• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAIRAN DANGKAL DI PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU JAKARTA

3.4 Penyusunan Model 1 Perkembangan Konsep Sea ranching

3.4.4 Model Pengembangan Sea ranching

Sesuai kerangka kerja peningkatan stok yang bertanggung jawab (Blankenship dan Leber 1995), sea ranching disamping perlu atribut bio-eko- teknis, juga memerlukan dukungan atribut sosio-ekonomis (stakeholder, pasar, tata kelola). Sistem sea ranching membutuhkan perangkat yang memastikan bahwa pola interaksi sistemik dalam eksosistem perairan dapat berjalan dengan baik dan mampu mendukung pertumbuhan alamiah benih ikan yang dilepas. Relasi dan interaksi subsistemik dan instrumen dasar menjadi salah satu faktor mendasar dalam analisis model pengembangan sea-ranching. Model pengembangan sea ranching merupakan rujukan replikasi program sea ranching. Pengembangan sea ranching harus memperhatikan elemen dalam model sea ranching seperti teah diuraikan sebelumnya. Secara ringkas, konsep model pengembangan sea ranching dapat dilihat dalam gambar berikut.

Gambar 3.12 Model Konseptual Pengembangan Sistem Sea Ranching

Sesuai dengan Gambar 3.12, komponen model pengembangan sea ranching mencakup : (1) kesesuaian ekologis, (2) kepastian spasial, (3) sistem hak, (4) rencana pengelolaan dan (5) tata kelola. Pembahasan tentang komponen ini dapat diuraikan sebagai berikut.

Kesesuaian Ekologis

Perairan dangkal sangat sensitif terhadap potensi perubahan ekosistem dari ekosistem basah menjadi ekosistem kering atau semi kering dan sebaliknya. Mengingat bahwa pada saat kondisi surut air, maka terdapat sebagian wilayah yang menjadi kering. Sehingga jenis ikan yang akan dilepaskan harus sesuai dengan kondisi sebagai calon habitatnya.

Pelepasan stok (stocking) hanya bisa dilakukan bila habitatnya sesuai, terjadi keterbatasan rekrutmen dan tekanan penangkapan bisa dikelola (Moksness 2004). Lokasi harus sesuai dengan kebutuhan habitat ikan yang akan dikembangkan dan mempunyai daya dukung yang memadai. Pada kasus sea ranching di perairan dangkal P. Semak Daun, hasil survei pada nelayan di lokasi penelitian menunjukan wilayah ini menjadi habitat kerapu yang ditunjukan oleh seringnya nelayan menangkap ikan kerapu di wilayah ini. Frekuensi nelayan menangkap ikan kerapu bervarasi dari selalu sampai dengan tidak pernah. Penangkapan dengan frekuensi sering dengan modus sebanyak 3 kali seminggu, sementara frekuensi kadang-kadang sebanyak 2 kali sebulan. Berdasarkan survei, sebagian besar nelayan hanya melakukan penangkapan kerapu kadang-kadang atau paling sering yaitu 2 kali sebulan seperti terihat dalam Gambar 3.13 berikut.

Lokasi juga harus sesuai dengan pola ruaya dan mempunyai batas ekologis yang memadai, agar ikan tetap berada dalam sea ranching selama periode tertentu. Penelitian ilmiah harus menjadi rujukan agar sea ranching sebagai bagian pengkayaan perikanan tidak justru membahayakan lingkungan (Leber, 2014). Karena, keberhasilan sea ranching bukan hanya pelepasan, tetapi juga melindungi dan mengelola ikan yang dilepas (Moksness 2004).

Pengembangan sea ranching harus melihat dan menganalisis interaksi subsistemik yang menggambarkan hubungan interaktif antara ekosistem dan sistem sosial. Komoditas sea ranching dan kegiatan ekonomis yang akan dikembangkan menjadi faktor penentu relasi subsistemik. Relasi ini merupakan dampak dari potensi pemanfaatan perairan dalam sea ranching. Mengingat bahwa dalam sea ranching didasarkan pada pelepasan juvenile dalam satu ekosistem Gambar 3.13 Proporsi nelayan yang melakukan penangkapan ikan kerapu di lokasi

perairan tetentu, maka penentuan lokasi harus dilakukan berdasarkan pertimbangan atas interaksi ini.

Potensi interaksi dalam ekosistem setelah adanya sea ranching akan menentukan kesesuain ekologis, yang memungkinkan sistem interaksi ini dapat berkembang dengan baik. Kesesuaian ekologis akan menentukan berapa luasan wilayah yang potensial bisa dikembangkan yang selanjutnya menentukan daya dukung bagi juvenile dari spesies yang akan dilepaskan. Analisis simulasi waktu dan jumlah pelepasan, penangkapan kembali (panen) yang didasarkan pada pertumbuhan ikan dilakukan berdasarkan kondisi ekologis perairan. Penentuan spesies yang sesuai dengan lokasi disamping pertimbangan ekologis, juga memerlukan pertimbangan ekonomis seperti adanya pasar dan mempunyai nilai ekonomis tinggi untuk menutup biaya pengelolaan dan akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan.

Kepastian Spatial

Ilmu dan tata kelola spasial sangat penting mengindentifikasi kesalahan manajemen perikanan (Lorenzen et al. 2010). Secara spasial, wilayah sea ranching harus mempunyai kepastian yang menjamin bahwa proses put-grow-take dapat berjalan dengan baik. Area yang sesuai secara ekologis, menjadi rujukan untuk mendapatkan kepastian spasialnya dimana lokasi tersebut menjadi area yang ditujukan untuk pengembanga sea ranching. Untuk mendukung kepastian spasial ini dibutuhkan kebijakan legal dari otoritas setempat, sehingga wilayah perairan untuk sea ranching menjadi objek demarcated fishing right bagi pengelolanya. Basis legal harus merujuk pada peruntukan wilayah perairan tersebut berdasar zonasi yang telah dibangun.

Kepastian spasial harus didapatkan baik dalam tata ruang mikro maupun dalam konsep tata ruang makro wilayah pesisir. Sehingga wilayah sea ranching bebas dari intervensi, akses dan dampak/eksternalitas kegiatan pihak lain (individu dan kelompok) yang mengganggu proses sea ranching. Disamping adanya batas-batas yang terlihat dan bisa dipahami dengan baik, juga mengingat medium perairan yang bersifat continuum. Sehingga dampak dari kegiatan lain akan secara efektif berpengaruh sesuai dengan pola pergerakan masa air. Agar efektif, kepastian spasial harus legitimatif.

Sistem Hak

Setiap pengelolaan sumberdaya membutuhkan rejim hak yang efektif. Sistem hak harus mendukung kepastian spasial dan insentif bagi pengelolaan. Sistem hak ini harus mampu untuk mengeluarkan (exclude) dan menolak klaim benefit para pihak yang tidak berhak (Hall et al. 2011; Scott 2008; Grima dan Berkes 1989). Sistem hak harus legitimatif dan diakui secara efektif sehingga tidak membutuhkan biaya tambahan mengimplementasikannya (Beare et al. 2005).

Kepastian wilayah ini harus didukung oleh sistem hak, sehingga kepastian wilayah harus menjadi bagian dari sistem hak. Sistem hak secara prinsip harus didasarkan pada sistem hak kepemilikan, bukan lagi akses. Hal ini untuk mempermudah melakukan eksklusi (exclusion), sehingga hanya pihak yang berhak yang mendapat keuntungan dari sistem ini. Pernyataan secara legal atas hak pengelolaan wilayah perairan sea ranching untuk masyarakat lokal dari

Pemerintah KAKS akan sangat menguatkan sistem hak ini. Untuk mendapatkan hak ini, pengelola harusmengajukan ijin sesuai dengan Perda DKI no.1/2012 dan UU No.1/2014. Disamping aspek legal, sistem hak ini juga harus memenuhi unsur moralitas. Kepastian spasial dan sistem hak harus mempunyai legitimasi yang kuat. Dalam kasus di Indonesia, dimana rejim kebijakan secara makro masih didasarkan pada pola akses terbuka, maka diperlukan perubahan rejim hak dengan proses yang legitimatif. Perubahan rejim yang diperlukan mencakup perubahan rejim pengelolaan, perubahan rejim hak sumberdaya dan perubahan rejim sumberdaya. Pembahasan perubahan rejim ini dilakukan pada bab selanjutnya dari disertasi ini.

Rencana Pengelolaan

Secara mendasar, sea-ranching harus didasarkan pada rasionalitas dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Rencana pengelolaan harus secara jelas memberikan gambaran apa yang akan dilakukan selama periode tertentu untuk mendukung pola lepas-tumbuh-tangkap yang efisien. Rejim perijinan pada UU No.1/2014 tentang perubahan UU No.27/2007 tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil menyebutkan bahwa ijin pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan 20 tahun dan bisa dilakukan perpanjangan periode pertama 20 tahun dan perpanjangan periode kedua ditentukan berdasarkan penilaian. Hal ini menunjukan bahwa adanya potensi pengelolaan dalam jangka panjang. Sehingga rencana pengelolaan menjadi penting.

Kualitas, ukuran dan kepastian sumber juvenil menjadi kebutuhan utama (Svasand 2004), mengingat sea ranching didasarkan pada pola peningkatan ikan muda secara alamiah. Teknologi yang dikembangkan harus secara meyakinkan dapat memenuhi kebutuhan ikan untuk dilepas, mengawasi dan memanen kembali. Analisis perhitungan harus bisa secara akurat memberikan informasi jumlah ikan yang akan dilepas, waktu pelepasan dan potensi pemanenan kembali sesuai dengan daya dukung lokasi. Rencana pengelolaan harus memberikan gambaran jumlah nelayan yang terlibat, intensitas keterlibatannya dan target peningkatan kesejahteraannya. Berdasarkan hasil survey, sebanyak 3.09% responden menyatakan perlunya rencana pengelolaan untuk kegiatan sea ranching (Tabel 5.10).

Tata Kelola

Pada akhirnya sistem itu harus dikelola dan dikendalikan dengan tata kelola yang baik. Tata kelola yang baik harus didukung oleh kelembagaan yang kuat dan otoratif, yang direpresentasikan oleh lembaga yang disetujui dan diakui serta aturan main menjadi rujukan. Tata kelola yang efektif mensyaratkan adanya pengakuan dari otoritas legal yang lebih tinggi diwilayah tersebut terhadap pengelolaan sea ranching.

Tata kelola bisa dilihat sebagai tugas yang ditanggung bersama oleh sektor publik dan privat, dimana batas domain diantaranya semakin kabur (Symes 2014). Tata kelola sea-ranching harus sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai rujukan pengelolaan wilayah pesisir. Tata kelola sea ranching harus sejalan dengan tata kelola wilayah pesisir seperti kerangka kerja tata kelola pesisir model PEMSEA (Thia-Eng 2013), kerangka kerja pengkayaan stok yang bertanggung jawab (Blankenship dan Leber 1995) dan Panduan

Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab (CCRF) (FAO 1995) dan beberapa prinsip umum lainnya. Tata kelola sea ranching mencakup beberapa aspek sebagai berikut.

a.Legitimasi

Pengelolaan sea-ranching harus mempunyai legitimasi yang kuat baik dalam prespektif legal maupun rasional-moralitas. Dua unsur legitimasi harus dipenuhi, mengingat dalam implementasinya sea-ranchhing membutuhkan dukungan dari para pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat. Secara legal, pengelolaan sea ranching harus mempunyai kekuatan hukum formal yang kuat dan syah sehingga mempunyai otoritas untuk melakukan eksklusi dan mengimplementasikan sistem hak secara efisien. Secara rasional juga harus mempunyai dasar argumentasi ilmiah yang tepat, terkait pilihan spesies, lokasi, teknologi dan pengukuran keberhasilannya. Legitimasi juga harus mendapatkan pembenaran secara moralitas terkait dengan prinsip-prinsip umum seperti keadilan dan kesetaraan untuk mendapatkan atau melakukan klaim manfaat dari sumberdaya. Berdasarkan data BPS KAKS (2015) pada tahun 2014 jumlah nelayan 53.18% penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu Utara adalah nelayan. Sehingga pengelola sea ranching harus merepresentasikan nelayan setempat. b. Transparansi

Sea-ranching adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir. Untuk meningkatkan manfaat setinggi-tingginya, maka efisiensi pengelolaan menjadi salah satu pendorong utama. Transparansi menjadi alat untuk menuju efisiensi, dimana pengelolaan sea ranching harus bisa dipertanggungjawabkan berdasar prinsip keutamaan terkait dengan keputusan penggunaan input dan distribusi manfaat. Penggunaan input harus merujuk pada rencana pengelolaan yang sudah disusun dan distribusi keuntungan harus didasarkan pada kesepakatan yang disepakati dalam lembaga pengelola sea ranching.

c. Pengendalian Akses

Secara prinsip pengendalian akses ditujukan untuk menjamin persyaratan spasial bahwa sea-ranching merupakan area dengan akses terbatas (demarcated). Legalitas lokasi, tata batas dan pemberian tanda, pengawasan dan sistem sanksi atas pelanggaran menjadi instrumen utama pengendalian aksesibilitas. Untuk mendukung pengendalian ini diperlukan sistem tata batas yang jelas, pengawasan dan sosialisasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya.

d. Pendanaan Otonom dan Berkelanjutan

Sea-ranching harus didasarkan pada rasional ekonomis yang kuat, mengingat bahwa salah satu tujuan ekonomisnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan/masyarakat pesisir. Secara prinsip, pengelolaannya harus mampu menghasilkan sumber-sumber pendanaan secara otonom dari proses put- grow-take, sehingga kelestarian ekosistem juga terjaga. Kondisi ini akan mendorong pendanaan dan pengelolaan berkelanjutan. Karenanya, harus didorong inisiatif awal pengkayaan perikanan dari nelayan (user) dan manajer (Garaway et al. 2006), bukan peneliti. Inisiatif ini menyangkut inisiatif atas legalitas (dalam bentuk perijinan), perencanaan dan implementasinya.

e. Aransemen kelembagaan

Pengelolaan perikanan yang berhasil melibat kelembagaan yang memberikan insentif pada pelaku untuk bertindak sejalan dengan konservasi (Hilborn et al. 2005). Aransemen kelembagaan untuk mendukung tata kelola yang baik mencakup aspek pelaku (individual atau organisasional), dan aturan main. Pada aspek pelaku harus mencerminkan kepatutan moral (etika), keadilan dan semangat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan aspek aturan main, harus mendorong pola pengelolaan yang efisien, kepastian spasial dan pengendalian aksesibilitas, terimplementasikannya sistem hak secara efisien dan mendorong transparansi penggunaan input dan distribusi benefit. Aransemen kelembagaan harus dapat memberikan kesempatan untuk melakukan pengembangan kapasitas dan pengelolaan sea-ranching melalui proses yang adaptif terhadap dinamika lingkungan dan sosial-ekonomis.

Pada prakteknya, pengembangan sea ranching dilakukan dalam 8 tahapan yang mencakup baik kegiatan survei, analisis, pembangunan sistem maupun implementasinya seperti terlihat dalam Gambar 3.14 sebagai berikut. Keseluruhan tahapan tersebut menggambarkan pola manajemen secara keseluruhan yaitu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi untuk mengimplementasikan prose lepas-tumbuh-tangkap. Proses replikasi sebaiknya memperhatikan pembelajaran pada siklus yang yang sempurna tersebut.

3.5 Simpulan

Sea ranching pada perairan tropik dengan rejim pengelolaan sumberdaya yang bersifat akses terbuka di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan dan umumnya belum pada sempurna sebagai proses lepas-tumbuh-tangkap. Sea ranching harus didasarkan pada daya dukung ekosistem wilayah perairan, dan pengembangannya harus melihat potensi interksi subsistemik dalam sistem sea ranching. Sistem tersebut secara umum mencakup dimensi alam (natural dimension) dan dimensi sosial (social dimension).

Keberhasilan sea ranching akan ditentukan oleh kondisi tidak terganggunya proses lepas-tumbuh–tangkap juvenile secara alamiah dan jaminan bahwa hanya individu atau kelompok yang melakukan pelepasan dan melakukan penjagaan ikan selama pertumbuhan yang berhak memanen/menangkap kembali. Model sea ranching mempunyai 3 komponen pokok yaitu (1) ekosistem perairan yang sehat dan wilayan perairan yang demarkatif, (2) sistem hak sumberdaya yang efektif menunjuang ekosistem perairan sehat, wilayah perairan demarkatif dan kelembagaan efektif, dan (3) kelembagaan efektif untuk memberikan respons pengelolaan yang tepat.

Pengembangan (duplikasi) sea ranching untuk meningkatkan produktivitas perairan tangkap di Indonesia, harus didasarkan pada kondisi sumberdaya perairan setempar. Model pegembangan (duplikasi) sea ranching mempunyai elemen yang harus diperhatikan yaitu : (1) Kesesuaian ekologis, (2) Kepastian wilayah, (3) Sistem hak, (4) Rencana pengelolaan dan (5) Tata kelola. Sedangkan tata kelola mempunyai unsur (a) legitimasi, (b) transparansi, (c) pengendalian akses, (d) pendanaan otonom dan berkelanjutan, dan (e) aransemen kelembagaan.