• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai karakteristik UMKM, pelaksanaan komunikasi pemasaran, dan pengaruhnya dengan kualitas daya saing UMKM. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, diantaranya:

1. Bagi pelaku UMKM, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai pelaksanaan komunikasi pemasaran yang dilakukan sebagai upaya peningkatan daya saing UMKM.

2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan khasanah pengetahuan, khususnya dalam bidang komunikasi bisnis mengenai komunikasi pemasaran.

3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai kesesuaian kondisi lapangan dengan teori yang ada mengenai karakteristik UMKM, pelaksanaan komunikasi pemasaran, serta hubungannya terhadap daya saing UMKM.

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi UMKM

Terdapat beberapa lembaga atau instansi yang memberikan definisi mengenai usaha mikro kecil menengah (UMKM). Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UMKM didefinisikan sebagai berikut:

‘Pasal 6

(1) Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Usaha Kecil adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar rupiah).

(3) Usaha Menengah adalah sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah)’.1

Sementara itu, Rahmana (2009) mengungkapkan batasan pengertian UMKM yang ditetapkan oleh BPS berdasarkan jumlah tenaga kerja, untuk usaha

1 Undang-Undang No.20 Tahun 2008

(http://www.smecda.com/Files/infosmecda/uu_permen/UU_2008_20_TENTANG_USAHA_MIK RO_KECIL_DAN_MENENGAH.pdf) diunduh tanggal 30 April 2010 jam 22.00 WIB.

kecil berjumlah lima sampai dengan sembilan belas orang, sementara usaha menengah berkisar antara dua puluh sampai dengan sembilan puluh sembilan tenaga kerja. Batasan pengertian UMKM diatas sesuai dengan defiinisi UMKM yang diberlakukan bagi Asian Development Bank (ADB) yang dikutip oleh Eva (2007).

2.1.2 Karakteristik UMKM

UMKM memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dengan jenis usaha besar, termasuk karakteristik yang membedakan usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sendiri. Berdasarkan data BPS (2006) yang dikutip oleh Tambunan (2009) dalam buku UMKM di Indonesia, diketahui bahwa dari segi tenaga kerja, lebih dari sepertiga (sekitar 34,5 persen) UMKM dikelola oleh tenaga kerja berusia di atas 45 tahun, dan hanya sekitar 5,2 persen pengusaha UMKM yang berumur di bawah 25 tahun.

Tambunan (2000) seperti dikutip oleh Sulistyastuti (2004) mengungkapkan bahwa tenaga kerja yang diperlukan oleh industri kecil tidak menuntut pendidikan formal yang tinggi. Sebagian besar tenaga kerja yang diperlukan oleh industri ini didasarkan atas pengalaman (learning by doing) yang terkait dengan faktor historis (path dependence). Tulisan lanjutan Tambunan (2009) mengenai UMKM mengungkapkan bahwa struktur pengusaha menurut tingkat pendidikan formal memberi kesan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan rata-rata pengusaha dengan skala usaha. Artinya, semakin besar skala usaha, yang umumnya berasosiasi positif dengan tingkat kompleksitas usaha yang memerlukan keterampilan tinggi dan wawasan bisnis yang lebih luas, semakin banyak pengusaha dengan pendidikan formal tersier.

Mengacu pada data BPS (2006) yang dikutip Tambunan (2009) diketahui bahwa sebagian besar pengusaha UMKM mengungkapkan alasan kegiatan usaha yang mereka lakukan adalah latar belakang ekonomi. Artinya usaha ini dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh perbaikan penghasilan dan atau merupakan startegi untuk bertahan hidup. Hal ini didukung dengan kondisi tingkat pendidikan pengusaha yang mayoritas tergolong rendah. Usaha ini dilakukan dengan alasan tidak ada lagi jenis pekerjaan lain yang dapat dilakukan dengan tingkat pendidikan formal yang tergolong rendah. Beberapa pengusaha juga menjalankan usaha dengan mempertimbangkan prospek usaha ke depan, seperti adanya peluang dan pangsa pasar yang aman dan besar. Namun, sebagian lainnya mengungkapkan latar belakang keturunan, artinya meneruskan usaha warisan keluarga.

Data BPS (2006) yang dikutip oleh Tambunan (2009) juga menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak UMKM, namun tidak seluruh UMKM ini berbadan hukum. Justru sebagian besar UMKM yang ada, yakni sekitar 95,1 persen dari jumlah unit usaha tidak berbadan hukum. Hal ini dapat diterima dengan alasan kebanyakan UMKM memiliki modal yang sangat minim dan terbentur berbagai birokrasi dan persyaratan yang rumit dan kompleks untuk mendapatkan pelayanan dalam pengembangan usahanya.

Menurut Sulistyastuti (2004), yang juga menjadi karakteristik UMKM adalah pemakaian bahan baku lokal. Keberadaan UMKM seringkali terkait dengan tingginya intensitas pemakaian bahan baku lokal, misalnya UMKM kerajinan meubel ukiran khas Jepara, batik asal Pekalongan dan berbagai komoditas lokal unggulan lain yang dijadikan bahan baku dalam usaha.

2.1.3 Peran dan Kontribusi UMKM

Dewasa ini, UMKM diberi perhatian yang cukup besar dalam perkembangannya di berbagai belahan dunia. Ini merupakan hal yang wajar, mengingat pentingnya peranan UMKM baik dalam bidang sosial, ekonomi, hingga bidang politik.

2.1.3.1 Peranan UMKM dalam Bidang Sosial

Menurut Clapham (1991), tujuan sosial dari UMKM sekurang-kurangnya untuk mencapai tingkat kesejahteraan minimum, yaitu menjamin kebutuhan dasar rakyat. Sadoko (1995) juga menegaskan bahwa peranan usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen perkotaan lain yang berdaya beli lebih tinggi. Selain itu, usaha kecil juga menyediakan bahan baku atau jasa bagi usaha menengah dan besar, termasuk pemerintah lokal.

Peranan UMKM untuk kepentingan konsumen berpendapatan rendah penting untuk menjamin persediaan barang bermutu sederhana pada harga yang terjangkau. Dapat dikatakan bahwa perusahaan kecil memberikan sumbangan yang sangat penting dalam bentuk turut menurunkan biaya hidup bagi kelompok-kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Oleh karena itu, Clapham (1991) menyebutkan bahwa UMKM mampu memberikan sumbangan yang besar dari segi kedaulatan konsumen.

Selain berperan dalam kedaulatan konsumen, UMKM memiliki peranan yang sangat berarti dalam hal penciptaan lapangan kerja. Clapham (1991) menyebutkan bahwa lebih dari 75 persen lapangan kerja di luar sektor pertanian di negara sedang berkembang diciptakan oleh perusahaan kecil dan menengah di

sektor industri pengolahan, perdagangan, dan selebihnya di sektor jasa.

Mendukung pernyataan tersebut, Lin dikutip oleh Rahmana (2009) juga menyatakan bahwa hampir 90 persen dari total usaha yang ada di dunia merupakan kontribusi dari UKM. Kontribusi UKM terhadap penyerapan tenaga kerja, baik di negara maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia, mempunyai peranan yang signifikan dalam penanggulangan masalah pengangguran.

Melihat peranan UKM yang sangat signifikan dalam penciptaan kesempatan kerja dan nilai tambah, Sulistyastuti (2004) berpendapat bahwa UKM mampu memberikan manfaat sosial yaitu mereduksi ketimpangan pendapatan, terutama di negara-negara berkembang. Oleh karena itu, tak heran jika Clapham (1991) juga berpendapat bahwa sektor perusahaan kecil dan menengah dipandang lembaga yang cocok untuk menghilangkan dualisme ekonomi dan sosial.

2.1.3.2 Peranan UMKM dalam Bidang Ekonomi

UMKM dituntut untuk dapat memanfaatkan sumber daya nasional menurut prinsip-prinsip ekonomi, termasuk pemanfaatan tenaga kerja untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang maksimum dan sesuai dengan kepentingan rakyat (Clapham, 1991). Indoconsult dikutip Sadoko (1995) juga mengungkapkan bahwa usaha kecil memberikan kontribusi yang tinggi (sekitar 55 persen) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di sektor-sektor perdagangan, transportasi, dan industri. Sektor ini juga mempunyai peranan cukup penting dalam penghasilan devisa negara melalui usaha pakaian jadi (garments), barang-barang kerajinan termasuk meubel dan pelayanan bagi turis.

Rahmana (2009) menegaskan kembali bahwa UKM di Indonesia telah menunjukkan perannya dalam penciptaan atau pertumbuhan kesempatan kerja dan sebagai salah satu sumber penting bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Kementrian Negara Koperasi dan UKM (2007) menyatakan bahwa pada tahun 2006 kontribusi UKM dalam penciptaan nilai tambah nasional sebesar Rp 1.778,75 triliun atau sebesar 53,3 persen dari PDB nasional dengan laju pertumbuhan PDB tahun 2005-2006 adalah sebesar 5,40 persen.

Menurut Utari (2002) seperti dikutip oleh Sulistyastuti (2004), UMKM turut memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor non migas. Selama periode 1990-1995, UKM menyumbangkan rata-rata 40 persen dari total ekspor.

Sadoko (1995) juga mengungkapkan bahwa dalam hal perolehan devisa, industri kecil menyumbang sekitar 15 persen dari seluruh nilai ekspor industri yang ada.

2.1.3.3 Peranan UMKM dalam Bidang Politik

Tujuan pembangunan masyarakat di berbagai Negara Asia Selatan dan Asia Tenggara - seperti juga halnya di Indonesia dan di Malaysia - ditentukan oleh keputusan politik yang mendasar untuk mewujudkan sistem demokrasi permusyawaratan rakyat dengan ekonomi campuran berdasar persaingan bebas.

Pengusaha kecil dan menengah dapat membantu pembangunan dalam arti ini, karena tindakan dan kegiatan mereka yang bebas dan otonom (Clapham, 1991).

Sulistyastuti (2004) menyebutkan, sejalan dengan era desentraslisasi dan pengembangan ekonomi regional, peranan dan posisi UMKM menjadi sangat relevan bagi keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, UMKM berpotensi menciptakan iklim persaingan di daerah. Era Otonomi Daerah memberikan implikasi untuk

merencanakan sendiri pembangunan daerahnya dengan dukungan sumberdaya lokal.

Keberhasilan dalam menetapkan keputusan dalam usaha relevan dengan sifat fleksibilitas UMKM yang tinggi. Berdasarkan pengalaman, diketahui bahwa UMKM mampu mempertahankan usahanya ketika krisis ekonomi melanda.

Sementara, lebih dari 80 persen usaha besar mengalami kebangkrutan (Halwani dikutip oleh Amidi, 2008). Sepakat dengan pernyataan ini, Sadoko (1995) mengungkapkan bahwa sektor ini mempunyai peran strategis yang mengantarai kebijakan pemerintah untuk mengembangkan sektor industri berdasarkan teknologi canggih dan kebijakan pengentasan kemiskinan.

2.1.4 Kondisi UMKM dan Perkembangannya

Banyak kontribusi yang mampu diberikan UMKM dalam berbagai bidang, mulai dari bidang sosial, ekonomi, hingga politik dalam skala yang kecil dan spesifik, dalam artian politik pengambilan keputusan bagi tiap-tiap UMKM.

Namun, dalam prakteknya, UMKM juga mengalami berbagai hambatan dalam berbagai kegiatan operasionalnya.

2.1.4.1 Modal Kerja UMKM

Clapham (1991) menyebutkan bahwa hampir tanpa kecuali, pengusaha kecil dan menengah mengatakan bahwa masalah yang paling besar yang mereka hadapi adalah masalah keuangan. Mereka mengeluh tentang kekurangan modal tetap dan modal kerja. Bidang lain yang juga banyak menimbulkan kesulitan adalah kredit bagi konsumen. Dalam berbagai hal, demi kemajuan dan pengembangan UMKM, pemerintah maupun berbagai lembaga keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan non bank telah berupaya dalam memberikan

pelayanan, terutama dalam hal pinjaman modal usaha. Namun kenyataannya, untuk mengakses pelayanan ini, UMKM dibebani berbagai persyaratan dan jalur birokrasi yang panjang dan rumit. Akibatnya, pemberian layanan pinjaman modal dan kredit pun menjadi tidak dapat diakses UMKM secara optimal. Pada intinya perbaikan sistem perkreditan perlu ditempuh melalui pengadaan pelayanan pendampingan yang profesional serta pemberian kredit yang terintegrasi dengan intervensi lain untuk mengatasi faktor-faktor penghambat pengembangan usaha kecil itu sendiri.

2.1.4.2 Akses Pasar dan Informasi

Ketidakpercayaan terhadap kemampuan UMKM dalam menghadapi era globalisasi berorientasi pada mekanisme pasar bebas memang cukup beralasan, karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam kelompok tersebut. Namun demikian perlu diingat bahwa sejak era penjajahan, UMKM sudah dihadapkan dan ditempa dengan berbagai masalah termasuk dari aspek pemasaran, tetapi UMKM tetap eksis dalam mendukung pertekonomian nasional. Ketidakmampuan UMKM untuk menghadapi pasar global mungkin timbul karena lemahnya akses terhadap informasi (Syarif, 2008).

Clapham (1991) menyatakan bahwa terdapat kekurangan penyalur informasi yang mampu bagi perusahaan kecil dan menengah. Perusahaan-perusahaan menemui kesulitan untuk memperoleh peluang masuk ke pasar pemerintah karena mereka kurang mengetahui seluk-beluk peraturan pemerintah yang berkaitan atau persyaratan pemerintah.

Lemahnya kemampuan UMKM dalam mengakses informasi diduga terkait langsung dengan kondisi faktor internal UMKM yang dibayangi oleh berbagai

keterbatasan untuk mampu memberikan informasi kepada konsumen. Akibatnya produk UMKM yang sebenarnya memiliki pangsa pasar yang cukup besar di dunia internasional, belum banyak diketahui konsumen. Salah satu masalah besar yang dihadapi dalam pemberdayaan UMKM adalah rendahnya akses UMKM terhadap pasar (Syarif, 2008).

2.1.4.3 Kondisi Pemasaran UMKM

Tingkat keterbukaan di pasar konsumen rendah karena perusahaan tidak memiliki peluang yang cukup pada masyarakat umum dan sejauh ini hanya beberapa pameran dagang khusus, pameran tetap atau kampanye penjualan saja yang pernah diadakan. Konsumen dalam negeri, terutama di daerah kota, sering kurang mengetahui produk-produk yang dihasilkan perusahaan kecil dan menengah dalam negeri atau sangat tidak percaya dan penuh prasangka terhadap produk-produk ini bila diukur menurut standar mutu internasional (Clapham, 1991).

Menurut Sadoko (1995), akses pemasaran merupakan akses terpenting.

Dalam membantu usaha kecil, akses ini dibuka melalui pengembangan pola subkontrak, mekanisme pusat pasar informasi, promosi pasaran atau konsumsi melalui anggaran pemerintah. Promosi dan pusat informasi akan sangat berguna bila didukung oleh kemampuan profesional membaca peluang pasar bagi usaha kecil tersebut dan pelayanan tersebut disediakan bagi siapa saja.

Pola subkontrak seringkali dilakukan UMKM, namun pola ini cenderung menjadikan industri “bapak” memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan dengan usaha “anak”. Dalam prakteknya, ketika industri “bapak” melakukan order, maka usaha “anak”, dalam hal ini UMKM akan berkompetisi untuk

mendapatkan pesanan tersebut. Kondisi ini membuat industri “bapak” mampu menekan harga produksi UMKM. Strategi penekanan ongkos produksi seperti ini dilakukan untuk mempertahankan jalur pemasaran yang ada. Sepakat dengan hal ini, Amidi (2008) juga menyebutkan bahwa masalah pemasaran yang dihadapi UMKM adalah lemahnya barganing power pengusaha kecil dalam menghadapi perusahaan besar.

Menurut Clapham (1991), selama perusahaan menjual barangnya melalui pengecer, mereka tidak perlu mengembangkan kegiatan pemasaran sendiri.

Namun, perusahaan yang menjual sendiri barang-barang yang dihasilkannya (seperti mebel, sepatu, tekstil) perlu memberikan perhatian pada bidang pemasaran. Umumnya pelaku usaha tidak memiliki kepandaian khusus dalam soal-soal ini dan tidak tahu kemana ia dapat mencari informasi yang dapat dipercaya mengenai perkembangan pasar, iklan, atau saluran pemasaran yang lebih baik.

Masalah pemasaran merupakan salah satu penyebab penting mengapa pengusaha tidak mampu membuat rencana jangka menengah dan jangka panjang.

Dapat diperkirakan bahwa masalah-masalah pemasaran bagi pengusaha kecil dan menengah akan makin meningkat. Secara keseluruhan, masalah-masalah pemasaran mengakibatkan bahwa perusahaan kecil dan mengengah sulit memainkan peranannya dalam pembangunan sebagai pelengkap sektor industri dan pemasok barang bagi konsumen. Karena itu, program-program promosi dalam masa yang akan datang harus lebih banyak memberikan perhatian pada soal pemasaran daripada dalam masa yang sudah-sudah (Clapham, 1991).

2.1.5 Definisi Komunikasi Pemasaran

Prisgunanto (2006) mendefinisikan komunikasi pemasaran sebagai hubungan sistematik antara pelaku bisnis dan pasar yang menjadi target, dimana si pelaku pasar (marketer) akan mengumpulkan beranekargaam ide-ide, desain, pesan-pesan, media, format, dan warna unruk mengkomunikasikan maksud dan menstimulasi persepsi khusus dari produk dan layanan, yang kemudian dihimpun dalam target pasar. Sependapat dengan hal tersebut, Machfoedz (2010) mengungkapkan bahwa komunikasi pemasaran ialah semua elemen dalam pemasaran yang memberi arti dan mengkomunikasikan nilai kepada konsumen dan stakeholder sebuah perusahaan.

Konsep pemasaran sering kali disamaartikan dengan konsep penjualan.

Padahal, kedua konsep ini merupakan konsep yang berbeda. Dalam bukunya, Amir (2005) menyebutkan bahwa dalam konsep penjualan, hal yang menjadi tujuan utamanya adalah transaksi. Setelah transaksi terjadi, perusahaan sering kali tidak memperhatikan konsumen lagi. Sementara itu, konsep pemasaran lebih mengutamakan kepuasan pelanggan. Laba justru diharapkan diperoleh dari kepuasan konsumen yang nantinya membeli dalam jumlah banyak, terus-terusan dan mungkin dengan harga yang menguntungkan.

2.1.6 Proses Komunikasi Pemasaran

Komunikasi pemasaran adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan arus informasi tentang produk dari pemasar sampai kepada konsumen. Proses komunikasi pemasaran dapat divisualisasikan dalam model diagram alur yang disajikan pada Gambar 1.

Amir (2005) menyebutkan bahwa setiap proses komunikasi pasti memiliki pengirim pesan. Pengirim pesan melakukan encoding, yaitu proses penyandian atas apa yang ingin kita sampaikan. Dengan kata lain, encoding adalah proses penyampaian apa yang ada di pikiran kita kepada simbol-simbol.

Setelah itu, pesan akan melalui berbagai saluran. Pemilihan saluran ini juga menentukan karena ada juga saluran yang tidak sinkron dengan pesan yang ingin disampaikan. Ketika konsumen dianggap menerima pesan yang disampaikan, ia akan memberikan responnya.

Menurut Amir (2005), respon yang paling sering kita kenal adalah konsumen segera membeli produk kita. Namun, sesungguhnya, tujuan komunikasi tidak hanya itu. Tidak juga hanya sekedar menyampaikan pesan yang kita inginkan. Bukan sekedar how can we reach the costumer. Akan tetapi, konsumen juga harus memiliki saluran untuk memberikan pesan-pesan yang dimilikinya. Jadi harus juga memberikan kesempatan how can our costumer reach us.

Faktor kunci dalam aliran komunikasi ini adalah syarat pesan yang baik, yaitu: pemasar harus tau apa yang diharapkan audiens, pemasar harus membangun saluran umpan balik, pemasar harus memahami pesan seperti yang bisa dipahami

Sumber: Amir ( 2005: 210)

Gambar 1. Proses Komunikasi Pemasaran

Gangguan Encoding

Pengirim pesan

Pesan Media

Decoding Penerima pesan

Umpan balik Respon

audiens, dan pemasar harus mengirim pesan lewat media yang menjangkau audiens (Amir, 2005).

2.1.7 Bauran Promosi

Bauran promosi (promotion mix) menggambarkan cara-cara kreatif yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian produk atau jasa.

Lupiyoadi dan Hamdani (2006, sebagaimana dikutip oleh Andrijansyah, 2009) mengungkapkan bahwa perangkat promosi mencakup aktivitas periklanan (advertising), penjualan perorangan (personal selling), promosi penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat (public relation), informasi dari mulut ke mulut (word of mouth), dan pemasaran langsung (direct marketing).

2.1.7.1 Periklanan (advertising)

Periklanan merupakan segala bentuk kehadiran dan promosi dari ide, barang, atau jasa yang bersifat non personal oleh suatu pihak tertentu. Menurut Machfoedz (2010), periklanan dapat menjangkau khalayak yang berada dalam rentang geografis sangat luas dengan biaya murah untuk semua publisitas.

Meskipun dapat menjangkau khalayak dalam jumlah besar dengan cepat, periklanan merupakan sarana promosi tanpa awak (non personal) sehingga kurang persuatif dibandingkan dengan wiraniaga perusahaan.

Periklanan merupakan sarana komunikasi satu arah dengan khalayak, dan tidak memerlukan perhatian atau respons secara langsung. Sepakat dengan hal tersebut, Prisgunanto (2006) menyebutkan bahwa perubahan sikap lewat sarana ini memerlukan waktu yang relatif lama. Pada dasarnya, tujuan periklanan adalah komunikasi yang efektif dalam rangka mengubah sikap dan perilaku konsumen.

Terdapat beberapa pilihan media yang dapat digunakan untuk melakukan

periklanan, antara lain melalui: surat kabar, majalah, radio, televisi, papan reklame, dan surat langsung (Alma 2005, seperti dikutip oleh Andrijansyah 2009).

2.1.7.2 Promosi Penjualan (Sales Promotion)

Promosi penjualan merupakan berbagai insentif jangka pendek untuk mendorong konsumen segera mencoba atau membeli sebuah produk atau jasa.

Promosi penjualan meliputi berbagai sarana - kupon, kontes, premi, dan sebagainya - yang semuanya mempunyai ciri yang berbeda. Berbagai sarana promosi tersebut juga memberikan kontribusi motivasi pembelian yang memberikan nilai tambah kepada konsumen. Perusahaan menggunakan alat promosi penjualan untuk menciptakan respons yang lebih kuat dan lebih cepat (Machfoedz, 2010). Menurut Andrijansyah (2009), promosi penjualan dapat diberikan kepada beberapa sasaran yang dianggap potensial, diantaranya:

1. Konsumen, berupa penawaran cuma-cuma, sampel, demo produk, kupon, pengembalian tunai, hadiah, kontes, dan garansi.

2. Perantara, berupa barang cuma-cuma, diskon, advertising allowances, iklan kerja sama, distribution contests, penghargaan.

3. Tenaga penjualan, berupa bonus, penghargaan, contests, dan hadiah untuk tenaga penjualan terbaik.

2.1.7.3 Hubungan Masyarakat (Public Relations)

Machfoedz (2010) mendefinisikan public relations (hubungan masyarakat) merupakan sarana promosi massal yang dilakukan dengan menjalin hubungan dengan berbagai konsumen perusahaan dan masyarakat umum, dengan tujuan untuk membangun citra perusahaan yang positif agar mendapat publisitas yang luas, dan mengatasi kabar angin, laporan, serta kejadian-kejadian yang tidak

sesuai dengan kenyataan. Pesan disampaikan kepada konsumen lebih sebagai

“berita” daripada sebagai komunikasi yang mengarah pada penjualan. Beberapa program hubungan masyarakat, antara lain publikasi di berbagai media, acara-acara penting, hubungan dengan investor, pameran, dan mensponsori beberapa acara.

2.1.7.4 Penjualan Personal (Personal Selling)

Personal Selling (kewiraniagaan) merupakan interaksi tatap muka dengan

satu atau lebih pembeli prospektif dengan tujuan membuat presentasi, menjawab pertanyaan, dan mendapatkan pesanan. Menurut Machfoedz (2010), personal selling merupakan elemen termahal dalam bauran komunikasi. Meskipun

demikian, personal selling merupakan wahana komunikasi paling efektif dalam proses pembelian. Prisgunanto (2006) mengungkapkan bahwa sarana personal selling memilki efek langsung pada proses penjualan berdasarkan sales forces.

Keandalan personal selling yang paling utama adalah mampu mendekatkan pelanggan dengan penjualan lewat penggunaan jalur-jalur distribusi barang dan produk yang ada.

Machfoedz (2010) menyebutkan kewiraniagaan merupakan metode yang efektif bila besarnya pembelian relatif besar, bila ciri-ciri produk itu membutuhkan penjelasan dan demonstrasi, bila barang itu dibeli pada jarak waktu yang jarang, dan bila calon pembeli telah memiliki model lama dari produk yang hendak ia [beli]. Personal selling memiliki kekuatan dalam hal komunikasi berpasangan yang memungkinkan interaksi dua arah, yang meniscayakan umpan balik secara langsung. Namun, kekurangan bauran promosi ini terletak pada

biayanya yang besar. Meskipun menyedot biaya yang besar, jangkauan dan frekuensi melalui personal selling memang rendah.

Alma (2005, seperti dikutip oleh Andrijansyah, 2009) menyebutkan bentuk-bentuk personal selling yang dikenal secara garis besar, diantaranya penjualan di toko atau pusat perbelanjaan, house to house selling, penjual yang

Alma (2005, seperti dikutip oleh Andrijansyah, 2009) menyebutkan bentuk-bentuk personal selling yang dikenal secara garis besar, diantaranya penjualan di toko atau pusat perbelanjaan, house to house selling, penjual yang