• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILUM KELAS SUB KELAS ORDO

2.7 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang

 

Planula karang dari spawning spesies tidak mendapat algae simbion zoxhantella dari induknya, namun ditransfer selama proses penempelan dan metamorfosis dari kolom air laut di sekitarnya. Hasil obeservasi terhadap beberapa jenis karang Acropora menunjukan bahwa karang ini mengandung alga simbion selama proses penempelan dan metamorfosis dan selama dua (2) minggu tidak mengandung algae simbion. Karang muda yang terbentuk hasil metamorfosis sering bersaing dengan coralline dan filamentous algae dan algae merah lainnya (Richmond, 19970).

Penempelan larva planula tidak menjamin metamorfosis akan selalu terjadi. Pada beberapa larva invertebrate metamofhosis merupakan rangkaian reaksi yang komplek yang dimulai bila hanya terjadi perangsangan secara bio-kimia tertentu. Rangsangan untuk memulai metamorfosis menjadi spesifik pada jenis-jenis tertentu yang ditandai dengan penempelan coralline algae dan lapisan biofilm dari mikroorganisme.

Laju rekruitmen hewan karang telah banyak diteliti dengan menempatkan biotopes dari substrat buatan untuk penempelan planula karang. Pada terumbu Great Barrier Reef (GBR) Australia laju rekruitmen mencapai 10 koloni/m2/tahun, sedang di terumbu karang Laut Merah berkisar 5 koloni/m2/tahun. Di Terumbu karang Atlantik dilaporkan laju rekruitmen lebih rendah hanya berkisar antar 3-4 koloni/m2/tahun didominasi oleh jenis Stylopora pistilata. Abrar (2000) melaporkan laju rekruitmen di perairan Pulau Sikuai, Padang, Sumatera Barat mencapai puncaknya 0, 41 koloni/m2/bulan atau sekitar 5 koloni/m2/tahun didominasi oleh genus Pocillopora.

2.7 Kelulusan Hidup Rekrutmen Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem dengan berbagai interaksi yang komplek mulai dari tingkatan mikroorganisme, organisme multiseluler dan sampai tingkatan komunitas. Pada hewan karang interaksi pada proses reproduksi dan rekrutmen meliptui interaksi antar koloni, sel-sel gamet, larva planula dan penempelan yang dipicu oleh sinyal bio-kimia. Interaksi yang terjadi serta berbagai konsekuensi yang dihasilkan adalah bentuk adaptasi yang

dilakukan hewan karang utnuk sukses dalam reperoduksi dan rekrutmen serta memiliki tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Nybaken dan Bertness, 2005).

Kondisi lingkungan sangat menentukan kesuksesan proses reproduksi dan rekrutmen dan kelulusan hidup juvenil karang. Perubahan kualitas perairan sudah mulai mempengaruhi pada tahapan awal reproduksi seperti waktu reproduksi, sikronisasi musim kawin dan pemijahan, interaksi sperma dan telur, metamorfosis dan transfer algae simbion dari kolom air. Hasil pengamatan menunjukan bahwa perubahan salinitas, temperatur, dan ketersedian cahaya akan berdampak terhadap produksi larva dari jenis Pocillopora damicornis (Jokiel, 1985). Kemudian Kojis dan Quinn (1984), menemukan adanya korelasi antara kesuburan, kedalaman dan sedimentasi pada jenis Acropora palifera. Pada jenis Goniastrea favulus kemampuan reproduksi meningkata sejalan dengan adanya perpindahan energy dalam jaringannya (Kojis dan Quinn, 1985).

Hewan karang berkembang baik pada salinitas laut normal 35 o /oo namun memiliki toleransi terhadap salinitas tinggi dan rendah untuk beberapa waktu. Pada kasus lain koloni karang yang terpapar karena air surut akan menutupi koloni dengan lendir (mucous) yang dikeluarkan untuk bertahan dari kekeringan. Salinitas juga berdampak terhadap laju fertilisasi hewan karang dimana penurunan salinitas sampai 26% dari salinitas normal dapat menurun laju fertilisasi sampai 86%. Kejadian ini bisa terjadi saat puncak pemicahan bersamaan dengan musim hujan seperti yang dilaporkan di terumbu Mikronesia dan Okinawa (Birkeland, 1997).

Faktor internal ukuran koloni sangat menentukan kesuburan hewan karang. Pada karang-karang dengan polip kecil dengan ukura koloni sama, umur dapat juga berdampak terhadap reproduksi yang dihasilkan, dimana karang yang tua lebih subur (Kojin dan Quinn, 1985). Sebaliknya pada karang dengan ukuran polip besar sepserti Lobophyllia cortmbosa menunjukan bahwa ukuran polip lebih menentukan kedewasaan dan kesuburan dibanding ukuran koloninya. (Harriot, 1983). Pada koloni bentuk bercabang seperti Pocillopora dan Acropora memperlihatkan kematangan seksualnya pada umur 2-3 tahun dan mulai menghasilkan gamet atau larva pertama. Karang massive yang diwakili oleh Porites menunjukan pertumbuhan dan perkembangan yang lama berkisar antara

23   

4-7 tahun (Babcock, 1988). Pada jenis-jenis yang memperlihatkan adanya hubungan antara ukuran koloni dan reproduksi akan gangguan pertumbuhan akibat stress juga akan menunjukan penurunan potensi reproduksinya (Brown and Howard, 1985).

Kecerahan perairan penting bagi pertumbuhan dan mendukung proses reproduksi dan rekrutment hewan karang (Jokiel, 1985 ; Tomascik dan Sander, 1987). Perairan yang jernih dengan sedimen rendah meningkatkan penetrasi cahaya yang dibutuhkan selama aktifitas fotosintesis oleh algae simbion zooxhantella. Hasil fotosintesis berupa karbohidrat dan transfer energi berkontribusi jelas dalam proses reproduksi terutama saat produksi gamet dan larva. Sebaran terumbu karang sepanjang perairan dangkal pesisir dan pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap sedimentasi yang meningkatkan kekeruhan perairan.

Sedimentasi secara terus menerus menjadi masalah utama terumbu karang di perairan pesisir. Penimbunana sedimen diatas permukaan koloni karang membutuhkan energi banyak untuk membersihkannya sehingga memperlambat laju pertumbuhan serta mengurangi ketersedian energi untuk proses reproduksi. Sedimen juga menghalangi dan mencegah sinyal bio-kimia larva hewan karang untuk mengenali substrat yang akan ditempelinya (Tomascik dan Sander, 1987).

Pengayaan nutrient dalam perairan atau eutrofikasi menjadi permasalan tersendiri terhadap proses reproduksi dan rekrutmen hewan karang (Tomascik, 1991). Sumber utama nutrient dalam perairan berasal dari aktifitas pertanian dan limbah rumah tangga. Suspensi nutrien dalam perairan meningkatkan kekeruhan dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Pada kondisi lain, peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan cepat biota bentik tertentu seperti Algae, Sponge, Tunicate dan Bryzoan yang merupakan kompetitor utama bentik karang yang tumbuh lambat (Birkeland, 1988). Pertumbuhan biota bentik yang cepat menutupi permukaan substrat dan menghalangi penempelan larva hewan karang (Hatcher, 1984 ; Tomascik, 1991 ; Done, 1992 ; Hughes, 1994).

Total pemasukan substansi/matreal ke dalam perairan berbanding lurus dengan waktu. Artinya aktifitas pemanfaatan di sepanjang pesisir akan memberikan kontribusi pencemaran yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.

Substansi pencemar seperti minyak, cadmium dan logam berat yang berasal dari berbagai sumber masuk ke dalam perairan melalui, arus laut, aliran sungai dan air hujan. Bahan pencemar seperti pestisida Chlorpyrifos mampu menurunkan kemampuan penempelan dan metamorphosis larva hewan karang pada kadar 0.005 ppm. Tumpahan minyak telah menurunkan ukuran dan volum gonad hewan karang dibanding daerah yang tidak terkena tumpahan minyak (Guzman dan Holst, 1993). Pada kondisi tertentu pencemaran minyak dapat menggagalkan formasi larva karang untuk bertahan hidup (Loya dan Rinkevich, 1979). Substansi pencemar juga diketahui mampu menghalangi sinyal bio-kimia karang yang mengatur kesesuaian dan keteraturan produksi sperma dan telur (Richmond, 1993)

Pola rekrutmen dan kemampuan larva pada beberapa terumbu sangat tergantung pada jauhnya jarak komunitas karang mensuplai larva planulanya (Richmond, 1987 ; Babcock, 1988). Jika terumbu tempat hewan karang menghasilkan larva atau telur terganggu dengan sendirinya juga memberikan dampak terhadap keberlanjutan terumbu itu sendiri. Prinsip ini penting untuk menentukan daerah perlindungan yang terdiri dari banyak pulau atau antar wilayah terumbu yang berbeda. Hal ini juga berlaku pada penentuan daerah-daerah perlindungan laut untuk terumbu karang dengan mempertimbangkan pola pemenceran larvanya (William et al, 1984).

Keberhasilan reproduksi hewan karang tidak menjamin penambahan koloni ke dalam populasi sampai larva dan reproduksi aseksual berhasil dalam proses rekrutmennya. Larva yang dihasilakan oleh koloni pada terumbu yang sehat tidak mengalami rekrutmen dengan baik karena kualitas perairan dan ketersedian larva. Sedimentasi tinggi dari sungai mengakibatkan kematian pada koloni karang dewasa, namun menyediakan substrat dan tidak menghalagi penenmpelan larva. Kondisi terumbu karang (kelimpahan dan keanekragaman) tidak bisa menunjukan kesehatan terumbu karang hanya menunjukan kondisi pada saat itu. Namun pola rekrutmen mampu memprediksi keadaan terumbu pada masa akan datang. Kegagalan reproduksi dan ketidak mampuan penempelan sering terlihat pada wilayah dimana karang dewasa dapat bertahan hidup dan berkembang dengan baik (Richmond, 1997).

Dokumen terkait