• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELUARGA DI DUSUN KIRINGAN, CANDEN, JETIS, BANTUL

Sulistyary Ardiyantika1

Abstrak

Keberadaan jamu saat ini sudah tidak seeksis di zamannya dahulu. Jamu sebagai warisan nenek moyang yang seharusnya dilestarikan keberadaanya saat ini bernasib sangat memprihatinkan. Apalagi di tengah perkembangan obat-obatan modern yang kiat menjamur saat ini semakin menggiring jamu menuju ambang kepunahan. Namun pemandangan berbeda terjadi di Dusun Kiringan Bantul, ratusuan ibu-ibu di dusun ini masih tetap menjaga eksistensi jamu tradis-ional. Dusun ini bahkan sampai dijuluki sebagai dusun jamu karena keberadaan para penjual jamunya yang sudah hampir beratus-ratus tahun lamanya memproduksi jamu. Awal mula lahirnya Dusun Kiringan sebagai Dusun Jamu dimulai dari keberhasilan satu orang yang menular ke tetangganya yang akhirnya membuat satu kam-pung melakukan peniruan. Dilihat dari dampak, profesi sebagai penjual jamu telah menjadikan ibu-ibu di Dusun Kiringan lebih produktif yang mampu berpenghasilan sendiri demi membantu dan meningkatan kesejahteraan keluarganya.

Kata Kunci: Lahirnya Desa Jamu, Peniruan, Peningkatan Kes-ejahteraan.

1 Sulistyary Ardiyantika S.Sos.I Merupakan alumnus dari Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam dan saat ini aktif menjadi Volunteer di Pusat Layanan Difabel serta menjadi salah satu pengurus Laboratorium PMI.

Pendahuluan A.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal sebagai daerah tropis yang kaya akan berbagai jenis spesies. Luas wilayah Indonesia sekitar 9 juta km2 terdiri dari 2 juta km2 daratan dan 7 juta km2 lautan. Indonesia mempunyai tingkat keberagaman kehidupan yang sangat tinggi sehingga dikenal sebagai Mega Center dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) terbesar kedua setelah Brazil. Indonesia mempu-nyai sekitar 30.000 jenis tumbuhan endemik atau asli Indonesia, yang mana 7.000 diantaranya dipercaya memiliki khasiat sebagai obat.2 Khasiat obat yang terkandung dalam berbagai tumbuhan tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan berbagai ramuan kesehatan tradis-ional, seperti jamu.

Jamu di Indonesia pertama kali muncul di lingkungan istana, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Dahulu resep jamu hanya dikenal di kalangan keraton dan tidak diperbolehkan keluar dari keraton. Sampai permulaan abad XX tradisi meracik jamu terse-but masih menjadi sesuatu yang ekslusif dan hanya dikerjakan oleh kalangan tertentu saja. Tetapi seiring perkembangan zaman, orang-orang lingkungan keraton mulai mengembangkan dan mengajarkan bagaimana meracik jamu kepada masyarakat di luar benteng keraton dan menyebar di seluruh wilayah di Jawa sehingga keberadaan jamu sangat identik dengan masyarakat Jawa.3

Tradisi meramu tanaman untuk obat tidak hanya terdapat di In-donesia, beberapa wilayah seperti India, Arab dan China mempunyai tradisi serupa dengan tradisi jamu di Indonesia. Di Arab memiliki tra-disi pengobatan tratra-disional yang dikenal dengan sebutan Thibb Asy-Sya’biy dan diperkirakan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW terdahulu. Sedangkan di India istilah meramu obat tradisional dikenal dengan filosofi Ayurveda. Adapun di China, obat tradisional China (Traditional Chines Medicine) telah lebih dari 3000 tahun diper-cayakan masyarakat sebagai sistem pengobatan umum sampai saat ini dan bahkan oleh pemerintah China menetapkan obat tradisional China sebagai salah satu pusaka negara4.

Hal ini berbeda dengan perkembangan jamu di Indonesia, seiring

2 Sampurno, Obat Herbal Dalam Prespektif Medik Dan Bisnis. Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta, 2007.

3 Joko Prasetiyo, “Jamu-Nusantara”, Http://Www.Bursaide.Com/Ide/143/ Jamu-Nusantara. Diakses pada 08-04-2013.

perkembangan zaman keberadaan jamu semakin tergeser dari kehidu-pan masyarakat oleh kehadiran berbagai macam obat modern. Keam-puhan obat modern yang dianggap lebih cepat dalam menyembuh-kan penyakit menjadimenyembuh-kannya sangat populer di kalangan masyarakat. Apalagi dalam dunia kedokteran, obat-obatan modern selalu diberi-kan kepada pasiennya sebagai resep utama untuk penyembuhan. Pa-dahal jika diteliti, sebenarnya dibalik keampuhan obat-obatan modern tersebut terdapat efek samping yang merugikan dan banyak mening-galkan residu bagi tubuh manusia. Walaupun efektivitas dan stabilitas produknya sudah teruji, tetapi tingkat keamanan dan keberhasilan-nya masih diragukan. Apalagi Jika dikonsumsi secara berlebihan dan terus-menerus, beresiko tinggi menimbulkan kerusakan pada jantung, ginjal, hati dsb. Kondisi ini secara otomatis akan memunculkan per-soalan baru di masyarakat karena niat hati mengkonsumsi obat untuk menyembuhkan penyakit tetapi justru merupakan sumber datangnya suatu penyakit.

Anggapan bahwasanya mengkonsumsi obat modern lebih ce-pat menyembuhkan penyakitpun semakin mematahkan keberadaan obat-obatan tradisional, seperti jamu. Jamu sebagai salah satu bukti napak tilas perjalanan kehidupan nenek moyang terdahulu, saat ini jejaknya semakin menghilang dan terus bergeser menuju kepunahan.5 Pergeseran kebudayaan yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman serta pilihan menerapkan pola hidup serba instan menjadi tren di masyarakat sehingga mengakibatkan keterpurukan bagi dunia per-jamuan. Perubahan karakter masyarakat yang sudah bermetamorfosis dengan dunia modern juga menjadi pemicu utamanya.

Usia yang lama lantas tidak menjamin suatu kepopuleran, buk-tinya saja keberadaan jamu yang sudah ribuan tahun berkiprah men-emani masyarakat bisa terhimpitkan seiring berjalannya waktu. Na-mun, di Dusun Kiringan, Canden, Kecamatan Jetis, Bantul hampir semua rumah memproduksi jamu sehingga dikenal sebagai “dusun Jamu”.6 Dusun ini bahkan dikenal sebagai sentra penghasil jamu terbesar di Yogyakarta. Berbagai resep tradisional diperoleh langsung dari nenek moyangnya dari generasi ke generasi. Keberhasilan dalam menjaga eksistansi jamu tidak terlepas dari peran para perempuan di

5 Perpustakaan Nasional RI, Seri Obat-Obatan Tradisional Dalam Naskah Kuno. ( Jakarta: 1993). Hal. 504.

6 Wawancara dengan Bapak Karjilan, Masyarakat Dusun Kiringan, Canden, Jetis

Dusun Kiringan. Jamu-jamu tersebut diproduksi dan didistribusikan oleh para perempuan ke berbagai penjuru di daerah Bantul dan seki-tarnya.

Berdasarkan latar belakang di atas saya ingin mengetahui 1). Ba-gaimana sejarah munculnya Dusun Kiringan sebagai dusun jamu? dan 2). Bagaimana dampak dari adanya profesi sebagai penjual jamu tersebut dalam peningkatan kesejahteraan keluarga.

Kajian Pustaka B.

Terdapat beberapa penelitian yang mengulas tentang Dusun Kiringan. Seperti halnya Penny Rahmawaty, Nahiyah Jaidi Faraz dan Gunarti dalam penelitiannya yang berjudul ”Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Jamu Gendong Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Kabupaten Bantul”7 yang difokuskan kepada pengurus dan anggota kelompok pengerajin jamu gendong yang tergabung dalam Koperasi Seruni Putih. Sedangkan penelitian kedua membahas tentang hasil Evalu-asi Program Pemberdayaan Perempuan BerbEvalu-asis Iptek Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Bantul DIY.8 Dalam penelitian ini membahas sejauh mana tingkat keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan melalui kelom-pok pengerajin jamu gendong “Seruni Putih” di Kiringan dan manfaat yang diperoleh dari hasil pemberdayaan bagi para penjual jamu terbut. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, se-cara keseluruhan belum ada yang membahas sese-cara spesifik menge-nai bagaimana sejarah awal terbentuknya dusun Kiringan sehingga menjadi dusun jamu dan dampak yang dihasilkan dari profesinya se-bagai penjual jamu tersebut dalam proses peningkatan kesejahteraan keluarganya.

Kerangka Teori C.

Dampak merupakan suatu akibat yang timbul setelah dilaku-kannya sesuatu. Adapun dampak yang bersifat positif akan mengun-tungkan dan dampak negatif bersifat merugikan. Serupa ketika suatu dampak menghasilkan hal yang positif akan menjadi rujukan banyak kalangan untuk pro dan berusaha mengikutinya akan tetapi

seba-7 Penny Rahmawaty, dkk. Pemberdayaan Perempuan Pengrajin Jamu Gendong

Di Dusun Kiringan, Canden, Jetis Kabupaten Bantul. Jurnal Fakultas Ilmu Sosial dan

Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. UNY: Yogyakarta, 2007).

8 Nahiyah Jaidi Faraz, dkk. Evaluasi Program Pemberdayaan Perempuan

liknya ketika dampak tersebut bersifat negatif akan dijauhi dan sebisa mungkin untuk segera diperbaiki.

Teori Trickle Down Effect merupakan teori yang pertama kali dikembangkan oleh Arthur Lewis (1954) dan diperluas oleh Ranis Fei (1968) kemudian menjadi salah satu topik penting dalam literatur pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang pada dekade 1950-an dan 1960-an. Model ini di Indonesia dikenal dengan model Rostow.

Pajar Hatma Indra Jaya dalam tulisannya berjudul Trickle Down Effect: Strategi Alternatif Dalam Pengembangan Masyarakat memin-jam teori Trickle Down Effect untuk digunakan sebagai model strategi pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan yang menekankan munculnya pertumbuhan ekonomi dalam suatu kelompok atau ko-munitas masyarakat yang dinilai berhasil, kemudian terjadi rembesan ke bawah yakni berupa pengadopsian atau peniruan (imitatation or copy paste) yang dilakukan oleh kelompok atau komunitas lainnya di masyarakat tersebut.9

Metodologi Penelitian D.

Data dari tulisan ini diolah dan dianalisis menggunakan metode penelitian kualitatif yang lebih mengedepankan proses dari pada hasil sehingga penelitian ini lebih cenderung meneliti proses di lapangan berupa sejarah kemunculan dusun Kiringan sebagai dusun jamu, serta meneliti bagaimana dampaknya dalam proses peningkatan kesejahter-aan keluarganya. Pengambilan informan dalam penelitian ini dilaku-kan dengan menggunadilaku-kan teknik bola salju (snowball sampling).10 Ala-sannya, pengambilan informan dengan bola salju dikarenakan cara ini mampu melacak informasi yang kaya dari informan kunci, guna menambah informasi baru yang dimulai dari satu menjadi semakin lama semakin banyak. Pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.

9 Baca tulisan Pajar Hatma Indra Jaya, “Trickle Down Effect : Strategi Alternatif Dalam Pengembangan Masyarakat ”, Jurnal Welfare State Jurusan Ilmu Kesejahteraan

Sosial Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogayakarta, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni

2012), hal. 76.

10 Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2000. hal. 224.

Temuan E.

Sejarah Munculnya Dusun Kiringan Sebagai Dusun Jamu 1.

Menurut pakar bahasa Jawa Kuno, jamu berasal dari kata jampi atau usodo yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa dan ajian-ajian. Istilah Jampi banyak ditemu-kan pada naskah zaman Jawa Kuno seperti naskah Gatotkaca Sraya, yang digubah oleh Mpu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri, masa pemerintahan Jayabaya pada tahun 1135-1159 M.11

Tidak ada yang dapat memastikan sejak kapan tradisi meracik dan meminum jamu muncul. Menurut keyakinan masyarakat, tradisi ini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu dan mem-budaya sejak periode kerajaan Hindu-Jawa. Bukti sejarah tertua yang menggambarkan kebiasaan meracik, pemeliharaan kesehatan dan meminum jamu ditemukan pada relief Candi Borobudur, Prambanan, Penataran, Sukuh dan Tegalwangi yang dibangun pada masa Kera-jaaan Hindu dan Budha.12 Selain itu bukti lainnya adalah ditemukan-nya Prasasti Madhawapura dari jaman Majapahit yang menyebut adanya profesi tukang meracik jamu yang disebut Acaraki.

Tradisi membuat dan meracik jamu di Dusun Kiringan sebe-narnya sudah ada sejak zaman londo13. Terdapat beberapa versi yang menceritakan mengenai sejarah munculnya jamu di Dusun Kiringan, tetapi dalam hal ini penulis memilih informasi yang dianggap paling akurat yaitu dari Simbah Kerto Pawiro14 merupakan informan tertua yang juga berprofesi sebagai penjual jamu. Dahulu sekitar tahun 1950-an15, bernama Simbah Joyo Karyo merupakan seorang dukun be-ranak yang bekerja membantu persalinan para ibu-ibu, melihat pada masa itu masih belum ditemukan bidan, dokter, rumah sakit, bahkan puskesmas sekalipun. Sehingga keberadaan Simbah Joyo Karyo seba-gai dukun beranak berperan sangat penting dalam membantu proses persalinan. Beberapa kebiasaan dan tradisi yang seringkali dilakukan Simbah Joyo Karyo selain membantu persalinan adalah membuatkan jamu bagi ibu-ibu yang baru melahirkan dan sedang menyusui terse-but, dimana jamu dipercaya memiliki khasiat memperlancar ASI dan

11 Http://Www.Bursaide.Com/Ide/143/Jamu-Nusantara Diakses pada 08-04-2013.

12 ibid.

13 Londo merupakan istilah masyarakat Jawa dalam menyebut penjajah.

14 Simbah Kerto Pawiro, usia 86 tahun merupakan cucu buyut dari leluhur pembuat jamu di Dusun Kiringan yaitu simbah Joyo Karyo dan beliau berjualan jamu sejak usia 14 tahun, 07 November 2013.

membantu menjaga kesehatan ibu dan bayinya. Setelah beberapa ta-hun kemudian, Simbah Joyo Karyo pun beralih pekerjaan dari dukun beranak menjadi seorang penjual jamu keliling.

Simbah Joyo Karyo sangat ahli dalam meracik jamu. Sehingga keahliannya dalam meracik jamu diturunkan ke generasi selanjutnya yaitu anak-anaknya sendiri yang bernama Simbah Totaruno dan Sim-bah Ngadinah dan keduanya pun berprofesi sebagai penjual jamu. Adapun Simbah Ngadinah memiliki sembilan orang anak dimana lima diantaranya adalah laki-laki dan empat sisanya adalah perem-puan. Dari keempat anak perempuan yang dimiliki, Simbah Ngadinah kembali menurunkan keahliannya kepada empat anak perempuan-nya yaitu Tukiyem, Jumiyem, Jumilah dan Kerto Pawiro sehingga mereka pun menggantungkan mata pencahariannya sebagai penjual jamu. Dari ketiga anaknya tersebut hanya Kerto Pawiro yang masih hidup dan berjualan jamu sampai sekarang. Kemudian Simbah Kerto Pawiro juga masih memiliki seorang keponakan yang juga berjualan jamu yaitu Simbah Samirah merupakan anak dari kakaknya Simbah Jumiyem.

Seiring berjalannya waktu, ternyata keahlian dalam meracik ba-han jamu terus berkembang dan banyak ditiru oleh ibu-ibu di Dusun Kiringan sebagai mata pencaharian utamanya. Berawal dari warisan nenek moyang terdahulu yang hanya dilakoni segelintir orang saja berkembang menjadi ratusan orang penjual jamu. Sehingga tradisi ini telah mendarah daging dalam kehidupan mereka hingga sekarang.

Perkembangan dan Perubahan Cara Berjualan 2.

Setiap pagi suasana kehidupan masyarakat satu dengan lainnya terlihat hampir sama. Umumnya saat pagi hari sudah bersiap-siap hendak berangkat bekerja maupun sekolah. Serupa dengan yang ter-jadi di Dusun Kiringan, sekitar pukul 08.00 WIB akan terlihat puluhan ibu-ibu yang berbondong-bondong keluar dari dusun untuk menja-jakan jamunya. Memakai sepeda onthel maupun sepeda motor ter-lihat beriringan sembari membawa peralatan dan bahan bahan jamu seperti keronjot dan seisinya serta beberapa buah botol yang berisi air matang, batok kelapa, panci, saringan, ember, plastik, dan berbagai jenis racikan jamu khas Kiringan. Pemandangan seperti itu dianggap sudah tidak asing lagi karena telah berjalan sejak berpuluh-puluh ta-hun lalu.

Seiring perkembangan zaman, banyak sekali tradisi-tradisi lama yang sudah berubah dan mempengaruhi tradisi jamu di Kiringan mu-lai dari tata cara, peralatan yang digunakan, sistem transportasi dan sebagainya. Dahulu, tata cara membuat jamu dilakukan dengan san-gat sederhana baik dari proses peracikan, penggilingan, pemipisan, pemasakan dan pewadahan. Proses menggiling jamu hanya meng-gunakan alat seperti cobek berbentuk datar disertai muntunya yang dikenal dengan istilah pipisan. Mulanya bahan-bahan tersebut digil-ing menjadi sangat halus sampai tekstur tidak terlihat jelas, kemudi-an proses pemasakkemudi-an untuk beberapa jenis jamu seperti kunir asem menggunakan kuali atau kendil dimasak di tungku. Saringan yang digunakan pun sangat unik yaitu jenis saringan berbahan dasar tem-baga untuk memeras jamu yang disimpan dalam wadah botol beling atau kaca.

Dahulu, cara menjual jamu di Kiringan masih sangat tradisional yaitu memikul bakul sebagai tempat meletakkan jamu serta berkos-tum jarik, kebayak dan lengkap dengan tapihnya16 untuk menggen-dong jamu. Selanjutnya mereka berkeliling ke kampung-kampung dengan berjalan kaki menjajakan jamu. Rutinitas tersebut dilakukan setiap hari, berangkat setelah subuh dan kembali ke rumah menjelang maghrib dengan berjalan kaki.

Perubahan lain yang mengalami perkembangan pesat adalah kebiasaan berjualan jamu dengan berjalan kaki saat ini sudah jarang bahkan langka dilakukan. Kendaraan sejenis sepeda onthel dan sepe-da motorlah yang banyak digunakan para penjual jamu. Sebenarnya, kondisi demikian semakin memudahkan dalam menjangkau lokasi dan jarak tempuh dalam berjualan. Jika berjalan kaki hanya mampu menjangkau sekitar ±5 km saja, menggunakan sepeda onthel mampu menjangkau jarak ±6-10 km sedangkan jika menggunakan sepeda mo-tor mampu menempuh jarak ±12-16 km per harinya.

Resolusi Konflik Antar Penjual Jamu 3.

Bukti adanya interaksi sosial yang tinggi antar masyarakat da-pat terlihat dalam penentuan lokasi berjualan para penjual jamu satu dengan lainnya. Walaupun jumlah penjual jamu sangat banyak, akan tetapi mereka tidak pernah memperebutkan lokasi ataupun terjadi konflik karena memperebutkan lokasi berjualan. Padahal jika

dibayangkan dari sekian banyak jumlah warga Dusun Kiringan yang berjualan jamu, seharusnya sangat besar kemungkinan untuk timbul-nya suatu konflik terkait pemilihan lokasi berjualan.

Bayangan awal yang menganggap akan terjadi banyak konflik dalam menentukan lokasi berjualan dapat terjawab. Jadi, dalam me-nentukan lokasi berjualan mereka tidak pernah mengalami masalah.

Nggeh mboten to mbak, kita kan udah ada tempatnya sendiri-sendiri. Langganannya pada punya semua. Jadi yo nggak perlu rebutan, kan ada yang masih nerusin langganannya simbah yang dulu juga.17

Tidak hanya diwarisi ilmu meracik dan membuat jamu saja, tetapi lokasi berjualan pun juga menjadi warisan. Sebab, hingga saat ini rata-rata lokasi berjualan jamu yang didatangi oleh para ibu-ibu merupakan lokasi yang dulunya juga menjadi lokasi langganan ber-jualan jamu nenek moyangnya.

Bagi sebagian penjual jamu terdapat beberapa kesulitan dalam mencari lokasi berjualan apalagi mereka merupakan penjual jamu awal yang dulunya belum ada peninggalan lokasi dari keluarganya. Karena satu kebiasaan dari warga adalah ketika langganan jamunya belum datang, mereka akan memilih menunggu langganannya dari-pada harus membeli di penjual jamu lainnya.

Perbedaan Jamu Kiringan dengan Jamu-Jamu Lainnya 4.

Istilah jamu sangat identik sebagai minuman tradisional Jawa yang rasanya pahit dan terbuat dari jenis tanaman obat-obatan serta dibuat dengan proses yang sama. Tetapi jamu di Dusun Kiringan ber-beda, terdapat beberapa keunikan yang tidak dimiliki oleh penjual-penjual jamu di tempat lainnya. Cara membuatan, peracikan serta penyajian jamu di Kiringan memiliki ciri khas tersendiri dimana cara membuatnya masih tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alami dari tanaman obat herbal. Selain itu, terdapat perbedaan cara meracik jamu yaitu menggunakan alat berupa pipisan untuk meng-gilas jamu. Setelah masing-masing bahan dipipis satu per satu barulah hasil dari pipisan tersebut dimasukkan dalam satu wadah khusus se-suai jenisnya tetapi tidak dibaur menjadi satu.

Ketika ingin memesan jamu, para penjual jamu akan menjum-putnya menggunakan tangan sesuai keinginan pembeli. Terkadang pembeli juga bisa meminta untuk dicampurkan dengan bahan jamu

lainnya. Setelah itu barulah hasil jumputan jamu ditambahkan air matang secukupnya untuk dicairkan kemudian disaring dan penyar-ingannya diulangi sampai dua kali. Umumnya, cara penyajian jamu yang diberikan kepada pelanggan menggunakan gelas biasa, sedan-gkan penyajian jamu di Dusun Kiringan menggunakan wadah yang sangat antik yaitu batok kelapa sebagai pengganti gelas.

Adapun berbagai jenis jamu yang dijual meliputi beberapa macam. Hampir setiap jamu memiliki ciri khas yang berbeda-beda dari kunir asem, beras kencur, uyup-uyup, cabe puyang, watukan, pilis, pahitan, parem taun, sambiloto, sehat lelaki, sehat putri dan lain sebagainya. Dari beberapa jenis jamu yang ada kunir asem, beras kencur dan uyup-uyup merupakan jamu favorit selain karena rasan-ya rasan-yang tidak pahit, jenis jamu ini memiliki kesegaran tersendiri jika dibandingkan dengan jamu lainnya sehingga paling banyak diminati terutama oleh anak-anak, para remaja dan masyarakat yang tidak me-nyukai jamu pahit.

Dampak Berjualan Jamu 5.

Keberadaan para pengerajin jamu di dusun Kiringan ternyata telah membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat Dusun Kir-ingan sehingga terjadi suatu perubahan yang menimbulkan dampak positif berupa:

Peningkatan Pendapatan Keluarga a.

Tidak bisa dipungkiri, jika hanya mengandalkan penghasilan suami saja tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup kelu-arga apalagi dalam kelukelu-arga tersebut memiliki beberapa tanggun-gan seperti tangguntanggun-gan sandang, pantanggun-gan, papan serta menyeko-lahkan anak.

Rata-rata penghasilan utama kepala keluarga adalah sebagai buruh bangunan, petani maupun buruh tani. Dari 266 jumlah KK yang ada, profesi sebagai buruh bangunan sangat mendominasi. Walaupun terdapat beberapa bentangan sawah yang luas akan tetapi bagi mereka pekerjaan bertani dianggap sebagai pekerjaan sampingan saja.

Berprofesi sebagai buruh bangunan maupun petani juga be-lum menjamin kebutuhan hidup keluarga dapat terpenuhi sep-enuhnya. Perhitungan seseorang bisa dikatakan petani adalah jika memiliki tanah minimal ½ hektar. Sedangkan jika memiliki tanah

kurang dari ½ hektar mereka dikatakan sebagai buruh tani.18 Itu-pun hanya bisa ditanami padi sebanyak dua kali dan satu kali tan-aman palawija dalam 1 tahun. Dan sebagian para petani ini akan berpenghasilan banyak hanya pada musim-musim panen yang tidak menentu waktunya.

Jika dikalkulasikan secara rinci, pendapatan suami yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan rata-rata berkisar antara Rp. 35.000,00-Rp.50.000,00 per hari. Jika dibandingkan dengan