• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan Manusia

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 154-165)

Manusia berupaya mengenal dirinya dan mengenal dunia. Manusia ingin lebih tahu siapa dirinya dan bagaimana dunia. Dua jenis pengetahuan ini menentukan evolusi, kemajuan dan kebahagiaannya. Dari dua jenis pengetahuan ini mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting? Jawaban untuk pertanyaan ini tidaklah mudah. Ada yang menganggap mengenal diri itu lebih penting, dan ada yang memandang mengenal dunia lebih penting. Perbedaan jawaban untuk pertanyaan ini terjadi akibat perbedaan cara berpikir Timur dan Barat. Juga akibat perbedaan pandangan ilmu pengetahuan dan pandangan agama. Ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mengetahui dunia, sedangkan agama adalah produk dari kenal, tahu atau sadar diri.

Ilmu pengetahuan, selain berupaya membuat manusia mengenal dirinya, juga berupaya membuat manusia mengenal dunia. Tanggung jawab ini diemban berbagai cabang psikologi. Namun kalau manusia mengenal dirinya melalui ilmu pengetahuan, maka kenal diri seperti ini menjemukan dan tidak hidup. Kenal diri seperti ini tidak menghidupkan jiwa manusia dan juga tidak membangkitkan kemampuan terpendam manusia. Namun kalau manusia mengenal dirinya melalui agama, maka kenal diri seperti ini membuatnya mengetahui realitasnya, menghilangkan apatinya, membakar jiwanya dan membuatnya memiliki rasa kasih sayang dan simpati. Tugas seperti ini tak mungkin diemban oleh ilmu pengetahuan dan filsafat. Bukan saja itu, ilmu pengetahuan dan filsafat terkadang justru membuat manusia tidak sensitif dan lupa akan dirinya. Itulah sebabnya mengapa ilmuwan dan filosof tidak sensitif dan egois. Kata pepatah, mereka ini laksana anjing dalam palungan (bak tempat makanan dan minuman ternak—pen.). Mereka lupa akan dirinya, sedangkan banyak orang tak berpendidikan sadar akan dirinya.

Agama mengajak manusia untuk mengenal dirinya. Pokok-pokok ajaran agama adalah: Kenalilah dirimu agar kamu tahu Tuhanmu. Jangan lupa Tuhanmu agar kamu tidak lupa akan dirimu. Al- Qur'an mengatakan:

Danjanganlah kamu seperti orang-orang yang lupa akan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-arang yang fasik. (QS. al-Hasyr: 19)

Nabi saw bersabda, "Barangsiapa kenal dirinya, maka kenal Tuhannya." Imam All bin Abi Thalib as mengatakan, "Pengetahuan yang paling bermanfaat adalah pengetahuan tentang diri." Imam Ali as juga mengatakan, "Saya heran mengapa orang yang mencari apa-apa yang dihilangkan oleh dirinya, tidak mencari dirinya."

Kritik pokok yang dilontarkan berbagai kalangan berpendidikan dunia terhadap budaya Barat, adalah bahwa budaya Barat merupakan budaya mengenal dunia dan budaya lupa diri. Di sinilah sesungguhnya penyebab merosotnya altruisme atau kebajikan di Barat. Jika manusia, dalam kata- kata Al-Qur'an Suci, kehilangan dirinya, maka kalau dia memperoleh dunia, perolehannya itu tak ada manfaatnya. Sejauh pengetahuan kita, Mahatma Gandhi, mendiang pemimpin India, inilah yang dari sudut pandang ini sangat cerdas kritiknya terhadap budaya Barat. Dia mengatakan:

"Manusia Barat dapat menyelenggarakan pesta besar. Pesta yang bagi bangsa-bangsa lain hanya dapat diadakan oleh Tuhan saja. Namun manusia Barat tak mampu melakukan satu hal. Dia tak dapat menelaah diri rohaniahnya. Fakta ini saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa gemerlap palsu budaya modern tak ada artinya. Jika budaya Barat telah menyebabkan orang Eropa berkubang minuman anggur dan seks, itu karena orang Eropa cenderung lupa dan menyia-nyiakan 'diri' mereka, 'diri' yang semestinya mereka cari. Sebagian besar prestasi besar mereka dan bahkan perbuatan baik mereka merupakan produk dari lupa diri. Kemampuan praktis manusia Barat untuk membuat penemuan, dan menciptakan peralatan perang, terjadi karena dia lari dari 'diri' dan bukan

karena kontrol dirinya yang hebat. Kalau manusia kehilangan jiwanya, maka apa manfaatnya dia menaklukkan dunia?" Selanjutnya Gandhi mengatakan:

"Hanya ada satu kebenaran di dunia ini, dan kebenaran itu adalah mengetahui diri. Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhan dan lainnya. Barangsiapa tidak mengenal dirinya, maka dia tidak mengetahui apa pun. Di dunia ini ada satu kekuatan, satu kemerdekaan dan satu keadilan, dan kekuatan itu adalah kekuatan penguasaan diri. Di dunia ini hanya ada satu kebajikan, yaitu kebajikan menyayangi orang lain seperti menyayangi diri sendiri. Dengan kata lain, orang lain harus dilihat seperti kita melihat diri kita sendiri. Seluruh soal lainnya imajiner dan tak ada." (Introduction to My Religion, 1959)

Entah kita memandang lebih penting mengenal diri atau mengenal dunia, atau kita memandang keduanya itu sama penting, maka yang pasti perluasan pengetahuan berarti perluasan kehidupan manusia. Hidup sama saja dengan pengetahuan, dan pengetahuan sama saja dengan hidup. Barangsiapa lebih mengenal dirinya dan dunia, maka dia lebih memiliki kehidupan. Jelaslah dalam konteks ini arti mengenal diri bukanlah mengetahui isi kartu identitas diri seperti nama diri, nama kedua orang tua, nama tempat kelahiran, nama tempat tinggal dan sebagainya. Juga artinya bukan mengetahui biologi diri yang dapat diikhtisarkan dalam pengetahuan tentang binatang yang lebih tinggi daripada beruang dan kera. Untuk lebih jelasnya, kita lihat secara ringkas berbagai jenis sadar diri. Kita loncati saja sadar diri sebagai mengetahui kartu identitas itu, yang sifatnya kiasan dan tidak riil itu. Ada beberapa jenis sadar (mengenal) diri yang riil:

Sadar Diri yang Fitri Sifatnya

Manusia secara fitrah tahu siapa dirinya. Bukanlah ego manusia yang terbentuk duluan baru kemudian dia jadi sadar diri. Lahirnya ego sama dengan lahirnya sadar diri. Pada tahap itu, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang. Ego adalah realitas, dan realitas itu sendiri adalah mengenal diri. Pada tahap-tahap selanjutnya, ketika manusia kurang lebih mengetahui hal-hal lain, dia tahu dirinya juga, seperti dia tahu hal-hal lain. Dengan kata lain, dia membuat gambar tentang dirinya di benaknya. Secara teknis, dia jadi mengenal dirinya berkat pengetahuan yang didapatnya. Namun sebelum mengenal dirinya dengan cara seperti ini, dan bahkan sebelum mengenal hal lain, dia sudah mengenal dirinya melalui pengenalan diri yang fitri sifatnya. Para psikolog yang biasanya membahas masalah mengenal diri, cuma mempertimbangkan fase kedua dari mengetahui diri, yaitu pengetahuan mental yang didapat melalui upaya. Sedangkan para filosof kebanyakan fokusnya adalah fase pertama, yaitu tahap pengetahuan non-mental yang fitri sifatnya. Pengetahuan seperti ini tak lain adalah apa yang dalam filsafat digambarkan sebagai salah satu bukti kuat keniskalaan (abstraksi) ego.

Dalam kasus pengetahuan seperti ini tak ada masalah keraguan atau pertanyaan seperti "Adakah aku? Kalau aku ada, lantas siapa aku?" Keraguan muncul hanya dalam kasus pengetahuan yang didapat melalui upaya, yaitu dalam kasus di mana pengetahuan tentang sesuatu beda dengan eksistensi aktual sesuatu itu. Namun di mana pengetahuan, yang tahu dan yang diketahui setali tiga uang, dan pengetahuan ini sifatnya fitri, maka tak dapat dibayangkan adanya keraguan. Dengan kata lain, mustahil adanya keraguan dalam kasus seperti itu. Di sinilah Descartes membuat kekeliruan yang fundamental. Dia tidak tahu bahwa "aku ada" tak menimbulkan keraguan, sehingga tak perlu meniadakannya dengan perkataan "aku berpikir, karena itu aku ada."

Kendatipun tahu diri yang sifatnya fitri itu nyata adanya, namun pengetahuan seperti itu bukanlah pengetahuan yang didapat melalui upaya. Seperti eksistensi ego, pengetahuan seperti itu merupakan sifat khas manusia yang sifatnya fundamental. Karena itu kenal diri yang sifatnya fitri ini bukanlah pengetahuan tentang diri, suatu pengetahuan yang manusia selalu diseru untuk memilikinya. Al- Qur'an menyebutkan berbagai tahap perkembangan janin dalam rahim. Ketika menggambarkan tahap terakhimya, Al-Qur'an mengatakan, Sesudah itu Kami jadikan ia ciptaan yang berbeda. Yang

dirujuk ayat ini adalah sadar diri yang sifatnya fitri itu, dan sadar diri ini berkembang akibat perubahan materi non-sadar menjadi substansi spiritual yang sadar diri.

Sadar Diri Filosofis

Filosof ingin tahu karakter riil ego sadar diri. Apakah ego sadar diri itu substansi atau bentuk? Apakah materi atau abstraksi? Bagaimana hubungannya dengan tubuh? Apakah sudah ada sebelum adanya tubuh, atau eksistensinya bersamaan dengan eksistensi tubuh, atau ada setelah adanya tubuh? Dan seterusnya. Pada tahap sadar diri ini pertanyaan utamanya adalah bagaimana karakter dan jenis ego? Jika filosof mengklaim memiliki sadar diri, itu artinya bahwa dia mengklaim tahu karakter, jenis dan substansi ego.

Sadar Diri Universal

Sadar diri universal artinya adalah mengetahui diri dalam kaitan diri dengan dunia—mengetahui jawaban pertanyaan "Dari mana aku berasal?" "Hendak ke mana aku?" Dalam sadar diri seperti ini manusia menyadari dirinya adalah bagian dari suatu keseluruhan yang disebut dunia. Dia juga sadar bahwa dirinya bukanlah makhluk yang independen, namun dirinya bergantung pada makhluk lain. Kedatangannya bukan tanpa bantuan, kehidupannya bukan tak membutuhkan yang lain, untuk mencapai tujuannya manusia tidak bisa sendirian. Pada tahap ini manusia berupaya menentukan posisinya dalam keseluruhan ini yang dikenal dengan sebutan dunia ini.

Kata-kata penting Imam Ali as berikut menggambarkan sadar diri seperti ini. Imam Ali as mengatakan, "Semoga Allah merahmati manusia yang tahu asal-usulnya, yang tahu keberadaan dirinya, dan yang tahu hendak ke mana dirinya." Sadar diri seperti ini membuat manusia sangat mendambakan kebenaran. Sadar diri seperti ini tak ada dalam diri binatang, juga tak ada dalam diri makhluk lain. Sadar diri seperti inilah yang membuat manusia ingin tahu, dan meyakinkan manusia untuk mencari jawaban dan kepastian. Dalam diri manusia, sadar diri seperti ini mengobarkan api keraguan dan penyangkalan, sehingga manusia jadi ragu apakah pandangan ini atau pandangan itu yang hams diikuti. Api ini pulalah yang membakar jiwa "orang-orang seperti Ghazali," sehingga mereka resah, tak dapat tidur, tak dapat makan, turun dari jabatan pemimpin Nizamiah, dan kemudian mengembara di gurun, dan bertahun-tahun hidup resah jauh dari rumah. Api ini pulalah yang membuat "orang-orang seperti Inwan Basri" mencari kebenaran dari rumah ke rumah, dari jalan ke jalan, dan dari kota ke kota. Sadar diri seperti inilah yang membuat manusia memperhatikan ide nasib.

Sadar Diri Kelas

Sadar diri kelas merupakan bentuk sadar diri sosial. Artinya adalah kesadaran orang akan hubungan dirinya dengan kelasnya. Dalam masyarakat yang didominasi kelas, dari sudut pandang gaya hidup dan suka-dukanya, setiap orang mesti menjadi bagian dari lapisan tertentu, atau sadar diri kelas merupakan kesadaran orang akan posisi kelasnya dan tanggung jawab kelasnya. Berdasarkan teori- teori tertentu, mamttia memiliki ego yang melampaui kelas-nya. Ego setiap orang merupakan jumlah seluruh kekuatan psikisnya, yaitu jumlah seluruh perasaan, pikiran, niat dan hasratnya. Semua ini terbentuk dalam kerangka kelas tertentu. Para pendukung teori ini berpandangan bahwa tidak eksis manusia sebagai semata-mata manusia. Eksistensinya hanyalah konseptual, bukan riil. Yang sungguh-sungguh eksis adalah kaum aristokrat dan massa. Manusia hanya dapat eksis dalam masyarakat tak berkelas, kalau saja masyarakat seperti ini ada. Karena itu dalam masyarakat yang didominasi kelas, sadar diri sosial itu identik dengan sadar din kelas.

Menurut teori ini, sadar diri kelas sepadan dengan kesadaran orang akan kepentingannya sendiri, karena filosofi teori ini didasarkan pada pandangan bahwa personalitas setiap indtvidu diatur oleh kepentingan materialnya. Dalam struktur sosial, faktor terpentingnya adalah basis ekonominya. Kehidupan material yang sama dan kepentingan material yang sama membuat individu-individu dari kelas tertentu memiliki suara had yang sama, cita rasa yang sama, dan penilaian yang sama.

Kehidupan kelas melahirkan pandangan kelas, dan pandangan kelas membuat orang melihat dunia dan masyarakat dari sudut tertentu dan menafsirkannya sesuai dengan tuntutan kepentingan kelas. Karena itu upaya dan pandangan sosialnya selalu berorientasi kelas. Marxisme meyakini sadar diri seperti ini, dan sadar diri seperti ini dapat disebut sadar diri Mantis.

Sadar Diri Nasional

Artinya adalah kesadaran orang akan hubungan dirinya dengan orang lain yang memiliki ikatan rasial dan kebangsaan dengan dirinya. Manusia —akibat menjalani kehidupan bersama dengan sekelompok orang yang memiliki hukum yang sama, jalan hidup yang sama, sejarah yang sama, sukses dan gagal sejarah yang sama, bahasa dan sastra yang sama, dan akhirnya budaya yang sama— mengembangkan perasaan yang sama dan rasa sebagai bagian dari kelompok itu. Karena individu memiliki ego, maka bangsa pun— karena memiliki budaya yang sama—mengembangkan ego kebangsaan. Budaya yang sama—yang lahir akibat menjadi bagian dari ras yang sama— mewujudkan kesamaan dan kesatuan di kalangan individu-individu manusia. Kebangsaan, yang didukung budaya yang sama, mengubah "aku" menjadi "kita". Demi kepentingan "kita" ini orang sering mau bekorban. Mereka merasa bangga kalau bangsanya sukses, dan merasa sedih kalan bangsanya gagal. Sadar diri nasional artinya adalah kesadaran akan budaya nasional, personalitas nasional, dan ego nasional. Pada dasarnya budaya dunia itu tak ada. Berbagai budaya eksis secara serempak, dan masing-masing budaya memiliki sifat khasnya sendiri. Karena itu ide satu budaya dunia yang tunggal merupakan ide yang mustahil. Nasionalisme yang populer pada abad ke-19, dan lebih kurang masih digembar-gemborkan, didasarkan pada filosofi ini. Dalam sadar diri seperti ini segalanya—yaitu penilaian, pembuatan keputusan, dan orientasi—mengandung aspek nasional dan berada dalam orbit nasional, sedangkan dalam sadar diri kelas, segalanya mengandung aspek kelas. Kendatipun sadar diri nasional bukan tergolong kesadaran akan kepentingan diri, namun tergolong egoisme. Sadar diri seperti ini mengidap penyakit egoisme seperti prasangka, sikap memihak, keangkuhan dan mengabaikan kesalahan sendiri. Karena itu, seperti sadar diri kelas, sadar diri nasional juga tidak ada sisi moralnya.

Sadar Diri Manusiawi

Arti sadar diri manusiawi adalah kesadaran orang akan hubungannya dengan orang lain. Dasar sadar diri manusiawi adalah filosofi bahwa semua manusia merupakan satu unit tunggal, dan semua manusia memiliki "hati nurani manusiawi yang sama." Semua manusia memiliki rasa mencintai manusia dan memiliki perasaan yang sama. Sa'di, penyair Persia terkenal kelas dunia, mengatakan, "Semua manusia seperti organ-organ satu tubuh. Seorang manusia yang tak memiliki rasa simpati kepada manusia lainnya, tak layak disebut manusia."

Itulah gagasan yang dianut orang-orang yang, seperti Auguste Comte, senantiasa mencari agama manusia. Itulah juga prinsip pokok humanisme yang kurang lebih merupakan sebuah filosofi yang dianut sebagian besar orang di zaman kita yang lapang hatinya. Humanisme melihat semua manusia sebagai satu unit tunggal, terlepas dari kelas, kebangsaan, budaya, agama yang dianut dan rasnya. Humanisme menolak setiap bentuk diskriminasi. Piagam hak asasi manusia yang diisukan di dunia dari waktu ke waktu juga didasarkan pada filosofi ini. Piagam ini juga mendakwahkan sadar diri manusiawi seperti ini.

Kalau sadar diri seperti ini dikembangkan oleh individu, maka perasaan dan hasratnya menjadi manusiawi, maka orientasi upayanya adalah manusiawi, dan persahabatan serta permusuhannya berwarna manusiawi. Dia mulai menyukai ilmu, budaya, aktivitas yang sehat, kesejahteraan manusia, kemerdekaan, keadilan dan kebaikan hati. Dia juga mulai membenci kebodohan, kemiskinan, kekejaman, penyakit, penindasan dan diskriminasi. Kalau dikembang-kan, maka sadar diri manusiawi ini, beda dengan sadar diri nasional dan sadar diri kelas, ada makna moralnya. Kendatipun sadar diri manusiawi ini lebih logis ketimbang sadar diri jenis lain, dan sekalipun

banyak digembar-gemborkan, namun dalam praktiknya sadar diri manusiawi merupakan sesuatu yang relatif langka. Kenapa?

Jawabnya ada dalam aktualitas manusia. Karakter aktualitas manusia beda dengan karakter aktualitas selain manusia, entah itu benda non-organis, tumbuhan atau binatang. Segala yang ada di dunia ini selain manusia, sesungguhnya merupakan bagaimana segala yang ada itu. Karakternya, aktualitasnya dan sifat khasnya ditentukan oleh faktor-faktor penciptaan. Namun sejauh menyangkut manusia, tahap bakal seperti apa dia, dimulai setelah dia diciptakan. Manusia bukanlah bagaimana dia diciptakan. Manusia adalah ingin bagaimana dia. Manusia adalah bagaimana dia dibentuk oleh faktorfaktor asuhan atau didikan, termasuk di dalamnya adalah kehendak dan pilihannya sendiri.

Dengan kata lain, mengenai karakter dan kualitasnya, maka selain manusia sesungguhnya merupakan bagaimana dia diciptakan. Namun manusia, dari sudut pandang ini, diciptakan hanya secara potensial saja. Dalam diri manusia ada benih sisi manusiawi, dan bentuknya adalah berbagai potensinya. Jika benih ini tetap aman dari gangguan hama, maka benih ini berangsur-angsur tumbuh dari eksistensi manusia dan berkembang menjadi naluri manusia dan kemudian menjadi hati nurani natural dan sifat manusiawinya.

Tak seperti benda non-organis, tumbuhan dan binatang, maka manusia memiliki person dan personalitas. Person manusia, yaitu jumlah seluruh sistem fisisnya, datang ke dunia dalam bentuk yang benar-benar ada. Kalau dilihat dari segi sistem fisisnya, maka manusia sama "aktuar”-nya dengan binatang. Namun kalau diingat perkembangan yang terjadi kemudian pada personalitas manusiawinya, maka manusia secara spiritual hanyalah makhluk potensial.

Nilai-nilai manusiawi ada dalarn eksistensinya, dan nilai-nilai ini siap untuk dikembangkan.13 Formasi spiritual dan moral manusia merupakan satu tahap setelah formasi fisisnya. Tubuh manusia dibentuk dalam rahim oleh faktor-faktor penciptaan. Namun sistem spiritual dan moral manusia serta berbagai komponen personalitasnya harus dikembangkan kemudian. Karena itu setiap manusia merupakan pembangun dan perekayasa personalitasnya sendiri. Kuas yang digunakan untuk melukis personalitas manusia, telah diserahkan ke tangan manusia sendiri.

Memisahkan non-manusia dari karakternya merupakan sesuatu yang tak terbayangkan. Batu tak dapat dipisahkan dari karakternya sebagai batu. Begitu pula dengan pohon, anjing dan kucing. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ada, yang ada bedanya antara dirinya dan karakternya, yaitu antara manusia dan sisi manusiawinya. Banyak manusia yang tak dapat memiliki sisi

13 Konsepsi Islam mengenai fitrah manusia beda dengan konsepsi Descartes, Kant dan sebagainya. Fitrah manusia

artinya bukan eksistensi aktual jumlah tertentu pengertian atau eksistensi aktual kecenderungan dan hasrat tertentu dalam diri manusia sejak dia lahir, atau seperti kata filosof babwa manusia lahir dalam keadaan memiliki rasionalitas dan kehendak. Begitu pula, Islam menolak teori kaum Marxis dan Eksistensialis yang menyangkal eksistensi fitrah dan mengatakan bahwa manusia lahir seperti selembar kertas kosong dan mampu menerima gagasan yang ditanamkan ke dalam benaknya. Menurut Islam, pada awal periode setelah kelahirannya, manusia memiliki kecenderungan-

kecenderungan potensial tertentu, dan manusia ingin mewujudkan kecenderungan-kecenderungan tersebut Kekuatan yang ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk mewujudkan tujuannya, tentu saja dengan bantuan kondisi- kondisi dari luar. Kalau manusia sungguh-sungguh mendapatkan apa yang sesuai dengan dirinya, berarti dia mendapatkan apa yang disebut sisi manusiawi. Kalau sebaliknya, berarti dia mengalami distorsi. Itulah satu-satunya penjelasan yang logis mengenai metamorfosis manusia, dan metamorfosis manusia ini juga menjadi pokok pembicaraan kaum Marxis dan Eksistensialis. Dari sudut pandang mazhab ini, hubungan antara manusia sejak lahir dan nilai-nilai serta kebajikan-kebajikan manusiawi sama dengan hubungan antara anak pohon pir dan pohon pir yang sudah mencapai puncak pertumbuhannya. Hubungan internal, dengan bantuan faktor-faktor dari luar, mengubah anak pohon itu menjadi pohon. Hubungan ini tidak sama dengan hubungan antara papan kayu dan kursi. Karena untuk kasus papan kayu dan kursi, hanya faktor-faktor dari luariah yang mengubah papan kayu menjadi kursi.

manusiawi dan, seperti sebagian orang biadab dan pengembara, tetap berkutat dalam sisi hewaniahnya. Banyak juga orang yang kehilangan sifat khas manusiawinya, seperti yang terjadi pada sebagian besar kaum yang sok berbudaya. Mengenai masalah bagaimana karakter sesuatu dapat dipisahkan dari sesuatu itu sendiri ketika karakter sesuatu itu sangat penting bagi eksistensi segala sesuatu, dapat dikatakan bahwa jika eksistensi sesuatu aktual, maka karakter sesuatu itu konsekuensinya juga aktual. Namun jika sesuatu ada hanya secara potensial, maka tentu saja sesuatu itu tak memiliki karakter yang sesuai.

Itulah satu-satunya penjelasan filosofis teori eksistensial, sebuah teori yang mengatakan bahwa eksistensi bersifat fundamental dan bahwa manusialah yang memilih karakternya. Kaum filosof Muslim, khususnya Mulla Sadra, sangat menggarisbawahi poin ini. Mulla Sadra mengatakan: "Manusia bukan tergolong satu spesies tunggal. Manusia adalah makhluk multi-spesies. Sesungguhnya individu suatu saat menjadi bagian dari satu spesies dan di saat lain menjadi bagian dari spesies yang berbeda."

Dari sini jelaslah bahwa manusia biologis bukanlah manusia nil. Manusia biologis hanya menjadi

Dalam dokumen Manusia dan Alam Semesta dalam (Halaman 154-165)