• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI TENTANG MATERI DAKWAH

Mukhyar Sani1

Abstrak

Al-Qur”aan merupakan sebuah kitab suci umat Islam yang berisi-kan kumpulan wahyu Allah swt.yang disampaiberisi-kan kepada nabi Muhammad saw yang kandungannya bersifat global, sehingga pe-san-pesannya masih butuh kejelasan bagi umat agar dapat memaha-minya dengan baik. Nabi Muhammad saw mendapat amanah untuk menjelaskan apa yang belum jelas di dalam kitab itu melalui hadits atau sunnah. Dalam hal ini tentu diperlukan bayan, tafsir, al-tafshil, al-taqrir, bahkan mungkin al-naskh yang bersumber dari nabi Muhammad saw. dimana sesuai dengan pengakuan al-Qur’an bahwa beliau adalah “mubayyan”nya al-Qur’an dan disinilah letak fungsi hadits nabi Muhammad saw yang menjadi sumber kedua aja-ran Islam setelah al-Qur’an. Para ulama baik ahl atsar maupun ahl al-ra’yi sepakat bahwa hadits fungsinya mensyarah dan menjelaskan al-Qur’an, kecuali ulama ahl al-ra’yi memberi batasan penjelasan hadits yang diperlukan, sedang ahl al-atsar memperluas lapangan penjelasan itu, sehingga semua hadits shahih mengenai masalah yang telah dijelaskan Qur’an harus dipandang menjelaskan al-Qur’an, mentakhshishkan umumannya, dan mentaqyidkan ke-muthlaqan al-Qur’an.

Kata Kunci: Hadits, Sunnah, Kully, Al-Tafsir, Al-Bayan, Al-Taqy-id, Al-Taqrir, Al-Naskh, Tasyri’

Pendahuluan A.

Sebagaimana diketahui bahwa keberadaan hadits nabi Muham-mad sawsebagai salah satu sumber ajaran Islam memang banyak dipermasalahkan orang, terutama terkait dengan fungsinya terhadap kitab suci al-Qur’an atau pesan ayat-ayat al-Qur’an. Sudah diketahui umum, bahwa keduanya adalah merupakan wahyu dari Allah swt se-hingga ketika ditemukan suatu masalah di masyarakat, umpamanya yang membutuhkan penjelasannya dari agama, orang bisa merujuk kepada al-Qur’an dan pada saat yang bersamaan orang juga bisa mer-ujuk kepada hadits atau sunnah rasul. Hal ini tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari jika saja pemecahan itu benar-benar kem-bali kepada keduanya secara terintegrasi sebagai satu kesatuan keten-tuan, namun yang dikhawatirkan adalah ketika suatu masalah hanya dikembalikan kepada ayat, padahal ayat itu masih butuh penjelasan, atau sebaliknya, ketika suatu masalah langsung merujuk kepada hadits pemecahannya, tanpa merujuk terlebih dahulu kepada al-Qur’an. Hal ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan bias tentang hasil pema-haman yang diambil, artinya bisa bertentangan satu dengan yang lain; yang satu merujuk kepada wahyu Tuhan dalam bentuk al-Qur’an, se-dang yang lain merujuk kepada hadist nabi Muhammad saw.

Hadist nabi Muhammad saw yang menjadi bayan bagi al-Qur’aan sangat dibutuhkan dalam memahami teks-teks ayat al-Qur’an, oleh karena itu eksistensi hadits harus seirama arah dan pesannya den-gan al-Qur’aan sebagai sumber pertama ajaran Islam. Al-Qur’aan jelas mengungkapkan bahwa di dalamnya tidak ada yang luput dari per-hatiannya, tetapi yang dimaksud “tidak luput” ini adalah secara global, tidak secara rinci, sebab kalau segalanya sudah rinci, memunculkan kesan seolah ia telah membatasi dirinya didalam pesan-pesannya itu dengan hanya mengakomodasi peradaban dan kebudayaan yang tere-fleksi dalam perkembangan 23 tahun secara berangsur-angsur dalam kurun waktu diturunkan. Memang disadari al-Qur’aan adalah kitab suci terakhir dan untuk seluruh umat manusia, petunjuk-petunjuk yang terdapat didalamnya tentu saja bersifat universal, lengkap, dan mampu menghadapi tantangan zaman dan memenuhi kebutuhan-ke-butuhan manusia sepanjang zaman. Dalam hubungan ini dikatakan dalam al-Nahl 89.

”Dan ingatlah hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat se-orang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan

kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia.Dan Kami turunkan kepadamu kitab (al-Qur’aan) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Kemudian, disebutkan pula dalam al-An’am ayat 38

Artinya “tidak ada sesuatupun yang Kami lupakan didalam al-Qur’an.”

Tentu saja yang dimaksudkan dalam ayat-ayat diatas adalah bahwa tidak ada sesuatu dari apa saja yang penting kemudian tidak dijelaskan Allah di dalam al-Qur’an secara global, karena Allah sela-lu menjaga dan memperhatikan kemaslahatan semua makhsela-luk-Nya (Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy : 2299). Al-Qur’an yang men-jadi pedoman hidup umat Islam memuat segala sesuatu yang diper-lukan oleh umat manusia sepanjang zaman.Yang dimaksud dengan al-Qur’an menjelaskan segala sesuatu itu tidaklah berarti bahwa kitab itu menjelaskan segalanya secara rinci.Al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu diartikan bahwa segala sesuatu peraturan yang bersi-fat umum atau global dengan dasar-dasar universal yang dapat diter-apkan dalam segala kasus atau masalah yang dihadapi umat manu-sia dikemudian hari, baik selaku pribadi maupun selaku umat, baik untuk umat masa lalu, masa kini, maupun masa yang akan datang (A.Atha’illah, 2006: 27).

Umat menyadari bahwa masih banyak masalah baru yang tidak terdapat penyelesaiannya dalam al-Qur’an sehingga para ulama harus melakukan ijtihad untuk memecahkannya.Akan tetapi, mereka dalam berijtihadselalu berpegang pada dasar-dasar umum yang terdapat da-lam kitab al-Qur’an sehingga hukum-hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tidak pernah atau tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut (A.Atha’illah, 2006: 27).Pertanyaannya, adalah apakah perkembangan yang ada selama itu (semasa al-Qur’an diturunkan) da-pat merepresentasikan dan mengakomodasi peradaban dan perkem-bangan kurun-kurun sesudahnya, tentu saja tidak.Karena itu, rangka-ian kata-kata dalam al-Qur’an sebagai sebuah mu’jizat mengandung beberapa pengertian untuk terus dipahami dengan baik.

Al-Qur’an tampak memberi ruang pada umat untuk menjabar-kan dan memahami menjabar-kandungannya dengan sebaik-baiknya terutama tergambar dalam surah Muhammad ayat 24



Artinya ,”Maka apakah mereka tidak memahami al-Qur’aan atau-kah hati-hati mereka terkunci”. Kemudian surah Shad ayat 29

Artinya; “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkannya kepada engkau yang penuh keberkatan, supaya mereka memahami ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang berakal kuat mengambil pengajaran dari padanya.” Ayat terakhir ini,tampak menunjukan kesan bahwa nabi Muham-mad saw harus mengambil peran menjelaskan ayat-ayat itu kepada umatnya, bahkan juga para ulama harus mempunyai tangung jawab yang sama memahamkan kepada umat sebagai para pewaris nabi. Munculnya sekian banyak cabang ulum al-Qur’an yang sangat banyak itu, seperti nasikh dan mansukh, muhkamat dan mutasyabihat, al-tafsir dan al-ta’wil, masalah qira’at, asbab al-nazul, makky dan madaniy, dan lain-lain, -boleh jadi- merupakan bagian usaha para ulama membantu umat dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an sesungguhnya, tetapi harus diingat bahwa tentang pesan-pesan al-Qur’an itu banyak sekali penjelasan yang dijabarkan oleh sunnah, baik sunnah qauliyah(hadits) atau sunnah fi’liyah, bahkan mungkin banyak juga tentang maksud-maksud ayat yang dijelaskan oleh sunnahtaqririyah.Sudah menjadi pengakuan agama bahwa nabi Muahmmad adalah utusan Allah yang menjelaskan kepada umat tentang ajaran Islam itu, sehingga hadits merupakan penjelasan yang penting bagi upaya memehami pesan-pesan al-Qur’an.T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan:

”al-Qur’an mengandung kaidah-kaidah ‘aam dan hukum-hukum kully dan memang al-Qur’an harus bersifat demikian, supaya men-jadi kitab undang-undang yang kekal dan abadi selama kekal kebe-naran.Maka al-hadits-al-sunnah memberikan perhatian yang penuh

hukum juz’ie dari hukum-hukum kulliy yang termateri dalam al-Qur’an.”(T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, 1993:177).

Beberapa Pengertian B.

Pada bagian ini -sebagaimana lazimnya sebuah karya ilmiah- penulis ingin menjelaskan beberapa pengertian yang terkait hadits, sehingga apa yang dimaksud dengan hadits sesungguhnya dapat ditangkap maknanya dan dapat memudahkan memahami seberapa jauh kedudukan hadits dan sunnah terkait dengan ayat-ayat al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Kita susah membayang-kan bagaimana umat dapat memahami dengan baik ayat-ayat al-Qur’an, ketika pesannya tidak jelasatau masih tidak rinci, dan tidak ada penjelasan dari nabi Muhammad saw. Bayangkan, ketika al-Qur’an memerintahkan menegakkan shalat lima waktu dengan tidak menjelaskan caranya atau hadits sama sekali tidak menjelaskan hal itu, memungkinkan puluhan penafsiran bermunculan kepermukaan dan menimbulkan praktik berbeda dalam kaitannya dengan pelaksa-naan shalat. Oleh karena itu, diperlukan pengertian-pengertian sep-erti pengsep-ertian hadits dansunnahyang dianggap relevan dengan tema bahasa tulisan ini.

Kata-kata hadits-dari bahasa Arab- dan tampaknya sudah sangat populer dikalangan umat Islam sehingga ketika kata-kata itu disebut-kan, asosiasi orang langsung terarah padaapa yang diucapkan nabi Muhammad saw, baik yang terkait dengan hukum, akidah, maupun akhlak, dan lain-lain. Kata-kata tersebut adalah mashdar dari kata “ha-datsa, yahditsu, haditsan, dan hadisatan dimana menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam Ushul al-Hadits; Ulumuh wa Mushthalahuh(2009; 26 ), kata-kata dimaksud dapat diartikan dengan yang “baru’ dalam pengertian sesuatu yang kemudian ada setelah sebelumnya tidak ada atau setelahtidak ada kemudian menjadi ada. Akan tetapi, kata-kata ha-dits bisa pula searti dengan tharriy atau bahkan searti dengan al-khabar dan al-kalam; yang pertama asal artinya adalah lunak,lembut, dan baru, sedang yang kedua arti asalnya adalah berita,informasi atau pembicaraan (Abu al-Faid Muhammad bin Muhammad Ali al-Farisi, 1992: 24 dan T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, 1999: 1). Dalam konteks ini Ibn Faris mengungkapkan bahwa kata-kata hadits yang searti dengan al-thariy menunjukkan bahwa berita atau kalam itu datangnya silih berganti sebagaimana perkembangan usia seseorang yang terus berjalan dari

masa kemasa, silih berganti dari hari kehari sebagaimana yang kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sehubungan dengan mak-na hadits secara etimologi ini didalam “Lisan al-Arab” Muhammad bin Mukarram Ibn Mandzur mengatakan bahwa “hadits bisa bermakna al-jadid( yang baru ) lawan dari –al-qadim (yang lama) dan bisa bermakna “ka-lam atau khabar”(Muhammad bin Mukarram Ibn Mandzur: 131).

Pengertian hadits dalam perspektif terminologi para ulama hadits tampak tidak satu pendapat, tetapi esensinya sama karena semua menisbahkannya kepada nabi Muhammad saw. Dengan demikian orang paham bahwa hadits adalah ucapan atau sabda nabi Muhammad saw dan oleh karena itu, hadits beliau banyak sekali, karena banyak yang diucapkan beliau selama menjadi rasul selama 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. Ada yang mendefinisikan hadits adalah “segala perkataan nabi Muhammad saw. perbuatan dan ihwalnya. Mereka menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ihwal “adalah segala pemberitaan tentang nabi Muhammad saw.” seperti terkait dengan himmah, karakteristik, sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaannya.Kemudian para ahli hadits lainnya merumuskan pengertian hadits dengan “segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifatnya. Bahkan ada diantara para ahli hadits itu yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah sesuatu yang didasarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir,dan sifatnya (M.Syuhudi Ismail, 1992:20).

Dari beberapa definisi itu telah tampak persamaan dan perebaan pendapat diantara mereka tentang definisi hadits, tetapi semua sepakat menisbahkannya kepada nabi Muhammad saw, apakah itu perkataan, perbuatan, sifat, ihwal maupun taqrirnya sendiri. Akan tetapi, ketika se-muanya disandarkan kepada beliau, para ulama sering menyebutnya dengan memakai terminologi “sunnah”, bukan hadits.Sunnah lebih umum muatannya, sedang hadits khusus untuk perkataan beliau.

Dalam buku-buku yang berbicara tentang Ulum al-Hadits atau Mushthalah al-Hadits pendapat-pendapat ulama-ulama hadits, ulama fukaha, dan para ulama ushul sering diungkapkan tentang masalah pengertian hadits secara terminologi ini,sebagai contoh umpamanya dalam kitab Ushul al-Hadits”Ulumuh wa Mushthhalahuh, Muhammad ‘Ajaj al-Khatibmengemukannya yang maksudnya sebagai berikut.Ula-ma hadits mengatakan bahwa hadits adalah segala sesuatu yang diberi-takan dari nabi Muhammad saw, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir,

begitu banyak muatannya, sehingga apa saja yang bersumber dari be-liau, perkataan, perbuatan, bahkan taqrirpun termasuk dalam definisi tersebut. Dengan demikian, ulama hadits tidak membatasinya hanya pada hal-hal yang terkait dengan hukum fikih atau dengan ushul fikih sebagaimana definisi yang diberikan oleh ulama ushul dan ulama fikih dibawah ini.Menurut ulama ushul fikih yang disebut dengan hadits adalah “segala sesuatu yang bersumber dari nabi Muhammad saw se-lain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir beliau yang bersangkutan dengan masalah hukum syara’.Ula-ma fikih yang dosyara’.Ula-mainnya adalah pesyara’.Ula-mahasyara’.Ula-man-pesyara’.Ula-mahasyara’.Ula-man mengenai fikih maka dengan sendirinya pengertian hadits secara terminologi ini mereka tarik ke arah hal-hal yang tidak terkait dengan masalah yang fardhu atau wajib sehingga definisi hadits mereka rumuskan sebagai “segala sesuatu yang ditetapkan nabi saw yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah yang fardhu atau wajib(Muhammad ‘Ajaj al-Khathitb, 2009:19).

Ulama ushul fikih memandang nabi Muhammad saw sebagai pele-tak dasar hukum syara’ yang dijadik1an landasan ijtihad oleh para mu-jtahid pada zaman sesudah beliau wafat. Disamping itu, mereka me-nempatkan nabi sebagai pemberi penjelasan tentang undang-undang kehidupan umat, karena itu terdapat perbedaan pendapat dengan ahli hadits, sebab ahli hadits mengambil segala hal yang berhubungan dengan nabi Muhammad saw, seperti biografi, akhlak, berita-berita, ucapan dan perbuatannya, baik yang berkaitan dengan hukum syara’, maupun tidak. Dalam perbendaharaan ulum hadits, istilah hadits ser-ing juga disebut dengan sunnah, khabar atau atsar(Badri Khaeruman, 2010: 63-64).

Kemudian mengenai pengertian sunnah dimana kata-kata ini asalnya berarti jalan atau kebiasaan, baik kebiasaan yang baik maupun yang jelek, demikian dikemukakan Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam bukunya Ushul al-Hadits; Ulumuh wa Mushthalahuh, hal 13, dimana pengertian seperti ini misalnya tampak dalam hadits riwayat Imam Muslim.

Secara terminologi sebagaimana ketika merumuskan definisi hadits, ulama sesuai latar belakang keilmuannya, mereka melihat pengertian al-sunnah dari perspektif ilmu mereka masing-masing. Se-bagai contoh umpamanya ulama hadits melihatnya bahwa sunnah itu adalah segala yang terkait atau dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw dari perjalanan hidupnya, beritanya, akhlaknya, perkataannya, perbuatannya,baik berfungsi sebagai hukum syara’ maupun tidak berfungsi sebagai hukum syara’ sesudah mendapat tanggung jawab sebagai nabi dan sebelumnya. Jadi mereka melihatnya secara umum, tidak secara khusus sebagaimana umpamanya rumus yang dibuat oleh ulama ushul fiqh dimana mereka mengkhususkan sunnnah se-mua yang bersumber dari nabi Muhammad saw yang secara khusus terkait dengan syara’ atau hukum saja.Segala yang bersumber dari nabi Muhammad selain al-Qur’an tetapi terkait dengan hukum syara’ kata mereka, baik perbuataan, perkataan, atau ketetapan (taqrir). Se-dangkan para ulama fikih melihatnya terkait dengan pemahaman kefikihan mereka sehingga yang disebut sunnah itu adalah semua yang tetap dari nabi, tidak saja terbatas pada hal yang fardhu atau wajib, tetapi juga pada masalah yang lainya, maka semuanya disebut dengan sunnah(Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, 2009 : 14).

Kelihatannya, ada perbedaan penekanan antara pengertian hadits dengan sunnah dimana yang pertama lebih kepada perkataan, tetapi yang kedua atau sunnah, mencakup semuanya itu, tidak saja pada perkataan, berita, dan kabar lisan dari nabi sebagaimana disebutkan sedikit diatas,tetapi berita lisan, tulisan atau juga perbuatan. Oleh kar-ena itu, maka pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa hadits dapat dipergunakan untuk maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga sunnah, begitu juga sunnah dapat disebut hadits, sehingga haditsmutawatir dapat disebut sunnah muawatir, dan sunnah mutawatir dapat juga disebut dengan hadits mutawatir, yaitu hadits yang diri-wayatkan banyak perawi dimana menurut adat tidak mungkin dian-tara mereka yang berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad dimana hadits seperti ini merupakan hadits yang memiliki martabat tertinggi dan wajib untuk diaplikasikan (Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, 2009: 197) walaupun ruang lingkup sunnah itu tampak lebih luas dari hadits.

Nabi Muhammad Sebagai Sumber Sunnah dan Hadits C.

yang sudah mentradisi, oleh karena itu, semua perbuatan atau prilaku yang dikerjakan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan bagi seseorang, apakah perbuatan itu baik atau buruk, hal ini bisa dis-ebut dengan sunnah. Misalnya orang yang telah terbiasa mendirikan shalat Dhuhaketika pagi hari, hal ini merupakan sunnah atau kebiasan bagi yang bersangkutan. Dalam hubungannya dengan agama Islam, pengertian sunnah adalah prilaku atau semua keteladanan yang di-contohkan nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah. Semua per-buatan, sikap dan perkataan beliau menjadi model bagi pelaksanaan ajaran agama oleh umatnya. Al-Qur’aan menegaskan bahwa sikap nabi Muhammad adalah sesuatu yang harus diteladani yang merupa-kan pengejawantahan dari pesan al-Qur’an itu sendiri seperti disebut dalam surah al-Ahzab 21

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”

dan al-Qalam ayat 4 :

Artinya “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

Melalui sunnahnya, umat mengetahui secara detail tata laksana bagaimana seseorang mendekatkan dirinya kepada Tuhan terutama melalui pelaksanaan dari sisi ibadah, bahkan juga dari sisi akidah, dan akhlak. Sebagai seorang rasul yang menjadi panutan umatnya, dengan sendirinya prilaku, tindakan dan perkataan, bahkan diamnya beliau juga menjadi legalitas/pembenar bagi umatnya buat melaku-kan hal yang sama.Tentu saja dalam rangka menjadimelaku-kan beliau seba-gai “model panutan” sebaseba-gaimana diungkapkan di atas, maka setiap umat harus memahami betul tentang sumbernya, sebab sunnah rasul adalah uswah hasanah “model terbaik” yang dapat diketahui melalui

beberapa segi. Pertama, dari sisi sabda ataual-qauliyah, yang dimak-sudkan disini adalah meliputi seluruh sabda beliau yang disabdakan, didengar pula oleh para sahabatnya dan kemudian disebar luaskan untuk masyarakat luas dimana didalam kitab-kitab hadits, sunnah sep-erti ini kebanyakan dipakai kata-kata sepsep-erti qaala, yaquulu, hadatsa, dan lain-lain. Contoh-contoh untuk ini banyak sekali ditemukan dida-lam kitab-kitab hadits.

Kedua, sunnahfi’liyah dimaksudkan di sini adalah perbuatan nabi Muhammad saw yang kemudiandiinformasikan kepada umatnya untuk-tentunya-dicontoh oleh mereka sebagai alat dan dasar legalitas ketika perbuatan yang sama mereka lakukan dikemudian hari. Seba-gai contoh Nabi melakukan perbuatan-perbuatan dalam shalat-bukan bacaan-baacaan didalam perbuatan itu- seperti umpamanya ruku, su-jud, i’tidal dan lain-lain dan lazimnya dalam kontek ini dipakai kata-kata kaanarasulullah atau raaitu rasulallah saw.

Ketiga, adalah taqririyah dalam kontek ini adalah pengamatan ra-sulullah, dimana ketika dari nabi tidak ada perintah untuk melaku-kannya dan tidak ada pula larangan untuk meninggalmelaku-kannya, kemu-dian hal ini dijadikan juga sebagai asas legalitas jika dikemukemu-dian hari terjadi dikalangan umat Islam terutama ketika itu adalah para saha-bat, walaupun mungkin ini jarang terjadi. Kewenangan dan tugas ra-sul Muhaammad saw tidak hanya terbatas pada bagaimana menyam-paikan wahyu yang diterimanya dari Jibril as kepada umatnya, tetapi beliau juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan sehingga pesan wahyu itu betul-betul dipahami secara baik oleh umatnya. Penjelasan-penjelasan itu bisa dalam bentuk bahasa lisan dan bisa pula dalam bentuk praktek nyata secara konkret, bahkan berupa sikap. Tindakan, dan prilaku nabi Mu-hammad saw adalah perwujudan atau aplikasi dari ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal ini tentu semuanya itu merupakan bahasa-bahasa tersendiri yang bisa memberi suatu pengertian kepada umat tentang pesan yang disampaikan melalui komunikasi itu; lisan, tulisan, tin-dakan atau prilaku, maupun ketetapan atau taqririyah beliau. Walau-pun Nabi Muhammad saw adalah sumber sunnah bagi umatnya da-lam melegalisir perbuatan, sikap, perkataan mereka kemudian, tetapi tidak semua sunnah rasul itu-ada sebagiannya- yang hanya untuk be-liau sendirian dan tidak untuk umatnya, sebab pada bagian-bagian tertentu dari kehidupan beliau, terdapat khushsushiyah. Sebagai

con-toh adalah praktek poligami dimana beliau mendapat kekhususan beristeri lebih dari empat orang, bahkan sampai sebelas orang dimana