• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAIRAN DANGKAL DI PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU JAKARTA

3.4 Penyusunan Model 1 Perkembangan Konsep Sea ranching

3.4.3 Model Sea ranching

Dalam prespektif kelembagaan, perdebatan awal pengembangan sea ranching adalah apakah sea ranching adalah bagian dari proses budidaya ikan (aquaculture) atau penangkapan terkait dengan rejim ferae naturae dan domitae naturae (Walrut 2002) maupun aspek legal pemanfaatan laut untuk budidaya

(Pickering 1998). Merujuk hukum Romawi terhadap binatang, Walrut (2002) menyatakan bila termasuk dalam ferae naturae maka tidak bisa dilakukan ekslusi; sebaliknya bila termasuk dalam rejim domitae naturae ekslusi dapat dilakukan.

Sea-ranching dalam konsep put-grow-take tanpa pakan belum pernah diterapkan di Indonesia sampai sekarang. PKSPL-IPB mengembangkan konsep sea farming (Adrianto 2010 dalam Rudiyanto 2011), namun pola sea ranching belum bisa diterapkan. Rejim open access dan common property, menjadi salah satu kendala dominan. Oleh karenanya, model konseptual yang dikembangkan adalah sea ranching yang memanfaatkan perairan dangkal (pesisir) tertentu, yang memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kapasitas perikanan tangkap dengan pola put-grow-take. Disamping aspek bio-ekologis, permasalahan terkait dengan sistem hak menjadi isu elementer mengingat bahwa sistem ini membutuhkan wilayah perairan yang demarcated (Alban dan Boncoeur, 2008; Arnason 2008; Gaines 2013).

Model konseptual didasarkan pada interaksi subsistemik antara komponen dalam ekosistem sea ranching. Secara umum, model sea-ranching menggabungkan unsur penangkapan dan budidaya, dalam ekosistem perairan dangkal. Integrasi budidaya dan penangkapan (Garcia dan Granger 2005); mencakup pembibitan, pembesaran dan penangkapan kembali pada ukuran tangkapan.

Pelepasan ikan muda (juvenile) untuk peningkatan stok (stocking) merupakan hasil budidaya (hatchery) agar ukuran seragam, yang didasarkan pada perhitungan kebutuhan jumlah tangkapan berdasar daya dukung lingkungan dan asumsi daya hidup juvenil. Faktor alamiah ini tidak mungkin disimulasikan adanya perubahan kapasitas, mengingat bila kelebihan kapasitas, stocking justru akan berdampak negatif pada ekosistem. Pendekatan perhitungan daya dukung pernah dilakukan di wilayah ini (Mansyur 2013; Kurnia 2012) yang merujuk pada daya tampung perairan terkait siklus unsur hara penting yaitu pospor (P) dan nitrogen (N). Perbandingan total nitrogen/total pospor menggambarkan potensi dampak pada perairan dan repson tropik atas sejumlah sumber pengkayaan lingkungan (Yeo et al. 2004). Pada perairan laut unsur nitrogen (N) pada umumnya mempunyai kelimpahan yang cukup, sehingga unsur pospor (P) menjadi faktor pembatas.

Konsep penting dalam model sea ranching ini adalah proses pertumbuhan ikan muda didasarkan ketersediaan pakan alami (no feeding). Oleh karenanya, seperti halnya pengkayan perikanan lainnya, perhitungan besaran daya dukung ini menjadi salah satu dasar perhitungan yang sangat krusial, dan perlunya masukan ilmiah (Lorenzen 2014).

Simulasi kebutuhan stok mencakup jumlah dan waktu pelepasan stok. Jumlah dan waktu pelepasan stok akan dipengaruhi oleh jumlah/besaran panen (harvest) baik melalui penangkapan terkendali (regulated fishing) maupun penangkapan rekreasional. Untuk dapat dilakukan analisis, maka jumlah individu yang dilepas harus seragam dan berasal dari lingkungan yang sama. Garlock et al. (2013) mendapatkan bahwa individu juvenil Florida largemouth bass (Micropterus floridanus); mempunyai pertumbuhan, aktivitas, metobolisme dan daya hidup yang berbeda antara ikan yang ditangkap alami, dari hatchery yang dimanipulasi dan hatchery standar.

Secara empiris sea-ranching dalam konsep put-grow-take tanpa pakan masih sangat sedikit diterapkan di Indonesia sampai sekarang. Demikian pula studi yang komprehensif, sehingga pengembangan model dalam kasus di Indonesia penting di lakukan. Studi awal tentang sea ranching telah dilakukan oleh Yulianto (2015) tentang kemungkinan implementasi sea ranching di Taman Nasional Karimunjawa-Jawa Tengah. Namun demikian studi ini tidak menganalisis model kelembagaan dan analisis implementasi pengelolaan sea ranching di lokasi penelitian.

PKSPL-IPB mengembangkan konsep sea farming (Rudiyanto 2011) di KAKS. Akan tetapi pelasapan ikan yang kemudian ditangkap kembali dalam pola lepas-tumbuh-tangkap belum diterapkan. Rejim open akses dan common property dalam pengelolaan sumberdaya perairan menjadi salah satu kendala dominan. Oleh karenanya, model konseptual yang dikembangkan dalam analisis ini adalah sea ranching yang memanfaatkan perairan dangkal (pesisir) tertentu, yang memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kapasitas perikanan tangkap dengan pola put-grow-take. Studi sebelumnya, disamping bio-ekologis, permasalahan terkait dengan sistem hak menjadi isu elementer mengingat bahwa sistem ini membutuhkan wilayah perairan yang demarcated (Gaines 2013; Alban dan Boncoeur 2008; Arnason 2008).

Model konseptual didasarkan pada interaksi subsistemik antara komponen dalam ekosistem sea ranching. Secara umum, model sea-ranching menggabungkan unsur penangkapan dan budidaya, dalam ekosistem perairan dangkal. Integrasi budidaya dan penangkapan (Garcia dan Granger 2005); mencakup pembibitan, pembesaran dan penangkapan kembali pada ukuran tangkapan.

Aktivitas dalam sea ranching secara prinsip terbagi dalam tiga kelompok yaitu pelepasan juvenile (put), menumbuhkan ikan (grow) dan memanen/menangkap kembali (take). Tiga aktivitas tersebut akan mengikat dari dua dua dimensi dalam sea ranching yaitu dimensi sumberdaya alam dan dimensi sosial. Setiap aktivitas mempunyai pertimbangan dan implikasi yang berbeda pada dua dimensi tersebut yang saling terkait. Dimensi sumberdaya alam dan dimensi sosial masing-masing saling terkait sehingga perubahan salah satunya akan berpengaruh pada dimensi yang lain secara resiprokal. Keterkaitan ini terjadi pada setiap aktivitas dalam tahapan sea ranching yaitu lepas-tumbuh-tangkap, seperti terlihat dalam Gambar 3.6.

Berdasarkan pada Gambar 3.6, aktivitas dalam sea ranching menjadi pengikat bagi interaksi sistem sumberdaya dan sistem sosial. Hanya dalam tahapan awal, interaksi ini akan sangat ditentukan dari sistem sumberdaya yaitu kondisi ekosistem. Berdasarkan pada keterkaitan dimensi tersebut, sea ranching sangat dipengaruhi dan harus memperhatikan faktor yang membentuk dimensi sosial, faktor yang mempengaruhi kondisi ekosistem perairan dan faktor hasil interaksi antara dimensi sosial dan dimensi ekologis berupa respon pengelolaan.

Gambar 3.7 Dimensi alam dan dimensi sosial dalam sea ranching

Keberhasilan sea ranching akan ditentukan oleh kondisi tidak terganggunya proses pelepasan-tumbuh–tangkap secara alamiah dan jaminan bahwa hanya individu atau kelompok yang melakukan pelepasan dan melakukan penjagaan ikan selama pertumbuhan yang berhak memanen/menangkap kembali. Prasyarat tersebut merupakan turunan dari sistem alamiah dan sistem sosial yang melingkupi wilayah sea ranching. Sehingga secara umum, hal ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan interaksi dalam ekosistem, sistem yang mendukung tidak adanya gangguan dan dan jaminan hak pemanfaatan oleh individu atau kelompok yang melakukan pelepasan dan respon pengelolaan. Sehingga elemen dalam model sea ranching meliputi : (1) pelepasan juvenile, (2) eksosistem wilayah yang sehat dan demarkatif, (3) Sistem hak sumberdaya, dan (4) kelembagaan yang efektif sebagai respons pengelolaan. Persyaratan efektivitas sea ranching bisa diturunkan dari prasyarat untuk mencapai ekosistem yang sehat dan demarkatif, sistem hak yang efisien dan kelembagaan yang efektif. Secara konseptual model sea ranching dapat dilihat dalam Gambar 3.8 berikut.

Berdasarkan pada Gambar 3.8 maka sea ranching pada perairan tropika dengan rejim pengelolaan akses terbuka dapat dirumuskan sebagai proses pelepasan juvenil pada perairan sehat dan demarkatif dengan pola lepas-tumbuh- tangkap yang dijamin oleh sistem hak sumberdaya yang efektif dan mensyaratkan kelembagaan pengelola yang efisien dan legitimatif. Walaupun dalam model semua elemen itu saling berinteraksi, tetapi komponen ekosistem wilayah yang sehat dan demarkatif merupakan bagian yang paling penting dalam sistem model sea ranching. Secara teoritis, karakteristik ini dapat diatasi oleh respon pengelolaan dalam bentuk aplikasi teknologi tertentu, tetapi perlu penelitian dan usaha yang lebih besar untuk menentukan kelayakan ekonomis aplikasinya dalam sistem ini.

Kondisi ekosistem yang sehat dan demarkatif merupakan fungsi dari sistem hak sumberdaya yang ada dan kelembagaan yang dikembangkan sebagai sistem respon pengelolaan bagi proses lepas-tumbuh-tangkap. Sekarang ini wilayah sea ranching merupakan daerah penangkapan bagi nelayan lokal. Hasil survei pada masyarakat lokal menunjukan bahwa sebesar 57% responden melakukan penangkapan di wilayah perairan dangkal Pulau Semak Daun seperti terlihat dari Gambar 3.9 berikut.

Gambar 3.9 Lokasi Daerah Penangkapan Nelayan Lokal

Survei ini dilakukan pada nelayan di Kelurahan P Panggang yang secara administratif wilayah perairan ini merupakan bagian wilayahnya. Berdasarkan asal wilayah, sebanyak 86% responden merupakan nelayan di P Panggang dan 12% dari P Pramuka seperti terlihat dalam Gambar 3.10 berikut.

Gambar 3.10 Proporsi Asal Responden

Sehingga peran wilayah ini sebagai daerah penangkapan nelayan lokal menjadi penting. Penetapan wilayah ini menjadi wilayah demarkatif akan berimplikasi secara signifikan bagi nelayan lokal.

Sistem hak sumberdaya ini juga sebagian akan berpengaruh pada kelembagaan pengelolaan sea ranching baik dalam perspektif aturan (rules of the

game) maupun aktor/lembaga (player of the game). Semakin efektif sistem hak sumberdaya dan efektif kelembagaan, akan mendorong kondisi ekosistem yang sehat dan demarkatif yang meningkatkan keberhasilan sea ranching.

Sea ranching merupakan aktivitas yang dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal, terkait dengan penurunan produktivitas perairan tangkap pesisir yang berakibat pada kondisi lebih tangkap. Khusus ikan kerapu disamping analisis yang telah dilakukan oleh Kurnia (2012) yang menunjukan telah terjadinya kondisi lebih tangkap, hasil survei pada nelayan lokal juga sejalan dengan temua tersebut dimana juga memberikan pendapat yang sama. Sebanyak 80% responden menyatakan bahwa telah terjadi penurunan hasil tangkapan kerapu secara signifikan dibandingkan sebelumnya (Gambar 3.11). Penurunan ini terjadi baik dalam hal jumlah hasil tangkapan maupun ukuran ikan yang ditangkap.

Peningkatan kesejahteraan akan sangat dipengaruhi oleh pertimbangan bio- teknologis dan sosial-ekonomis, termasuk pada pola sea ranching. Perspektif ini menjadi salah satu pertimbangan kuat pengembangan sea ranching. Sehingga kesesuaian ekologis menjadi syarat keharusan (necessary condition), tetapi hal ini tidak cukup sehingga sea ranching juga meningkatkan kesejahteraan nelayan (sufficiency condition).

Secara sekuensial, sea ranching dimulai dari pelepasan ikan muda (juvenile) pada wilayah yang telah ditentukan dan memenuhi syarat. Pelepasan ikan muda (juvenile) untuk peningkatan stok (stocking) merupakan hasil budidaya (hatchery) agar ukuran seragam, yang didasarkan pada perhitungan kebutuhan jumlah tangkapan berdasar daya dukung lingkungan dan asumsi daya hidup juvenil. Konsep penting dalam model sea ranching ini adalah proses pertumbuhan ikan muda didasarkan ketersediaan pakan alami (no feeding). Oleh karenanya, seperti halnya pengkayaan perikanan lainnya, perhitungan besaran daya dukung ini menjadi salah satu dasar perhitungan yang sangat krusial, dan perlunya masukan ilmiah (Lorenzen 2014).

Gambar 3.11 Persepsi nelayan pada hasil penangkapan ikan kerapu di lokasi penelitian

Simulasi kebutuhan stok mencakup jumlah dan waktu pelepasan stok. Jumlah dan waktu pelepasan stok akan dipengaruhi oleh jumlah/besaran panen (harvest) baik melalui penangkapan terkendali (regulated fishing) maupun penangkapan rekreasional. Untuk dapat dilakukan analisis dengan baik, maka jumlah individu yang dilepas harus seragam dan berasal dari lingkungan yang sama. Garlock et al. (2013) mendapatkan bahwa individu juvenile Florida largemouth bass (Micropterus floridanus); mempunyai pertumbuhan, aktivitas, metobolisme dan daya hidup yang berbeda antara ikan yang ditangkap alami, dari hatchery yang dimanipulasi dan hatchery standar.

Sea ranching merupakan aktivitas pelepasan stok dengan rasional ekonomi kuat, yang ditujukan peningkatan efisiensi ekonomis penangkapan dan kesejahteraan nelayan. Walaupun dasar perhitungan stocking didasarkan oleh jumlah kemampuan ekosistem perairan mendukung biomasa ikan, tetapi faktor besaran manfaat ekonomi yang akan diperoleh menjadi pertimbangan untuk implementasi stocking tersebut. Besaran ini dipengaruhi oleh harapan nilai benefit per individu nelayan yang terlibat. Oleh karenanya, jumlah nelayan yang terlibat dipengaruhi oleh jumlah stok yang ditebar sesuai daya dukung perairan dan pendapatan per individu nelayan.

Konflik menjadi salah satu bahaya penting dalam pengembangan sea ranching. Potensi konflik ini bisa konflik antar nelayan dalam satu kelompok sea ranching maupun antara nelayan dalam kelompok sea ranching dengan individu yang sebelumnya memanfaatkan wilayah sea ranching. Jumlah nelayan yang terlibat menjadi isu krusial, karena biasanya dalam sea ranching jumlah nelayan yang terlibat menjadi lebih rendah (Gaines 2013). Seperti terlihat dalam Gambar 3.9 dan Gambar 3.10, keterlibatan nelayan yang sekarang melakukan penangkapan di wilayah ini dalam pengelolaan sistem sea ranching menjadi salah satu faktor untuk mengurangi potensi konflik ini.

Sehingga secara umum, analisis daya dukung ini mencakup dua hal pokok yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung sosial-ekonomis. Daya dukung ekologis menunjukan jumlah maksimal biomasa ikan yang bisa ditampung dalam unit ekosistem area sea ranching (Inglis et al. 2005; Bengston 2014). Daya dukung non-ekologis, mencakup daya dukung sosial dan daya dukung ekonomis. Daya dukung sosial merupakan konsep yang sulit untuk diukur. Daya dukung sosial mencerminkan jumlah orang maksimal yang bisa terlibat (dalam sistem sea ranching) yang tidak menimbulkan konflik yang menjadi hambatan bagi implementasinya (Tarrant dan English 1996, Ross et al. 2013). Sedangkan daya dukung ekonomis adalah jumlah nilai ekonomis maksimal yang bisa dihasilkan (Ross et al. 2013) dari aktivitas sea ranching.

Simulasi jumlah dan waktu pelepasan juvenile dalam sea ranching harus didasarkan pada pertumbuhan dan tingkat daya hidup ikan yang sama, agar diperoleh akurasi total panen (harvest). Namun demikian dalam kenyataannya dimungkinkan terjadi kondisi tertangkapnya ikan yang berukuran lebih kecil (undersize), yaitu ikan tertangkap belum mencapai ukuran komersial. Sehingga perlu proses pembesaran (rearing) dalam karamba jaring apung (floating cage). Untuk memacu pertumbuhan ini, kemungkinan dilakukan pemberian pakan (feeding). Hal ini harus dilakukan sangat hati-hati, karena secara prinsip proses sea ranching dilakukan dalam ekosistem tertutup. Karenanya jumlah pakan harus dibatasi, sebab pemberian pakan akan berpotensi menambah jumlah N yang bisa

mendorong proses penyuburan (eutrofikasi). Proses ini akan dipicu oleh perubahan rasio N/P (Yeo et al. 2004).

Proses penyuburan akan mendorong ekosistem menjadi subur dan menurunkan daya dukung ekologis karena perebutan oksigen antar organisme dalam ekosistem wilayah sea ranching. Proses pembilasan (flushing) akibat arus yang mendorng pergantian masa air dalam ekosistem, dapat mengurangi potensi eutrofikasi ini karena pada dasarnya ekosistem ini tidak benar-benar tertutup. Namun demikian, pergerakan arus pada wilayah goba sangat lambat (arus laminar) sehingga potensi pembilasan juga rendah (Mansyur 2013). Jumlah karamba dan pemberian pakan harus pada tingkat dibawah kondisi eutrofikasi.

Pemberian pakan juga berpotensi untuk meningkat pencemaran partikel, berupa material tersuspensi (total suspenden solid/TSS) atau material terendapkan (seattleable solid/SS) (Yeo et al. 2004) dan berpotensi menempel pada terumbu karang (Mansyur 2013). Penempelan partikel ini akan dapat mematikan atau menghambat berkembangnya polip karang, dan berpotensi mendorong dominasi alga besar (makro alga) yang melakukan suksesi pada lokus tumbuhnya polip karang. Pada sisi lain, pencemaran partikel juga menurunkan turbiditas. Penurunan turbiditas akan menurunkan penetrasi cahaya matahari yang dibutuhkan bagi proses fotosintesis karang. Sehingga kesehatan karang menjadi terganggu. Hal ini akan berbahaya bagi spesies ikan yang berasosiasi dengan karang. Bila kelompok ikan ini berkurang, maka ikan kerapu sebagai top predator akan kekuarangan makanan yang pada akhirnya akan mengganggu proses pertumbuhan secara alaminya.

Komponen utama dalam proses sea ranching kerapu macan ini adalah pelapasan juvenile yang selanjutnya akan tumbuh tanpa pakan, dan proses pembesaran menjadi pendukung. Sehingga, kesehatan eksosistem karang dalam perairan menjadi prasyarat penting. Kesehatan karang menjadi faktor yang membatasi jumlah karamba jaring apung pada proses pembesaran. Dalam konteks sea ranching, daya dukung ekosistem digunakan menjadi dasar penentuan baik dari sisi pelepasan juvenile dan proses pertumbuhannya, maupun bagi proses pembesaran bagi ikan yang tertangkap dibawah ukuran permntaan pasar (undersize).

Disamping proses pembesaran, karena terjaganya ekosistem karang juga berpotensi menjadi tujuan wisata (pada site tertentu) baik berupa snorkeling atau pancing (penangkapan rekreasional). Sebagai contoh, sea ranching cod di Norwegia telah menjadi tujuan rekreasi pancing walaupun masih perlu pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap atau harus dilepas lagi (Moksness 2014).

Setiap aktivitas pengelolaan baik untuk penangkapan kembali maupun wisata, berpotensi mendapat penerimaan dan juga membutuhkan biaya. Agar tidak terjadi persaingan antar pelaku dalam komponen sea ranching, maka semua pelaku menjadi satu unit kesatuan organisasi. Artinya bahwa seluruh pelaku merupakan satu unit agen, bukan menjadi sub unit yang otonom. Unit-unit pemanfaatan tersebut menjadi bagian dari pengelola sea ranching.

Seperti diuraikan sebelumnya, kondisi tersebut akan dapat dipenuhi apabila sistem hak sumberdaya dan kelembagaan pengelolaan berjalan secara efektif. Sistem hak ini akan terkait dengan dua faktor utama yaitu : (a) kemampuan untuk mencegah orang lain yang tidak berhak menikmati manfaat dari sea ranching

(sistem ekslusi), dan (b) kekuatan sistem demarkasi. Sistem hak ini menyebabkan pengelolaan wilayah tidak lagi bisa dilakukan dalam sistem akses terbuka tetapi sebaliknya terutup atau terbatas. Sehingga pengelolaan wilayah perlu didasarkan pada sistem pengelolaan perikanan basis hak (RBFM : Right Based Fisheries Management). Sistem ekslusi dan sistem hak ini juga akan mempengaruhi legitimasi dan efektivitas kelembagaan pengelolaan sea ranching. Pembahasan terkait dengan dua komponen ini akan dilakukan pada bab yang lain dalam disertasi ini.