• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAQAMAT DALAM AJARAN TASAWUF

Muhammad Hafiun1

Abstrak

Salah satu dari teori dalam tasawuf adalah teori tentang maqomat. Berbagai tokoh sufi telah merumuskan teori itu lewat karya-karya mereka baik secara sederhana yang gampang dipahami, maupun se-cara rumit yang sulit dimengerti oleh kalangan awam. Para tokoh sufi berbeda pendapat dalam hal teori maqomat ini. Dalam penjela-san pengertian setiap tingkatan dan urutan masing-masing maqo-mat yang harus dilalui seseorang dalam terjun ke dunia tasawuf se-lalu saja ada perbedaan pendapat di antara mereka, terutama dalam hal perbedaan jumlah maqomat.Tulisan ini bertujuan bukan mem-persoalkan tentang perbedaan dan perbandingan pendapat diantara para tokoh sufi tadi, tapi mengambil aspek-aspek persamaan yang te-lah disepakati. Hasil kajian penulis terhadap berbagai pendapat para tokoh sufi, ada enam maqomat yang telah disepakati, yaitu Taubat, Wara’, Zuhd, Shabr, Tawakkkal dan Ridla. Keenam maqomat (ting-katan) ini merupakan syarat mutlak yang harus dilalui dan dimiliki seseorang dalam menempuh perjalan ma’rifat terhadap Allah. Kata Kunci: Ma’rifat, Tasawuf, Tahapan Maqamat

Pendahuluan A.

Dalam karya tulisan para tokoh-tokoh tasawuf, banyak seka-li kita menemukan berbagai macam topik yang berkaitan dengan proses bagaimana seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada

1 Pengajar tasawuf pada Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Kalijaga.

Allah. Dalam buku-bukutasawuf karya para tokoh sufi menyajikan berbagai macam teori sesuai dengan pengalaman rohaniah mereka masing-masing, mulai dari pendapat mereka tentang asal usul sejarah tasawuf sampai pada teori tentang proses dan metode mengembang-kan ajaran tasawuf.Di antara sekian banyak teori yang mereka sod-orkan, salah satunya adalah teori tentang tahapan-tahapan seseorang dalam menuju Allah.Kaum sufi telah merumuskan teori-teori, bahwa jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai (dekat) pada Al-lah harus memelalui tangga-tangga yang dimulai dari bawah hingga mencapai puncak (Allah). Tanpa melalui proses lewat tangga-tangga tersebut seseorang tidak akan pernah sampai (mengenal) Allah. Da-lam dunia tasawuf, tangga-tangga tersebut dinamakan Maqamat. Tulisan ini ingin merangkum sebagian dari pendapat yang telah di-tuangkan oleh para tokoh sufi lewat tulisan atau karya-karya mereka yang berkaian dengan Maqamattersebut,dengan harapan agar gam-pang dipahami untuk dijadikan pedoman bagi kita semua, terutama bagi mereka yang berminat terjun ke dunia tasawuf.

Maqomat B.

Maqamatadalah jama’ dari kata maqam,yang secara harfiah be-rarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.2Dan dapat juga diar-tikan dengan fase atau tangga-tangga, posisi, tingkatan (station) atau kedudukan dan tahapan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Da-lam terminologi sufistik dapat diartikan dengan kedudukan spiritual atau martabat seseorang hamba dihadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya.3

Banyak definisi yang dikemukakan oleh para sufi tentang apa yang dimaksud dengan maqamat. Al-Qusyairi, misalnya mengatakan :“Maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban”.4Al-Thusi men-gatakan :“Kedudukan hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga

semata-2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung: Jakarta, 1990, hal 362.

3 Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf, Hamzah: Wonosobo, 2005, hal 136.

mata untuk berbakti kepada-Nya”.5Abu Nashr As-Sarraj mengatakan bahwa maqamat adalah kedudukan (tangga) manusia dihadapan Allah yang disebabkan oleh mujahadahnya, riyadhahnya, dan pencurahan hatinya kepada Allah.6Dari beberapa pengertian tadi,dapat disimpul-kan bahwa maqamatadalah tahapan, tingkatan, fase, kedududisimpul-kan atau tangga seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.

Tentang berapa jumlah tahapan atau maqamat yang harus ditem-puh seorang sufi untuk sampai menuju Allah, dikalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammadal-Kalabadzy mengatakan bah-wa jumlah maqamat itu adalah al-taubah, al-zuhud, al-shabar, al-faqr, al-tawadlu, al-taqwa, al-tawakal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.7 Al-Qusyairi mengatakan bahwa maqamat itu ada enam tahapan den-gan urutan : at-Taubat, al-wara, al-zuhud, al- tawakal, ash- shabar dan al-ridlo.8Al-Thusi mengatakan ada tujuh tingkatan dengan urutan:al-Taubat, al- wara, al-zuhud, al-fakir, ash- shabar, al-tawakal dan al-ridlo.9 Al-Ghazali mengatakan sepuluh dengan urutan berikut : al-Taubat, ash-shabar, al-syukur,al-raja’, al-khouf, al- zuhud, al-mahabbah,al-‘asyik,al-uns dan al-ridlo10. Sementara Ibnu Arabi dalam kitabnya Futuhat Al-Makkiyah menyebutkan bahwa maqamat dalam ilmu tasawuf itu ada enam puluh maqam dengan tidak menyebutkan secara sistematis uru-tannya.11

Dari berbagai pendapat di atas terlihat bahwa para tokoh sufi berbeda pendapat dalam merumuskan tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menuju Allah. Namun mereka sependapat bahwa at-taubah, as-shabr, al-zuhud dan al-ridlo merupakan tangga-tangga yang harus dilalui.Al-Ghazali tidak memasukkan maqam al-faqir, al-takwa, al-tawadu’ dan al-tawakkal dalam kategori maqam, tetapi memasukkan al-syukur, al-roja’, al-khouf, danal-mahabbah.Sementara Al-Kalabadzy dan Al-Thusi mengenyamping al-raja’, al-khauf dan al-mahabbah, tetapi

5 Abu Nashr Al-Sarraj Al-Thusi, Al—Luma’, Tahqiq abdal-Halim Mahmud dan Abd al-Baqi’ Surur, Dar al-Haditsah: Mishr, 1960, hal 65.

6 Totok Jumantoro,Op. Cit., hal 136.

7 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalamIslam, Bulan Bintang: Jakarta, 1983, hal 62.

8 Al-Qusyairi, op.cit.,hal 49.

9 Al-Thusi, op.cit.,hal 68.

10 Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Mathba’ah Al-Amirat Al-Syarfiyyah, 1909, jilid V, hal 345.

mengutamakan al-tawadu’ dan al-faqr.Ghazali sepakat dengan Al-Kalabadzy untuk memasukkan al-mahabbah dan al-ma’rifah, sementara Al-Qusyairi dan At-Thusi tidakmemasukkannya.

Perbedaan pendapat tentang bentuk maqamat di antara para tokoh sufi di atas menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pengalaman rohani untuk merasa dekat dengan Allah di antara mereka berbeda satu dengan yang lain, sehingga teori-teorimereka tentang maqamat juga ikut berbeda. Al-Ghazali misalnya, menempatkan al-Roja’ dan al-khouf menjadi tangga-tangga yang harus dilalui.Artinya, untuk mencapai kedekatan pada Allah seseorang harus mempunyai rasa op-timis dan takut pada Allah. Padahal, menurut tokoh-tokoh sufi lain-nya, bahwa al-roja’ dan al-khouf bukan merupakan bagian darimaqamat melainkanbagian dari Ahwal, karena al-roja’ dan al-khoufadalah suatu kondisi kejiwaan yang tidak bisa menetap, yang bisa muncul seketika danjuga bisa hilang seketika, tidak bisa diusahakan dengan latihan-latihan. Berbeda dengan maqamat, bisa diusahakan dengan lewat ber-bagai macam latihan kejiwaan. Al-Qusyairi mengatakan, maqam ada-lah upaya (makasib), sedangkan ahwal adaada-lah karunia (mawahib).Ahwal mengandung keaadaan tertentu yang tidak tetap dan jika keadaan ini menjadi menetap maka akan naik menuju keadaan lain yang lebih ha-lus dan begitu seterusnya.12Maka khouf (rasa takut), raja’(rasa optimis), mahabbah (rasa cinta), shauq (rasa rindu untuk bertemu), muraqqabah (rasa dekat) dan uns (rasa intim) oleh kebanyakan tokoh tasawuf tidak termasuk dalam kategori maqamat, melainkan masuk dalam kategori ahwal .

Walaupun mereka berbeda pandangan dalam jumlah urutan tangga-tangga maqam, tetapi mereka sepakat bahwamaqam al-taubah, al-zuhud, al-shabar dan al-ridlomerupakan syarat mutlak sebagai tahapan-tahapan yang harus dilalui.Para tokoh sufi lainnya men-syaratkan bahwa disamping taubat, zuhud, shabar dan al-ridlo, juga memasukkan maqam al-tawakal, al-syukur danal-wara’.Pemba-hasan tentang maqamat berikut ini merujuk pada maqamat yang telah disepakati oleh kebanyakan tokoh-tokoh sufi, yaitu dengan urutan: al-taubat, al-wara’, al-zuhud, al-shabar, al-tawakal dan al-ridlo.

Taubat 1.

Secara harfiahal-taubat berarti kembali.13 Sedangkan al-taubat yang

dimaksud oleh kalangan para sufi adalah memohon ampun atas se-gala dosa dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan, disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi dosa-dosa atau kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan, disertai dengan melaksanakan amal-amal kebajikan.14 Di kalangan para sufi, kata taubat memiliki arti yang lebih dari artian tersebut, dimana juga mesti bertaubat dari bisikan-bisikan yang tidak baik dalam diri seperti iri, dengki, riya, dan lain-lain, juga bertaubat dari kelalaian mengingat Allah (ghaflah).15

Taubat dalam tasawuf seperti dikatakan oleh Dzu Nun al-Misri terbagidua yaitu : taubat orang awam dan taubat orang khawash.“Taubatnya orang-orang awam adalah taubat dari dosa-dosa, sedan-gkan taubatnya orang khawas adalah taubat dari ghaflah (lalai mengingat Allah)”.16

Bagi orang-orang awam atau orang umum kebanyakan taubat berarti menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang telah dilakukan, berjanji untuk tidak mengulanginya dan mengisi kehidupan dengan amal shaleh. Dosa yang dimaksudkan di sini adalah pelanggaran-pe-langgaran terhadap perintah atau larangan yang berhubungan den-gan perbuatan-perbuatan manusia, kelalaian dari mengingat Tuhan belum dianggap sebagai dosa.

Bagi orang khawas, orang-orang tertentu yang telah mendala-mikehidupan sufi, kelalaian mengingat Tuhan (ghaflah) adalah suatu dosa. Ghaflah dilihat sebagai sumber segala macam bentuk kemaksia-tan. Dalam pandangan kaum sufi, seseorang tidak akan melakukan kemaksiatan, jika ia benar-benar dalam keadaan ingat kepada Tuhan. Bagaimana ia akan melakukan kemaksiatan, jika ia mengingat dan meyakini bahwa ia dalam pengawasan Tuhan di mana semua amal dan perbuatannya akan diperhitungkan dan akan diberikan ganja-ran.

Dengan demikian, taubat merupakan pangkal dari peralihan hidup cara lama yang ghaflah kepada kehidupan baru yang senantiasa ingat kepada Allah sepanjang masa dan dimana saja. Kesempurnaan taubat dalampandangan para sufi adalah apabila sampai kepada maqam “taubat dan taubatnya sendiri”. Yakni taubat dari kesadaran keberadaan dirinya dan kesadaran akan taubatnya sendiri.

14 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali: Jakarta,2009, hal 198.

15 M. Jamil Cakrawala tasawuf, Gaung Persada: Jakarta, 2007, hal 48.

16 Dikutip dari Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1997, hal 51.

Dalam tradisi tasawuf, maqam taubat adalah maqam (tahapan) pertama yang harus dilalui oleh mereka yang ingin terjun ke dunia sufi. Bila seseorang telah menyadari dan menyesali semua dosa-dosa yang pernah dilakukan baik sengaja maupun tidak sengaja, dosa lahir maupun bathin dan berjanji tidak mengulangi lagi, untuk selanjut-nya menyibukkan diri dengan beribadah dan mengerjakan kebajikan dan amal saleh, maka untuk selanjutnya ia harus melangkah menuju tahapan (maqam) berikutnya, yaitu wara’.

Wara’ 2.

Secara harfiah wara’ artinya saleh, mejauhkan diri dari perbua-tan dosa.17Dalam pengertian pandangan para tokoh sufi, wara’ adalah meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keraguan antara ha-lal dan haram (syubhat). Sikap menjauhi dari yang syubhat ini ada-lah merupakan isyarat dari Nabi sebagaimana tertuang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :”barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah terbebas dari yang haram”.18

Dalam pandangan para sufi sesuatu yang haram akanmenyebab-kan noda hitam di dalam hati yang pada akhirnya dapatmematiakanmenyebab-kan hati yang karenanya tidak dapat berhubungan dan dekat dengan Al-lah. Karena itu, para sufi sangat hati-hati, sesuatu yang tidak jelas ke-halalan dan keharamannya pun mesti ditinggalkan.

Dalam pandangan kaum sufi, seperti yang dikatakan oleh Ibra-him bin Adham mengatakan :“Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan berbagai macam kesenangan.19 Ibnul Qayyim seba-gaimana dikutif oleh Hasyim Muhammad, membagi wara’ dalam tiga tahapan, yakni tahap meninggalkan kejelekan, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan namun dikhawatirkan akan jatuh pada hal-hal yang dilarang, dan tahap menjauhkan diri dari hal-hal-hal-hal yang dapat membawanya kepadaselain Allah.20

Dalam pengertian lain, wara’bukan saja meninggalkan hal yang syubhat dan kenikmatan dunia, tetapi juga menghindari berbagai hal yang tidak berhubungan dengan Allah.21 Jadi, wara’ dalam pandangan

17 Mahmud Yunus, Op.Cit., hal 497.

18 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Rajawali: Jakarta, 2009, hal 199.

19 Simuh, Op. Cit.,hal 56.

20 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002, hal 33.

kaum sufi meliputi dua hal, yaitu wara’ lahir dan wara’ bathin. Wara’ lahir menyangkut meninggalkan hal yang syubhat dan kesenangan dunia dan wara’ bathin, yaitu dimana hati tidak dimasuki sesuatu kec-uali hanya mengingat Allah.22

Dalam pandangan tasawuf, seseorang yang betul-betul berada pada tingkatan wara’ apabila orang tersebut telah berhat-hati terhadap dunia, sebab menurut Abdul Qodir al-Jailani, akibat mencintai kes-enangan dunia akan mencampur adukkan yang halal dan yang haram sehingga kehilangan rasa malu terhadap Allah.23Bila seseorang betul-betul telah berhati-hati terhadap kesenangan dunia, maka tahapan berikutnya ia harus menjalani kehidupan zuhd.

Zuhd 3.

Lois Ma’luf menjelaskan bahwa arti zuhd secara harfiah berasal dari bahasaArab zahada yang artinya benci dan meninggalkan ses-uatu.24 Dalam pemahaman teori tasawuf zuhud adalah meninggalkan kesenangan duniadanberkonsentrasi kepada kehidupan akhirat. Ab-dul Hakim Hasan dalam kitabnya At-Tashawwuf fi Asy-syi’ir Al-Arabi mengatakan, zuhd adalah menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindari diri dari keinginan menikmati kelezatan dunia.25

Syekh Abdul Qodir al-Jailani menjelaskan tentang zuhd sebagai berikut: bahwa zuhd itu terbagai dua, yaitu zuhd hakiki dan zuhdshury. Zuhd hakiki adalah orang yang menghilangkan dunia secara keselu-ruhan dalam hatinya.Sementara zuhdshury adalah orang yang hanya menghilangkan dunia dari tangannya, tetapi hatinya tetap memikir-kan dan menginginmemikir-kan dunia.26

Adapun Zuhd yang merupakan maqamat dalam ajaran tasawuf adalah zuhd hakiki, yaitu menghilangkan hati dari urusan dunia dan menyibukkan diri dengan urusan akhirat.Tetapi bukan berarti meno-lak rezki yang datang dari Allah, melainkan tetap menerima rezki tersebut untuk dijadikan sarana beribadah kepada Allah.Hati senan-tiasa merasacukup dengan bagian yang telah dianugerahkan Allah tanpa berorientasi untuk mencari dan mengejarnya.Dalam kenyataan seseorang tidak bisa lepas dari urusan, seperti makan dan minum serta

22 Muhammad Sholikhin, Tradisi Sufi dari Nabi,Cakrawala: Yogyakarta, 2009, hal279.

23 Ibid, hal 280.

24 Lois Ma’luf, Kamus al-Munjid, Dar El Masyriq: Beirut, 1975.

25 Abul Hakim Hasan, At-Tashawuuf fi Syi’ir Al-Arabi,Al-anjalu Al-Misriyyah, Mesir, 1954, hal 24.

memiliki rumah. Maka makna zuhd dalam tasawuf bukan berarti ses-eorang harus tidak makan dan tidak minum serta hidup beratap lan-git, melainkan tetap melakukan itu semua, dengan syarat mengambil secukupnya untuk keperluan ibadah.

Pada tingkat zuhud yang tertinggi, seorang sufi akan memandang-segala sesuatu tidak punya arti, kecuali Allah semata. Pada tingkatan ini, seorang zahid meninggalkan kehidupan dunia bukan dikarenakan imbalan akhirat tetapi karena kecintaan kepada Allah semata.Ruwaim mengatakan :

“Zuhd adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pen-garuhnya dari hati”.27Sementara Abu UsmanmengatakanZuhd itu adalah ”kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak perduli siapa yang mengambilnya”.28

Jika wara’ seperti yang telah diterangkan di atas bermakna menghindarkan sesuatu atau hal-hal yangdianggap atau diyakini syubhat atau sesuatu yang dianggap tidak penting meskipun halal, maka zuhd berarti tidak ada kecenderungan terhadap dunia dan me-lepaskan ikatan hati darinya, ada dan tiadanya dunia, siapa pun yang mengambilnya tidak berpengaruh bagi seorang sufi. Bila seorang te-lah menghayati dan menjalani ini semua, berarti ia tete-lah berada pada tahapan (maqam) zuhd. Ini berarti ia telah memiliki kesadaran yang tinggi dalam mempraktekkan apa yang telah dituangkan dalam al-Qur’an: “Katakanlah kesenangan dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun” (An Nisa: 77). Dan juga firman Allah:“Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal” (Al-a’la: 17).

Shabr 4.

Secara harfiah shabr berarti “tabah hati”.29Dalam pandangan tasawuf sebagaimana dinyatakan oleh Zun al-Nun al-Mishry, shabr artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan ke-hendak Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menam-pakkan sikap qonaah (cukup) walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.30Inilah pengertianShabr sebagai tahapan (maqamat) dari teori tasawuf.Syekh Abdul Qodir al-Jailani membagi shabr dalam tasawuf

27 Simuh, Op. Cit. hal 58.

28 Ibid.,hal 57.

menjadi tiga tingkatan.Pertama, sabar untuk Allah (shabr liAllah),yaitu keteguhan hati dalam melaksanakan segala perintah Allah dan men-jauhi larangan-Nya.Kedua, sabar bersama Allah (shabr maa’ Allah), yaitu keteguhan hati dalam menerima segala keputusan dan tindakan Allah. Ketiga, sabar atas Allah (shabr ‘ala Allah), yaitu keteguhan hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan-Nya berupa rezki, kelapangan hidup, dan sebagainya.31

Dalam ajaran tasawuf, maqam shabr sebagaimana pengertian di atas harus dimiliki seseorang yang sedang menjalani kehidupan sufi, sebab maqam taubat, wara’ dan zuhd tidak akan pernah nyampai dan tertanam dalam jiwa jika tidak disertai dengan shabr. Maka para to-koh sufi menempatkan maqam shabr di atas maqam zuhd dan wara’. Seseorang bisa berlaku zuhd dan wara’ jika ia terlebih dahulu bisa ber-laku sabr. Setelah seseorang bisa berber-laku sabar, maka tahap selanjut-nya ia harus menapaki tahap berikutselanjut-nya, yaitu al-tawakkal.

Tawakkal 5.

Tawakkalsecara harfiah berarti menyerahkan diri.32Adapun da-lam pengertian tasawuf, tawakkal diartikan menyerahkan diri sep-enuhnya kepada ketentuan Allah. Sikap penyerahan diri bukan be-rarti berlaku pasif ,tetapi harus aktif lewat ikhtiar. Hakekat tawakkal dalam tasawuf adalah memutuskan perantara tuhan-tuhan selain Al-lah.33 Harun Nasution mengartikan tawakkal dengan percaya kepada janji-jani Allah, menyerah kepada Allah dan karena Allah.34

Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakkal terdiri dari tiga ting-katan yaitu Pertama, yaitu hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan Allah. Ini adalah maqam bidayah (permulaan). Imam Ghaz-ali memberikan contoh tawakkal ini sebagai tawakkalnya seseorang kepada wakil, karena ia telah meyakini bahwa wakilnya memiliki si-fat pengasih dan wakilnya memang dapat membimbing danmengu-rus udanmengu-rusannya, yang karena keyakinan itulah yang menyebabkan ia menyerahkan urusannya kepada wakil tersebut. Kedua, taslim, yaitu merasa cukup menyerahkan urusankepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya. Ini adalah maqam mutawassith yang menjadi sifat orang khawas. Ketiga, tawit, yaitu orang yang telah

31 Totok Jumantoro, Op. Cit., hal 199.

32 Mahmud Yunus, Op. Cit., hal 506.

33 Muhammad Sholikhin, Op. Cit., hal 285.

ridla menerima ketentuan atau takdirAllah. Ini adalah maqam nihayah yaitu orang-orang muwahhidin dan khawas al-khawas, seperti Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.

Karena tawakkal adalah bagian dari tangga atau tahapan yang har-us dilalui dan harhar-us dikejar dengan har-usaha keras, maka tawakkal tidak dapat diartikan dengan semata-mata menyerahkan pada Allah dan menolak ikhtiar.Sebab untuk memperoleh derajat tawakkal itu sendiri harus dilewati dengan ikhtiar, yang di dalam teori tasawuf dinama-kan mujahadah.Bahdinama-kan, ada yang berpendapat, bahwa tidak dikatadinama-kan tawakkal kalau tidak disertai ikhtiar (mujahadah), dan sebaliknya tidak dikatakan ikhtiar (mujahadah) kalau tidak disertai tawakkal. Jadi, antara tawakkaldan ikhtiar adalah satu adanya dan tidak dapat dipisahkan.

Untuk lebih memahami arti sebenarnya dari tawakkal, Yusuf Qardhawi cenderung mendefinisikan tawakkal: “menyerahkan sep-enuhnya kepada Allah, tidak ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah.35 Seseorang yang ada pada maqam tawakkal akan mereasakan ketenangan dan ketenteraman. Ia merasa mantap dan optimis dalam bertindak, rela menerima segala keputusan Allah, dan memiliki harapan atas segala yang dikehendaki dan dicita-citakanya.36

Ridla 6.

Ridha secara harfiah berarti rela, suka atau senang.37 Harun Na-sution mengatakan bahwa ridla itu adalah tidak menentang kada dan kadar Tuhan. Menerima kada dan kadar Tuhan dengan senang hati. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka.38

Ridla adalah buah dari tawakkal. Jika seorang sufi telah