• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas

BAB II

KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Deskripsi Teoritik

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Secara umum, “berpikir didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh pengetahuan.”1

Kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman yang bermakna melalui persoalan pemecahan masalah. Sejalan dengan pendapat tersebut Ruggiero mengemukakan bahwa “berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat keputusan atau memenuhi hasrat keingintahuan.”2

Hal ini menunjukkan ketika seseorang merumuskan suatu masalah, memecahkan suatu masalah, ataupun ingin memahami sesuatu hal, itu artinya ia sedang melakukan aktivitas berpikir. Dikaitkan dengan aplikasinya aktivitas berpikir dapat berupa pembentukan konsep, bernalar, membuat keputusan, memecahkan masalah, dan berpikir secara kritis, serta berpikir kreatif.3 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah sebuah aktivitas mental dalam mengolah informasi sehingga menghasilkan suatu pengetahuan dan keputusan yang digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah.

Tatag dalam bukunya mengatakan bahwa “berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif.”4

Berpikir kritis dan kreatif merupakan berpikir tingkat tinggi, karena kemampuan berpikir tersebut merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai oleh siswa di kelas. “Berpikir

1

Dina Mayadiana Suwarma, Suatu Alternatif Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematika, (Jakarta: Cakrawala Maha Karya, 2009), h. 3

2

Tatag Yuli Eko Siswono, Model pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Surabaya: Unesa University Press, 2008) h. 13.

3

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan,(Jakarta: Kencana, 2008), h. 357. 4

kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi.”5

Misalkan, informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki, bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan.

Ada beberapa definisi berpikir kritis menurut beberapa ahli. Johnson dalam bukunya tahun 2002 menjabarkan bahwa “definisi berpikir kritis sebagai sebuah proses yang terorganisir dan jelas yang digunakan dalam aktivitas mental seperti pemecahan masalah, pembuatan keputusan, menganalisis asumsi-asumsi, dan penemuan secara ilmiah”.6 Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menalar dalam langkah yang terorganisir. Ini merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematik kualitas menalar seseorang dibandingkan dengan yang lain. Menurut Lau &Chan dalam bukunya tahun 2009 mengatakan bahwa “berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara jelas dan rasional”.7 Berpikir kritis meliputi kemampuan untuk terlibat dalam berpikir reflektif dan independen. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan siap untuk:8

1. Memahami hubungan logis antar ide,

2. Mengidentifikasi, mengkonstruk, dan mengevaluasi perbedaan-perbedaan pendapat,

3. Mendapatkan ketidakkonsistenan dan kesalahan-kesalahan umum dalam penalaran,

4. Memecahkan masalah secara sistematis,

5. Mengidentifikasi ide-ide yang relevan dan penting,

6. Merefleksi kebenaran dari kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini seseorang.

Menurut John Dewey yang dikenal sebagai bapak tradisi berpikir kritis modern, menyatakan bahwa “berpikir kritis adalah pertimbangan yang aktif, terus menerus dan teliti mengenai suatu pengetahuan yang tidak diterima begitu saja tetapi harus disertai dengan alasan-alasan yang mendukung dan

5

Ibid,. h.14

6Tina Yunarti, “Pengajaran Berpikir Kritis”, Seminar Nasional Pembejaran Matematika Sekolah (FMIPA UNY), Yogyakarta, 6 Desember 2009, h. 240.

7 Ibid. 8

14

kesimpulan yang rasional”.9 Dengan demikian, seseorang yang memiliki ketrampilan berpikir kritis mampu untuk tidak terburu-buru menerima suatu hal, melainkan selalu mencermatinya lebih dahulu (teliti) sebelum menyimpulkan sesuatu, dan selalu memeriksa setiap informasi berdasarkan bukti pendukungnya serta kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Dengan kata lain, berpikir kritis dapat membebaskan seseorang dari kebiasaan menerima berbagai informasi dan kesimpulan tanpa mempertanyakannya.

Sejalan dengan pendapat John Dewey tersebut, Watson dan Glaser memandang bahwa “berpikir kritis sebagai gabungan dari sikap, pengetahuan, dan keahlian”.10 Sikap maksudnya adalah sikap menyelidiki yang melibatkan kemampuan merekognisi kebenaran masalah dan menerima kebutuhan umum akan bukti dalam mendukung apa yang ditegaskan menjadi benar. Pengetahuan yaitu pengetahuan umum tentang pengambilan kesimpulan-kesimpulan valid, abstraksi-abstraksi, dan generalisasi yang berbobot atau ketepatan jenis bukti ditentukan secara logis. Dan tentunya dibutuhkan keahlian-keahlian dalam memperkerjakan dan menerapkan sikap-sikap tersebut.

Fawcett dalam bukunya The Nature of Proof, mencatat pola-pola siswa yang menggunakan kemampuan berpikir kritis antara lain :11

1. Memilih kata-kata yang penting, memfrasekan kata-kata ini dalam beberapa pernyataan penting, dan mendefinisikan secara jelas kata-kata tersebut.

2. Mensyaratkan bukti dari suatu kesimpulan sehingga kesimpulan ini dapat dipertahankan.

3. Menganalisis bukti dan perbedaan antara fakta dan asumsi.

4. Merekognisi asumsi penting baik yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan untuk mendukung suatu kesimpulan.

5. Mengevaluasi, menerima, dan menolak asumsi.

6. Mengevaluasi argumen, dan menerima atau menolak kesimpulan

7. Memeriksa asumsi yang melatarbelakangi keyakinan dan tindakan-tindakan secara konsisten.

9

Kasdin Sitohang, Critical Thinking: Membangun Pemikiran Logis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2012) h. 3.

10

Dina Mayadiana Suwarma, Suatu Alternatif Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematika, (Jakarta: Cakrawala Maha Karya, 2009), h. 17.

11

Berpikir kritis sangat dibutuhkan oleh setiap individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Kemampuan berpikir kritis dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, dan memperbaiki pemikiran seseoranng sehingga ia dapat bertindak lebih tepat. Hal tersebut senada dengan pendapat Splitier tentang seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis merupakan individu yang berpikir, bertindak, dan bernalar tentang kualitas kebenaran dari apa yang mereka lihat, dengar, dan yang mereka pikirkan.12

Robert Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu yang dapat ia yakini kebenarannya serta dapat menentukan tindakan yang akan dilakukan nanti.13 Seseorang dalam suatu kondisi tertentu pasti selalu diminta untuk membuat keputusan. Hal ini biasanya terjadi jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan keputusan yang mungkin, dan dia harus mempertimbangkan manakah yang terbaik dari sekian pilihan tersebut. Misalkan, untuk membuat suatu keputusan dalam memilih suatu strategi atau suatu teorema dalam matematika untuk membuktikan suatu pernyataan harus didasarkan pada informasi yang diketahui serta sifat-sifat matematika yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, jika suatu keputusan didasarkan pada informasi serta asumsi yang benar, maka akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar pula.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa berpikir kritis adalah suatu aktivitas mental dalam memperoleh pengetahuan secara lebih mendalam melalui proses menganalisis dan menunjukkan alasan-alasan yang logis tentang informasi yang kita terima sehingga menghasilkan suatu keputusan yang baik untuk menyelesaikan suatu masalah.

Istilah berpikir matematis (mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses matematika (doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task) baik yang sederhana

12

Ibid., h. 11.

13Utari Sumarmo, “berpikir dan disposisi matematik : apa, mengapa, dan bagaimana dikembangkan pada peserta didik”, FPMIPA UPI, 2010 h. 9.

16

maupun yang kompleks.14 Jadi berpikir kritis matematis adalah berpikir kritis yang berkenaan dengan proses matematika (doing math) dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task) dengan tujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam.

Salah satu contoh kasus berpikir kritis matematis, misalnya „Andi dan Lian diberikan tugas dari guru untuk membaca buku. Andi membaca 16 halaman dalam satu jam, dan Lian dapat membaca 12 halaman dalam satu jam. Jika mereka membaca tak berhenti, dan Andi mulai membaca pada jam 13.00, sedangkan Lian mulai jam 12.00, pada jam berapa mereka sama-sama menghabiskan halaman bacaan yang sama banyak?‟ Pertanyaan pada kasus tersebut belum mengarah pada kemampuan berpikir kritis agar menjadi pertanyaan berpikir kritis, kita dapat mengubah situasi ini dengan mengajukan pertanyaan “Bagaimana jika…?”, misalkan: „Bagaimana jika mereka mulai membaca pada saat yang sama, akankah mereka menyelesaikan sejumlah halaman yang sama pada jam tertentu?‟ atau „Bagaimana jika mereka membaca seterusnya, dapatkah mereka menyelesaikan jumlah halaman yang sama pada kali kedua, atau ketiga?‟

Kemampuan berpikir matematis setiap peserta didik berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan suatu indikator sehingga kita dapat menilai tingkat berpikir kritis peserta didik. Ada beberapa kelompok kemampuan berpikir kritis, salah satunya menurut Ennis dalam buku Dina mengelompokan kemampuan berpikir kritis menjadi lima kemampuan berpikir15, yaitu:

1. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), 2. Membangun keterampilan dasar (basic support),

3. Membuat inferensi (inferring),

4. Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), 5. Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics).

14

Ibid., h. 4. 15

Dina Mayadiana Suwarma, Suatu Alternatif Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematika, (Jakarta: Cakrawala Maha Karya, 2009), h. 13.

Tabel 2.1

Keterampilan Berpikir Kritis Keterampilan Berpikir Kritis Indikator Penjelasan Memberikan penjelasan sederhana Memfokuskan pertanyaan.

a. Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan.

b. Mengidentifikasi kriteria-kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin.

c. Menjaga kondisi pikiran.

Menganalisis argument

a. Mengidentifikasi kesimpulan

b. Mengidentifikasi alasan(sebab) yang dinyatakan(eksplisit)

c. Mengidentifikasi alasan(sebab) yang tidak dinyatakan(implisit)

d. Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan kerelevanan

e. Mencari persamaan dan perbedaan f. Mencari struktur suatu argumen g. Merangkum Bertanya dan menjawab pertanyaan klasifikasi dan pertanyaan yang menentang a. Mengapa

b. Apa intinya, apa artinya

c. Apa contohnya, apa yang bukan contoh d. Bagaimana menerapkannya dalam kasus

tersebut

e. Perbedaan apa yang menyebabkannya f. Akankah andah menyatakan lebih dari itu

Membangun keterampilan dasar Mempertimbangkan kredibilitas (kriteria) suatu sumber a. Ahli

b. Tidak ada konflik internal c. Kesepakatan antar sumber d. Reputasi

e. Mengurutkan prosedur yang ada f. Mengetahui resiko

g. Kemampuan memberi alasan h. Kebisaaan hati-hati

Mengobservasi dan mempertimbangkan

hasil observasi

a. Ikut terlibat dalam menyimpulkan b. Dilaporkan oleh pengamat sendiri c. Mencatat hal-hal yang diinginkan d. Penguatan(collaboration) dan

kemungkinan penguatan e. Kondisi akses yang baik

f. Penggunan teknologi yang kompeten g. Kepuasan observer atas kredibilitas criteria Menyimpulkan Membuat deduksi a. Kelompok yang logis

18 Keterampilan Berpikir Kritis Indikator Penjelasan dan mempertimbangkan hasil deduksi

b. Kondisi yang logis c. Interpretasi pernyataan Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi a. Membuat generalisasi

b. Membuat kesimpulan dan hipotesis

Membuat dan mempertimbangkan

hasil keputusan

a. Latar belakang fakta b. Konsekuensi c. Penerapan prinsip-prinsip d. Memikirkan alternatif e. Menyeimbangkan, memutuskan Membuat penjelasan lebih lanjut Mendefinisikan istilah, mempertimbangkan definisi.

a. Bentuk : sinonim, klarifikasi, rentang ekspresi yang sama

b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi persamaan)

c. Isi (content) Mengidentifikasi

asumsi.

a. Penalaran secara implisit

b. Asumsi yang diperlukan rekonstruksi argument Strategi dan tehnik Memutuskan suatu tindakan a. Mendefinisikan masalah b. Menyelesaikan kriteria c. Merumuskan alternatif yang

memungkinkan

d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan secara alternatif

e. Melakukan revise

f. Memonitori implementasi Berinteraksi dengan

orang lain

Edward Glaser mengemukakan terdapat dua belas indikator berpikir kritis, yaitu:16

1) Mengenal masalah,

2) Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah masalah,

3) Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, 4) Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan,

16

Alec Fisher, Berpikir Kritis Sebuah Pengantar, Terj. Dari Critical Thinking: An Introduction oleh Benyamn Hadinata, (Jakarta: Erlangga, 2009), h. 7.

5) Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, 6) Menganalisis data,

7) Mengevaluasi pernyataan pernyataan,

8) Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, 9) Menarik kesimpulan,

10)Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil,

11)Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas,

12)Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan definisi operasional berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses berpikir yang melibatkan proses menganalisis, mengevaluasi, sampai membuat keputusan untuk menyelesaikan masalah matematika. Berdasarkan definisi operasional tersebut dapat diturunkan menjadi beberapa indikator berpikir kritis yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Memberikan alasan

Siswa dapat memberikan alasan yang sesuai dengan konsep matematika mengenai jawaban yang dikemukakan.

2. Mengidentifikasi suatu keputusan.

Siswa dapat mengidentifikasi suatu keputusan dari suatu permasalahan. 3. Memberikan penjelasan lebih lanjut

Siswa mempu menggunakan konsep untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dari suatu pernyataan.

4. Merumuskan langkah-langkah penyelesaian

Siswa mampu membuat solusi dari permasalahan berdasarkan konsep yang terlibat dengan menuliskan langkah-langkah penyelesaiannnya.

2. Pembelajaran Matematika

Istilah matematika berasal dari bahasa yunani, mathematike, yang berarti

“relating to learning” dan mempunyai akar kata mathema yang artinya pengetahuan atau ilmu, serta berhubungan erat dengan sebuah kata lain yang

20

serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir).17 Belajar yang dimaksud disini adalah belajar dengan bernalar, karena matematika lebih menekankan pada aktivitas rasio (penalaran). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Erman dalam bukunya, dia mengatakan bahwa “pada awalnya matematika terbentuk dari pengalaman manusia yang kemudian diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampailah pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika.”18 Menurut Fontana “Belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman”.19

Matematika adalah pelajaran tentang ide atau konsep serta hubungan yang ada diantara konsep tersebut. Konsep matematika tidak hanya dihafalkan tetapi harus dipahami secara bermakna melalui proses bernalar, proses berkomunikasi serta aktivitas pemecahan masalah. Reys, dkk dalam bukunya tahun 1973 mengatakan bahwa “matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat”.20

Matematika merupakan suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir logis, analisis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Oleh karena itu, matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi perkembangan IPTEK sehingga matematika perlu diajarkan kepada siswa disekolah sejak dini. Fungsi mata pelajaran matematika sekolah ada tiga yaitu:21

1. Matematika sebagai alat, siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaan-persamaan atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.

17

Erman Suherman, StrategiPembelajaran Matematika Kontemporer. (Bandung: JICA-UPI, 2001), h. 17-18. 18 Ibid. 19 Ibid., h. 8. 20 Ibid., h. 19. 21 Ibid., h. 55.

2. Matematika sebagai pola pikir, bagi para siswa belajar matematika juga merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu.

3. Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, guru harus mampu menunjukkan betapa matematika selalu mencari kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang telah diterima bila ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.

Menurut Cobb, belajar matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.22 Berarti belajar matematika merupakan usaha siswa untuk membangun konsep-konsep matematika dengan kemampuannya sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah proses perubahan tingkah laku dan cara berpikir siswa dalam membangun konsep matematika itu sendiri serta bagaimana siswa dapat menghubungkan antar konsep tersebut atau dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengembangkan dan menghasilkan suatu konsep baru, serta dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Proses pembelajaran adalah kegiatan yang berlangsung dalam lingkup sekolah sehingga terjadi proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan sekolah seperti guru, sumber belajar, dan teman sesama siswa.23 Proses pembelajaran bukan hanya menuntut siswa sekedar mendengar, mencatat, akan tetapi menghendaki aktivitas siswa dalam proses berpikir. Pembelajaran membangun suasana dialogis serta proses tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah interaksi antara peserta didik dengan pendidik dalam suatu lingkungan belajar matematika untuk memecahkan berbagai persoalan matematika dan meningkatkan ketrampilan berpikir siswa.

22

Ibid., h. 71. 23

22

2. Model Pembelajaran Learning Cycle 5E

Pergeseran paradigma pendidikan dari behavioristik menuju konstruktivistik melahirkan model, metode, pendekatan, dan strategi-strategi baru dalam sistem pembelajaran khususnya dalam pembelajaran matematika. Learning cycle merupakan model pembelajaran yang berbasis konstruktivisme dan dikembangkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study/SCIS.24 Teori konstruktivisme menekankan agar peserta didik secara aktif menyusun dan membangun (to Construct) pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri.25 Artinya, pengetahuan tidak diberikan secara langsung dari sumber melainkan siswa harus membangun sendiri dan menemukan sendiri pengetahuannya dengan dasar pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.

Menurut pandangan konstruktivis, “guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran siswa, akan tetapi guru harus mendorong siswa untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, dan berpikir secara kritis.”26

Peserta didik melalui pembelajaran konstruktivisme diharapkan dapat menganalisis, membandingkan, menggeneralisasi, hingga mengambil kesimpulan dari masalah yang ada. Peran guru sebagai fasilitator dan motivator belajar peserta didik, menata lingkungan belajar peserta didik agar dapat melakukan kegiatan belajar mengajar sebaik-baiknya. Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran mendukung peserta didik untuk membangun pengetahuannya sendiri sehingga pembelajaran akan berpusat pada peserta didik bukan pada guru. Learning cycle juga sejalan dengan teori belajar piaget, yang juga membahas teori belajar konstruktivisme.

Piaget mengatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan respon perkembangan intelektual

24

Made Wena, StrategiPembelajaran Inovatif Kontemporer, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009) h. 170.

25

Jhon W. Santrock, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta: Kencana, 2008 ), h. 8. 26

yang mencakup adaptasi dan organisasi, proses adaptasi terdiri atas akomodasi dan asimilasi. 27

Peserta didik melalui proses asimilasi akan menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Peserta didik akan berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Selanjutnya, struktur mental peserta didik melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental, yang disebut dengan proses akomodasi. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep baru yang dipelajari dengan konsep-konsep yang telah dimilikinya.

Kemudian Karplus dan Their, mengimplementasikan teori piaget tersebut menjadi 3 tahap learning cycle, yaitu eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep, tiga langkah tersebut memberikan siswa kesempatan untuk mengasimilasi informasi, mengakomodasi informasi, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki.28

Selanjutnya tiga langkah tersebut dikembangkan menjadi 5 langkah. Wena dalam bukunya mengatakan bahwa learning cycle merupakan model pembelajaran dengan tiga tahapan yaitu eksplorasi, pengenalan konsep dan penerapan konsep, kemudian dikembangkan oleh Lorsbach menjadi lima tahap; engage, explore, explain, elaborate, dan evaluate atau lebih dikenal dengan learning cycle 5e.29 Model pembelajaran learning cycle 5e juga berlandaskan teori konstruktivisme karena merupakan pengembangan dari model pembelajaran learning cycle.

Kelebihan learning cycle lima fase dibandingkan dengan learning cycle tiga fase adalah pada tahap engage dan tahap evaluate, karena pada learning cycle tiga fase tidak terdapat tahap tersebut. Kedua tahap ini juga sangat penting dalam

27

Ngalimun, Strategi dan Model Pembelajaran, (Banjarmasin: Aswaja Pressindo, 2012), Cet.1, h. 147.

28

Ibid., h. 148. 29

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Ed.1, Cet.2, h.171.

24

proses pembelajaran karena dengan adanya tahap engage siswa diajak untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran sehingga minat dan keingintahuan siswa dapat dibangkitkan. Selain itu, pada tahap ini guru juga dapat mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada pengetahuan siswa yang berhubungan dengan materi yang akan kita pelajari. Kemudian pada tahap evaluate, siswa dapat mengetahui kelebihan dan kekurangaan mereka dalam proses pembelajaran, pengetahuan mereka dalam materi, dan siswa juga dilatih untuk membuat dan mengidentifikasi hasil keputusan berdasarkan pengetahuan yang didapat dari hasil pertimbangan pada tahap-tahap sebelumnya.

Model pembelajaran learning Cycle 5e memiliki tahapan-tahapan pembelajaran. Tahapan-tahapan learning cycle 5e sebagai berikut:

a. Engage ( Terlibat )

Tahap engage merupakan tahap awal dari tahap learning cycle 5e. Siswa melalui tahap ini diajak terlibat dalam proses pembelajaran, guru berusaha membangkitkan minat serta keingintahuan siswa tentang topik yang akan diajarkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang proses faktual dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan topik bahasan.30 Minat dan keingintahuan siswa ditingkatkan dengan memberikan ilustrasi masalah kehidupan sehari-hari yang dapat diselesaikan dengan menghubungkan masalah tersebut dengan konsep matematika sehingga siswa tertarik untuk mengikuti proses pembelajaran. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu cenderung memberikan perhatian yang lebih besar kepada hal tersebut.

Selain itu, pada tahap ini guru juga melakukan identifikasi pengetahuan awal siswa melalui tanya jawab antara guru dengan siswa.31 Guru memberikan sejumlah pertanyaan yang dapat mengidentifikasi pengetahuan awal siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari untuk mengetahui ada atau tidaknya miskonsepsi siswa terhadap pengetahuan awal siswa yang nantinya

30 Ibid. 31

Ngalimun, Strategi dan Model Pembelajaran, (Banjarmasin: Aswaja Pressindo, 2012), Cet.1, h. 146.

akan dijadikan pijakan bagi siswa dalam mempelajari pengetahuan baru pada tahap selanjutnya.

b. Explore ( Menyelidiki/ Eksplorasi )

Siswa melalui tahap ini diberikan kesempatan untuk melakukan eksplorasi pengetahuan mereka dengan cara berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil antara 3-4 orang tanpa pembelajaran langsung oleh guru.32 Guru memberikan permasalahan kepada setiap kelompok, kemudian siswa didorong untuk

Dokumen terkait