”

Lebih jelas lagi Jimly Assiddiqie sebagaimana dikutip oleh Maruarar Siahaan, menguraikan sebagai berikut:

175

Keberadaan MK di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari keinginan masyarakat di negara ini agar pemerintah Indonesia diselenggarakan

172

Ni’matul Huda, Op. Cit., hlm 252. 173

Maruarar Siahaan, Op. Cit., hlm 7.

174

Ibid., hlm. 8.

99 atas prinsip-prinsip negara hukum.176

Pengakuan hak-hak individu dengan membatasi kekuasaan negara termasuk kekuasaan legislative merupakan konsekuensi logis paham konstitusionalisme sehingga adanya jaminan berkembangnya dan stabilnya proses legislasi, hal ini sejalan dengan pendapat Alec Stone Sweet sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie.

Sehubungan dengan negara hukum Jimly Asshiddiqie berpendapat:

“di dalam negara hukum terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya sistem prinsip pemisahan kekuasaan dan pembatasan kekuasaan menurut sisten konstitusional yang diatur dalam UUD, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia dalam UUD, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin setiap keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalagunaan wewnang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham negara hukum itu, hukumlah yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Yang sesungguhnya memimpin dalam penyelenggaraan negara adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip the rule of the law, and not of the man, yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum, nomos.

177

Pentingnya pengujian UU ini agar tidak terjadi kekuasaan negara mutlak, yang cenderung menciptakan penyalagunaan kekuasaan pula. Seperti Pemerintahan yang berdasarkan hukum adalah pemerintahan berdasarkan hukum dan atas nama hukum. Hukumlah yang mengatur, bukan orang, penguasa, ataupun pemimpin. Lebih tepatnya, hukum tidak mengatur tetapi berlaku sebagai norma. Dalam hal ini pengujian UU terhadap UUD merupakan instrumen yang sangat penting untuk menjaga tegaknya negara hukum.

176

Sulardi, Menuju Sistem . . . Op.Cit., hlm. 149.

177

100

yang dikemukan Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute powers corrupt absolutely”. Menyadari hal ini, maka Indonesia sebagai negara hukum dituntut untuk menciptakan ketentuan hukum bagi setiap penyelenggara negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, adanya penjamin terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan yang jelas dan adanya pengawasan dari badan-badan peradilan, keempat hal ini merupakan konsekuensi yang harus konsisten dijalankan oleh negara.178

Ada tiga pendekatan yang berkaitan dengan keberadaan pengujian UU (judicial review) terhadap UUD:179

Menurut Hans Kelsen, dalam setiap negara terdapat susunan hirarki norma hukum dan dalam sistem norma hukum yang hirarkis tersebut, norma hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi.

“Pertama, pendekatan Yuridis, sesuai dengan stufenbau der Rechtsourdnung bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferior), karena suatu perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan UUD

Kedua, pendekatan Politis, bahwa kebutuhan judicial review sangat diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu UU tidak bertentangan dengan UUD, karena pada hakikatnya suatu UU dibuat untuk melaksanakan UUD.

Ketiga, pendekatan pragmatis, bahwa kebutuhan terhadap judicial review sangat diperlukan untuk mencegah praktik penyelanggaraan negara yang tidak sesuai atau menyimpang dari UUD 1945.”

180

178

A. Mukti Arto, Op.Cit., hlm. 62. 179

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan. . . Op.Cit., Hlm. 9

180Ibid

Di Indonesia sendiri, berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menetapkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 merupakan norma tertinggi. Artinya dalam hal

101

pembentukan peraturan perundang-undangan harus bermuara kepada UUD NRI Tahun 1945, termasuk dalam hal ini UU juga harus memperhatikan UUD NRI Tahun 1945 agar UU tersebut bersifat Konstitusional. Hal ini dipertegas dalam Pasal 10 (1) huruf a UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi: “Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD NRI Tahun 1945.”

Indonesia Sendiri adalah negara ke-78 yang memiliki lembaga pengadilan konstitusional yang diberikan kewenangan menguji materil dan formil sebuah UU.181 Lembaga yang memegang kewenangan Pengadilan Konstitusional di berbagai negara itu dapat diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu:182

1. Mahkamah Agung (supreme of court) seperti model Amerika Serikat Tahun 1803;

2. Dewan Konstitutional (Counseil Constitutionel) seperti model Prancis Tahun 1958)

3. Arbitrase Konstitusional (Constitusional Arbitrage) seperti di Belgia. 4. Tribunal Constitusional, yang emrupakan kamar tersendiri d Mahkamah

Agung Seperti di Venezuella; dan

5. Mahkamah Konstutusi (Constitusional Court) model Astria Tahun 1920. Model yang terakhir inilah yang dianut oleh Indonesia di dalam UUD NRI Tahun 1945 (UUD 1945) Perubahan ketiga dengan nama “MK.”

181

Taufiqurrohman Syahhuri, Tafsiran Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 110.

102

Kewenangan MK ini diatur alam Pasal 24 C ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berwenang:183

(1) MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memuts sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembuburan partai Politik, dan memutus perselisihan tetang hasil pemilu.

(2) MK memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Kemudian dalam pasal 7 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa MK juga memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD. Wewenang MK tersebut secara khusus diatur lagi dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK:

“(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa Kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus Perselisihan partai politik;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilahan umum; dan

(2)Mahkamah Konstitusi wajib memebrikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Menurut Sri Soemantri, baik di dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal adanya dua macam hak menguji, yaitu:

1. Hak menguji Formil; dan

183

103 2. Hak menguji Materil.

Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif seperti UU misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedural) sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan.184 Sedangkan hak menguji Materil adalah suatu wewenang untuk manyelidiki dan kemudian menilai apakah isi suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, dan apakah suatu kekuasaan tertentu memikiki kewenangan mengeluarkan suatu peraturan tertentu.185

1. Pengujian secara formil

Pengujian formal secara singkat disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a, yang menyatakan permohonan wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan UU tidak memenuhi ketentuan berdasarakan UUD NRI Tahun 1945. Pengujian formal adalah pengujian UU berkenaaan dengan bentuk dan pembentukan UUD 1945 yang meliputi pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan pemberlakuan.186

2. Pengujian Materiil

Maksud dari pengujian ini ialah pengujian yang melihat dan mengevaluasi atas dasar Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21 dan Pasal 22A UUD 1945. Akan tetapi, mengenai prosedural yang lebih rinci dalam pembentukan UU diatur lebih lanjut dalam UU dan peraturan tata tertib DPR, maka dalam hal ini MK juga memperhatikan peraturan tata tertib DPR yang telah diberikan mandat.

184

Sri Soemantri, Hak Menguji Materil Di Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 1997, Hlm. 6.

185Ibid, Hlm 11.

186

MK (a), Peraturan MK No. 01/PMK/2003 tentang Pedoman Beracara Pengujian UU Terhadap UUD NRI Tahun 1945, Pasal 4.

104

Dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b mengatur tentang uji materiil dengan mana materi muatan ayat, Pasal, dan/atau bagian UU dapat diminta untuk dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. Bahkan di dalam suatu pasal dari UU dinyatkan ada yang bertentangan dengan UUD 1945, tetapi dengan membuang kata yang merupakan bagian kalimat dalam Pasal tersebut makna pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan dipandang dengan demikian tidak bertentangan lagi dengan UUD. Uraian secara teksutual dari suatu pasal yang terdapat di dalam UU bisa jadi kabur, tidak jelas, bahkan tidak dapat dipahami, sehingga untuk memperjelas dibutuhkan tafsiran (interpretasi) yang dilihat tidak berdiri sendiri.

Yang harus dipahami bahwa, rancangan UU yang telah disetujui oleh DPR dan Presiden untuk menjadi UU, tidak lagi bersifat final tetapi dapat di Uji Materil (judicial review) dan uji Formil (prosedural) oleh MK atas permintaan tertentu. Kewenangan MK dalam hal menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945 bersifat final dan mengikat.