• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat dinamis, namun sangat sensitif dan rentan sekali terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi dinamis terumbu karang ditandai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam komunitas serta adanya interaksi yang kuat antara biota karang dan biota penghuni terumbu lainnya serta kondisi abiotis lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan sebagai akibat dari berbagai aktifitas manusia maupun oleh kejadian-kejadian alam telah memberikan dampak kerusakan bagi terumbu karang dalam skala luas. Secara alami respon terumbu karang terhadap perubahan dan tekanan lingkungan adalah berusaha untuk bertahan (resistensi) dan menunjukan gejala pemulihan (recovery) sampai terbentuknya komunitas yang stabil (resilience) kembali setelah mengalami kerusakan (Obura dan Grimsditch, 2009).

Pemulihan terumbu karang dapat dilihat dari peningkatan tutupan koloni biota karang hidup pembentuk terumbu (reef building corals) sebagai komponen utama pembentuk terumbu. Di alam pemulihan terumbu karang ditandai dengan kemunculan koloni-koloni karang muda (juvenil) dengan ukuran koloni relatif kecil (Babcok dan Mundy, 1996). Kemunculan koloni karang muda ini memberikan indikasi telah terjadi penambahan koloni baru (rekrutmen) ke dalam populasi dan berkontribusi nyata dalam pembentukan dan perkembangan komunitas karang selanjutnya. Namun pada banyak laporan dan hasil penelitian, laju rekrutmen yang tinggi tidak selalu diikuti dengan peningkatan tutupan karang hidup sebagai indikasi pemulihan. Hasil pengamatan oleh Abrar (2005) pada pemulihan terumbu karang setelah tiga tahun kejadian pemutihan karang (bleaching) di Pulau Sipora, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, kepadatan rata-rata rekrutmen karang 19,25 koloni/m2 dengan tutupan koloni karang hidup mencapai 7,85-22,89%, namun hasil monitoring CRITC COREMAP – LIPI pada lokasi yang sama, memperlihatkan kecenderungan penurunan tutupan karang hidup hanya mencapai 7,72% selama tahun 2004-2007 (Sukarno, 2008).

Kepadatan koloni karang muda dapat digunakan sebagai standar untuk mengukur tingkat rekrutmen karang pada suatu terumbu. Menurut Engelhardt

 

(2000) kepadatan rekrutmen karang untuk koloni-koloni bercabang >10 koloni/m2 termasuk dalam kategori sangat tinggi dan diprediksi memilki potensi besar untuk segera pulih. Dunstan dan Johnson (1998) mendapatkan total 8.627 rekrutmen pada substrat penempelan selama 4 tahun pengamatan di terumbu karang Pulau Heron, Great Barrier Reef, Australia. Pengamatan rekrutmen karang pada daerah lintang tinggi didapatkan rata-rata 6,7 koloni pada tiap pasang substrat penempelan lebih sedikit dibanding rekrutmen pada daerah Great Barrier Reef yaitu 44-242 rekrut pada setiap pasangan substrat (Harriot dan Banks, 1995 ; Rudi, 2006).

Pengamatan pola rekrutmen hewan karang di beberapa wilayah perairan Indonesia telah dilaporkan oleh Suharsono (1999), Abrar (2000 ; 2005), Bachtiar (2002), Saputra (2004), Zakaria (2004), Samidjan (2005) Rudi (2006), Munasik et al (2008) dan Siringoringo (2008) menunjukan rata-rata kepadatan rekrutmen karang berkisar antara 5-15 koloni/m2 dan termasuk dalam kategori sedang - sangat tinggi. Sebaliknya potensi rekrutmen yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh peningkatan tutupan karang hidup sebagai indikasi pemulihan. Hasil monitoring reguler yang dilakukan oleh CRITC COREMAP pada 14 lokasi di wilayah barat dan timur perairan Indonesia selama periode 2004-2007 menunjukan kecenderungan penurunan tutupan karang hidup yaitu berkisar antara 2,6 - 7,2% (Sukarno, 2008). Hal ini memberikan gambaran bahwa rekrutmen hewan karang yang telah menempel tidak mampu bertahan hidup sampai menjadi koloni karang dewasa dengan kata lain proses rekrutmen mengalami kegagalan.

Kepulauan Seribu, DKI Jakarta merupakan salah satu wilayah terumbu karang penting di perairan barat-utara Pulau Jawa. Dengan kepadatan penduduk mencapai 7.870 jiwa/km2 mendiami sekitar 6 pulau dari 105 pulau-pulau kecil yang ada, kehidupannya sangat tergantung dengan ekosistem dan sumberdaya pesisir khususnya terumbu karang. Ketergantungan tersebut dapat dilihat dari berbagai aktifitas ekonomi antara lain perikanan tangkap dan budidaya, aktifitas wisata bahari serta jasa-jasa kelautan lainnya dengan 69,3 % bekerja sebagai nelayan tradisonal.

Tingginya aktifitas pemanfaatan sumber daya serta terbatasnya daya dukung dan tidak sebandingnya luas wilayah (sebagian besar kurang dari 10 ha)

dengan jumlah penduduk, menjadi pemicu kerusakan ekosistem teumbu karang. Kerusakan terumbu karang semakin komplit oleh adanya berbagai tekanan dari daratan utama pesisir Pulau Jawa terutama dari pesisir Jakarta dan Banten. UNESCO (1997) melaporkan bahwa intensitas polusi dan masukan sedimentasi yang tinggi telah menyebabkan kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu secara terus menerus terutama terumbu karang pada pulau-pulau kecil yang berada dekat daratan utama. Giyanto dan Soekarno (1997) telah mengelompokan empat (4) zona kondisi terumbu karang Kepulauan Seribu berdasar kan intesitas tekanan dan jaraknya dari daratan utama. Zona I berada paling dekatan dengan daratan dengan intensitas tekanan lingkungan sangat tinggi dan terumbu karang berada pada kondisi sangat buruk. Semakin ke utara, zona IV berada paling jauh dari daratan dengan intensitas dan pengaruh tekanan dari daratan semakin kecil dimana kondisi terumbu karang nya relatif lebih baik. Estradivari et al (2007) melaporkan rerata tutupan karang hidup pada 54 pulau kecil di Kepulauan Seribu pada tahun 2004 mencapai 32,9% dan sedikit meningkat pada tahun 2005 menjadi 33,2%. Sekitar 10 pulau-pulau kecil sebaliknya mengalami penurunan tutupan karang hidup dari tahun 2004-2005.

Gugus Pulau Pari termasuk salah satu pulau kecil Kepulauan Seribu dengan kondisi terumbu karang yang cenderung menurun dari waktu ke waktu. Giayanto dan Soekarno (1997) mengelompokan terumbu karang gugus Pulau Pari ke dalam zona III dengan persentase tutupan karang hidup mencapai 40-60% pada kedalaman 1-3 meter. Selanjutnya Suharsono (1994) melaporkan kondisi terumbu karang di gugus Pulau Pari terus mengalami penurunan dengan tutupan karang hidup mencapai 30-50% pada lereng terumbu dan 5-20% pada rataan terumbu. Monitoring oleh Yayasan Terumbu Karang Indonesia dalam kurun waktu 2004 - 2005 menunujukan kondisinya semakin menurun dengan tutupan hanya mencapai 29,13-38,13% di Pulau Pari bagian selatan dan 30,85-54,15% pada Pulau Pari bagian timur-laut (Estradivari et al., 2007) Hasil pengamatan pemulihan yang ditandai dengan kemunculan koloni karang baru (rekrutmen) cukup tinggi. Penelitian Rudi (2006) menunjukan kepadatan penempelan koloni karang pada substrat buatan di Pulau Pari mencapai 5-9 koloni/0,4 m2 atau sekitar 12-22 koloni/m2 dengan kategori rekrutmen sangat tinggi (Engelhardt, 2000)

 

Gejala pemulihan terumbu karang yang buruk menunjukan bahwa telah terjadi kegagalan rekrutmen karang mencapai ukuran optimal untuk bertahan hidup. Kegagalan rekrutmen karang ini tidak terlepas dari kelulusan hidupnya setelah penempelan. Proses rekrutmen hewan karang diawali dengan penempelan larva planula setelah melewati masa hidupnya sebagai larva planktonik. Setelah penempelan larva planula dengan segera mengalami metamorphosis menjadi satu individu hewan karang (polyp) yang secara terus menerus tumbuh menjadi banyak banyak individu hewan karang karang melalui reproduksi aseksual pertunasan (budding) (Richmon, 1997).

Kegagalan rekrutmen secara alami disebabkan oleh rekrutmen karang tidak mencapai ukuran optimal untuk bertahan hidup. Tingginya biota kempetitor, predator dan herbivor (grazer) serta pengaruh lingkungan abiotis seperti sedimentasi, polusi, arus dan gelombang, dan perubahan kualitas perairan menjadi faktor penghambat rekrutmen karang untuk bertahan hidup (Richmond, 1997). Disamping itu serangan penyakit diduga memiliki potensi tinggi penyebab kematian rekrut karang. Adanya keterkaitan dan hubungan antara kemampuan dan kelulusan hidup biota karang batu dengan berbagai faktor di atas sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Disamping itu bagaimana proses rekrutmen karang batu bertahan hidup serta faktor apa saja yang mempengaruhi masih sangat jarang diteliti

Dokumen terkait