• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuasaan Kehakiman

Dalam dokumen HUKUM ACARA PIDANA 002 (Halaman 51-57)

KEKUASAAN DAN SUSUNAN BADAN PERADILAN DI INDONESIA

KEKUASAAN KE-HAKIMAN)

1. Kekuasaan Kehakiman

Badan-badan peradilan atau pelaku kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,antara lain sebagai berikut:

1. Pasal 18 yang berbunyi, bahwa “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2. Pasal 20 yang berbunyi, bahwa:

(1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 18.

(2) Mahkamah Agung berwenang:

a) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentu-kan lain; b) menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang; dan c) kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. 3. Pasal 25 yang berbunyi, bahwa:

(1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

(1) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(3) Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Kekuasaan Mengadili

Pokok bahasan di sini adalah kekuasaan atau wewenang mengadili pada peradilan umum, sebab di samping peradilan umum, masih dikenal adanya peradilan lain, seperti peradilan militer (mahmil), peradilan agama, peradilan tata usaha negara.

Tugas utama pegadilan umum dalam perkara pidana ialah mengadili semua perkara pidana sebagaimana yang tercamtum di dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan (dituntut) kepadanya untuk diadili.

Pedoman dalam menentukan kewenangan mengadili berdasar pada pasal-pasal yang diatur dalam Bab X, bagi pengadilan negeri diatur pada bagian Kedua, untuk pengadilan tinggi pada Bagian Ketiga dan untuk mahkamah agung pada Bagian Keempat. yaitu terdiri dari Pasal 84, 85 dan Pasal 86 KUHAP. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

1. Pengadilan Negeri

Dalam hal kekuasaan mengadili pada pengadilan negeri terdapat dua macam kekuasaan/kompetensi/kewenangan, yaitu: (1) Kekuasaan (kompetensi) mutlak (absolute kompetentie)

kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht)

kepada satu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan kepada pengadilan lain.

Jadi kekuasaan pengadilan secara mutlak atau absolut, yaitu bahwa untuk mengadili dan memeriksa perkara hanya satu pengadilan negeri saja yang berwenang mengadilinya, dan tanpa adanya kewenangan pengadilan lain, atau kekuasaan mengenai perkara apa yang ia berwenang mengadilinya.

Adapun kompetensi absolut pengadilan negeri, yaitu: 1. Menurut Pasal 50 Undang-undang RI No. 2 Tahun 1986 jo

Undang-undang RI No. 8 Tahun 2004 jo Undang-undang RI No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, yang berbunyi bahwa ”Kompetensi pengadilan negeri “bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesai-kan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama”. 2. Menurut Pasal 77 KUHAP, yang berbunyi bahwa

”Kompetensi peng-adilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang2:

a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidik-an atau penghentian penuntutan3;

b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

3. Menurut Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada 2 Pasal 78 ayat (1) KUHAP , bahwa Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan”.

3 Penjelasan: Yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung.

di lingkungan peradilan umum, .…”

4. Kompetensi absolut lainnya dari pengadilan negeri selain di atas, yaitu:

i. Acara pemeriksaan pelanggaran lalu lintas jalan (Pasal 211 KUHAP).

ii. Acara pemeriksaan cepat (Pasal 205 KUHAP). iii. Acara pemeriksaan singkat (Pasal 203 KUHAP). iv. Pemeriksaan biasa (Pasal 183 KUHAP).

(2) Kekuasaan (kompetensi) relatif (relatieve kompetensi)

Kekuasaan (kompetensi) relatif adalah kekuasaan yang berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attributie van rechtsmacht) diantara satu macam pengadilan (pengadilan pengadilan negeri). atau Kekuasaan mengadili perkara-perkara berhubung dengan daerah hukumnya.

Jadi kekuasaan pengadilan secara relatif, yaitu bahwa untuk mengadili dan memeriksa perkara dapat juga dilakukan oleh pengadilan negeri lain yang berwenang mengadilinya, adanya kewenangan pengadilan lain, sebagaimana diatur dalam ketentuan Bagian kedua, bab X yang terdiri dari Pasal 84, 85 dan Pasal 86 KUHAP.

Adapun kompetensi relatif pengadilan negeri, yaitu: 1. Menurut Pasal 84 KUHAP, bahwa:

(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya4.

(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih

4 Ayat (1) berdasar atas ”tempat tindak pidana dilakukan” atau disebut locus delicti

dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan5.

(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu6.

(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-masing peng-adilan negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan peng-gabungan perkara tersebut.7

2. Menurut Pasal 85 KUHAP, bahwa ”Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua pengadilan negeri atau kepala` kejaksaan negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri 5 Ayat 2 adalah mengecualikan atau menyingkirkan asas locus delicti sebagaimana diatur pada ayat (1), yaitu berdasar pada “tempat tinggal” terdakwa apabila sebagian besar saksi yang akan dipanggil, bersamaan tempat tinggalnya dengan tempat tinggal terdakwa.

Hal-hal yang mengecualikan asas locus delicti, antara lain:

Tempat kediaman terakhir, jadi pengadilan negeri yang berwenang mengadili dan memeriksa perkara pada tempat tinggal terakhir terdakwa dan sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut;

Di tempat terdakwa ditemukan,, jadi pengadilan negeri yang berwenang mengadili dan memeriksa perkara pada tempat terdakwa ditemukan dan sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut;

Ditempat terdakwa ditahan, , jadi pengadilan negeri yang berwenang mengadili dan memeriksa perkara pada tempat terdakwa ditahan dan sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut;

6 Apabila tindak pidana tersebut benar-benar murni satu sama lain tidak terkandung unsur berlanjut (voorgezette handeling) (Pasal 64 KUHPidana); tidak ada unsur concursus idealis (Pasal 63 ayat (1) KUHPidana); tidak ada unsur perbarengan antara lex specialis dengan lex generalis (Pasal 63 ayat (2) KUHPidana); tidak ada unsur concursus realis (Pasal 65, 66 dan Pasal 70 KUHPidana); maka masing-masing pengadilan berwenang mengadili dan memeriksa sesuai dengan tindak pidana tersebut.

7 Apabila tindak pidana tersebut terdapat unsure saling menyangkut di atara perkara-perkara, dan terbuka kemungkinan untuk dapat menggabungkan atau mengkumulasi kepada satu pengadilan negeri saja.

Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili perkara yang dimaksud8.

3. Menurut Pasal 86 KUHAP, bahwa apabila ”Seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya”9. 2. Pengadilan Tinggi

Dalam hal kekuasaan mengadili pada pengadilan tinggi, sebagaimana diatur dalam undang-undang, yaitu:

(1) Menurut Pasal 87 KUHAP, bahwa pengadilan tinggi berwenang ”mengadili perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding”.

(2) Menurut Pasal 51 Undang-undang RI No. 2 Tahun 1986 jo Undang-undang RI No. 8 Tahun 2004 jo Undang-undang RI

8 Penjelasan Pasal 85 KUHAP, bahwa ”Yang dimaksud dengan “keadaan daerah tidak mengizinkan” ialah antara lain tidak amannya daerah atau adanya bencana alam”.

9 Penjelasan Pasal 86 KUHAP, bahwaKitab Undang-undang Hukum Pidana kita menganut asas personalitas aktif dan asas personalitas pasif, yang membuka kemungkinan tindak pidana yang dilakukan diluar negeri dapat diadili menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Republik Indonesia. Dengan maksud agar jalannya-peradilan terhadap perkara pidana tersebut dapat mudah dan lancar, maka ditunjuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya”.

Kata personalitas aktif terjemahan dari perkataan “active personaliteitsstelsel, yang dalam dokrin sering disebut dengan berbagai debutan seperti personaliteits atau nasionaliteitersebuteginsel yang artinya asas kebangsaan. Asas ini sering juga disebut active natioanaliteitersebuteginsel atau asas nacionalitas aktif atau sebagai subjektions prinzip, maka dimaksud personalitas aktif hádala undang-undang pidana yang erlaku di statu negara itu tetap dapat diberlakukan terhadap warga negaranya di mana pun mereka berada, bahkan juga seandainya mereka itu berada di luar negeri.(Lihat Pasal 5 dan 7 KUHPidana); sedangkan

Asas Personalitas passif atau sering disebut asas perlindungan atau beschermingsbeginsel atau dalam doktrin sering disebut sebagai Realprinzip atau schutz prinzip atau menurut Simons disebut Prinzip der beteiligten Rechtsordnung. Jadi asas personalitas passif, yaitu berlakunya undang-undang pidana statu negara tidak tergtantung pada tempat di mana seorang pelaku telah melakukan tindak pidana melainkan tergantung pada kepentingan hukum yang telah menjadi sasaran tindak pidana yang dilakukan oleh orang tersebut. (Lihat Pasal 4 dan 8 KUHPidana)

No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum:10

a. Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata di tingkat Bandung. b. Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili

di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah hukumnya. (3) prorrogáis mengenai perkara perdata (Pasal 3 ayat (1) dan (2)

UUDart No. 1 Tahun 1951, Pasal 128 ayat (2) RO, Pasal 85 Rbg.). 3. Mahkamah Agung

Dalam hal kekuasaan mengadili pada Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam undang-undang, yaitu:

(1) Undang-undang RI No. 4 Tahun 2004 jo. Undang-undang RI No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman:

Dalam dokumen HUKUM ACARA PIDANA 002 (Halaman 51-57)