• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian TAP MPR dalam Sistem Ketatanegaraan RI

KEWENANGAN PENGUJIAN TAP MPR

B. Pengujian TAP MPR dalam Sistem Ketatanegaraan RI

Mengenai kewenangan pengujian sebuah peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari adanya konsep Negara Hukum atau rechtstaat maupun rule of law. Philipus M. Hadjon dalam disertasinya yang dikutip oleh Himawan Estu, menjelaskan bahwa rechtstaat tumbuh dalam hukum Eropa Continental yang bertumpuh pada sistem hukum tertulis, rechtstaat mengalami dua tahapan perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman.187

187

Himawan Estu, Hukum . . . Op.Cit., hlm 58.

105

tahapan perkembangan tersebut tidak lain adalah terlindunginya hak-hak rakyat sacara demokratis. Pembatasan oleh negara pun tetap diizinkan sepanjang hal tersebut bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia.

Teen Berge mengemukakan adanya lima unsur dari asas-asas negara hukum yang demokratis (beginselen van de democratche rechtstaat), yaitu:188

a. Legaliteitsbeginsel (asas legalitas) b. Groundrechten (hak-hak dasar/ham)

c. Rechtlijke controle (kontrol badan peradilan) d. Machtensheiding (pembagian kekuasaan) e. Domocratie (demokrasi)

Dalam konteks negara hukum, Donald P. Kommers dalam bukunya Himawan Estu mengatakan, judicial review mengidentifikasi pembatasan terhadap kuatnya kekuasaan legislatif.189

Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum perubahan UUD 1945 berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Namun setelah terjadinya perubahan UUD 1945, MPR mengalami pergeseran yang sangat fundamental. MPR yang semula adalah pemegang kekuasaan rakyat, namun kini rakyatlah yang secara langsung memegang kedaulatannya. Perubahan atas kedudukan MPR ini juga Maka dengan kata lain, lahirnya judicial review dalam ketatanegaaraan tidak lain ialah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan para pembentuk peraturan perundang-undangan.

188Ibid.

106

berimplikasi terhadap kewenangan MPR. Selanjutnya, Pasal 3 ayat (1) berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.” Di ayat (2)-nya berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dengan kata lain MPR tidak berwenang lagi menetapkan Garis-garis besar dari pada haluan negara yang dituangkan dalam bentuk Ketetapan yang selama ini menjadi kewenangan MPR. Dengan berubahnya kedudukan dan kewenangan MPR ini, maka MPR di perintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk melakukan uji materi dan status hukum TAP MPR dari tahun 1960-2002. Ketentuan ini diatur dalam Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945 Pasal I: “Majelis Pemusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap meteri dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2003.” UUD memerintahkan MPR untuk menguji TAP MPR, dikarena MPR berwenang untuk melakukan pengujian terhadap TAP MPR, hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No. I/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang terhadap Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.”

Menindak lanjuti amanat UUD Negara Indonesia Tahun 1945, maka MPR melakuakan peninjauan terhadap 139 TAP MPR/S yang telah ada dari Tahun 1960-2002, dan mengahsilkan TAP MPR No. I/MPR/2003. Ketetapan ini telah membagi TAP MPR yang ada dari Tahun 1960-2002 menjadi enam

107

klasifikasi berdasarkan status hukumnya, sebagaimana yang telah dijelaskan didalam Bab sebelumnya. Setelah pengujian TAP MPR dari Tahun 1960-2002 mengahasilkan TAP MPR No. I/MPR/2003 ada dua UU yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, yakni UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Ada hal yang sangat menarik dari UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan kedudukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2004 tidak memasukkan TAP MPR ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa semua materi TAP MPR yang ada seharusnya dituangkan ke dalam bentuk UU. Dengan demikian, TAP MPR tidak perlu digunakan lagi sebagai salah satu sumber hukum formal yang harus dimasukkan dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, pendapat ini kemukakan oleh I Gede Pantja Astawa.190

Ketika DPR dan Presiden ingin mengubah UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maka, UU No. 10 Tahun 2004 ini menjadi salah satu topik yang masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang berasal dari Pemerintah. Dalam Rapat Dengan Pendapat Umum Pansus Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan Peraturan Perundang-Undang-Undangan dengan para pakar,

Sedangkan berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, TAP MPR masuk ke dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan.

190

108

perdebatan juga terjadi soal kedudukan TAP MPR dalam hieraki peraturan perundang-undangan. Ada beberapa pakar yang tidak setuju TAP MPR masuk kedalam hirarki pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini disampaikan oleh Asep Walan Yusuf dengan alasan bahwa UUD sendiri tidak memberikan kewenangan lagi kepada MPR untuk membentuk Garis-garis besar dari pada haluan negara, sehingga MPR tidak dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat regeling dan implikasinya adalah TAP MPR tidak perlu lagi dimasukkan kedalam hirarki peraturan perundang-undangan. Terhadap TAP MPR yang masih berlaku saat ini, dibutuhkan Bab khusus untuk memberi kepastian hukum bagi TAP MPR yang masih berlaku.191

Dalam Rapat Konsultasi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, wakil Ketua MPR Lukman Hakim berpendapat, TAP MPR sebaiknya diakomodasi dan diatur dalam UU pembentukan peraturan perundang-undangan karena TAP MPR merupakan sumber hukum juga. Terlepas apakah MPR berwenang mengeluarkan TAP MPR yang bersifat regulatif atau tidak, masih ada satu soal yang lebih penting yaitu Sedangkan menurut Satya Arinanto setuju apabila TAP MPR dimasukkan ke dalam hirarki pembentukan peraturan perundang-undangan karena terbukti masih ada beberapa TAP MPR yang dinyatakan berlaku, maka sudah seharusnya TAP MPR dimasukkan ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

191

109

masih ada satu sumber hukum yang bernama TAP MPR yang mempunyai daya guna yang diatur dalam TAP MPR No. I/MPR/2003. 192

Melalui perspektif yang berbeda, Maria Farida Indrati Soeprapto juga setuju atas keberadaan TAP MPR dalam jenis dan hirarki peraturan peraturan perundang-undangan. Maria Farida mengatakan bahwa TAP MPR lebih tinggi dari UU. Alasannya adalah MPR sudah setara dengan lembaga negara lainnya, namun dalam struktur politik hukum, produk hukum MPR selalu lebih tinggi. Misalkan dalam mengeluarkan UUD sebagai supreme law of land, sedangkan DPR dalam mengeluarkan UU sebagai law of the land. Hal ini juga sama dengan TAP MPR. TAP MPR No. I/MPR/2003 telah menyebutkan bahwa masih ada TAP MPR yang masih berlaku. Oleh karena itu, TAP MPR harus masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan.193

Pada waktu pembahasan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Patrialis Akbar menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM yang mewakili Presiden ketika membacakan pendapat akhir Presiden tentang RUU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut. Dalam pendapat akhirnya, Presiden berpendapat bahwa pencantuman TAP MPR dalam jenis hirarki peraturan perundang-undangan merupakan konsekuensi hukum karena beberapa TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini. Namun demikian,

192

Risalah Rapat Konsultasi Panitia Khusus DPR RI rancangan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Dengan MPR RI, 20 Januari 2011, hlm 6.

193

Risalah Rapat Konsultasi Panitia Khusus DPR RI rancangan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan MK, 1 Maret 2011, hlm 10.

110

Presiden menambahakan bahwa MPR secara konstitusional tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat TAP MPR yang bersifat mengatur.194

Berdasarkan teori norma berjenjang norma hukum (stufenbau theorie) Hans Kelsen, bahwa norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki (tata susunan), artinya bahwa suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber, berdasar dan mengacu kepada norma yang berada di atasnya. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yaitu norma dasar (grundnorm).

Pencantuman TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum formil dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia seharusnya diikuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

judicial review. Namun pada kenyataannya para pembuat UU tidak

mencantumkan hal tersebut. Hal ini terlihat dari Pasal 9 UU RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: “(1) Dalam hal suatu UU diduga bertentang dengan UUD NRI Tahun1945, pengujiannya dilakukan oleh MK. (2) Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan dengan UU maka pengujiannya dilakukan oleh MA.”

195

Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan bahwa yang berhak melakukan judicial review adalah MA dan MK. MK berwenang menguji UU terhadap UUD. MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU. Dari Pasal 9 ini jelas bahwa tidak Dengan kata lain TAP MPR berlaku, bersumber, mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI Tahun1945.

194

Risalah Rapat Paripurna ke 36 (tiga puluh enam) Masa Sidang IV Tahun Sidang 2010-2011, Jumat, 22 Juli 2010-2011, Hlm 15

195

111

ada satupun pasal yang mengatur mengenai pengujian TAP MPR apabila TAP MPR bertentangan dengan norma yang lebih tinggi yaitu UUD NRI Tahun 1945.

Yang penting diingat dan diperhatikan bahwa pengujian TAP MPR pada Tahun 2003 merupakan legislative review atau dalam istilah Ni’matul Huda disebut Political Review yang hasilnya tidak selalu sama dengan judicial review sebab ukuran yang dipakai adalah lebih kepada kompromi politik para anggota MPR saat itu.196

196

Enny Nubaningsih yang mengatakan bahwa sesungguhnya TAP MPR yang berlaku saat ini tidak ada yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 karena sudah dilakukan peninjauan kembali melalui TAP MPR No. I/MPR/2003 dan didasarkan kepada UUD NRI Tahun 1945. Namun, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang begitu cepat berubah dapat saja menimbulkan berbagai kemungkinan, termasuk pertentangan antara TAP MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi mekanisme judicial review TAP MPR terhadap UUD NRI Tahun 1945. MK adalah lembaga yang paling tepat melakukan judicial review

tersebut, berdasarkan hasil wawancara Januari Sihotang dengan Enny Nurbaningsih, 22 Juni 2012. Dalam Tesis Januari , Op. Cit., hlm 116.

Berdasarkan pemisahan kekuasaan atau speration of power adanya pemisahan kekuasaan tidak lain adalah untuk menciptakan checks and balances diantara eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Lahirnya mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia dilatarbelakangi karena adanya semangat untuk mengimbangi terhadap kewenangan legislatif sebagai pembentuk perundang-undangan oleh badan yudikatif. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa TAP MPR ialah produk politik Legislatif dimasa lalu, sehingga perlu dilakukan pengawasan dan mengimbangi kekuasaan tersebut oleh badan yudikatif sehingga tidak terjadi kewenangan yang mutlak oleh MPR, meskipun MPR tidak berwenang lagi untuk membentuk TAP MPR. Yang menjadi bahan pertanyaan ialah, lembaga mana yang berwenanga menguji TAP MPR.

112 Hans Nawiasky197

a. Kelompok I disebut Staatfundamentalnorm (Norma Fundamental negara);

berpendapat bahwa selain norma itu harus berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok. Secara umum, penegelompokan norma hukum dibagi atas empat kelompok, yakni:

b. Kelompok II disebut Staatsgrundgesets (aturan dasar Negara/ Aturan Pokok Negara);

c. Kelompok III disebut Formell Gesettz (UU ‘formal’);

d. Kelompok ke IV disebut Verordnung dan Autonomesatzung (aturan pelaksana dan aturan otonom)

Hal ini juga dianut di Indonesia, hanya saja Pancasila sebagai Ideologi bangsa tidak mengatur secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1) UU RI No. 12 Tahun 2011, hanya saja secara tegas diatur dalam Pasal 2 bahwa “Pancasila merupakan Sumber dari segala sumber hukum negara.” Sedangkan UUD dan TAP MPR dianggap sebagai aturan dasar karena berisi Garis-garis besar dari pada haluan negara yang merupakan aturan yang bersifat pokok dan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar. Berbeda dengan norma di atasnya UU tidak lagi bersifat norma yang tunggal, karena sudah dilekati norma pemaksa dan sanksi. Dalam sistem perundang-undangan merupakan hasil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.198

Secara Konstitusional, MPR sebagai lembaga pembentuk TAP MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi melainkan sebagai lembaga tinggi negara

Sedangkan kelompok peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom merupakan peraturan dalam peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UU.

197

Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit, hlm 44-45

198

Lihat Pasal 20 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 yang bebunyi: “Setiap RUU dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.”

113

yang sejajar dengan Presiden dan DPR sebagai lembaga legislatif yang memiliki fungsi legislasi (pembentuk UU). Namun berdasarkan asas bahwa peraturan yang dibuat oleh lembaga yang lebih tinggi akan berkedudukan lebih tinggi pula,199

Akan tetapi apabila ditinjau dari segi bentuk dan lembaga yang berwenang menetapkannya, jelas bahwa TAP MPR sama sekali berbeda dan tidak setingkat dengan UU, dengan alasan:

maka TAP MPR setara dengan UUD.

200

a. Secara historis sampai dengan pelaksanaan sidang MPR Tahun 2003, kedudukan TAP MPR memang lebih tinggi dari UU seperti yang telah ditentukan oleh TAP MPR No. III/MPR/2000;

b. Berdasarkan bentuknya, jelas bahwa TAP MPR yang masih berlaku tidak berbentuk UU, sehingga tidak dapat disamakan dengan UU;

c. Berdasarkan lembaga pemebentuk atau lembaga yang menetapkannya, jelas bahwa TAP MPR tidak ditetapkan oleh lembaga pembentuk UU yaitu DPR, dan Presiden, melainkan oleh MPR atau MPRS.

Faktanya UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memutuskan bahwa TAP MPR berada setingkat di atas UU. Dengan demikian secara teori stufenbau, otomatis UU harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan TAP MPR. Akan tetapi berdasarkan peraturan perundang-undangan yanga ada, tidak satupun peraturan yang mengatur tentang pengujian UU terhadap TAP MPR yang masih berlaku. Hal ini sama dengan apabila TAP MPR bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Jika negara tidak mengambil langkah konkrit untuk mengatasi permasalahan tersebut, berarti negara telah menelantarkan rakyat yang ingin mencari keadilan akibat berlakunya TAP MPR tersebut. Padahal seyogyanya bahwa peraturan perundang-undangan

199

Purnadi Purbacara dan Soerjono Soekamto, Peraturan perundang-undangan dan Yurisprudensi, Cetakan Keempat, Citra Aditya Bakti, Bandung,1993, hlm 5.

200

114

berfungsi sebagai pengatur masyarakat, dan persolan mengatur masyarakat adalah bagaimana mendistribusikan keadilan bisa diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat.201

Bahkan dalam putusan tersebut Maria Farida berpendapat bahwa TAP MPR tidak bisa disamakan dengan UU, sehingga MK tidak berwenang mengujinya: “Kalau disetarakan itu berarti TAP MPR itu sama dengan UU. Tapi bisa enggak, Anda melaksanakan TAP tentang demokrasi ekonomi, TAP etika berbangsa, secara langsung karena isi di dalamnya itu adalah alinea-alinea panjang seperti GBHN itu, dan tidak dalam pasal-pasal. Ini beda dengan Penpers dan Perpres jamannya Orde Lama.”

Oleh karena itu dibutuhkan mekanime pengujian terhadap TAP MPR yang masih berlaku sesuai dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Perihal pengujian TAP MPR pernah diajukan ke MK, akan tetapi hal ini tidak membuahkan hasil. Karena MK berpendapat bahwa pengujian TAP MPR bukanlah kewenangan MK untuk menilai apakah bertentangan atau tidak dengan UUD. Hal ini telah diputusakan oleh MK dalam Putusannya No. 86/PUU-XI/2013 Perihal Pengujian UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Maria Farida yang pada waktu itu sebagai Hakim Ketua berpendapat: “Kalau itu diajukan ke sini, kemudian MK mengatakan, “Enggak berwenang,” ya memang kewenangan MK itu dalam Pasal 24C jelas, Menguji UU terhadap UUD Tahun1945.”

202

201

Januari Sihotang, Op. Cit., hlm 128.

202

Risalah Sidang Perkara No. 86/PUU-XI/2013 Prihal Pengujian UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentuka Peraturan Perudang-Undangan.

115

Dalam putusan ini Arif Hidayat yang berperan sebagai Hakim Anggota berpendapat bahwa:203

Selain Putusan MK No. 86/PUU-XI/2013, masih ada Putusan MK lainnya yang di tolak oleh MK karena MK berpendapat bahwa MK tidak berwenang menguji TAP MPR (tidak dapat diterima), yaitu Putusan MK No. 24/PUU-IX/2013 Pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 [Pasal 6] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam bagian Menimbang Poin keempat, poin ke sebelas, dan Poin keduabelas, Hakim MK berpendapat:

“Nah, kalau dalam teori hukum kalau ada peraturan perundangan yang bertentangan, sudah dijelaskan UU diuji oleh MK, kemudian di bawah UU oleh MA, sekarang kalau begitu TAP MPR itu ya memang tidak ada yang menguji. Kalau misalnya itu perkembangan politik dan konstelasi politik yang ada di MPR yang terdiri dari DPR dan DPD menganggap TAP MPR itu keliru ya mereka yang membuat, mereka yang mencabut. Kau yang memulai, kau yang mengakhiri, kan begitu? Enggak usah diuji oleh MPR … eh, enggak usah diuji oleh MK atau enggak usah diuji oleh MA”

204

10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) Bagian Menimbang Poin keempat:

“Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal

203

Risalah Sidang Perkara No. 86/PUU-XI/2013 Prihal Pengujian UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentuka Peraturan Perudang-Undangan.

204

Putusan MK No. 24/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 [Pasal 6] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

116

dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.”

Bagian Menimbang Poin kesebelas:

“Menimbang bahwa berdasarkan Lampiran IIA Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Pasal 3 Tap MPR Nomor III/MPR/2000, serta Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, kedudukan Ketetapan MPRS/MPR ditetapkan secara hierarkis berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dan di atas Undang-Undang. Oleh karena Ketetapan MPRS/MPR mempunyai kedudukan yang secara hierarkis berada di atas Undang-Undang maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 pengujian terhadap Ketetapan MPRS/MPR tidak termasuk dalam kewenangan Mahkamah” Bagian Menimbang Poin keduabelas:

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Mahkamah”

Berdasarkan Pertimbangan Hukum diatas maka MK dalam Konklusinya berbunyi:

“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah tidak berwenang untuk mengadili permohonan para Pemohon a quo;

[4.2 2] ] Kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan”

Dalam putasan MK No. 75/PUU-XII/2014 tentang PengujianTAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 (Pasal 6 angka 3) terhadap UUD NRI Tahun 1945, Hakim MK yang diketuai oleh Maria Farida juga berpendapat bahwa MK tidak berwenang menguji TAP MPR.

Akan tetapi yang sangat menarik dari putusan-putusan MK ialah, disatu sisi Mahkamah memutuskan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh MK ialah

117

yang termaktub dalam Pasal 24 C UUD NRI Tahun 1945 dan kewenangannya ini bersifat limitatif, akan tetapi MK juga memutuskan bahwa MK berwenang menguji Perppu terhadap UUD. Agaknya terjadi inkonsistensi dalam putusan MK ini.

Dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 Pengujian Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD NRI Tahun 1945, MK berpendapat:205

“menimbang bahwa UUD membedakan antara Perppu dengan peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (2) yang tujuannya adalah unuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Karena Perppu diatur dalam Bab tentang DPR sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk UU maka materi Perppu seharusnya adalah materi yang memuat UUD diatur dalam UU dan bukan materi yang dilaksanakan UU sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan materi Perppu juga bukan materi UUD. Apabila terjadi kekosongan UU karena adanya berbagai hal sehingga materi UU tersebut diproses untuk menjadi UU sesuai dengan tata cara atau ketentuan yang berlaku dalam pembuatan UU namun terjadi situsi dan kondisi yang mendesak yang membutuhkan in casu UU untuk segera digunakan mengatasi sesuatu hal yang terjadi tersebut maka Pasal 22 UUD 1945 menyediakan pranata khusus dengan memberi wewenang kepada Presiden untuk membuat Peraturan Pemerintah (sebagai) Pengganti UU. Pembuatan UU untuk mengisi kekosongan hukum dengan cara membentuk UU seperti proses biasa atau normal dengan dimulai tahap pengajuan Rancanagan UU oleh DPR atau oleh