• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di salah satu SMP di Tangerang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa: penelitian quasi eksperimen di salah satu SMP di Tangerang."

Copied!
248
0
0

Teks penuh

(1)

(Penelitian Quasi Eksperimen di Salah Satu SMP di Tangerang)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

oleh

Sinta Munika

(1110017000045)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

i

Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP di Tangerang, Semester Genap Tahun Ajaran 2014/2015. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh model pembelajaran Learning Cycle 5E terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa dalam materi bangun datar segiempat. Indikator kemampuan berpikir kritis yang diukur dalam penelitian ini yaitu: (a) Memberikan alasan yang logis, (b) Mengidentifikasi keputusan, (c) Memberi penjelasan lebih lanjut, dan (d) Merumuskan langkah-langkah penyelasaian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian Two-group Post-Test Only Design. Sampel penelitian diperoleh sebanyak dua kelas dengan teknik cluster random sampling. Kedua kelas itu terdiri dari kelas eksperimen (Learning Cycle 5E) sebanyak 34 siswa dan kelas kontrol (konvensional) sebanyak 34 siswa. Data dikumpulkan dengan tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Learning Cycle 5E lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan pembelajaran kovensional. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Learning Cycle 5E adalah sebesar 16,47 dan nilai rata-rata hasil tes kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional adalah sebesar 14,18. Selain itu, juga dapat dilihat dari hasil uji hipotesis dengan menggunakan Independent Samples T Test pada PSPP diperoleh hasil nilai signifikansi perhitungan (Sig. (1-tailed) = 0,005) dan taraf signifikansi = 0,05, maka Sig. (1-tailed) < taraf signifikansi . Kesimpulan hasil penelitian ini adalah bahwa pembelajaran matematika pada pokok bahasan bangun datar segiempat dengan menggunakan model pembelajaran Learning Cycle 5E berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa dibandingkan yang menggunakan pembelajaran konvensional.

(6)

ii

Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta.

The research was conducted in one of junior high school in Tangerang, for academic year 2014/2015. The purpose of this research is to analyze the effect of Learning Model of Learning Cycle 5E to The Student’s Mathematical Critical Thinking Skills. Indicators students mathematical critical thinking skills that were measured in this research are (a) Providing a logical reason, (b) Identifying a decision, (c) Giving further explanation, and (d) Formulating some steps to solve the problems. The method used in this research is quasi experimental method with Two-group Post-Test Only Design. There are two classes as samples which were obtained by Cluster Random Sampling technique. It consist of experimental class (Learning Cycle 5E) with 34 students and control class (conventional)with 34 students. The data were collected by testing student’s mathematical critical thinking skill.

The result of this research revealed that the student’s mathematical critical thinking skills who are taught by learning model of learning cycle 5e is higher than students taught by conventional learning. It can be seen from the mean score. The score of they who are taught bylearning model of learning cycle 5e is 16,47 while the mean score of students who are taught by conventional learning is 14,18. In addition, the results also can be collected of hypothesis testing using the PSPP which obtained significance score calculation results (Sig. (1-tailed) = 0,005), and

significantly level α = 0,05, so Sig. (1-tailed) < significantly level α. The conclusion

of this research is the student’s mathematical critical thinking skills of rectangular topic who are taught by learning model of learning cycle 5e is higher than students taught by conventional learning.

(7)

iii

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan rahmat, kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penyelamat umat, pemberi syafaat hingga yaumil kiamat.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat kerja keras, doa, perjuangan, kesungguhan hati dan dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi ini, semua dapat teratasi. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Abdul Muin, S.Si, M.Pd sebagai Dosen Pembimbing I sekaligus sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini. Terlepas dari segala perbaikan dan kebaikan yang diberikan, semoga Bapak selalu berada dalam kemuliaanNya.

2. Ibu Moria Fatma, M.Si sebagai Dosen Pembimbinng II yang telah memberikan waktu, bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini. Terlepas dari segala perbaikan dan kebaikan yang diberikan, semoga Ibu selalu berada dalam kemuliaanNya.

3. Ibu Khairunnisa, S,Pd, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, kesabaran, arahan, waktu, nasihat dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

(8)

iv

berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

6. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Staf Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dan Staf Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat.

8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan.

9. Bapak Enjang Supyan, M.Pd., kepala SMP Dua Mei Tangerang, yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

10.Seluruh dewan guru SMP Dua Mei Tangerang, khususnya Bapak Galih Permana Syam, S.Pd., selaku guru mata pelajaran yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian ini.

11.Siswa dan siswi kelas VII SMP Dua Mei Tangerang, khususnya kelas VII-1 dan VII-2 yang telah bersikap kooperatif selama penulis mengadakan penelitian.

12.Keluarga tercinta, terutama kedua orang tua yang tak henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Kakak dan Adik, serta seluruh keluarga besar yang selalu mendoakan, mendorong penulis untuk tetap semangat dalam meraih cita-cita.

13.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’10, kelas A, B dan C, terutama washabee yang selalu memberikan motivasi dan semangat selama kuliah dan penulisan skripsi ini.

(9)

v

Martiana, Rahmadiah, Siti Heni Hanifah, Indri Fajriyati K., Rodial, Sidik dan Winda Ayuningtias, yang selalu membantu, saling bertukar informasi, memberikan motivasi dan saling berkeluh kesah selama proses penulisan skripsi.

16.Kakak kelas angkatan 2009 dan 2008 yang sudah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis hanya dapat memohon dan berdoa semoga bantuan, bimbingan, dukungan, semangat, masukan dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat. Amin yaa robbal’alamin.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih belum mendekati sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat dibutuhkan demi kesempurnaan penulis dimasa datang. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi yang membacanya.

Ciputat, April 2015

(10)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR BAGAN ... x

DAFTAR DIAGRAM... . xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 9

C.Pembatasan Masalah ... 10

D.Perumusan Masalah... 11

E. Tujuan Penelitian... 11

F. Manfaat Penelitian... 11

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 12

A.Deskripsi Teoretik ... 12

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 12

2. Pembelajaran Matematika ... 19

3. Model Pembelajaran Learning Cycle 5E ... 22

4. Pembelajaran Konvensional ... 30

B.Hasil Penelitian yang Relevan... 32

C.Kerangka Berpikir ... 34

D.Hipotesis Penelitian ... 37

BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 38

A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

B.Desain Penelitian ... 38

(11)

vii

G.Hipotesis Statistik ... 51

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 53

A.Deskripsi Data ... 53

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 53

2. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Kontrol 54

3. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa pada Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 55

4. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 57

B.Hasil Pengujian Prasyarat Analisis ... 59

C.Pengujian Hipotesis ... 60

D.Pembahasan Hasil Penelitian ... 62

1. Proses Pembelajaran di Kelas ... 62

2. Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 72

E. Keterbatasan Penelitian ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 86

A.Kesimpulan... 86

B.Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(12)

viii

Tabel 3.2 Kisi-kisi Intstrumen Tes Berpikir kritis Matematis Siswa ... 41

Tabel 3.3 Kriteria Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa ... ... 42

Tabel 3.4 Klasifikasi Interpretasi Taraf Kesukaran... 45

Tabel 3.5 Klasifikasi Daya Pembeda ... 46

Tabel 3.6 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran ... 47

Tabel 3.7 Klasifikasi Tingkat Reliabilitas ... 48

Tabel 4.1 Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Kelas Eksperimen ... 54

Tabel 4.2 Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Kelas Kontrol ... 55

Tabel 4.3 Deskripsi Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 55

Tabel 4.4 Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Berdasarkan Indikator Berpikir Kritis ... 57

Tabel 4.5 Hasil Uji Normalitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 60

Tabel 4.6 Hasil Uji Homogenitas Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 60

(13)

ix

Gambar 4.3 Kegiatan Diskusi Kelompok pada Tahap Explore ... 65

Gambar 4.4 Hasil Eksplorasi Siswa dalam Mengkonstruksi Konsep Keliling Persegi Panjang dan Persegi ... 66

Gambar 4.5 Hasil Eksplorasi Siswa dalam Mengkonstruksi Konsep Luas Persegi Panjang dan Persegi ... 67

Gambar 4.6 Presentasi Salah Satu Kelompok dan Respon dari Kelompok Lain ... 68

Gambar 4.7 Mengerjakan Soal-soal Aplikasi ... 69

Gambar 4.8 Hasil Jawaban Siswa pada Tahap Elaborate ... 70

Gambar 4.9 Siswa Secara Individu Mengerjakan Soal Kuis ... 71

Gambar 4.10 Jawaban Post test No 1 Kelas Eksperimen ... 73

Gambar 4.11 Jawaban Post test No 1 Kelas Kontrol ... 73

Gambar 4.12 Jawaban Post test No 6 Kelas Eksperimen ... 74

Gambar 4.13 Jawaban Post test No 6 Kelas Kontrol ... 75

Gambar 4.14 Jawaban Post test No 2 Kelas Eksperimen ... 76

Gambar 4.15 Jawaban Post test No 2 Kelas Kontrol ... 76

Gambar 4.16 Jawaban Post test No 5 Kelas Eksperimen ... 78

Gambar 4.17 Jawaban Post test No 5 Kelas Kontrol ... 78

Gambar 4.18 Jawaban Post test No 3 Kelas Eksperimen ... 80

Gambar 4.19 Jawaban Post test No 3 Kelas Kontrol ... 80

Gambar 4.20 Jawaban Post test No 4 Kelas Eksperimen ... 82

(14)
(15)

xi

Diagram 4.2 Persentase Indikator Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas

(16)

xii

Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... 154 Lampiran 4 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 200 Lampiran 5 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Siswa ... 201 Lampiran 6 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa ………. 203 Lampiran 7 Rubrik Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 207 Lampiran 8 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa ... 209 Lampiran 9 Hasil Uji Validitas Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa ... 210 Lampiran 10 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen Tes Kemampuan

Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 211 Lampiran 11 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen Tes Kemampuan

Berpikir Kritis Matematis Siswa ... 212 Lampiran 12 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Tes Kemampuan Berpikir

Kritis Matematis Siswa ... 213 Lampiran 13 Perhitungan Uji Validitas, Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda,

dan Reliabilitas ... 214 Lampiran 14 Data Perhitungan Validitas ... 217 Lampiran 15 Data Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

Kelas Eksperimen... 218 Lampiran 16 Hasil Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

Kelas Kontrol ... 219 Lampiran 17 Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kelas Eksperimen

(17)

1

Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir yang harus dimiliki oleh seseorang. Kemampuan ini tidak dapat dimiliki seseorang secara instan tetapi harus dilatih dan dikembangkan sedini mungkin. Salah satu tempat untuk melatih kemampuan berpikir seseorang adalah di sekolah. Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang dapat memfasilitasi siswa untuk berpikir kritis.1 Dalam proses pembelajaran matematika di kelas guru dituntut untuk mengarahkan dan memberikan kesempatan bagi siswa dalam mengembangkan potensinya untuk berpikir. Hal tersebut sejalan dengan peraturan menteri No. 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang menyebutkan bahwa “matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama.”2

Mayadiana dalam bukunya mengatakan bahwa “berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang memiliki karakteristik tertentu.”3 Menurut Nosich, karakteristik berpikir kritis adalah: “(1) berpikir kritis adalah reflektif dan metakognitif, (2) berpikir kritis memuat persoalan autentik, dan (3) Berpikir kritis melibatkan pemikiran, fleksibelitas, dan penalaran.”4 The National Council of Mathematics (NCTM) tahun 1989 mengeluarkan The curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics, yang disusun sebagai suatu standar dalam suatu usaha memberi kesempatan kepada siswa dalam berbagai tingkat satuan pendidikan untuk mengkonsumsi informasi secara

1

Dina Mayadiana Suwarma, Suatu Alternatif Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematika, (Jakarta: Cakrawala Maha Karya, 2009), h. 1.

2

Tatag Yuli Eko Siswono, Model pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Surabaya: Unesa University Press, 2008) h. 2.

3

Mayadiana, op.cit., h. 3. 4

(18)

kritis.5 Hal ini menunjukkan bahwa sejak dulu kemampuan berpikir kritis menjadi salah satu tujuan dalam penyusunan kurikulum.

Berpikir kritis matematik menurut Glazer memuat “kemampuan dan disposisi yang dikombinasikan dengan pengetahuan, kemampuan penalaran matematik, dan strategi kognitif sebelumnya, untuk dapat menggeneralisasikan, membuktikan, mengakses situasi matematik secara reflektif.”6 Hal ini berarti bahwa peserta didik dituntut untuk menggunakan pengetahuan yang dimiliki, melatih kemampuan bernalar, dan mengembangkan strategi kognitif untuk dapat menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi sehingga tingkat intelektual peserta didik pun dapat meningkat.

Kemampuan berpikir kritis juga sangat diperlukan ketika para peserta didik sudah terjun pada kehidupan bermasyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, pernyataan Wahab menyebutkan bahwa, alasan pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:

(1) Tuntutan zaman yang menuntut setiap orang dapat mencari, memilih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara; (2) setiap orang senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif; (3) kemampuan memandang suatu hal dengan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah; dan (4) berpikir kritis merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar seseorang di satu pihak dapat bersaing secara adil dan di pihak lain dapat bekerja sama dengan bangsa lain.7

Uraian di atas menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika sangatlah penting.

Fakta-fakta di lapangan menyatakan bahwa penguasaan siswa dalam pembelajaran matematika masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil PISA (Programme for international Student Assesment), sebagai berikut: Programme for International Student Assesment (PISA) di bawah Organization Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2012 mengeluarkan survey bahwa Shanghai–China memiliki nilai tertinggi dalam matematika diikuti oleh

5

Ibid., h. 1.

6Utari Sumarmo, “berpikir dan disposisi matematik : apa, mengapa, dan bagaimana dikembangkan pada peserta didik”, FPMIPA UPI, 2010 h. 9.

7

(19)

Singapura dan Hongkong-Cina. Rata-rata di Negara-negara OECD, 13% dari siswa Top Performer dalam matematika berada pada level 5 atau 6 yaitu mereka mampu mengembangkan dan bekerja dengan model untuk situasi yang kompleks, dan bekerja secara strategis, penalaran keterampilan, dan pemikiran mendalam berkembang dengan baik. Persentasi siswa Shanghai-Cina yang mampu menyelesaikan soal-soal level 5 dan level 6 adalah 55,4% sedangkan siswa Indonesia hanya 0,3%.

Selain itu siswa yang hanya bisa menyelesaikan soal-soal dibawah level 2 di Shanghai-Cina hanya 3,8% sedangkan siswa Indonesia 75,7%.8 Itu berarti kemampuan siswa Indonesia relatif tinggi dalam menyelesaikan soal-soal prosedural tetapi relatif rendah dalam menyelasaikan soal-soal yang membutuhkan kemampuan berpikir lebih tinggi, seperti mengidentifikasi, menganalisis, bernalar, serta mengembangkan strategi dalam penyelesaian masalah. Kemampuan tersebut merupakan aspek-aspek dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis.

Selanjutnya, Hasil survey International Trend Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011, rata-rata persentasi peserta didik Indonesia adalah pada dominan kognitif pada level penalaran (reasoning) yaitu 17%, sedangkan negara Singapura, Korea dan Jepang rata-rata persentasinya berturut-turut adalah 62%, 65%, dan 56%.9 Kemampuan penalaran sangat dibutuhkan peserta didik dalam mengembangkan konsep matematika untuk masalah yang kompleks, mengkomunikasikan masalah secara logis, menyimpulkan dan menggunakan informasi dari masalah untuk menyelesaikan masalah matematika yang diberikan. Menurut Pendapat Glazer penalaran matematika merupakan aspek dalam berpikir kritis.10 Hasil penelitian Priatna pada tahun 2003 juga menunjukkan bahwa kemampuan penalaran siswa pada SLTP

8

Programme for International Student Assesment (PISA) 2012 Result In Focus, OECD. h. 5.

9

R. Rosnawati, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, UNY, (Yogyakarta, 2013), h. 2.

10

(20)

Negeri yang memiliki kualitas kurang dan sedang di kota Bandung masih belum memuaskan, hanya mencapai sekitar 30% sampai 50% dari skor ideal.11

Selain itu, dapat dilihat dari hasil wawancara yang telah dilakukan peneliti kepada guru matematika di salah satu SMP di Tangerang, yang kemudian disimpulkan bahwa selama proses pembelajaran berlangsung sebagian besar siswa masih enggan untuk mengeluarkan argumen dan mengajukan pertanyaan padahal masih ada materi yang belum mereka pahami. Siswa juga jarang memberikan alasan-alasan yang sesuai dengan konsep matematika pada jawaban yang mereka berikan, kemampuan siswa dalam menarik suatu kesimpulan juga masih kurang, siswa cenderung kesulitan untuk menuliskan langkah-langkah penyelesaian dalam menjawab soal, dan siswa belum dapat menganalisis dan mengidentifikasi suatu masalah dengan lebih mendalam sehingga apabila siswa diberikan soal yang sulit mereka malas untuk mengerjakannya.

Selain wawancara, peneliti juga melakukan tes kemampuan berpikir kritis matematis kepada siswa kelas IX pada sekolah tersebut. Peneliti memberikan dua soal berpikir kritis.

1. Anton menyatakan bahwa ia telah membagi persegi panjang berikut menjadi 4 daerah yang sama luasnya.

Santi tidak setuju dengan pendapat Anton. Siapakah yang benar? Jelaskan alasannya menggunakan konsep matematika yang sesuai!

2. Terdapat dua buah segitiga. Segitiga pertama adalah sebuah segitiga siku-siku, sedangkan semua sisi segitiga kedua panjangnya adalah 3 kalinya dari sisi segitiga pertama. Apakah dapat disimpulkan bahwa segitiga kedua adalah segitiga siku-siku juga? Jelaskan menggunakan konsep matematika yang sesuai!

Berikut beberapa jawaban siswa untuk soal nomor 1:

Siswa 1: Yang benar adalah Santi, karena 4 daerah yang di kotak tidak sama semua luasnya. Segitiga yang atas dan bawah lebih lebar, sedangkan segitiga kiri dan kanan lebih kecil.

Siswa 2: Santi, karena 2 segitiga yang sama dan yang lain berbeda. Siswa 3: Santi, karena panjang dan lebar berbeda.

11Priatna, “

(21)

Berdasarkan ketiga jawaban tersebut, siswa salah dalam mengidentifikasi pernyataan yang dikemukakan oleh Anton dan siswa juga tidak memberikan alasan yang sesuai dengan konsep luas persegi panjang dan luas segitiga. Siswa hanya memberikan jawaban berdasarkan pengamatan langsung dari gambar tersebut. Selanjutnya adalah beberapa jawaban siswa untuk soal nomor 2:

Siswa 1: Iya, karena ukurannya saja yang berbeda.

Siswa 2: Ya segitiga siku-siku juga, karena bentuknya yang sama.

Siswa 3:Iya, sama-sama segitiga siku-siku, hanya yang membedakan segitiga yang kedua gambarnya 3 kali lebih besar dibandingkan dengan segitiga yang pertama.

Berdasarkan jawaban siswa 1 dan siswa 2 tersebut, mereka sudah benar dalam membuat kesimpulan, tetapi siswa kurang tepat dalam memberikan alasan-alasan pendukung untuk kesimpulan tersebut. Dari 27 siswa hanya 2 siswa yang memberikan jawaban hampir mendekati benar, salah satu contohnya adalah jawaban siswa 3 di atas.

Berdasarkan hasil pra penelitian di atas, membuktikan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa masih tergolang rendah. Hal tersebut diduga karena guru hanya memberikan soal-soal prosedural dan menggunakan model pembelajaran yang kurang tepat sehingga kurang adanya aktivitas berpikir kritis selama proses pembelajaran berlangsung. Berpikir kritis tidak dibiasakan sejak usia dini. Bahkan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama masih jarang sekolah yang membiasakan siswanya untuk berpikir kritis. Dalam jurnalnya Billy Suandito mengatakan bahwa pada kenyataannya kebanyakan guru di sekolah cenderung memberikan masalah-masalah rutin, yaitu masalah yang mempunyai prosedur penyelesaian yang biasa seperti contoh-contoh yang diberikan.12 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa siswa dapat langsung menyelesaikan soal hanya dengan melihat contoh yang diberikan sebelumnya tanpa harus berpikir terlebih dahulu,

Soal-soal non rutin sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Soal non rutin adalah soal yang penyelesaiannya diperlukan pemikiran lebih lanjut karena prosedurnya tidak sejelas atau tidak sama dengan

(22)

prosedur yang dipelajari dalam contoh. Dengan kata lain, soal non rutin ini

menyajikan situasi baru yang belum pernah dijumpai oleh siswa sebelumnya,

sehingga untuk sampai pada prosedur yang benar diperlukan pemikiran yang lebih

mendalam.13

Penyebab lainnya adalah proses pembelajaran matematika yang diterapkan dikelas masih berpusat pada guru. Padahal dalam standar proses pendidikan disebutkan bahwa pembelajaran didesain untuk membelajarkan siswa, artinya sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagai subjek belajar.14 Itu artinya siswa juga harus terlibat dalam proses pembelajaran agar kemampuan berpikir siswa juga dapat dilatih dan dikembangkan dalam proses pembelajaran.

Model pembelajaran yang tepat untuk membantu peran guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, yaitu model pembelajaran yang memungkinkan siswa berpikir lebih banyak dalam proses pembelajaran dan belajar bagaimana mengkonstruksi konsep matematika, terlibat dalam proses pembelajaran, dapat menganalis dan mengidentifikasi suatu masalah dengan lebih mendalam, menentukan strategi dan langkah-langkah penyelesaian, mengemukakan argumennya, sampai membuat kesimpulan. Dengan proses pembelajaran seperti itu kemampuan berpikir siswa dapat berkembang terutama kemampuan berpikir kritis matematisnya.

Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis untuk memperbaiki kualitas pendidikan, yaitu model pembelajaran learning cycle 5e. learning cycle 5e dinilai sebagai proses pembentukan pengetahuan dan merupakan model pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Teori konstruktivisme menekankan peserta didik untuk membangun pengetahuannya sendiri dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik sebelumnya. Belajar juga merupakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya

13

Erman Suherman, Strategi Pembelajaran matematika Kontemporer, (Bandung: JICA-UPI, 2001), h. 87.

14

(23)

dengan pengetahuan yang dimiliki, dengan demikian pengetahuannya menjadi berkembang.

Tahapan model pembelajaran ini adalah engage, explore, explain, elaborate, dan evaluate. Melalui tahapan-tahapan berikut kemampuan berpikir kritis matematis siswa dapat dilatih dan dikembangkan. Tahap engage bertujuan mempersiapkan diri peserta didik agar terkondisi dalam menempuh tahap berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Pada tahap ini minat dan keingintahuan siswa juga berusaha dibangkitkan agar siswa lebih tertarik untuk terlibat dalam proses pembelajaran dan siswa juga akan lebih fokus dalam mengamati permasalahn yang diberikan. Pada tahap berikutnya yaitu explore siswa akan mengkonstruksi konsep yang akan dipelajari melalui masalah yang diberikan dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Siswa akan mendiskusikan permasalahan yang tertera pada LKS yang di dalamnya terdapat pertanyaan-pertanyaan yang menuntut siswa untuk mengemukakan gagasan mereka yang disertai dengan alasan yang logis sehingga kemampuan berpikir siswa dapat terlatih dan berkembang.

(24)

Model pembelajarn learning cycle 5e ini sebenarnya telah dikembangkan lagi oleh eisenkraft menjadi learning cycle 7e. Tahap engage pada learning cycle 5e dikembangkan menjadi dua tahap pada learning cycle 7e, yaitu elicit dan engage, sedangkan tahap elaborate dan evaluate dikembangkan menjadi tiga tahap yatu elaborate, evaluate, dan extend. Sehingga pada model pembelajaran learning cycle 7e memiliki tujuh tahapan, yaitu elicit, engage, explain, elaborate, evaluate, dan extend.15 Dari ketujuh tahapan tersebut dapat terlihat bahwa terdapat dua tahapan yang tidak ada pada learning cycle 5e, yaitu tahap elicit dan extend. Tahap elicit merupakan tahap untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar timbul respon dari pemikiran siswa, sedangkan tahap extend merupakan tahapan untuk memperluas atau memperpanjang penerapan konsep yang telah dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah atau yang belum mereka pelajari. Aktifitas siswa dalam tahap engage pada learning cycle 5e memuat tahap elicit pada learning cycle 7e, dan aktifitas siswa dalam tahap evaluate pada learning cycle 5e memuattahap extend pada learning cycle 7e. Dengan demikian, model pembelajaran learning cycle 5e memang memiliki tahapan yang lebih sedikit dibandingkan dengan model pembelajaran learning cycle 7e, namun secara garis besar proses pembelajaran siswa di kelas sama dengan proses pembelajaran pada model pembelajaran learning cycle 7e. Oleh karena itu, peneliti menggunakan model pembelajaran learning cycle 5e pada penelitian ini.

Berdasarkan uraian di atas, yang menjelaskan bahwa tahapan-tahapan model pembelajaran learning cycle 5e dapat menimbulkan rasa ingin tahu siswa, sehingga siswa menjadi aktif karena pembelajaran yang terfokus pada siswa, guru hanya memberi arahan serta menjadi fasilitator saja, Siswa juga akan lebih banyak berdiskusi dan bereksplorasi sehingga kemampuan berpikir siswa dapat dilatih dan dikembangkan, siswa juga dilatih untuk dapat mengkomunikasikan pendapat-pendapat mereka dan membuat suatu kesimpulan dari suatu konsep yang mereka

15

(25)

konstruksikan sendiri. Hasil-hasil penelitian tentang penerapan learning cycle 5e pada pembelajaran matematika menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa tentang matematika menjadi lebih baik, konsep diingat lebih lama, meningkatkan kemampuan bernalar dan ketrampilan proses menjadi lebih baik. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian skripsi Oktaviani Dwi Astuti juga menunjukkan bahwa model pembelajaran learning cycle 5e mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada mata pelajaran kimia.

Kemampuan siswa dalam memberikan alasan yang logis, mengidentifikasi suatu keputusan, memberikan penjelasan lebih lanjut dan menentukan strategi dengan merumuskan langkah-langkah penyelesaian merupakan indikator dari kemampuan berpikir kritis, sehingga diharapkan melalui model pembelajaran learning cycle 5e ini kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilatih dan dikembangkan. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, peneliti bermaksud mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Model

Pembelajaran Learning Cycle 5E Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis

Matematis Siswa”.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukaan di atas maka dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :

1. Pembelajaran matematika di kelas lebih terpusat pada guru, sehingga siswa cenderung hanya menyalin apa yang guru berikan tanpa memahami konsep, aturan atau prinsip matematika yang dipelajari.

2. Siswa belum bisa mengkonstruksi suatu konsep matematika sendiri, karena guru kurang memfasilitasi siswa dengan model pembelajaran yang mendukung.

3. Guru cenderung menggunakan soal-soal non rutin.

4. Siswa belum dapat memberikan alasan-alasan yang logis mengenai jawaban yang mereka kemukakan.

(26)

6. Pembelajaran metematika yang biasa diterapkan dikelas kurang memberi peluang bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya, terutama kemampuan berpikir kritis siswa.

7. Rendahnya kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

C.

Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas maka dalam penelitian ini perlu diadakan pembatasan masalah agar penelitian ini terarah dan tidak menyimpang dari apa yang akan dibahas, yaitu :

1. Kemampuan berpikir kritis matematis yang akan diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada 4 indikator, yaitu:

a. Memberikan alasan

Siswa dapat memberikan alasan yang sesuai dengan konsep matematika mengenai jawaban yang dikemukakan.

b. Mengidentifikasi suatu keputusan.

Siswa dapat mengidentifikasi suatu keputusan dari suatu permasalahan. c. Memberikan penjelasan lebih lanjut

Siswa mempu menggunakan konsep untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dari suatu pernyataan.

d. Merumuskan langkah-langkah penyelesaian

Siswa mampu membuat solusi dari permasalahan berdasarkan konsep yang terlibat dengan menuliskan langkah-langkah penyelasiaannya.

2. Model pembelajaran yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran learning cycle 5e.

3. Model pembelajaran yang digunakan pada kelas kontrol adalah model pembelajaran konvensional, yaitu metode pembelajaran ekspositori.

4. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII.

(27)

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Apakah kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle 5e lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang diberikan model pembelajaran konvensional?.

E.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

F.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis.

a. Mengetahui pengaruh model pembelajaran learning cycle 5e terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

b. Meningkatkan pemahaman terhadap berbagai aspek pembelajaran learning cycle 5e dan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika.

(28)

12

A.

Deskripsi Teoritik

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Secara umum, “berpikir didefinisikan sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh pengetahuan.”1 Kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman yang bermakna melalui persoalan pemecahan masalah. Sejalan dengan pendapat tersebut Ruggiero mengemukakan bahwa “berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat keputusan atau memenuhi hasrat keingintahuan.”2 Hal ini menunjukkan ketika seseorang merumuskan suatu masalah, memecahkan suatu masalah, ataupun ingin memahami sesuatu hal, itu artinya ia sedang melakukan aktivitas berpikir. Dikaitkan dengan aplikasinya aktivitas berpikir dapat berupa pembentukan konsep, bernalar, membuat keputusan, memecahkan masalah, dan berpikir secara kritis, serta berpikir kreatif.3 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah sebuah aktivitas mental dalam mengolah informasi sehingga menghasilkan suatu pengetahuan dan keputusan yang digunakan dalam menyelesaikan suatu masalah.

Tatag dalam bukunya mengatakan bahwa “berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif.”4 Berpikir kritis dan kreatif merupakan berpikir tingkat tinggi, karena kemampuan berpikir tersebut merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai oleh siswa di kelas. “Berpikir

1

Dina Mayadiana Suwarma, Suatu Alternatif Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematika, (Jakarta: Cakrawala Maha Karya, 2009), h. 3

2

Tatag Yuli Eko Siswono, Model pembelajaran Matematika Berbasis Pengajuan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif, (Surabaya: Unesa University Press, 2008) h. 13.

3

John W. Santrock, Psikologi Pendidikan,(Jakarta: Kencana, 2008), h. 357. 4

(29)

kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi.”5 Misalkan, informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki, bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan.

Ada beberapa definisi berpikir kritis menurut beberapa ahli. Johnson dalam bukunya tahun 2002 menjabarkan bahwa “definisi berpikir kritis sebagai sebuah proses yang terorganisir dan jelas yang digunakan dalam aktivitas mental seperti pemecahan masalah, pembuatan keputusan, menganalisis asumsi-asumsi, dan penemuan secara ilmiah”.6 Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menalar dalam langkah yang terorganisir. Ini merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematik kualitas menalar seseorang dibandingkan dengan yang lain. Menurut Lau &Chan dalam bukunya tahun 2009 mengatakan bahwa “berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara jelas dan rasional”.7 Berpikir kritis meliputi kemampuan untuk terlibat dalam berpikir reflektif dan independen. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan siap untuk:8

1. Memahami hubungan logis antar ide,

2. Mengidentifikasi, mengkonstruk, dan mengevaluasi perbedaan-perbedaan pendapat,

3. Mendapatkan ketidakkonsistenan dan kesalahan-kesalahan umum dalam penalaran,

4. Memecahkan masalah secara sistematis,

5. Mengidentifikasi ide-ide yang relevan dan penting,

6. Merefleksi kebenaran dari kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini seseorang.

Menurut John Dewey yang dikenal sebagai bapak tradisi berpikir kritis modern, menyatakan bahwa “berpikir kritis adalah pertimbangan yang aktif, terus menerus dan teliti mengenai suatu pengetahuan yang tidak diterima begitu saja tetapi harus disertai dengan alasan-alasan yang mendukung dan

5

Ibid,. h.14

6Tina Yunarti, “Pengajaran Berpikir Kritis”, Seminar Nasional Pembejaran Matematika Sekolah (FMIPA UNY), Yogyakarta, 6 Desember 2009, h. 240.

7 Ibid. 8

(30)

kesimpulan yang rasional”.9 Dengan demikian, seseorang yang memiliki ketrampilan berpikir kritis mampu untuk tidak terburu-buru menerima suatu hal, melainkan selalu mencermatinya lebih dahulu (teliti) sebelum menyimpulkan sesuatu, dan selalu memeriksa setiap informasi berdasarkan bukti pendukungnya serta kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Dengan kata lain, berpikir kritis dapat membebaskan seseorang dari kebiasaan menerima berbagai informasi dan kesimpulan tanpa mempertanyakannya.

Sejalan dengan pendapat John Dewey tersebut, Watson dan Glaser memandang bahwa “berpikir kritis sebagai gabungan dari sikap, pengetahuan, dan keahlian”.10 Sikap maksudnya adalah sikap menyelidiki yang melibatkan kemampuan merekognisi kebenaran masalah dan menerima kebutuhan umum akan bukti dalam mendukung apa yang ditegaskan menjadi benar. Pengetahuan yaitu pengetahuan umum tentang pengambilan kesimpulan-kesimpulan valid, abstraksi-abstraksi, dan generalisasi yang berbobot atau ketepatan jenis bukti ditentukan secara logis. Dan tentunya dibutuhkan keahlian-keahlian dalam memperkerjakan dan menerapkan sikap-sikap tersebut.

Fawcett dalam bukunya The Nature of Proof, mencatat pola-pola siswa yang menggunakan kemampuan berpikir kritis antara lain :11

1. Memilih kata-kata yang penting, memfrasekan kata-kata ini dalam beberapa pernyataan penting, dan mendefinisikan secara jelas kata-kata tersebut.

2. Mensyaratkan bukti dari suatu kesimpulan sehingga kesimpulan ini dapat dipertahankan.

3. Menganalisis bukti dan perbedaan antara fakta dan asumsi.

4. Merekognisi asumsi penting baik yang dinyatakan maupun tidak dinyatakan untuk mendukung suatu kesimpulan.

5. Mengevaluasi, menerima, dan menolak asumsi.

6. Mengevaluasi argumen, dan menerima atau menolak kesimpulan

7. Memeriksa asumsi yang melatarbelakangi keyakinan dan tindakan-tindakan secara konsisten.

9

Kasdin Sitohang, Critical Thinking: Membangun Pemikiran Logis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2012) h. 3.

10

Dina Mayadiana Suwarma, Suatu Alternatif Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Matematika, (Jakarta: Cakrawala Maha Karya, 2009), h. 17.

11

(31)

Berpikir kritis sangat dibutuhkan oleh setiap individu untuk menyikapi permasalahan kehidupan yang dihadapi. Kemampuan berpikir kritis dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, dan memperbaiki pemikiran seseoranng sehingga ia dapat bertindak lebih tepat. Hal tersebut senada dengan pendapat Splitier tentang seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis merupakan individu yang berpikir, bertindak, dan bernalar tentang kualitas kebenaran dari apa yang mereka lihat, dengar, dan yang mereka pikirkan.12

Robert Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses berpikir yang terjadi pada seseorang yang bertujuan untuk membuat keputusan-keputusan yang masuk akal mengenai sesuatu yang dapat ia yakini kebenarannya serta dapat menentukan tindakan yang akan dilakukan nanti.13 Seseorang dalam suatu kondisi tertentu pasti selalu diminta untuk membuat keputusan. Hal ini biasanya terjadi jika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan keputusan yang mungkin, dan dia harus mempertimbangkan manakah yang terbaik dari sekian pilihan tersebut. Misalkan, untuk membuat suatu keputusan dalam memilih suatu strategi atau suatu teorema dalam matematika untuk membuktikan suatu pernyataan harus didasarkan pada informasi yang diketahui serta sifat-sifat matematika yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, jika suatu keputusan didasarkan pada informasi serta asumsi yang benar, maka akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar pula.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dipahami bahwa berpikir kritis adalah suatu aktivitas mental dalam memperoleh pengetahuan secara lebih mendalam melalui proses menganalisis dan menunjukkan alasan-alasan yang logis tentang informasi yang kita terima sehingga menghasilkan suatu keputusan yang baik untuk menyelesaikan suatu masalah.

Istilah berpikir matematis (mathematical thinking) diartikan sebagai cara berpikir berkenaan dengan proses matematika (doing math) atau cara berpikir dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task) baik yang sederhana

12

Ibid., h. 11.

(32)

maupun yang kompleks.14 Jadi berpikir kritis matematis adalah berpikir kritis yang berkenaan dengan proses matematika (doing math) dalam menyelesaikan tugas matematika (mathematical task) dengan tujuan untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam.

Salah satu contoh kasus berpikir kritis matematis, misalnya „Andi dan Lian diberikan tugas dari guru untuk membaca buku. Andi membaca 16 halaman dalam satu jam, dan Lian dapat membaca 12 halaman dalam satu jam. Jika mereka membaca tak berhenti, dan Andi mulai membaca pada jam 13.00, sedangkan Lian mulai jam 12.00, pada jam berapa mereka sama-sama menghabiskan halaman bacaan yang sama banyak?‟ Pertanyaan pada kasus tersebut belum mengarah pada kemampuan berpikir kritis agar menjadi pertanyaan berpikir kritis, kita dapat

mengubah situasi ini dengan mengajukan pertanyaan “Bagaimana jika…?”,

misalkan: „Bagaimana jika mereka mulai membaca pada saat yang sama, akankah mereka menyelesaikan sejumlah halaman yang sama pada jam tertentu?‟ atau

„Bagaimana jika mereka membaca seterusnya, dapatkah mereka menyelesaikan jumlah halaman yang sama pada kali kedua, atau ketiga?‟

Kemampuan berpikir matematis setiap peserta didik berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan suatu indikator sehingga kita dapat menilai tingkat berpikir kritis peserta didik. Ada beberapa kelompok kemampuan berpikir kritis, salah satunya menurut Ennis dalam buku Dina mengelompokan kemampuan berpikir kritis menjadi lima kemampuan berpikir15, yaitu:

1. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), 2. Membangun keterampilan dasar (basic support),

3. Membuat inferensi (inferring),

4. Membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), 5. Mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics).

14

Ibid., h. 4. 15

(33)

Tabel 2.1

c. Mengidentifikasi alasan(sebab) yang tidak dinyatakan(implisit)

d. Mengidentifikasi ketidakrelevanan dan kerelevanan

e. Mencari persamaan dan perbedaan f. Mencari struktur suatu argumen g. Merangkum

b. Apa intinya, apa artinya

c. Apa contohnya, apa yang bukan contoh d. Bagaimana menerapkannya dalam kasus

tersebut

e. Perbedaan apa yang menyebabkannya f. Akankah andah menyatakan lebih dari itu

Membangun

b. Tidak ada konflik internal c. Kesepakatan antar sumber d. Reputasi

e. Mengurutkan prosedur yang ada f. Mengetahui resiko

a. Ikut terlibat dalam menyimpulkan b. Dilaporkan oleh pengamat sendiri c. Mencatat hal-hal yang diinginkan d. Penguatan(collaboration) dan

kemungkinan penguatan e. Kondisi akses yang baik

(34)

Keterampilan

b. Membuat kesimpulan dan hipotesis

Membuat dan

a. Bentuk : sinonim, klarifikasi, rentang ekspresi yang sama

b. Strategi definisi (tindakan mengidentifikasi persamaan)

c. Isi (content) Mengidentifikasi

asumsi.

a. Penalaran secara implisit

b. Asumsi yang diperlukan rekonstruksi argument

d. Memutuskan hal-hal yang akan dilakukan secara alternatif

2) Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah masalah,

3) Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, 4) Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan,

16

(35)

5) Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, 6) Menganalisis data,

7) Mengevaluasi pernyataan pernyataan,

8) Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah, 9) Menarik kesimpulan,

10)Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil,

11)Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas,

12)Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan definisi operasional berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses berpikir yang melibatkan proses menganalisis, mengevaluasi, sampai membuat keputusan untuk menyelesaikan masalah matematika. Berdasarkan definisi operasional tersebut dapat diturunkan menjadi beberapa indikator berpikir kritis yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Memberikan alasan

Siswa dapat memberikan alasan yang sesuai dengan konsep matematika mengenai jawaban yang dikemukakan.

2. Mengidentifikasi suatu keputusan.

Siswa dapat mengidentifikasi suatu keputusan dari suatu permasalahan. 3. Memberikan penjelasan lebih lanjut

Siswa mempu menggunakan konsep untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dari suatu pernyataan.

4. Merumuskan langkah-langkah penyelesaian

Siswa mampu membuat solusi dari permasalahan berdasarkan konsep yang terlibat dengan menuliskan langkah-langkah penyelesaiannnya.

2. Pembelajaran Matematika

Istilah matematika berasal dari bahasa yunani, mathematike, yang berarti

“relating to learning” dan mempunyai akar kata mathema yang artinya

(36)

serupa, yaitu mathanein yang mengandung arti belajar (berpikir).17 Belajar yang dimaksud disini adalah belajar dengan bernalar, karena matematika lebih menekankan pada aktivitas rasio (penalaran). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Erman dalam bukunya, dia mengatakan bahwa “pada awalnya matematika terbentuk dari pengalaman manusia yang kemudian diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif sehingga sampailah pada suatu kesimpulan berupa konsep-konsep

matematika.”18 Menurut Fontana “Belajar adalah proses perubahan tingkah laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman”.19

Matematika adalah pelajaran tentang ide atau konsep serta hubungan yang ada diantara konsep tersebut. Konsep matematika tidak hanya dihafalkan tetapi harus dipahami secara bermakna melalui proses bernalar, proses berkomunikasi serta aktivitas pemecahan masalah. Reys, dkk dalam bukunya tahun 1973

mengatakan bahwa “matematika adalah telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat”.20

Matematika merupakan suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir logis, analisis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Oleh karena itu, matematika sangat diperlukan baik untuk kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi perkembangan IPTEK sehingga matematika perlu diajarkan kepada siswa disekolah sejak dini. Fungsi mata pelajaran matematika sekolah ada tiga yaitu:21

1. Matematika sebagai alat, siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi misalnya melalui persamaan-persamaan atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.

17

(37)

2. Matematika sebagai pola pikir, bagi para siswa belajar matematika juga merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun penalaran suatu hubungan di antara pengertian-pengertian itu.

3. Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan, guru harus mampu menunjukkan betapa matematika selalu mencari kebenaran dan bersedia meralat kebenaran yang telah diterima bila ditemukan kesempatan untuk mencoba mengembangkan penemuan-penemuan sepanjang mengikuti pola pikir yang sah.

Menurut Cobb, belajar matematika merupakan proses di mana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.22 Berarti belajar matematika merupakan usaha siswa untuk membangun konsep-konsep matematika dengan kemampuannya sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah proses perubahan tingkah laku dan cara berpikir siswa dalam membangun konsep matematika itu sendiri serta bagaimana siswa dapat menghubungkan antar konsep tersebut atau dengan kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengembangkan dan menghasilkan suatu konsep baru, serta dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

(38)

2. Model Pembelajaran Learning Cycle 5E

Pergeseran paradigma pendidikan dari behavioristik menuju konstruktivistik melahirkan model, metode, pendekatan, dan strategi-strategi baru dalam sistem pembelajaran khususnya dalam pembelajaran matematika. Learning cycle merupakan model pembelajaran yang berbasis konstruktivisme dan dikembangkan oleh Robert Karplus dalam Science Curriculum Improvement Study/SCIS.24 Teori konstruktivisme menekankan agar peserta didik secara aktif menyusun dan membangun (to Construct) pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri.25 Artinya, pengetahuan tidak diberikan secara langsung dari sumber melainkan siswa harus membangun sendiri dan menemukan sendiri pengetahuannya dengan dasar pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya.

Menurut pandangan konstruktivis, “guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran siswa, akan tetapi guru harus mendorong siswa untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, dan berpikir secara kritis.”26 Peserta didik melalui pembelajaran konstruktivisme diharapkan dapat menganalisis, membandingkan, menggeneralisasi, hingga mengambil kesimpulan dari masalah yang ada. Peran guru sebagai fasilitator dan motivator belajar peserta didik, menata lingkungan belajar peserta didik agar dapat melakukan kegiatan belajar mengajar sebaik-baiknya. Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran mendukung peserta didik untuk membangun pengetahuannya sendiri sehingga pembelajaran akan berpusat pada peserta didik bukan pada guru. Learning cycle juga sejalan dengan teori belajar piaget, yang juga membahas teori belajar konstruktivisme.

Piaget mengatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan respon perkembangan intelektual

24

Made Wena, StrategiPembelajaran Inovatif Kontemporer, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2009) h. 170.

25

Jhon W. Santrock, Psikologi Pendidikan, ( Jakarta: Kencana, 2008 ), h. 8. 26

(39)

yang mencakup adaptasi dan organisasi, proses adaptasi terdiri atas akomodasi dan asimilasi. 27

Peserta didik melalui proses asimilasi akan menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Peserta didik akan berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Selanjutnya, struktur mental peserta didik melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental, yang disebut dengan proses akomodasi. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep baru yang dipelajari dengan konsep-konsep yang telah dimilikinya.

Kemudian Karplus dan Their, mengimplementasikan teori piaget tersebut menjadi 3 tahap learning cycle, yaitu eksplorasi, pengenalan konsep dan aplikasi konsep, tiga langkah tersebut memberikan siswa kesempatan untuk mengasimilasi informasi, mengakomodasi informasi, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki.28

Selanjutnya tiga langkah tersebut dikembangkan menjadi 5 langkah. Wena dalam bukunya mengatakan bahwa learning cycle merupakan model pembelajaran dengan tiga tahapan yaitu eksplorasi, pengenalan konsep dan penerapan konsep, kemudian dikembangkan oleh Lorsbach menjadi lima tahap; engage, explore, explain, elaborate, dan evaluate atau lebih dikenal dengan learning cycle 5e.29 Model pembelajaran learning cycle 5e juga berlandaskan teori konstruktivisme karena merupakan pengembangan dari model pembelajaran learning cycle.

Kelebihan learning cycle lima fase dibandingkan dengan learning cycle tiga fase adalah pada tahap engage dan tahap evaluate, karena pada learning cycle tiga fase tidak terdapat tahap tersebut. Kedua tahap ini juga sangat penting dalam

27

Ngalimun, Strategi dan Model Pembelajaran, (Banjarmasin: Aswaja Pressindo, 2012), Cet.1, h. 147.

28

Ibid., h. 148. 29

(40)

proses pembelajaran karena dengan adanya tahap engage siswa diajak untuk terlibat langsung dalam proses pembelajaran sehingga minat dan keingintahuan siswa dapat dibangkitkan. Selain itu, pada tahap ini guru juga dapat mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada pengetahuan siswa yang berhubungan dengan materi yang akan kita pelajari. Kemudian pada tahap evaluate, siswa dapat mengetahui kelebihan dan kekurangaan mereka dalam proses pembelajaran, pengetahuan mereka dalam materi, dan siswa juga dilatih untuk membuat dan mengidentifikasi hasil keputusan berdasarkan pengetahuan yang didapat dari hasil pertimbangan pada tahap-tahap sebelumnya.

Model pembelajaran learning Cycle 5e memiliki tahapan-tahapan pembelajaran. Tahapan-tahapan learning cycle 5e sebagai berikut:

a. Engage ( Terlibat )

Tahap engage merupakan tahap awal dari tahap learning cycle 5e. Siswa melalui tahap ini diajak terlibat dalam proses pembelajaran, guru berusaha membangkitkan minat serta keingintahuan siswa tentang topik yang akan diajarkan. Hal ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan tentang proses faktual dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan topik bahasan.30 Minat dan keingintahuan siswa ditingkatkan dengan memberikan ilustrasi masalah kehidupan sehari-hari yang dapat diselesaikan dengan menghubungkan masalah tersebut dengan konsep matematika sehingga siswa tertarik untuk mengikuti proses pembelajaran. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu cenderung memberikan perhatian yang lebih besar kepada hal tersebut.

Selain itu, pada tahap ini guru juga melakukan identifikasi pengetahuan awal siswa melalui tanya jawab antara guru dengan siswa.31 Guru memberikan sejumlah pertanyaan yang dapat mengidentifikasi pengetahuan awal siswa yang berkaitan dengan konsep yang akan dipelajari untuk mengetahui ada atau tidaknya miskonsepsi siswa terhadap pengetahuan awal siswa yang nantinya

30 Ibid. 31

(41)

akan dijadikan pijakan bagi siswa dalam mempelajari pengetahuan baru pada tahap selanjutnya.

b. Explore ( Menyelidiki/ Eksplorasi )

Siswa melalui tahap ini diberikan kesempatan untuk melakukan eksplorasi pengetahuan mereka dengan cara berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil antara 3-4 orang tanpa pembelajaran langsung oleh guru.32 Guru memberikan permasalahan kepada setiap kelompok, kemudian siswa didorong untuk menguji hipotesis atau membuat hipotesis baru, melakukan, dan menganalisis semua informasi yang ada.33 Guru dalam tahap ini berperan sebagai fasilitator dan motivator.

Selain itu, siswa juga dilatih untuk saling bertukar pendapat mengenai ide-ide atau gagasan matematika yang mereka miliki dan menuliskan ide-ide-ide-ide matematika sebagai jalan bagi siswa dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Selanjutnya, siswa dapat menentukan strategi yang tepat untuk menemukan konsep dengan menggunakan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, siswa akan terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, sekaligus kemampuan berpikir siswa juga dapat dilatih dan dikembangkan.

c. Explain ( Penjelasan )

Guru meminta siswa agar menjelaskan suatu konsep dengan kalimat dan hasil pemikiran mereka sendiri, meminta alasan dari penjelasan siswa terhadap hasil diskusi kelompok dalam tahap eksplorasi, dan saling mendengarkan secara kritis penjelasan antar siswa atau guru.34

d. Elaborate ( Menerapkan )

Siswa melalui tahap ini dilatih untuk mampu menerapkan apa yang telah dipelajari pada kondisi yang berbeda sehingga siswa dapat mengembangkan dan menguji ide-ide dengan lebih mendalam.35 Selain itu, pada tahap ini juga

32

Ibid., h. 147. 33

(42)

terjadi interaksi antar peserta didik untuk mengkonstruksikan pemahaman yang lebih mendalam. Siswa akan mengalami proses belajar bermakna karena dapat mengaplikasikan konsep yang telah dipelajari dalam situasi yang baru.

e. Evaluate ( Evaluasi )

Evaluate merupakan tahap akhir dari model pembelajaran learning cycle 5e. Guru mendorong siswa melakukan evaluasi diri, mamahami kekurangan/ kelebihannya dalam kegiatan pembelajaran. Dengan melakukan evaluasi diri, siswa dapat mengambil kesimpulan lanjut atas situasi belajar yang dilakukannya. Guru dapat menggunakan prosedur formal atau informal untuk melakukan evaluasi. Proses evaluasi secara informal dapat dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan terbuka dan mencari jawaban dengan menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan yang diperoleh sebelumnya.36 Selain itu, guru dapat memberikan tes tertulis kepada siswa untuk melakukan proses evaluasi secara formal.37 Tes tertulis dapat berupa pemberikan soal kuis kepada siswa yang dikerjakan secara individu. Kemudian melakukan pengoreksian bersama terhadap hasil pekerjaan siswa. Pengoreksian hasil kerja siswa dilakukan agar siswa dapat melakukan evaluasi diri dan menganalisis kekurangan/ kelebihannya dalam kegiatan pembelajaran. Kemudian guru meminta siswa untuk menyimpulkan materi yang telah dipelajari dari hasil pertimbangan yang dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya.

Selanjutnya, model pembelajaran learning cycle 5e dikembangkan lagi oleh Eisenkraft menjadi learning cycle 7e. Tahap engage pada learning cycle 5e dikembangkan menjadi dua tahap pada learning cycle 7e, yaitu elicit dan engage, sedangkan tahap elaborate dan evaluate dikembangkan menjadi tiga tahap yatu elaborate, evaluate, dan extend. Sehingga pada model pembelajaran learning cycle 7e memiliki tujuh tahapan, yaitu elicit, engage, explain, elaborate, evaluate,

36

Wena. Loc. cit. 37

(43)

dan extend.38 Dari ketujuh tahapan tersebut dapat terlihat bahwa terdapat dua tahapan yang tidak ada pada learning cycle 5e, yaitu tahap elicit dan extend. Tahap elicit merupakan tahap untuk mengetahui sampai dimana pengetahuan siswa terhadap pelajaran yang akan dipelajari dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pengetahuan awal siswa agar timbul respon dari pemikiran siswa. Sedangkan tahap extend merupakan tahapan untuk memperluas atau memperpanjang penerapan konsep yang telah dipelajari dengan cara menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah atau yang belum mereka pelajari.

Pada penelitian ini digunakan model pembelajaran learning cycle 5e karena tahap untuk mendatangkan kembali kemampuan awal siswa (elicit) termuat dalam tahap engage pada learning cycle 5e, dan tahap untuk memperluas penerapan konsep (extend) juga termuat dalam tahap evaluate pada learning cycle 5e, karena pada tahap evaluate sudah diberikan evaluasi berupa soal kuis yang juga merupakan perluasan dari penerapan konsep yang telah dipelajari. Dengan demikian, model pembelajaran learning cycle 5e lebih efisien untuk dilaksanakan pada setiap pertemuan karena tahapannya lebih sedikit namun efek terhadap proses pembelajaran sama besarnya dengan model pembelajaran learning cycle 7e.

Berdasarkan beberapa literatur yang menjelaskan tentang learning cycle 5e, dapat peneliti simpulkan bahwa pada pembelajaran learning cycle 5e, siswa dibimbing untuk membangun dan memperluas pengetahuan mereka dengan mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya sendiri terhadap masalah matematika dengan menggunakan pengetahuan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Selain itu, learning cycle 5e juga membuat proses pembelajaran menjadi aktif yaitu pembelajaran yang terfokus pada siswa, guru lebih sedikit memberikan ceramah dan hanya memberi arahan serta menjadi fasilitator saja. Siswa juga akan lebih banyak berdiskusi dan bereksplorasi sehingga kemampuan

38

(44)

berpikir siswa dapat dilatih dan dikembangkan. Maka model tersebut sangat ideal untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika.

Secara operasional langkah-langkah model pembelajaran learning cycle 5e yang digunakan dalam penelitian ini adalah engage, explore, explain, elaborate, dan evaluate.

1. Tahap Engage

a. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil (4-5 orang)

b. Guru membagikan LKS yang berisi ilustrasi tentang materi yang akan dipelajari yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari agar minat dan rasa ingin tahu siswa dapat dibangkitkan.

c. Siswa diminta untuk memperhatikan ilustrasi tersebut, kemudian menjawab beberapa pertanyaan terkait dengan ilustrasi tersebut.

d. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru dapat mengidentifikasi ada tidaknya miskonsepsi siswa pada materi sebelumnya yang berhubungan dengan materi yang akan dipelajari.

2. Tahap Explore

a. Setiap kelompok diberikan suatu permasalahan yang dikembangkan dari ilustrasi yang telah diberikan sebelumnya untuk membangun pengetahuan siswa tentang materi yang akan dipelajari. Melalui permasalahan ini diharapkan siswa dapat menemukan sendiri definisi, rumus, maupun ciri-ciri dari konsep yang akan dipelajari.

b. Siswa mengamati permasalahan, kemudian siswa mengikuti instruksi yang tertera pada LKS untuk langkah-langkah berikutnya dalam menyelesaikan masalah.

c. Siswa menjawab satu per satu pertanyaan yang tertera pada LKS yang menuntut siswa untuk dapat menggungkapkan gagasan yang disertai alasan yang logis.

(45)

e. Apabila ada kelompok yang bertanya, guru tidak langsung memberitahu, tetapi guru memberikan pertanyaan pengarah untuk membantu siswa sehingga siswa akan terus berpikir dalam proses pembelajaran.

3. Tahap Explain

a. Perwakilan dari beberapa kelompok maju untuk mempresentasikan atau menjelaskan konsep yang telah didiskusikan dalam kelompok dengan menyertakan alasan-alasan yang logis.

b. Kelompok lain mendengarkan secara kritis, maksudnya adalah kelompok lain yang mendengarkan diberikan kesempatan untuk bertanya kepada kelompok yang presentasi apabila ada yang ingin ditanyakan atau kelompok lain juga dapat menyanggah pendapat dari kelompok yang presentasi dengan syarat dapat memberikan alasan-alasan yang logis. c. Guru meluruskan hasil diskusi sehingga konsep yang dipelajari dapat

disepakati oleh semua siswa. 4. Tahap Elaborate

a. Setelah siswa mengetahui definisi, rumus, maupun ciri-ciri dari konsep tersebut, siswa diberikan permasalahan baru yang dikemas menjadi soal-soal berpikir kritis agar konsep yang telah dimiliki dapat diterapkan dan kemampuan berpikir kritis siwa juga dapat dikembangkan.

b. Siswa dapat menerapkan konsep yang sudah disepakati sebelumnya pada suatu permasalahan., ataupun mengembangkan konsep yang ada untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai suatu pernyataan.

c. Siswa menentukan strategi penyelesaian masalah dengan menuliskan langkah-langkah penyelesaian secara sistematis.

5. Tahap Evaluate

a. Guru memberikan soal kuis kepada para siswa. b. Siswa mengerjakan soal tersebut secara individu.

Gambar

Tabel 2.1 Keterampilan Berpikir Kritis
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Tabel 3.2
Tabel 3.3 Kriteria Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal timbul sengketa dimana suatu Negara Anggota telah menerima data dan informasi elektronik dari NSW Negara-negara Anggota lainnya dan telah mengarsip

(2010) yang membandingkan penggunaan algoritma Boyer-Moore dan algoritma Horspool pada pencarian string dalam bahasa medis telah dihasilkan dari pengujian dan

TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI” (Studi Komparatif pada Kelas XI IIS dan Lintas Minat Ekonomi di SMAN 12 Kota Bandung pada tahun ajaran

Temu kembali informasi bibliografi dengan bahasa alami pada field judul dan subjek : studi efektifitas katalog induk terpasang perpustakaan UGM.. Jurnal Berkala

Perhitungan kinerja reksadana saham dengan metode Sharpe dan Treynor menghasilkan 12 reksadana bernilai positif, artinya bahwa hanya 29,26% reksadana saham yang

Dengan ini kami Panitia Pengadaan Barang/Jasa RSUD Kabupaten Nunukan T.A.2012 dengan ini menyatakan sanggahan benar mengenai kekeliruan jadwal yang terlalu singkat dan kesalahan

Untuk metode Indeks Sentralitas Marshall, pembentukan orde wilayah 28 administrasi kecamatan berdasarkan karakteristik kekotaan yang ditinjau dari 19 fasilitas

Nyawanya meninggalkan tubuhnya dengan sebuah senyum khas di wajahnya dan video kamera mengambil gambar wajahnya dari berbagai sudut, sebagai bukti akan dua hal: (i) bahwa ini