• Tidak ada hasil yang ditemukan

Klasifikasi Sosial

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 177-187)

Kendatipun pada masyarakat ada kesatuan, namun dari dalam, masyarakat terbagi menjadi berbagai kelompok dan kelas, yang terkadang tidak layak. Beberapa masyarakat setidak-tidaknya begitu. Karena dalam masyarakat ada kutub-kutub yang berbeda dan terkadang bertentangan, maka dapat dikatakan bahwa pada masyarakat ada kesatuan dan keragaman. Menurut terminologi kaum fllosof Muslim, masyarakat diatur oleh "kesatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam kesatuan." Pada bab-bab terdahulu sudah dibahas sifat kesatuan pada masyarakat. Sekarang akan dibahas sifat keragaman pada masyarakat Dalam hubungan ini ada dua teori yang terkenal. Teori yang pertama didasarkan pada materialisme sejarah dan kontradiksi dialektika. Menurut teori ini, yang nanti akan diuraikan, masalah kesatuan dan keragaman masyarakat bergantung pada prinsip kepemilikan. Masyarakat yang tak ada hak milik pribadi bagi individu-individunya, seperti masyarakat primitif atau masyarakat yang bisa saja ada di masa mendatang, pada dasarnya masyarakat satu kutub. Karena itu masyarakat, kalau tidak satu kutub, tentu dua kutub. Tak ada masyarakat tiga kutub atau lebih. Dalam masyarakat dua kutub, semua manusia dibagi menjadi dua kelompok atau kelas: yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi, atau "penguasa dan yang dikuasai". Tak ada kelompok lain selain dua kelompok ini. Pembagian ini juga berlaku untuk semua urusan masyarakat, seperti filsafat, etika, agama dan seni. Dengan kata lain, dalam masyarakat dua kutub ada dua jenis filsafat, dua jenis etika, dua jenis agama dan seterusnya, yang masing-masing jenis memiliki karakter ekonominya yang khas. Bagaimanapun juga kalau yang dominan hanya satu filsafat, satu agama atau satu perangkat aturan moral, maka filsafat, agama atau moralitas itu selalu diwarnai kelas yang berhasil mewarnai kelas lain seperti yang terkadang terjadi. Tak mungkin ada filsafat, seni, agama atau moralitas yang bisa lepas dari pengaruh kelas ekonomi dan yang tak ada warna kelasnya. Menurut teori yang kedua, satu kutub atau banyak kutubnya masyarakat tidak ditentukan oleh prinsip kepemilikan pribadi. Faktor budaya, sosial, ras dan ideologi juga dapat membuat masyarakat memiliki banyak kutub. Khususnya faktor budaya dan ideologi dapat berperan penting dalam membagi masyarakat menjadi kubu-kubu yang bertentangan, atau membuat masyarakat menjadi masyarakat satu kutub bahkan tanpa menghapus hak milik pribadi.

Sekarang bagaimana pandangan Al-Qur'an tentang keragaman pada masyarakat. Apakah Al-Qur'an menerima atau menolak adanya keragaman ini? Jika menerima, apakah Al-Qur'an berpandangan bahwa adanya dua kutub dalam masyarakat adalah akibat adanya hak milik pribadi dan eksploitasi, atau Al-Qur'an mengemukakan pandangan lain?

Tampaknya jalan terbaik atau setidak-tidaknya jalan yang baik untuk memastikan sudut pandang Al-Qur'an dalam hal ini adalah mengutip kata-kata yang mengandung konotasi sosial yang dipakai dalam Al-Qur'an, dan mengetahui apa artinya. Kata-kata yang mengandung arti sosial yang digunakan dalam Al-Qur'an ada dua jenis. Sebagian hanya berkaitan dengan satu fenomena sosial. Misal, millah (komunitas), syari'ah (hukum Allah), syir'an (hukum), minhaj (cara hidup), sunnah (tradisi) dan sebagainya. Kata-kata ini di luar lingkup pembahasan kita sekarang.

Ada kata-kata lain yang fungsinya adalah sebagai identifikasi sosial bagi semua atau beberapa kelompok orang. Dengan kata-kata inilah maka dapat diketahui sudut pandang Al-Qur'an. Kata-kata tersebut adalah qaum (kaum), ummah (umat, komunitas), nas (manusia), syu'ub (bangsa-bangsa), qaba'U (suku-suku), rasul (rasul Allah), nabi (nabi), imam (pemimpin), wah (wali), mu'min (orang beriman), kafir (orang tak beriman), munafiq (munafik), musyrik (orang musyrik), mudzabdzab (orang yang tak punya pendirian), shiddiq (orang yang benar, setia), syahid (saksi), muttaqi (orang takwa), shalih (orang saleh), mushlih (pembaru), mufsid (perusak), amr bil-ma'ruf (menyuruh kebaikan), nahi 'anil-munkar (mencegah kejahatan), 'alim (orang berilmu), nasih (pemberi peringatan), zhalim (tiran), khalifah (wakil), rabbani (pendeta, biasanya ahli teologi ), rabbi (rabi

(pendeta Yahudi—peny.)), kahin (tukang tenung, tukang ramal), ruhban (rahib), ahbar (teolog dan ahli hukum Yahudi), jabbar (yang kuat, lalim), 'ali (yang kuat, tinggi), musta'li (superior), mustakbir (yang angkuh), mustadh'af (orang tertindas), mubadzdzir (yang royal, boros), mutrof (yang hidup mewah), thaghut (penindas, berhala), mala (orang terkemuka, tokoh), ghani (kaya), faqir (miskin), mamluk (yang diperintah, yang dikuasai), malik (pemilik, tuan), hurr (orang merdeka), 'abd (hamba), rabb (Tuhan), dan sebagainya.

Ada kata-kata tertentu lainnya yang kelihatannya menyerupai kata-kata di atas, seperti mushalli (yang beribadah), mukhlish (yang tulus, yang punya dedikasi), shiddiq (yang benar, yang setia), munfiq (yang murah hati), mustaghfir (yang berupaya mendapatkan ampunan dari Allah), ta'ib (yang bertobat), 'abid (yang memuja), hamid (yang terpuji), dan sebagainya. Bedanya adalah kata- kata ini digunakan untuk menggambarkan perbuatan-perbuatan tertentu, bukan untuk menunjukkan kelompok-kelompok orang. Karena itu tidaklah mungkin kalau kata-kata ini mengandung arti kelas- kelas sosial.

Ayat-ayat yang menyebutkan kelompok kata yang pertama, khususnya ayat-ayat yang berkaitan dengan orientasi sosial, perlu dikaji dengan saksama untuk mengetahui dengan pasti apakah ayat- ayat itu meliput dua kelompok manusia atau lebih. Misal saja ayat-ayat itu dianggap meliput dua kelompok, lantas bagaimana karakteristik khusus kelompok-kelompok ini?

Misal, semua ayat itu dapat dianggap meliput dua kelompok, yaitu kelompok mukmin dan kelompok kafir, berdasarkan orientasi keagamaannya, atau dua kelompok, yaitu kelompok kaya dan kelompok miskin, berdasarkan posisi ekonominya? Dengan kata lain, perlu diketahui apakah semua kelas dan klasifikasi pada akhirnya berubah menjadi satu kelas utama, dan semua kelas lainnya hanyalah sub-sub kelasnya? Jika pada akhirnya berubah menjadi satu kelas, lantas apa dasarnya? Sebagian berpendapat bahwa, menurut pandangan Al-Qur'an, dalam masyarakat ada dua kutub. Dalam masyarakat terutama ada dua kelompok: (1) penguasa dan pengeksploitasi; (2) yang dikuasai, yang dieksploitasi dan yang ditaklukkan. Kelompok penguasa digambarkan Al-Qur'an sebagai kelompok "angkuh", sedangkan kelompok yang dikuasai digambarkan Al-Qur'an sebagai kelompok "tertindas". Klasifikasi lain seperti kelompok orang beriman dan kelompok kafir, kelompok ahli tauhid dan kelompok musyrik, atau kelompok orang bajik dan kelompok orang yang berbuat kerusakan, sifatnya sekunder. Dengan kata lain, penyebab kekafiran, kemusyrikan, kemunafikan dan sepertinya adalah keangkuhan dan eksploitasi, sedangkan penyebab beriman, hijrah, jihad, kebajikan, reformasi dan sepertinya adalah keadaan tertindas. Dengan kata lain, akar dari semua yang oleh Al-Qur'an disebut penyimpangan dogmatis, moral atau praktis adalah keadaan tertentu dalam hubungan ekonomi yang dikenal sebagai eksploitasi. Begitu pula, akar dari semua yang dianjurkan dan didukung Al-Qur'an dari sudut pandang dogmatis, moral atau praktis adalah keadaan tereksploitasi. Pada dasarnya had nurani manusia dipengaruhi oleh keadaan kehidupan materialnya. Mustahil terjadi perubahan keadaan spiritual, psikologis dan moral manusia kalau kondisi kehidupan materialnya tidak berubah. Berdasarkan ini Al-Qur'an mengatakan bahwa bentuk fundamental dari upaya sosial adalah upaya kelas. Dengan kata lain, Al-Qur'an memandang lebih penting upaya sosial ketimbang upaya ekonomi atau moral. Menurut Al-Qur'an, kaum kafir, kaum munafik, kaum musyrik, kaum pembuat kerusakan dan kaum tiran merupakan produk dari kelompok-kelompok yang oleh Al-Qur'an disebut royal, berlebihan, elite, imperial, angkuh dan yang semacam itu. Orang kafir dan orang yang membuat kerusakan tidak mungkin dari kelompok sebaliknya. Para nabi, para imam, para wali, para syahid, orang-orang yang hijrah dan kaum mukmin, semuanya berasal dari kelas tertindas. Tak mungkin mereka ini berasal dari kelas sebaliknya (kelas penindas). Yang membentuk hati nurani sosial dan mengarahkan hati nurani seperti ini adalah keadaan menjadi penindas atau keadaan menjadi tertindas. Semua kualitas lainnya hanyalah perwujudan dari dua keadaan ini.

Al-Qur'an memandang semua kelompok yang disebutkan di atas itu sebagai manifestasi dan produk dari dua kelas yang benar-benar saling bertentangan: (1) kelas angkuh; (2) kelas tertindas. Al- Qur'an menyebutkan sejumlah kualitas baik seperti bersahaja, jujur, tulus, beribadah, berwawasan, baik hati, penyayang, ksatria, pa tub, khidmat, murah hati, mau berkorban, takwa, dan rendah hati. Al-Qur'an juga menyebutkan sejumlah kualitas buruk seperti berdusta, berkhianat, cabul, sok, berlagak, tidak bermoral, keras kepala, keras hati, kikir, angkuh dan yang semacamnya. Al-Qur'an memandang kualitas jenis pertama sebagai kualitas yang dimiliki kaum tertindas, dan kualitas jenis kedua sebagai kualitas yang dimiliki kaum penindas.

Karena itu keadaan sebagai penindas dan keadaan sebagai tertindas bukan saja merupakan ciri dari dua kelas yang berbeda dan bertentangan ini, namun juga melahirkan dua jenis kualitas yang saling bertentangan. Menjadi penindas dan menjadi tertindas merupakan basis dari semua orientasi, kecenderungan dan pilihan, dan merupakan akar dari semua fenomena budaya dan publik. Etika, filsafat, seni, sastra dan agama yang datang dari kelas penindas, menggambarkan orientasi kelas itu, berfungsi membenarkan status quo dan menyebabkan terjadinya stagnasi dan fosilisasi. Sebaliknya, etika, filsafat, sastra, seni atau agama yang datang dari kelas tertindas selalu informatif, membangkitkan semangat, dinamis dan revolusioner.

Kaum yang arogan, karena mereka penindas dan memiliki prestise sosial, mereka tidak tercerahkan, tidak lapang hati. Mereka anti-pencerahan, konservatif dan suka damai. Sebaliknya, kaum tertindas suka perubahan dan revolusioner. Pendek kata, menurut para pendukung teori ini, Al-Qur'an mendukung pandangan yang mengatakan bahwa kondisi ekonomilah yang membentuk manusia, menentukan kelas manusia, mengarahkan manusia dan membentuk fondasi intelektual, moral, religius dan ideologis manusia. Kalau kita telaah ayat-ayat Al-Qur'an sebagai keseluruhan, akan terlihat bahwa pandangan ini merupakan dasar dari ajaran Al-Qur'an.

Karena itu, kriteria segala sesuatu adalah kelas. Semua klaim dapat dinilai dengan menggunakan standar ini. Berdasarkan ini maka klaim yang menyatakan bahwa seseorang itu mukmin, pembaru atau pemimpin, dapat diterima atau ditolak. Kriteria ini bahkan dapat digunakan untuk menilai klaim nabi atau imam. Sesungguhnya dasar teori ini adalah konsepsi material tentang manusia dan masyarakat. Tak syak lagi, Al-Qur'an memandang sangat penting kondisi sosial individu. Namun apakah ini tidak berarti Al-Qur'an memandang kondisi sosial sebagai fondasi seluruh kelas dan klasifikasi manusia? Hemat kami, konsepsi tentang masyarakat ini tidak sesuai dengan pandangan Islam ten tang manusia, alam dan masyarakat, dan konsepsi tersebut merupakan hasil dari telaah dangkal tentang Al-Qur'an. Masalah ini dibahas secara terperinci pada judul "Apakah Sejarah Pada Dasarnya Materialistis ?"

Satu Masyarakat atau Banyak Masyarakat

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa masalah ini penting bagi setiap mazhab, karena masalah ini menentukan apakah semua masyarakat mungkin ideologinya satu, atau tiap bangsa, kaum dan budaya harus sendiri-sendiri ideologinya. Kita tahu bahwa arti ideologi adalah skema untuk membawa masyarakat mencapai kesejahteraan dan kesempurnaan. Kita juga tahu bahwa tiap spesies di dunia ini memiliki sifat dan kemampuannya sendiri. Karena itu konsepsi tentang kesejahteraan dan kesempurnaan bagi tiap spesies beda-beda. Kesejahteraan dan kesempurnaan kuda adalah berbeda dengan kesejahteraan dan kesempurnaan domba atau manusia.

Karena itu, jika berdasarkan aktualitas masyarakat kita mengira semua masyarakat sifat dan esensinya satu, dan keragamannya hanya dalam ruang keragaman individualistis satu spesies, maka dapat kita katakan dengan benar bahwa pada semua masyarakat ada satu ideologi yang kuat, dan ideologi ini cukup fleksibel untuk diterapkan pada semua keragaman individualistis. Namun kalau keragaman masyarakat berarti keragaman sifat dan esensinya, tentu saja untuk mewujudkan

kesejahteraan masing-masing maka dibutuhkan skema yang beragam pula, dan tak mungkin satu ideologi untuk semua masyarakat.

Muncul pertanyaan serupa berkenaan dengan perubahan yang dialami masyarakat dengan berlalunya waktu. Berubahkah esensi masyarakat dengan terjadinya perubahan pada masyarakat? Apakah perubahan ini bersifat perubahan spesies, ataukah semata-mata bersifat perubahan sebagian anggota masyarakat, sementara sifat spesiesnya itu sendiri pada dasarnya tetap tidak mengalami perubahan di tengah terjadinya berbagai perubahan?

Pertanyaan pertama di atas berkaitan dengan masyarakat, sedangkan pertanyaan kedua berkaitan dengan sejarah. Sekarang yang dibahas adalah pertanyaan pertama, sedangkan pertanyaan kedua, pembahasannya nanti ketika membahas sejarah. Melalui telaah sosiologis, maka akan jelaslah bahwa meskipun masyarakat beragam namun pada dasarnya ada beberapa karakteristiknya yang sama, bahwa keragamannya hanya bersifat superfisial, bukan fundamental; atau pada dasarnya masyarakat beda antara yang satu dan yang lainnya, kendatipun secara lahiriah kelihatannya sama. Inilah jalan filosofis untuk memperoleh jawaban pasti bahwa terjadi paradoks (kekacauan, ambiguitas) sehubungan dengan apakah masyarakat itu tunggal atau beragam.

Ada pula jalan yang lebih pendek, yaitu melakukan telaah atas manusia itu sendiri. Merupakan fakta yang tak terpungkiri bahwa semua manusia itu spesiesnya satu. Dari sudut pandang biologis, manusia tidak mengalami perubahan biologis sejak awal eksistensinya. Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa alam, setelah membawa makhluk hidup ke tingkat manusia, telah berubah jalannya. Alam telah menggeser proses evolusi, dari perubahan biologis dan fisis ke perkembangan spiritual.

Pada bagian terdahulu, ketika membahas sosialitas manusia, sudah disimpulkan bahwa karena spesies manusia itu satu, bukan banyak, maka pada dasarnya manusia bersifat sosial. Dengan kata lain, sosialitas manusia dan semangat kolektifnya merupakan sifat esensialnya yang dibawa sejak lahir. Untuk dapat mencapai kesempurnaan yang sesuai dengan kemampuannya, manusia memiliki kecenderungan sosial, dan kecenderungan sosial ini memudahkan lahirnya semangat kolektif, dan pada gilirannya semangat ini menjadi sarana untuk membawa manusia mencapai kesempurnaan puncaknya. Fakta bahwa manusia adalah dari spesies tertentu, menentukan skema semangat kolektif manusia. Dengan kata lain, semangat kolektif manusia adalah untuk kepentingan fitrahnya. Selama fitrah ini tetap eksis pada manusia, maka semangat kolektif manusia akan terus menjalankan fungsinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa semangat kolektif manusia merupakan produk sampingan dari semangat individual manusia, dan, dengan kata lain, itu merupakan bagian dari fitrahnya. Karena semua manusia itu spesiesnya satu, maka semua masyarakat manusia juga satu sifatnya.

Karena individu terkadang menyimpang dari jalan normal fitrahnya, maka masyarakat juga begitu. Keragaman masyarakat sama dengan keragaman moral individu, yang masih dalam batas sistem fundamental manusia. Dengan demikian semua masyarakat, budaya dan semangat kolektif yang mendominasi masyarakat, sekalipun bentuknya beragam, selalu memiliki warna manusiawi, dan sifatnya tak mungkin keluar dari sifat manusiawi.

Tentu saja, kalau yang diterima adalah teori keempat, yaitu teori komposisi masyarakat, dan individu dipandang hanya sebagai materi reseptif seperti wadah kosong, serta prinsip fitrah ditolak, maka yang dapat dipertimbangkan hanyalah hipotesis keragaman fundamental masyarakat. Namun teori ini, seperti dikemukakan Durkheim, tak dapat diterima, karena pertanyaan terpenting yang masih belum terjawab oleh teori ini adalah: Kalau semangat kolektif pada prinsipnya bukan berasal dari semangat individual manusia dan bukan produk sampingan dari fitrah manusia, lantas dari

mana? Apakah semangat kolektif tersebut eksis dari non-eksistensi mutlak? Untuk menjawab pertanyaan ini, cukup kalau dikatakan bahwa karena manusia eksis, maka masyarakat pun eksis. Lagi pula, Durkheim sendiri berpandangan bahwa masalah sosial seperti agama, prinsip moral, seni dan sebagainya, eksis dan akan selalu eksis pada semua masyarakat. Dalam kata-kata Durkheim, permanensinya bersifat termporal dan penyebarannya bersifat spasial. Ini sendiri membuktikan bahwa semangat kolektif manusia jenisnya satu dan sifatnya satu.

Menurut ajaran Islam, hanya ada satu agama. Perbedaan yang terjadi dalam hukum baku, semata- mata sekunder sifatnya, bukan substansial. Kita juga tahu bahwa agama tak lain adalah skema evolusi individual dan kolektif. Ini menunjukkan bahwa ajaran Islam didasarkan pada konsepsi yang menyebutkan bahwa jenis masyarakat itu tunggal. Seandainva masyarakat itu jenisnya banyak, tentu tujuan evolusionernya dan cara mencapai tujuan tersebut beragam, dan tentu pula agama itu beragam, yang pada dasarnya antara agama yang satu dan agama yang lain berbeda. Namun Al- Qur'an menegaskan bahwa hanya ada satu agama di semua tempat dan masyarakat, dan di semua zaman dan masa. Dari sudut pandang Al-Qur'an, tak pernah ada beragam agama. Yang ada adalah satu agama. Semua nabi mendakwahkan dan mengajarkan satu agama, satu jalan hidup, dan satu tujuan. Al-Qur'an memfirmankan:

Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. asy- Syûrâ: 13)

Beberapa ayat Al-Qur'an mengindikasikan bahwa di mana dan kapan pun para nabi yang diutus oleh Allah SWT mendakwahkan agama yang sama. Prinsip bahwa pada dasarnya agama tak lebih dari satu, didasarkan pada konsepsi bahwa semua manusia spesiesnya satu, tak lebih dari satu. Begitu pula, masyarakat manusia sebagai aktualitas pada dasarnya jenisnya satu, tidak lebih dari itu. Masa Depan Masyarakat

Bahwa pada dasarnya karakter masyarakat dan budaya modern itu berbeda-beda, tak dapat kita terima. Namun yang tak dapat dinafikkan adalafa bahwa bentuk dan kualitas masyarakat dan budaya modern memang beragam. Sekarang pertanyaannya adalah: Bagaimana masa depan masyarakat manusia? Akankah budaya dan peradaban ini, dan masyarakat serta nasionalitas ini, selalu mem-pertahankan posisinya yang ada? Ataukah manusia akan menuju kepada satu budaya, satu peradaban dan satu masyarakat, dan akankah semua masyarakat kelak nanti berpadu menjadi satu? Pertanyaan ini bergantung pada pertanyaan tentang karakter masyarakat dan hubungan antara semangat individual dan semangat kolektif.

Jelaslah kalau kita mempercayai teori bahwa fitrah manusia itu esensial, dan berpandangan bahwa eksistensi kolektif manusia, kehidupan kolektif manusia dan semangat kolektif masyarakat merupakan sarana yang dipilih fitrah manusia untuk mencapai kesempumaannya, maka dapat dikatakan bahwa semua masyarakat, semua budaya dan semua peradaban tengah dalam proses penyatuan. Masa depan masyarakat manusia berupa satu masyarakat dunia yang mengalami perkembangan penuh sehingga semua nilai manusiawi yang mungkin ada akan terealisasi dan manusia akan mencapai kesempurnaan, kesejahteraan dan pada akhirnya kebajikan yang aktual. Dari sudut pandang Al-Qur'an, bahwa pada akhirnya kebenaran yang akan menang dan kepalsuan yang akan sirna, merupakan fakta yang tak terpungkiri. Pada akhirnya kesalehan dan ketakwaanlah yang akan jaya. Allamah Thabathaba'i, dalam bukunya "al-Mîzân", mengatakan:

"Kalau kondisi dunia ditelaah dengan seksama, maka akan terlihat jelas bahwa di masa depan manusia, yang juga bagian dari dunia, akan mencapai kesempumaannya. Al-Qur'an mengatakan bahwa tegaknya Islam di dunia tak terelakkan. Itulah bentuk lain dari perkataan bahwa manusia akan mencapai kesempumaannya. Bila Al-Qur'an mengatakan: ' Wahai orang-orang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.' (QS. al-Mâ`idah: 54) Maka sesungguhnya Al-Qur'an ingin menegaskan untuk apa perlunya ada alam semesta, dan ingin menggarnbarkan nasib atau puncak takdir manusia." (al-Mîzân, Jilid 4 halaman 106)

Al-Qur'an memfirmankan sebagai berikut:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan yang mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. (QS. an-Nûr: 55)

Di tempat lain Al-Qur'an memfirmankan:

Sesungguhnya bumi ini diwarisi hamba-hamba-Ku yang saleh. (QS. al-Anbiyâ': 105)

Allamah Thabathaba'i, penulis "al-Mîzân", pada Bab "Percaya Pada Batas Dunia Islam, bukan Batas Geografis atau Kontraktualnya", mengatakan sebagai berikut:

"Islam mencabut prinsip yang menyebutkan bahwa adanya bangsa-bangsa efektif perannya dalam membentuk masyarakat. Ada dua faktor utama yang menyebabkan adanya bangsa-bangsa ini. Faktor pertama adalah kehidupan suku yang primitif yang didasarkan pada afinitas (persamaan) rasial, dan faktor kedua adalah perbedaan wilayah geografis. Kedua faktor ini merupakan penyebab utama terbaginya umat manusia menjadi bangsa-bangsa dan suku-suku. Kedua faktor ini juga merupakan sumber perbedaan bahasa dan warna kulit. Kedua faktor ini pada tahap selanjutnya merupakan alasan kenapa setiap bangsa menguasai wilayah tertentu, lalu menyebutnya tanah airnya dan mempertahankannya. Sekalipun ini merupakan proses yang alamiah, namun membawa sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia. Fitrah manusia ini menghendaki seluruh umat manusia hidup sebagai satu keseluruhan dan satu unit. Hukum alam juga didasarkan pada menyusun apa yang berserak dan menyatukan apa yang terpisah. Melalui proses ini alam mencapai tujuannya. Efektivitas hukum ini akan kelihatan kalau kita telaah fenomena alam dan kalau kita tahu mengapa materi primer berbentuk elemen dan kemudian berbentuk tumbuhan, kemudian berbentuk binatang dan akhirnya berbentuk manusia. Bangsa-bangsa dan suku-suku meski menyatukan orang-orang yang sama negaranya dan sama sukunya, namun juga menempatkan orang-orang ini berhadap- hadapan dengan unit-unit manusia lainnya. Orang-orang yang sama negaranya memandang satu sama lain sebagai saudara, memandang orang-orang yang tidak senegara sebagai orang asing, dan

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 177-187)