• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya

Analisis Kelembagaan

Kelembagaan (institution) sangat penting baik bagi perikanan maupun bagi nelayan (Jentoft 2004). Kelembagaan mengikat manusia, baik secara individu maupun sosial.Sehingga kelembagaan sangat penting bagi perikanan, pengelolaan sumberdaya dan pembangunan berkelanjutan. Namun demikian definisi dan konsepsi tentang kelembagaan sangat beragam diantara para ahli, dalam literatur sosial, yang masing-masing mempunyai titik perhatian dan mungkin saling tumpang tindih. Satu konsep menyatakan sebagian bagian dari budaya (culture) yaitu satu set kebiasaan (habits), aturan (rules) dan nilai (values) (Jentoft 2004). Elster (1989) dalam Jentoft (2004) sebaliknya menyatakan bahwa kelembagaan bukan hanya aturan, tetapi juga instrumen yang menjamin adanya kepatuhan, sehingga kelembagaan merupakan aturan yang menegakan mekanisme. Pendekatan lain menyatakan bahwa kelembagaan terkait dengan struktur organisasi. Hayami dalam Jentoft (2004) menyatakan bahwa organisasi memanfaatkan aturan agar berfungsi, dan sistem aturan dilaksanakan oleh masyarakat yang mengorganisasi agar berfungsi (functioining body).

Djogo et al. (2003) membuat batasan kelembagaan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.

Secara akademis, kelembagaan tidak bersifat uni-elemen, tetapi terkonstruksi atas sejumlah elemen yang mendukung performa kelembegaan. Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah : institusi, norma tingkah laku, peraturan dan penegakan aturan/hukum, aturan dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik (property rights atau tenureship), organisasi, dan insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.

Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Wadah atau organisasi dan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menjalankan organisasi menjadi hal yang tidak terpisahkan perlu mendapat perhatian yang sangat besar dalam pengembangan kelembagaan yang efektif. Artinya pengembangan kelembagaan tidak hanya mendasarkan pada pembentukan institusi/lembaga seperti halnya yang sering dipahami sekarang ini, tetapi juga menyangkut peraturan yang harus dan atau dapat dipatuhi oleh anggotanya, sehingga institusi tersebut dapat berperan secara efektif.

Elemen-elemen seperti disebutkan diatas tidak hanya terdapat pada kelembagaan formal, tetapi juga pada kelembagaan informal. Perbedaanya terletak pada artikulasi elemen-elemen tersebut, sehingga dapat segera

ditemukenali atau tidaknya oleh anggota maupun pihak-pihak lain di luar anggotanya. Pada kelembagaan formal, elemen-elemen tersebut seringkali dengan mudah dapat ditemukan karena tidak hanya berlaku secara verbal tetapi juga secara tertulis. Pada beberapa kasus, kelembagaan formal juga sudah menerapkan azas-azas pengelolaan kelembagaan modern yang mudah dikenali karena berlku universal. Namun demikian, dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, tidak ada formulasi baku bahwa kelembagaan formal lebih efektif dibandingkan dengan kelembagaan informal.

Studi kelembagaan harus didasarkan pada kerangka teoritis yang digunakan dan dimanifestasikan dalam tiga tingkatan yaitu : (i) kerangka kerja (framework), (ii) teori dan (iii) model (Ostrom 2011). Kerangka kerja mengidentifikasi elemen dan relasi secara umum antara beberapa elemen tersebut yang harus diperhatikan dalam analisis kelembagaan dan berguna untuk mengkoordinasikan diagnose dan telaah secara ketat. Kerangka kerja tersebut mempunyai sekumpulan elemen umum yang dapat digunakan untuk menganalisis segala jenis struktur kelembagaan (Ostrom 2011). Teori digunakan untuk menentukan elemen kerangka kerja mana yang sesuai dengan pertanyaan tertentu dan membuat asumsi umum tentang bentuk dan kekuatan elemen tersebut. Sehingga dalam satu kerangka kerja akan bersifat multiple theory. Sedangkan model digunakan dengan berdasar asumsi yang kuat/ketat dengan variable dan parameter yang terbatas yang didasarkan pada satu teori tertentu.

Studi dalam design kebijakan mempunyai beberapa alternatif kerangka kerja (framework) dan teori seperti Policy Design and Social Framework oleh Schneider dan Ingram (1997), Analisis Kelembagaan dan Pembangunan (Institutional Analysis and Development =IAD) oleh Ostrom (2005), dan teori pemodelan berbasis-agen (Agent-Based Modeling) oleh Janssen dan Ostrom (2006) (Siddiki et al. 2009). Salah satu kerangka kerja yang seringkali dipakai dalam analisis kelembagaan adalah IAD. Dalam kerangka kerja IAD, penentuan aksi dan situasi aksi menjadi hal yang elementer. Pada awal pengembangan kerangka kerja IAD, aksi dan situasi aksi dipisahkan secara ketat. Tetapi bila IAD diintegrasikan dengan kerangka kerja yang lebih luas seperti sistem sosial- ekologi (SES), maka aksi dan situasi aksi tidak bisa lagi dibedakan, sehingga menjadi satu elemen yaitu arena aksi (Ostrom 2011). Relasi antara situasi aksi dan SES dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1 Hubungan antara situasi aksi dan SES (Sumber : Ostrom 2011) Aturan (Rules-in-use) dan pengambilan keputusan

Aturan adalah pemahaman bersama antara beberapa pihak yang menunjukan petunjuk yang kuat tentang tindakan yang diharuskan, dilarang atau diperbolehkan (Ostrom 2011). Semua aturan merupakan hasil usaha baik eksplisit atau implisit untuk mencapai keteraturan dan kewajiban diantara umat manusia melalui penciptaan kelompok (posisi) yang kemudian diharuskan, dilarang atau diperbolehkan sesuai dengan kondisinya (Ostrom 2011; Siddiki et al. 2011).

Terkait dengan analisis IAD, terdapat 7 buah aturan yang dapat mempengaruhi struktur situasi aksi (Ostrom 2011; Rudd 2004). Aturan tersebut mencakup aturan tata batas (boundary rules), aturan posisi (position rules), aturan pelingkupan (scope rules), aturan keputusan (choice rules), aturan agregasi (aggregation rules), aturan informasi (information rules) dan aturan imbal- balik/korbanan (payoff rules). Masing-masing aturan tersebut akan berdampak pada tujuh elemen yang berpengaruh pada situasi aksi (Ostrom 2011). Aturan tata batas berpengaruh pada peserta dan atributnya, aturan posisi menentukan posisi masing-masing, aturan keputusan mempengaruhi pilihan tindakan aktor (boleh, dilarang, harus) dan akan menentuk bentuk pohon keputusan dan dampaknya pada luaran (outcome). Aturan pelingkupan akan menentukan potensi dampak luaran dan bagaimana hubungan dengan faktor yang berpengaruh. Aturan agregasi akan menentukan terhadap pengawasan terhadap peserta. Aturan informasi akan menentukan sekumpulan informasi yang diterima peserta. Aturan imbal balik akan menentukan biaya dan manfaat yang akan diperoleh peserta sehingga mendorong tindakan tertentu (Ostrom 2011; Ruud 2004). Ostrom (2011) menyatakan bahwa satu set aturan tersebut merupakan konfigurasi, sehingga perubahan terhadap satu aturan akan berpengaruh pada keseluruhan aturan yang akan digunakan (rules-in-use). Secara ilustratif, hubungan sistem aturan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Aturan sebagai variable eksogeneus yang berpengaruh langsung terhadap elemen arena situasi (Sumber : Ostrom 2011)

Menurut Ostrom (1999) tentang pengambilan keputusan (choice) pada pengelolaan sumberdaya, maka pengambilan keputusan bersifat berjenjang dalam bentuk hirarki. Secara hirarkial dari atas ke bawah secara vertikal adalah pengambilan keputusan pada aras konstitutional, kolektif dan operasional (Gambar 2.3).

.

Gambar 2.3 Tingkatan analisis kelembagaan (Sumber : Rudd 2004)

Keputusan konstitutional memerlukan kelembagaan pembuat keputusan terkait aturan dasar. Pada level ini keputusan pemerintah daerah yang melibatkan pihak eksekutif dan legislative merupakan tingkat kelembagaan yang paling tinggi. Sebab dengan adanya kesepakatan yang tertuang dalam bentuk peraturan daerah merupakan peraturan tertinggi di daerah sepanjang tidak menyalahi undang-undang pada tingkat yang lebih tinggi. Pada keputusan konstitutional ini dipengaruhi oleh kultur baik formal maupun informal dari pihak-pihak yang berinteraksi

Pada tingkat di bawahnya adalah keputusan yang bersifat kolektif. Representasi kolektifitas ini ditunjukan keputusan yang bisa mengikat seluruh elemen stakeholder pengelolaan kawasan minapolitan. Bentuk kelembagaan juga mengikuti pola ini, dimana kelembagaan yang menghasilkan keputusan ini juga

Constitutional Choice Collective Choice

Operational Choice Physical World Rules-in-use Culture

merupakan lembaga yang bisa mengikat stakeholder pengelolaan minapolitan. Bentuk keputusan ini misalnya adalah keputusan atau peraturan bupati yang dikeluarkan oleh bupati setempat. Dalam hirarki ini, keputusan atau peraturan bupati tunduk pada peraturan pemerintah daerah.

Sedangkan keputusan operasional meliputi keputusan operatif yang mengimplementasikan keputusan kolektif. Keputusan operasional ini dihasilkan oleh kelembagaan operasional, yang bersifat pelaksana terhadap pengelolaan kawasan minapolitan. Pola ini harus dibangun secara bersama. Dalam hirarki vertikal, maka keputusan ini tidak boleh bertentangan dengan keputusan kolektif.

Sehingga secara ringkas, setidaknya dibutuhkan 3 tingkatan kelembagaan yaitu pada tingkat konstitutional, kolektif dan operasional. Tidak semua kelembagaan tersebut harus berangkat pada titik nol (zero point), khususnya pada tingkat kelembagaan konstitutional dan kolektif. Karena kelembagaan- kelembagaan yang ada sekarang bisa menghasilkan keputusan-keputusan konstitusional dan kolektif terkait dengan operasionalisasi kawasan minapolitan. Perwakilan dan legitimasi

Legitimasi, mempunyai pengertian baik secara normative maupun sosial (Buchanan dan Keohane 2006). Legitimasi dapat dinyatakan sebagai karakteristik psikologis dari pihak bewenang, lembaga dan organisasi masyarakat yang mendorong mereka terhubung dengan kepercayaannya yang tepat, pantas dan adil (Tyler 2006 dalam Bouma dan Ansink 2013). Kelembagaan dikatakan mempunyai legitimasi, secara normative bila mempunyai hak untuk mengatur, dimana pengaturan adalah deklarasi aturan sebagai usaha untuk menjamin masyarakat dengan memperhitungkan baiay atau manfaat yang akan diperoleh (Buchanan dan Keohane 2006). Legitimasi menjembatani aksi kerjasama (Bouma dan Ansink 2013). Ketika masyarakat menyadari pihak bewenang, lembaga dan organisasi masyarakat legitimate, mereka akan merasa harus mematuhi keputusan dan aturan, yang mendorong mereka merasa lebih bertanggung jawab secara sukarela bukannya takut akan hukuman atau mengharapkan imbalan (Tyler 2006 dalam Bouma dan Ansink 2013). Sehingga mampu mengurangi biaya pengawasan dan penegakan untuk mendorong koersi masyarakat.

Legitimasi, menjadi salah satu unsur menentukan kualitas kepemilikan (Scott 2008). Legitimasi menjadi faktor krusial dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan (Jentoft 1999). Legitimasi tidak hanya terait dengan konsep benar atau salah, tetapi sejumlah faktor lain yang berasosiasi. Menurut Jentoft (1999), terdapat beberapa isu penting yang harus diidentifikasi terkait legitimasi, mencakup legalitas dan moralitas, subjektivitas dan objektivitas serta premis dan luaran.

Sistem pengelolaan harus sesuai dengan standar rasionalitas, alasan (reason), dan keadilan. Secara prinsip, dinyatakan bahwa legitimasi merupakan konsep yang tidak cukup hanya berbasis legal. Tetapi sistem pengelolaan harus mampu membuktikan bahwa secara legal sesuai, walaupun hukum juga harus diuji apakah sesuai tujuan atau standar pengelolaan atau tidak. Artinya secara intrinsik misal rancangan pengelolaan harus sesuai dengan masalahnya (Jentoft 1999). Sebagai contoh, sistem pengelolaan yang tidak sesuai dengan keadilan sosial pasti akan mendapatkan tantangan, walaupun secara legal memenuhi

persyaratan (Rohstein 1998 dalam Jentoft 1999). Sehingga dalam konsep legitimasi, penerimaan masyarakat menjadi salah satu faktor penentu; yang menunjukan apakah sistem itu dapat diterima dan dipercaya.

Faktor-faktor yang menentukan legitimasi, menjadi perdebatan yang luas dan mendunia, dan sebagian besarahli menyepakati bahwa legitimasi merupakan konsep aspek beragam (multi-faceted) (Hechter 2009; Suchman 1995), seperti prosedur legal, self-interest dan nilai-nilai dan norma yang dianut (Bouma dan Ansink 2013). Sejalan dengan Jentoft (1999), Tyler (1997) dalam Bouma dan Ansink (2013) membedakan antara perspektif instrumental dan rasional. Perspektif instrumental menganggap legitimasi ditentukan oleh prosedur dan insentif yang mendorong keinginan (self-interest) masyarakat. Sebaliknya perspektif rasional menganggap legitimasi lebih ditentukan oleh hubungan pihak otoritas sosial dengan masyarakat terkait dengan norma, sistem nilai dan kepercayaan (trust) yang disepakati.