• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehendak dan Kemerdekaan Manusia

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 147-154)

BAB 22 Manusia dan Al-Qur'an

4. Kehendak dan Kemerdekaan Manusia

Kendatipun manusia cukup merdeka untuk dapat mengembangkan organ psikologisnya, untuk dapat mengelola lingkungan alamnya menjadi seperti yang dikehendakinya, dan untuk dapat membentuk masa depannya, namun jelaslah manusia banyak keterbatasannya, dan kemerdekaannya hanya relatif. Dengan kata lain, kemerdekaannya ada batasnya, dan hanya dalam keterbatasannya itulah manusia dapat memilih masa depan yang cerah atau masa depan yang gelap.

Ada beberapa segi dalam keterbatasan manusia: (i) Keturunan

Manusia datang ke dunia ini dengan membawa karakter manusia. Karena kedua orangtuanya manusia, maka dia mau tak mau manusia juga. Dari kedua orangtuanya dia mewarisi sejumlah karakter keturunan, seperti warna kulit dan matanya dan ciri-ciri lain tubuhnya yang sering kali tetap ditularkan selama beberapa generasi. Manusia tak dapat memilihnya. Ciri-ciri seperti itu diterimanya melalui proses pewarisan.

(ii) Lingkungan Alam dan Geografis

Lingkungan alam dan geografis manusia, dan daerah tempat dia besar, selalu menimbulkan sejumlah pengaruh pada tubuh dan jiwanya. Masing-masing daerah beriklim panas, daerah beriklim dingin dan daerah beriklim sedang, tak terelakkan berpengaruh pada jiwa dan moral masing-masing penduduknya. Begitu pula dengan daerah bergunung dan daerah gurun.

(iii) Suasana Sosial

Suasana sosial manusia merupakan faktor penting dalam membentuk karakteristik spiritual dan moralnya. Suasana sosial menetapkan agar manusia memiliki bahasa, tatacara sosial, adat dan agama.

(iv) Faktor Sejarah dan Waktu

Dari segi lingkungan sosial, manusia bukan saja dipengaruhi oleh masa kini, namun juga masa lalu penting perannya dalam membentuk wataknya. Pada umumnya ada mata rantai antara setiap wujud sekarang dan setiap wujud dahulu. Masa lalu dan masa depan suatu wujud tidak sepeiti dua benda yang satu sama lain benar-benar terpisah atua berdiri sendiri, namun seperti dua proses yang berkesinambungan. Masa lalu adalah benih dan nukleus (inti) masa depan.

Manusia Memberontak Terhadap Keterbatasan

Sekalipun manusia tak mungkin memutuskan sepenuhnya hubungannya dengan keturunannya, lingkungan alamnya, suasana sosialnya dan faktor sejarah dan faktor waktu, namun manusia dapat memberontak terhadap pembatasan yang terjadi akibat keturunan, lingkungan alam, suasana sosial dan faktor sejarah serta faktor waktu. Manusia memiliki kemungkinan yang besar untuk dapat

membebaskan diri dari faktor-faktor ini. Berkat ilmu, pengetahuan dan akalnya di satu pihak, dan kehendak serta imannya di pihak lain, manusia dapat mengubah faktor-faktor ini sekehendaknya, dan dapat menentukan nasibnya sendiri.

Manusia dan Takdir

Pada umumnya diyakini bahwa takdir Tuhan merupakan faktor utama yang membuat manusia terbatas ruang geraknya. Dalam membahas faktor-faktor yang membatasi kemerdekaan manusia, masalah takdir tidak disinggung. Kenapa?

Apakah takdir Tuhan tak ada, atau apakah takdir bukan faktor pembatas? Tak ada keraguan bahwa takdir Tuhan ada, namun takdir tidak membatasi kemerdekaan manusia. Takdir memiliki dua bagian: qadha dan qadar. Arti qadha adalah keputusan Tuhan tentang kejadian dan peristiwa, sedangkan qadar adalah esdmasi tentang fenomena dan kejadian. Dari sudut pandang teologi sudah jelas dan pasti bahwa takdir Tuhan tidak berlaku langsung pada kejadian. Takdir Tuhan mengharuskan kejadian itu terjadi hanya melalalui sebabnya. Qadha Tuhan menghendaki agar tatanan dunia didasarkan pada sistem sebab-akibat. Apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia karena akal dan kehendaknya, dan apa pun keterbatasan yang dimiliki manusia karena faktor keturunan, lingkungan dan sejarah, namun oleh takdir Tuhan manusia ditundukkan kepada sistem sebab-akibat di dunia.

Karena itu qadha Tuhan tidak dianggap sebagai faktor yang membatasi kemerdekaan manusia. Apa pun pembatasan yang dikenakan pada manusia merupakan akibat keturunan, kondisi lingkungan dan kondisi sejarah manusia. Begitu pula, apa pun kemerdekaan yang dimiliki manusia, itu juga telah diputuskan oleh Allah SWT. Allah S\VT telah memutuskan agar manusia berakal dan berkehendak, dan dalam bidang terbatas kondisi alam dan sosial-nya manusia cukup mandiri dari kondisi-kondisi ini, sehingga manusia dapat menentukan nasibnya dan masa depannya sendiri. Manusia dan Kewajiban

Salah satu sifat khas utama manusia adalah manusia mampu mengemban kewajiban untuk mengikuti ajaran agama. Manusia saja yang dapat hidup dalam kerangka hukum. Makhluk lain hanya dapat mengikuti hukum alam yang sifatnya memaksa. Misalnya, mustahil menetapkan aturan atau hukum bagi batu dan kayu atau bagi pohon dan bunga atau bagi kuda, sapi dan domba. Makhluk-makhluk ini tak mungkin dapat mengemban kewajiban untuk menaati hukum yang dibuat untuk mereka dan untuk kepentingan mereka. Jika dibutuhkan tindakan untuk menjaga kepentingan mereka, maka tindakan itu harus dipaksakan kepada mereka.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu hidup dalam kerangka hukum kontraktual (berdasarkan kesepakatan— pen.). Karena hukum seperti ini dibuat oleh pihak yang kompeten dan kemudian diberlakukan kepada manusia, tentu saja dalam hukum seperti ini ada kesulitan bagi manusia. Itulah sebabnya kenapa hukum seperti ini diberi nama "kewajiban".

Untuk mengikat manusia agar melaksanakan kewajiban, maka pembuat hukum perlu mengikuti kondisi tertentu. Dengan kata lain, hanya manusia yang memenuhi kondisi tertentu saja yang bertanggung jawab untuk menjalankan kewajiban. Kondisi yang harus dipenuhi dalam setiap kewajiban adalah:

(i) Akil Balig

Ketika manusia sampai pada tahap tertentu dalam hidupnya, tubuhnya mengalami perubahan yang terjadi cukup mendadak, begitu juga perasaan dan pikirannya. Perubahan-perubahan ini disebut akil balig. Ini merupakan tahap alamiah yang dicapai setiap orang.

Mustahil mengetahui dengan persis kapan orang mencapai akil balik. Sebagian orang mencapai akil balig lebih cepat ketimbang orang lain. Itu sebagian besar tergantung pada sifat personal individu dan juga kondisi daerah dan lingkungan individu tersebut. Yang jelas adalah bahwa perempuan lebih cepat mencapai tahap akil balik alamiah ketimbang lelaki. Dari sudut pandang hukum, perlu ada kejelasan usia akil balig yang pasti agar ada keseragaman. Bisa usia akil balig rata-rata, atau bisa usia minimum akil balig (di samping kondisi lain akil balig yang berupa pengertian, seperti dijelaskan dalam yurisprudensi Islam).

Berdasarkan ini individu dapat mencapai usia akil balig alamiah, meski belum dapat dianggap mencapai akil balig secara hukum. Menurut pandangan mayoritas ulama Syiah, seorang lelaki baru bisa dianggap telah mencapai usia akil balig menurut hukum bila usianya sudah menginjak 16 tahun, dan kalau wanita bila usianya sudah menginjak 10 tahun. Akil balig menurut hukum ini merupakan salah satu syaratnya mampu secara hukum melaksanakan kewajiban. Dengan kata lain, seseorang yang belum mencapai usia ini, maka hukum tidak berlaku baginya, kecuali bila terbukti dia telah mencapai usia akil balig alamiah sebelum mencapai usia akil balig menurut hukum. (ii) Sehat Rohani

Syarat lain untuk menjalankan kewajiban adalah sehat rohani. Orang gila, karena tak memiliki kemampuan untuk mengerti, tak punya kewajiban. Kasusnya sama dengan kasus anak yang belum mencapai usia akil balig. Bahkan ketika mencapai usia akil balig, seseorang tidak berkewajiban membayar kewajiban yang menjadi tanggungannya ketika dia belum mencapai usia akil balig. Misal, orang dewasa tidak berkewajiban membayar salat-salat yang tidak menjadi tanggungannya pada masa kecilnya, karena pada masa itu dia tidak terkena kewajiban hukum. Orang yang gila, selama dia gila, juga tak punya kewajiban. Karena itu jika kemudian dia waras, dia tetap tidak berkewajiban membayar salat dan puasa yang tidak dilakukannya karena dia gila. Dia baru berkewajiban kalau sudah waras. Begitu pula dengan zakat dan khumus. Zakat dan khumus ini diwajibkan atas harta anak yang belum mencapai usia akil balig atau orang gila. Anak yang belum akil balig atau orang gila baru berkewajiban membayarnya kalau sudah mencapai tahap berkewajiban, bila belum dibayarkan oleh walinya yang sah.

(iii) Tahu dan Sadar

Jelaslah orang baru bisa melaksanakan kewajiban kalau dia sadar akan eksistensi kewajiban tersebut. Dengan kata lain, orang harus tahu terlebih dahulu kewajibannya sebelum dia diminta menunaikannya. Misal saja si fulan menetapkan hukum, namun dia tidak memberitahukan hukum tersebut kepada orang yang harus melaksanakan hukum itu. Kalau demikian, maka orang itu tidak berkewajiban, atau tidak dapat melaksanakan hukum itu. Jika orang itu melanggar hukum itu, maka si fulan tidak punya alasan sah untuk menghukumnya. Menghukum seseorang yang tidak tahu kewajibannya dan ketidaktahuannya akan hukum bukan karena kesalahannya, maka perbuatan menghukum tersebut tidak benar.

Al-Qur'an berulang-ulang menyebutkan kebenaran ini. Al-Qur'an mengatakan bahwa orang tak boleh dihukum karena melanggar hukum, sebelum orang tersebut diberitahu secara semestinya tentang hukum. Tentu saja syarat tahu hukum sebagai prasyarat penerapan hukum tidak berarti bahwa orang boleh saja sengaja tak tahu hukum dan kemudian menjadikan ketaktahuannya ini sebagai alasan. Setiap orang yang berkewajiban melaksanakan hukum harus mengetahui hukum dan melaksanakannya. Sebuah hadis mengatakan bahwa pada Hari Kebangkitan sebagian orang berdosa akan dihadirkan di Pengadilan Ilahiah dan akan ditanya tentang kenapa mereka tidak melaksanakan sebagian kewajiban. Mereka akan ditanya kenapa tidak melaksanakan kewajiban. Mereka akan menjawab, "Kami tidak tahu." Akan dikatakan kepada mereka, "Kenapa kamu tidak tahu dan kenapa kamu tidak berupaya untuk tahu hukum?" Karena itu, bila dikatakan bahwa tahu merupakan syarat berlakunya hukum, maka yang dimaksud adalah jika suatu kewajiban disampaikan kepada

orang yang dapat dikenai kewajiljan dan orang itu tetap tidak tahu kewajiban itu padahal sudah berupaya semestinya untuk tahu, maka dalam pandangan Allah SWT orang seperti itu dimaafkan. (iv) Mampu

Orang baru berkewajiban kalau dia mampu. Kewajiban yang tak mampu ditunaikannya, maka bukan kewajibannya. Tak syak lagi kemampuan manusia ada batasnya. Karena itu kewajiban dibebankan kepada manusia sebatas kemampuannya. Misal, seseorang mampu menuntut ilmu, namun lingkup upaya menuntut ilmunya ini terbatas dari segi waktu dan jumlah informasi. Betapapun jenius seseorang, maka dia tetap perlu secara berangsur-angsur melewati berbagai tahap ilmu dan untuk jangka waktu yang lama. Memaksa seseorang untuk menyelesaikan studi akademisnya dalam jangka waktu yang pendek, yang normalnya beberapa tahun, artinya adalah memaksanya melakukan tugas yang berada di luar kemampuannya. Begitu pula, memaksa seseorang untuk melakukan studi atas semua ilmu yang ada di dunia ini berarti meminta orang tersebut untuk melaksanakan sesuatu yang sepenuhnya mustahil. Kewajiban seperti itu tak akan pernah dibebankan oleh satu sumber yang adil dan arif:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS. al-Baqarah: 286) Dengan kata lain, Allah SWT tidak membebankan kewajiban kepada siapa pun di luar kemampuannya. Kalau seseorang mau tenggelam dan kita mampu menyelamatkannya, maka kita berkewajiban menyelamatkannya. Namun, misal, sebuah pesawat terbang mau jatuh dan kita mutlak tak mampu menyelamatkannya, maka kita tak berkewajiban menyelamatkannya. Di sini ada satu hal yang perlu dicatat. Fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah tahu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mencari pengetahuan, begitu pula fakta bahwa syarat berlakunya kewajiban adalah mampu, tidak berarti bahwa kita tak perlu mendapat kemampuan yang diperlukan itu. Dalam kasus-kasus tertentu, kita sungguh berkewajiban memperoleh kemampuan seperti itu. Misal kita menghadapi musuh yang kuat, dan musuh tersebut mau melanggar hak kita atau mau mengagresi wilayah Islam. Maka kalau kita tahu bahwa kita tak mampu memeranginya dan kalau kita tahu bahwa kalau tetap saja melawannya maka artinya kita akan kehilangan kekuatan kita dan tak mungkin berhasil, jelaslah kita tak berkewajiban memerangi dan melawan agresor itu. Namun tetap saja kita berkewajiban mendapatkan cukup kekuatan agar kelak kita tidak lagi menjadi penonton yang mati kutu:

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dan kuda- kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu.(QS. al-Anfâl: 60)

Karena seseorang atau suatu masyarakat yang mengabaikan upaya mencari cukup pengetahuan dapat dikutuk Tuhan dan keddaktahuan orang atau masyarakat itu tak dapat diterima sebagai alasan, maka orang yang lemah atau masyarakat yang lemah yang mengabaikan upaya mendapatkan cukup kekuatan dapat juga dikutuk dan dihukum oleh Tuhan. Lemah tidak bisa dijadikan sebagai alasan. (v) Mampu Memilih dan Bebas Berkehendak

Prasyarat lain kewajiban adalah bebas berkehendak. Dengan kata lain, manusia baru wajib melaksanakan kewajiban kalau dalam pelaksanaan kewajiban itu tak ada unsur paksaan dari keadaan. Kewajiban tidak lagi wajib kalau ada paksaan dari keadaan. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan kasus-kasus paksaan: Jika seseorang dipaksa oleh orang lain untuk tidak berpuasa dan jiwanya akan terancam bahaya jika dia mengabaikan ancaman itu, maka jelaslah dia tidak wajib berpuasa. Begitu pula dengan posisi seseorang yang memiliki sarana untuk pergi haji, namun mendapat ancaman dari seorang tiran bahwa dia atau keluarganya akan mendapat akibat buruk kalau dia tetap pergi haji. Rasulullah saw bersabda: Tak ada kewajiban kalau ada keterpaksaan."

Dalam kasus keadaan, orang tersebut tidak mendapat ancaman siapa pun. Dia sendiri yang hams mengambil keputusan. Namun keputusannya merupakan hasil dari keadaan keras yang dihadapinya. Misal, seseorang tak berdaya dan kelaparan di gurun. Selain daging bangkai dia tak punya makanan lain untuk menghilangkan laparnya dan untuk bertahan hidup. Dalam keadaan seperti ini hukum bahwa daging bangkai itu haram tentu saja tak berlaku. Beda antara keterpaksaan dan dipaksa keadaan adalah kalau dalam kasus keterpaksaan seseorang diancam oleh tiran akan menanggung akibat buruk, dan untuk menyelamatkan diri dan menghindarkan bahaya dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya.

Namun tak ancaman seperti itu dalam kasus dipaksa oleh keadaan. Dalam kasus ini, keadaan pada umumnya berkembang sedemikian rupa sehingga orang tersebut mengalami situasi yang tak diinginkan. Untuk bisa keluar dari situasi seperti ini dia terpaksa tidak melaksanakan kewajibannya. Karena itu ada dua perbedaan antara terpaksa dan dipaksa keadaan: Pertama, dalam keterpaksaan ada ancaman dari manusia, namun dalam dipaksa keadaan ancaman seperti itu tak ada. Kedua, dalam kasus keterpaksaan orang tersebut bertindak untuk menghindarkan situasi yang tak dikehendaki, namun dalam kasus dipaksa keadaan orang tersebut bertindak untuk meringankan, meredakan atau mengurangi situasi yang ada.

Namun tak ada kaidah umum berkenaan dengan efek keterpaksaan dan dipaksa keadaan pada kewajiban. Efeknya tergantung pada dua hal: Pertama, kalau efeknya merugikan atau membahayakan, maka harus dihindarkan atau diredakan; dan kedua, kalau perbuatan dilakukan karena terpaksa atau dipaksa keadaan. Jelaslah perbuatan yang membahayakan jiwa orang, menimbulkan kerugian masyarakat atau agama tak boleh dilakukan dengan alasan apa pun. Tentu saja ada kewajiban tertentu yang tetap harus dilaksanakan sekalipun harus menanggung kerugian. Syarat untuk Absah

Sejauh ini pembicaraan kita adalah tentang syarat berlakunya hukum pada wajib hukum. Kalau syarat ini tak ada maka orang tak harus melaksanakan kewajiban. Juga ada syarat lain yang dikenal dengan nama syarat sahnya pelaksanaan kewajiban. Kita tahu bahwa semua aktivitas, entah itu ibadah atau transaksi, harus memenuhi syarat tertentu dan harus memiliki kualitas tertentu agar dapat dianggap sah. Karena itu, syarat untuk sahnya suatu pelaksanaan kewajiban adalah bahwa seseorang yang tak memiliki syarat itu tidak dapat dianggap menjalankan kewajibannya dengan benar. Bila kewajiban dilaksanakan, padahal syaratnya belum tepenuhi, maka pelaksanaan kewajiban itu tidak sah.

Seperti berlakunya hukum, syarat sahnya pelaksanaan kewajiban juga banyak. Syarat tersebut dibagi menjadi dua golongan: umum dan khusus. Syarat khusus adalah syarat yang hanya untuk pelaksanaan kewajiban tertentu, dan dipelajari ketika mempelajari cara menunaikan kewajiban itu. Selain itu, ada beberapa syarat umum. Ada beberapa syarat yang menjadi syarat berlaku dan sahnya, dan ada beberapa syarat lain yang menjadi syarat berlakunya saja atau sahnya saja. Syarat sahnya juga ada tiga. Sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas ibadah dan transaksi. Sebagian merupakan syarat sahnya akdvitas ibadah saja dan sebagian merupakan syarat sahnya aktivitas transaksi saja.

Kesehatan mental merupakan syarat bagi berlaku dan sahnya. Orang yang tak sehat rohaninya tak dapat dikenai hukum, dan perbuatannya, entah perbuatannya itu perbuatan ibadah atau transaksi, tidak sah. Misalnya, jika orang tak sehat rohaninya menunaikan ibadah haji, maka hajinya akan kacau. Begitu pula, dia tak boleh salat atau puasa, juga dia tak boleh berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum dalam salat berjamaah.

Mampu, seperti juga sehat rohani, merupakan syarat berlakunya hukum maupun syarat sahnya perbuatan. Begitu pula dengan non-paksaan. Orang yang terpaksa tak dapat menunaikan kewajiban,

maka dia lepas dari kewajiban tersebut. Jika orang dengan terpaksa melakukan transaksi atau melakukan akad pernikahan, maka perbuatannya itu tidak sah.

Akil balig merupakan syarat berlakunya hukum namun bukan syarat sahnya suatu perbuatan. Anak kecil itu sendiri tak berkewajiban melaksanakan kewajiban agama. Namun jika dia cukup mengerti dan dapat melakukan perbuatan religius dengan benar seperti orang dewasa, maka perbuatannya itu sah. Dengan demikian dalam salat berjamaah anak kecil dapat berada di antara imam dan makmum atau di antara makmum. Dia juga dapat melakukan ibadah atas nama orang lain. Fakta bahwa akil balig bukanlah syarat sahnya perbuatan ibadah, tak terbantahkan lagi. Namun bagaimana dengan transaksi? Sebagian ulama berpandangan bahwa akil balig merupakan syarat sahnya transaksi juga. Karena itu seorang anak laki-laki pun yang memiliki pengertian penuh tak dapat sendirian melakukan transaksi, baik untuk dirinya ataupun atas nama orang lain. Misal, anak kecil tak boleh menjual, membeli atau meminjamkan sesuatu, juga tak boleh membacakan bacaan nikah.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa anak lelaki yang mengerti tak boleh melakukan transaksi sendiri, meskipun dia dapat bertindak sebagai wakil orang lain. Tahu dan sadar dan juga tak adanya paksaan dari keadaan merupakan syarat berlakunya hukum, meski bukan syarat sahnya. Karena itu, jika seseorang secara tak sadar melakukan perbuatan, entah perbuatan itu perbuatan ibadah atau transaksi, perbuatannya itu tetap sah kalau perbuatan itu kebetulan sempurna dalam segala hal lainnya. Begitu pula, kalau seseorang dipaksa oleh keadaan untuk melakukan transaksi atau akad nikah, maka perbuatan tersebut sah. Misal, ada seseorang mempunyai sebuah rumah yang sangat disukainya dan dia tak mau menjualnya. Namun mendadak sontak karena alasan tertentu dia sangat membutuhkan uang dan terpaksa menjualnya. Dalam kasus ini transaksinya sah. Contoh lain. Seorang lelaki dan seorang perempuan tak ada niat untuk menikah. Namun suatu penyakit berkembang sedemikian rupa sehingga dokter menyarankan agar lelaki itu atau wanita itu menikah segera, dan keduanya terpaksa menikah. Pernikahan ini juga sah. Ini menunjukkan bahwa dari segi keabsahan ada bedanya antara transaksi yang dilakukan di bawah paksaan dan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan. Transaksi yang pertama tidak sah, sedangkan transaksi yang kedua sah.

Nampaknya perlu dijelaskan kenapa transaksi yang dilakukan di bawah paksaan tidak sah sedangkan transaksi yang dilakukan karena dipaksa keadaan sah. Dapatlah dikemukakan bahwa perse tujuan si pelaku perbuatan tak ada dalam kedua kasus itu. Orang yang menjual rumahnya atau bisnisnya karena diancam, sesungguhnya dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Begitu pula orang yang dipaksa keadaan (misal, untuk membiayai pengobatan) menjual rumah atau bisnisnya, juga dalam lubuk hatinya dia tak mau menjual rumah atau bisnisnya. Orang yang terpaksa menjual rumahnya karena harus membayar biaya pengobatan anaknya yang sakit, akan merasa sedih dengan transaksi ini. Sejauh menyangkut kemauannya, posisinya tidak berubah meski ada fakta bahwa orang yang berada di bawah ancaman itu ingin mencegah bahaya, sedangkan orang yang dipaksa keadaan ingin memenuhi kebutuhan yang mendesak. Juga tak terjadi perbedaan yang substansial bahwa dalam kasus paksaan, tangan manusia langsung terlibat dalam bentuk seorang tiran, dan dalam kasus dipaksa keadaan, tangan manusia hanya terlibat secara tak langsung dalam bentuk eksploitasi, kolonialisme dan sebagainya.

Faktanya adalah alasan kenapa Islam membedakan antara orang yang dipaksa dan orang yang dipaksa keadaan, dan memandang perbuatan orang yang dipaksa tidak sah, sedangkan orang yang dipaksa keadaan dipandang sah, ada di lain tempat. Baik orang yang dipaksa maupun orang yang dipaksa keadaan, sama-sama didesak kebutuhan. Kebutuhan orang yang dipaksa adalah menghindarkan kejahatan tiran. Di sini hukum Islam membantu orang yang berada di bawah paksaan tersebut, dan menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan karena dipaksa itu tidak sah.

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 147-154)