• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkatan Kemusyrikan

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 55-68)

Bukan saja tauhid yang terdapat tingkatannya, kemusyrikan juga ada tingkatannya. Kalau kita membandingkan keduanya, kita dapat lebih mengetahui tauhid maupun kemusyrikan. Karena membandingkan dua hal yang berseberangan tersebut, maka kita dapat menjelaskannya. Sejarah memperlihatkan bahwa eksistensi beragam kemusyrikan selalu menandingi tauhid yang diajarkan oleh para nabi.

Percaya Pluralitas Zat Tuhan

Bangsa-bangsa tertentu memiliki kepercayaan kepada dua (dualisme), tiga (trinitas) atau lebih dari sumber kreatif dan abadi yang satu sama lain saling mandiri. Mereka percaya bahwa dunia ini memiliki banyak kutub dan banyak pusat. Dari mana sumber gagasan-gagasan seperti itu? Apakah masing-masing gagasan ini mencerminkan kondisi sosial masyarakat bersangkutan. Misal, ketika orang mempercayai dua sumber kreatif dan abadi serta dua orbit orisinal dunia, masyarakat mereka terbagi menjadi dua bagian yang berlainan, dan ketika orang mempercayai tiga sumber dan tiga Tuhan, sistem sosial mereka trilateral. Dengan kata lain, dalam setiap kasus, sistem sosial tersebut tecermin pada pikiran masyarakat dalam bentuk doktrin. Apakah juga merupakan fakta bahwa para nabi mengajarkan tauhid hanya ketika pusat sistem sosial cenderung satu?

Pandangan ini berasal dari sebuah teori filsafat yang sudah kita bahas sebelumnya. Menurut teori ini, aspek-aspek spiritual dan intelektual pada diri manusia, dan kecenderungan moral serta konvensional masyarakat seperti ilmu pengetahuan, hukum, filsafat, agama dan seni, kedudukan atau arti pentingnya berada di bawah sistem sosial manusia, khususnya berada di bawah sistem ekonominya, dan posisinya tidak mandiri. Teori ini sudah kami buktikan kesalahannya. Kami mempercayai nilai intrinsik pemikiran, ideologi dan sisi manusiawi manusia, karena itu kami anggap tak berdasar pandangan-pandangan sosiologis seperti itu mengenai tauhid dan kemusyrikan. Namun demikian, ada masalah lain yang tidak boleh dikacaukan dengan teori ini. Terkadang ajaran agama disalahgunakan dalam sistem sosial. Misal, sistem berhala kaum Quraisy penyembah berhala merupakan skema untuk melindungi kepentingan kaum praktisi riba Arab. Orang-orang seperti Abu Sofyan, Abu Jahal dan Walid bin Mughirah sedikit pun tidak mempercayai berhala. Mereka membela berhala hanya untuk melindungi sistem sosial yang ada. Ketika sistem tauhid Islam yang antiriba tampil, mereka semakin hebat dalam membela berhala. Karena takut diri mereka bakal hancur, maka kaum penyembah berhala praktisi riba ini pun mengemukakan dalih bahwa kepercayaan-kepercayaan masyarakat itu suci. Al-Qur'an banyak menyinggung hal ini, khususnya dalam kisah tentang Fir'aun dan Nabi Musa. Namun demikian, haruslah dipahami bahwa masalah ini beda sekali dengan pandangan yang menyebutkan bahwa sistem ekonomi merupakan infrastruktur sistem doktrin dan bahwa setiap sistem intelektual merupakan reaksi sistem ekonomi dan sosial.

Yang ditolak keras oleh mazhab para nabi adalah pandangan yang menyebutkan bahwa setiap ideologi niscaya merupakan bentuk kristalisasi keinginan masyarakat, dan keinginan masyarakat ini muncul akibat kondisi ekonomi. Menurut teori materialistis, mazhab tauhid para nabi itu sendiri merupakan bentuk kristalisasi keinginan sosial yang muncul akibat kebutuhan ekonomi pada zaman para nabi tersebut. Perkembangan alat produksi melahirkan banyak keinginan sosial yang dijelaskan melalui pandangan tauhid. Para nabi sesungguhnya menjelaskan secara terperinci kebutuhan sosial dan ekonomi ini. Ada kaidah yang berlaku umum, yaitu bahwa setiap gagasan dan setiap kepercayaan ada infrastruktur ekonominya. Kaidah ini berlaku pula pada pandangan atau gagasan tauhid.

Al-Qur'an percaya bahwa fitrah manusia merupakan dimensi pokok dari eksistensinya. Al-Qur'an juga berpandangan bahwa fltrah manusia melahirkan sejumlah keinginan yang hanya dapat dipenuhi dengan tauhid. Karena itu Al-Qur'an memandang dakwah tauhid para nabi memenuhi kebutuhan manusia. Al-Qur'an tidak mempercayai infrastruktur lain tauhid, juga tidak memandang kondisi kelas sebagai faktor yang memaksa lahimya gagasan atau kepercayaan. Seandamya kondisi kelas merupakan infrastruktur kepercayaan manusia, maka setiap orang tentu cenderung ke arah yang dikehendaki posisi kelasnya. Dalam kasus ini tak akan ada pilihan bagi siapa pun dalam masalah kepercayaan. Orang-orang seperti Fir'aun tak dapat disalahkan, para penentang mereka juga tak dapat dipuji, karena orang baru dapat disalahkan atau dipuji kalau dia memiliki pilihan untuk menjadi lain. Kalau tidak, dia tak dapat disalahkan, juga tak dapat dipuji. Seorang kulit hitam atau kulit putih tak dapat disalahkan atau dipuji karena warna kulitnya. Namun kita tahu bahwa manusia tidak harus berpikir seperti pikiran kelasnya. Dapat saja dia menentang kepentingan kelasnya, seperti yang dUakukan Nabi Musa, sekalipun Nabi Musa dibesarkan dalam lingkungan mewah Fir'aun. Hal ini membuktikan bahwa soal infrastruktur dan suprastruktur, di samping meniadakan sisi manusiawi manusia, tak lebih daripada sebuah mitos.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kondisi material dan intelektual tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Yang ditolak adalah kalau kondisi material dan kondisi intelektual masing-masing dianggap sebagai infrastruktur dan suprastruktur. Al-Qur'an mengatakan,

Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas ketika melihat dirinya serba cukup. (QS. al- 'Alaq: 6)

Al-Qur'an mengakui bahwa kaum kaya dan kaum berkuasa berperan penting dalam menentang para nabi, sedangkan kaum tertindas dan kaum kurang mampu berperan mendukung para nabi. Namun karena fitrah mereka, mereka pun semuanya dapat menerima kebenaran.

Dari sudut pandang spiritual, perbedaan satu-satunya adalah bahwa satu kelompok, kendadpun memiliki fitrah, harus terlebih dahulu mengatasi rintangan besar sebelum dapat diyakinkan untuk menerima kebenaran, karena kelompok ini harus melepaskan keuntungan materialnya yang ada dan keistimewaannya yang dimilikinya secara ddak adil, sementara kelompok lain tak menghadapi rintangan seperti itu. Dengan bahasa Salman al-Farisi (sahabat istimewa Nabi Muhammad saw), mereka yang bebannya ringan, terselamatkan. Bukan saja begitu, kelompok kedua ini memiliki dorongan yang positif. Setelah menerima kebenaran, kondisi hidup kelompok ini mengalami perbaikan, dan kehidupannya pun semakin enak. Itulah sebabnya mayoritas pengikut para nabi adalah kaum kurang mampu. Namun demikian, para nabi selalu mampu mendapat pengikut dari kalangan kaum mampu, dan mampu meyakinkan mereka untuk menentang kelas mereka sendiri dan kepentmgan kelas mereka. Menurut Al-Qur'an, orang-orang seperti Fir'aun dan Abu Sofyan membela sistem musyrik pada zaman mereka, dan membangkitkan semangat religius kaum mereka untuk menentang Nabi Musa dan Nabi Terakhir (Muhammad saw—pen.) bukan semata-mata lantaran mereka—karena posisi kelas mereka—tidak dapat berpikir untuk berbuat lain, atau bukan karena tuntutan kelas mereka mengkristal dalam bentuk ke-percayaan musyrik. Al-Qur'an mengatakan bahwa mereka durhaka. Berkat fitrah mereka, mereka mempercayai Allah dan menyadari kebenaran, namun tetap saja mereka menolak dan menentang kebenaran. Al-Qur'an menyebutkan:

Dan mereka mengingkari ayat-ayat Kami, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)-nya. (QS. an- Naml: 14)

Al-Qur'an menggambarkan kekafiran mereka sebagai pengingkaran terhadap apa yang diyakini hati mereka. Dengan kata lain, pengingkaran mereka merupakan semacam revolusi menentang hati nurani mereka sendiri. Dalam hubungan ini ada kesalahpahaman yang serius. Sebagian orang

berpendapat bahwa Al-Qur'an mendukung teori materialisme sejarah Marxis. Masalah ini akan kami bahas secara terperinci pada saat mengkaji masyarakat dan sejarah di bagian lain buku ini. Teori ini tidak sesuai dengan realitas aktual sejarah, juga tidak dapat dipertahankan dari sudut pandang ilmiah.

Namun demikian, mempercayai beberapa sumber berarti mempercayai pluralitas Zat Tuhan, dan bertentangan sekali dengan mempercayai keesaan Zat Tuhan. Dalam kaitan ini Al-Qur'an mengemukakan argumen:

Sekiranya ada di langit dan di burnt Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ': 22)

Orang yang meyakini pluralitas Zat Tuhan berarti dia berada di luar batas Islam, karena Islam menolak keras keyakinan seperti ini dalam setiap bentuknya.

Pluralitas Pencipta

Sebagian orang meyakini bahwa Allah tak bersekutu. Mereka meyakini bahwa Allah adalah satu- satunya sumber alam semesta ini. Namun, sejauh menyangkut Tuhan sebagai pencipta, mereka menyekutukan Tuhan dengan beberapa makhluk. Misal, sebagian dari mereka berpendapat bahwa keburukan atau kejahatan di-ciptakan oleh sebagian makhluk, bukan oleh Allah. Keyakinan seperti ini sama juga dengan keyakinan bahwa pencipta itu banyak, dan keyakinan seperti ini bertentangan sekali dengan ajaran keesaan perbuatan Tuhan. Namun demikian, keyakinan akan pluralitas pencipta ada beberapa tingkatannya. Sebagiannya tidak sama dengan kemusyrikan yang terang- terangan, dan karena itu penganut keyakinan ini belum berada di luar batas Islam.

Pluralitas Sifat-sifat Allah

Karena pelik, maka bukan orang biasa yang mengangkat persoalan ini. Hanya sebagian pemikir yang kurang mendalam wawasannya saja yang tertarik dengan persoalan ini. Di antara kaum teolog skolastis (penganut skolastisisme; skolastisisme adalah teologi dan falsafah Kristen abad pertengahan yang didasarkan pada falsafah Aristoteles dan menekankan dasar rasional bagi iman Kristen—pen.), kaum Asya'irah mempercayai pluralitas Sifat-sifat Allah. Karena keyakinan seperti ini tidak sama dengan kemusyrikan terang-terangan, maka penganutnya belum berada di luar batas Islam.

Pluralitas Ibadah (Penyembahan)

Banyak orang yang menyembah kayu, batu atau logam, atau mereka menyembah hewan, bintang, pohon atau sungai. Dahulu kemusyrikan seperti ini lazim. Sekarang pun kemusyrikan seperti ini masih ada di beberapa belahan dunia. Pluralitas penyembahan merupakan lawan dari tauhid ibadah. Semua tingkat kemusyrikan yang disebutkan sebelumnya merupakan beragam jenis kemusyrikan teoretis. Semuanya dapat dilukiskan sebagai persepsi atau pengetahuan yang salah. Pluralitas ibadah merupakan kemusyrikan praktis, semacam "menjadi" yang salah.

Namun demikian, kemusyrikan praktis juga begitu banyak tingkatannya. Tingkatannya yang paling tinggi adalah tingkatan yang membuat orang berada di luar batas Islam. Tingkatan ini disebut kemusyrikan yang terang-terangan. Namun ada banyak jenis kemusyrikan yang tersembunyi. Karena memiliki program tauhid praktis, maka Islam memerangi semua jenis kemusyrikan itu. Ada jenis-jenis kemusyrikan yang begitu tak kentara dan tersembunyi, sehingga nyaris tidak kelihatan. Nabi saw bersabda: "Kemusyrikan lebih tak terlihat ketimbang semut yang berjalan di batu yang licin di kegelapan malam. Kemusyrikan yang paling kecil kadarnya adalah lebih cenderung kepada tindak kezaliman ketimbang tindak keadilan."

Orang baru dapat disebut religius kalau dia mencintai dan membenci karena Allah semata. Allah SWT berfirman:

Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mmgasihi dan mengampuni dosa-dosamu. (QS. Âli 'Imrân: 31)

Islam memandang perbuatan menuruti hawa nafsu, cinta jabatan, cinta kehormatan dan uang, maupun memuja pahlawan atau tokoh, sebagai bentuk kemusyrikan. Dalam kisah tentang konflik antara Nabi Musa dan Fir'aun, Al-Qur'an menggambarkan kekuasaan tiran Fir'aun atas Bani Isra'il. sebagai pemaksaan dedikasi dan perbudakan. Nabi Musa digambarkan menjawab Fir'aun:

Budi yang kamu Umpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Isra'il. (QS. asy-Syu'arâ’: 22)

Jelaslah bahwa Bani Isra'il tidak menyembah Fir'aun dan juga tidak menjadi budaknya. Mereka hanyalah hidup di bawah kekuasaan tirani Fir'aun. Di bagian lain Fir'aun digambarkan mengatakan: "Sesungguhnya kami memiliki kekuasaan penuh atas mereka." Di bagian lain lagi Fir'aun digambarkan mengatakan: "Kaum mereka (kaum Nabi Musa as dan Nabi Harun as) adalah budak kami dan menyembah kami." Dalam ayat ini kata "kami" penting artinya. (lihat QS. al-A'raf: 127) Sekalipun kita berasumsi bahwa Bani Isra'il dipaksa menyembah Fir'aun, tetap saja tak dapat dibayangkan bahwa Bani Isra'il menyembah pembesar-pembesar Fir'aun. Bani Isra'il hanya dipaksa tunduk dan menaati Fir'aun. Dalam sebuah khotbah yang menggambarkan keadaan menyedihkan yang dialami Bani Isra'il di bawah kekuasaan tirani Fir'aun. Imam Ali as berkata: "Orang-orang seperti Fir'aun telah memperbudak mereka." Imam Ali as menjelaskan diperbudaknya Bani Isra'il dengan kata-kata seperti ini: "Orang-orang seperti Fir'aun itu menyiksa mereka dan membuat hidup mereka menyedihkan. Bani Isra'il hidup di bawah kondisi yang sangat menindas dan tak dapat menemukan jalan untuk melepaskan diri dari penindasan dan penghinaan, atau untuk membela diri." (Nahj al-Balâghah)

Ayat yang menjanjikan bahwa kaum mukmin akan menjadi khalifah Allah, sangat jelas dalam kaitan ini. Ayat itu mengatakan:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bund, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutvkan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) Kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yangfasik. (QS. an-Nûr: 55) Ayat ini menunjukkan, bahwa bila pemerintahan yang baik dan kekhalifahan Allah tegak, maka kaum mukmin terbebaskan dari menaati setiap tiran. Ayat ini mengatakan bahwa kaum mukmin hanya menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun juga. Ini memperlihatkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an, menaati penguasa merupakan tindak menyembah Allah asalkan penguasa tersebut ditaati karena Allah. Kalau tidak, maka perbuatan seperti itu merupakan tindak kemusyrikan. Mengherankan bahwa terpaksa taat, yang secara moral tidak dianggap sebagai tindak menyembah, juga dianggap demikian dari sudut sosial. Nabi saw bersabda: "Ketika jumlah Bani al-'As (leluhur Marwan bin Hakam dan sebagian besar khalifah Umayah) mencapai tiga puluh, mereka akan menjarah milik Allah dan mengubahnya menjadi milik pribadi mereka, akan memperbudak hamba Allah, dan akan mengintervensi agama-Nya."

Di sini Nabi Muhammad saw mengisyaratkan bahwa Bani Umayah akan menjadi penindas atau tiran. Memang Bani Umayah tidak meminta disembah, juga tidak memperbudak rakyat mereka. Bani Umayah hanya menjalankan kekuasaan tirani. Nabi saw, melalui wahyu Allah sehingga dapat melihat apa yang akan terjadi kelak, menyebut posisi ini pembudakan dan semacam kemusyrikan. Batas antara Tauhid dan Kemusyrikan

Apa garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan (termasuk bentuknya yang teoretis dan praktis?) Mana pandangan yang tauhid dan mana pandangan yang musyrik? Perbuatan seperti apa yang dapat disebut Tauhid praktis, dan yang dapat disebut kemusyrikan praktis? Apakah musyrik kalau mempercayai eksistensi apa pun selain Allah? Apakah Tauhid Zat-Nya menuntut kita untuk tidak mempercayai eksistensi sesuatu dalam bentuk apa pun di samping Dia, yang bahkan bukan ciptaan- Nya (semacam monoisme ontologis").

Jelaslah bahwa segala ciptaan adalah pekerjaan Allah. Tidak dapat dipandang sebagai tandingan- Nya. Ciptaan Allah merupakan manifestasi kemahakuasaan-Nya. Mempercayai eksistensi suatu ciptaan sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Allah, tidak bertentangan dengan tauhid. Akan tetapi justru melengkapi tauhid. Karena itu, garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan bukanlah ada atau tidak adanya sesuatu selain Allah.

Apakah mempercayai sebab-akibat segala ciptaan sama dengan kemusyrikan atau pluralitas pencipta? Apakah mempercayai tauhid perbuatan Allah berarti kita juga menolak sistem sebab- akibat, dan beraiti kita juga menganggap bahwa setiap akibat tentu penyebabnya adalah Allah langsung? Misal, apakah kita percaya bahwa api sama sekali tak punya peran dalam pembakaran, air sama sekali tak punya peran dalam menghilangkan dahaga, hujan sama sekali tak punya peran dalam menumbuhkan tanaman, dan obat sama sekali tak punya peran dalam penyembuhan, dan bahwa Allah langsung yang membakar, langsung yang menghilangkan dahaga, langsung yang menumbuhkan tanaman, dan langsung yang menyembuhkan penyakit Benarkah ada atau tak adanya faktor-foktor lain sama saja? Paling banter dapat dikatakan bahwa Allah biasanya berbuat bila ada faktor-faktor tertentu. Jika seseorang biasa memakai topi di kepalanya bila dia mau menulis surat, maka tidak dapat dikatakan bahwa ada atau tak adanya topi mengakibatkan dia menulis surat. Yang jelas adalah bahwa dia tak suka menulis surat tanpa mengenakan topi di kepalanya. Menurut pandangan ini, seperti itulah karakter dan ada dan tidak adanya segala sesuatu yang disebut sebab dan faktor. Kalau kita mempercayai sebaliknya, berarti kita menganggap bahwa Allah ada sekutu- Nya dalam berbuat. Itulah pandangan kaum Asya'irah dan kaum Jabariah.

Sekali lagi pandangan ini salah. Karena mempercayai eksistensi sesuatu ciptaan tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas Zat Tuhan, tetapi justru melengkapi kepercayaan akan keesaan Allah, maka mempercayai sistem sebab-akibat tidaklah sama dengan mempercayai pluralitas pencipta. Karena eksistensi segala ciptaan itu bukan dengan sendirinya, maka efektivitas mereka juga bergantung. Karena eksistensi dan efektivitas segala yang ada bergantung pada Allah, maka tak ada soal pluralitas pencipta. Mempercayai sistem sebab-akibat sesungguhnya melengkapi kepercayaan akan kepenciptaan Allah. Tentu saja sama dengan kemusyrikan kalau kita percaya bahwa segala ciptaan ada sendiri, atau percaya bahwa hubungan antara Allah dan alam semesta adalah hubungan pabrikan dan produk. Mobil pada mulanya membutuhkan pabrikan agar mobil itu ada, namun setelah ada mobil itu berjalan sesuai dengan mekanismenya sendiri. Meskipun pabrikannya mati, mobil itu tetap dapat jalan. Kalau kita beranggapan bahwa hubungan faktor alamiah, seperti air, hujan, energi, panas, bumi, tumbuhan dan manusia dengan Allah seperti itu, seperti terkadang cenderung jadi pandangan kaum Mu'tazilah, maka pandangan seperti itu tentu saja membawa ke kemusyrikan.

Efektivitas segala ciptaan bergantung pada Pencipta mereka, karena asal-usul, eksistensi dan kelangsungan mereka bergantung pada-Nya. Alam semesta adalah ciptaan-Nva dan merupakan

rahmat dari-Nya. Alam semesta sepenuhnya bergantung pada-Nya. Karena itu, efektivitas segala ciptaan sesungguhnya merupakan efektivitas Allah, dan kreativitas mereka merupakan kreativitas- Nya dan perpanjangan pekerjaan-Nya. Bahkan dapat dikatakan bahwa memandang musyrik keyakinan akan adanya peran makhluk dalam urusan dunia itu sendiri adalah pikiran musyrik, karena pikiran seperti itu menunjukkan secara tidak sadar mempercayai kemandirian segala yang ada, seperti ditunjukkan oleh anggapan bahwa mempercayai efektivitas segala yang ada berarti sama dengan mempercayai adanya dua pusat. Namun demikian, mempercayai atau mengingkari sebab-akibat segala ciptaan di samping Allah bukanlah garis pembatas antara tauhid dan kemusyrikan.

Apakah mempercayai kekuatan supranatural dari sesuatu yang eksis, apakah itu malaikat atau manusia seperti nabi atau imam, itu musyrik, padahal mempercayai kekuatan dan efektivitas nabi atau imam dan seterusnva dalam batas-batas normal tidak musyrik? Begitu pula, apakah dapat disebut berpikiran musyrik kalau mempercayai kekuatan dan efektivitas seseorang yang sudah mati, mengingat orang yang sudah mati itu nampaknya hanyalah sebuah benda inorganis. Jelaslah, dari sudut pandang hukum alam, benda inorganis tak memiliki kesadaran, tak memiliki daya, tak memiliki kehendak. Karena itu, percaya bahwa orang yang sudah mati bisa melihat, atau menghormati orang yang sudah mati, dan meminta sesuatu dari orang yang sudah mati, semuanya itu merupakan perbuatan musyrik, karena dengan berbuat begitu berarti menganggap bahwa yang punya kekuatan supranatural bukan saja Allah tetapi juga makhluk.

Begitu pula, tentu saja musyrik kalau percaya bahwa tanah di tempat tertentu bisa untuk menyembuhkan penyakit, atau bahwa berdoa di tempat tertentu pasti dikabulkan, karena kepercayaan seperti itu sama saja dengan mempercayai bahwa benda tak ber-nyawa memiliki kekuatan supranatural. Mengingat semua itu alamiah, dapat diidentifikasi, dapat dialami, dan dapat dilihat, maka bukanlah musyrik, seperti anggapan kaum Asya'irah, kalau mem-percayai efektivitas hal-hal itu. Namun tentu saja musyrik kalau percaya bahwa makhluk memiliki kekuatan supranatural.

Eksistensi memiliki dua segi: fisis dan metafisis. Segi metafisis merupakan wilayah khusus Allah, sedangkan segi fisis merupakan wilayah khusus makhluk, atau merupakan wilayah bersama antara Allah dan makhluk. Sejumlah fungsi yang memiliki segi metafisis, seperti menghidupkan, mematikan, memberikan rezeki, dan seterusnya, bersama beberapa fungsi normal dan biasa, merupakan wilayah khusus Allah. Sejauh menyangkut Tauhid Teoretis, begitulah posisinya. Adapun Tauhid praktis, maka memberikan perhatian kepada makhluk dengan maksud membina hubungan spiritual dengan makhluk tersebut, agar makhluk tersebut memberikan perhatian kepada kita, atau agar makhluk tersebut memberikan tanggapan kepada kita, maka itu semua merupakan kemusyrikan, dan sama saja dengan menyembah makhluk tersebut. Karena menyembah selain Allah itu tidak dibolehkan oleh akal dan juga oleh syariat Islam, maka orang yang melakukan perbuatan tersebut keluar dari Islam. Kemudian, karakter ritus yang membutuhkan adanya perhatian semacam itu, tak beda dengan karakter ritus yang dilakukan oleh kaum penyembah berhala. Kalau orang melakukan ritus seperti itu, maka artinya dia menganggap sosok yang jadi objek ritus tersebut

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 55-68)