• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. UNSUR SPIRITUALITAS KONGREGASI SUSTER-SUSTER

B. Riwayat Hidup, Keluarga dan Kepribadian Eduard Michelis

3. Kepribadian Eduard Michelis

Dari buku harian yang masih tersisa, yang ditulisnya ketika berada dalam penjara dan ketika berada di Luxemburg, nampak jelas bahwa Michelis mempunyai relasi yang sangat erat dan mendalam dengan Allah. Hidupnya sepenuhnya diarahkan dan dibaktikan kepada Allah melalui Gereja-Nya. Hal ini tampak dalam tulisannya dalam buku hariannya: “Hodie incipiam yang berarti hari ini aku mau memulai. Hendaknya persinggahan di seminari menjadi waktu keselamatan. Allah harus menjadi milik seluruh hidupku” (Leoni, 2017: 56). Michelis berjuang untuk melaksanakan kehendak Allah dan berpengharapan karena percaya akan Penyelenggaraan Ilahi yang ditanamkan oleh ibunya yang saleh. Pada zaman itu umat mempunyai devosi yang kuat pada Penyelenggaraan Ilahi. Betapa sering dalam pengalaman hidupnya, Michelis mengalami bimbingan Tuhan dengan jelas seperti yang nampak dalam tulisan-tulisan di bawah ini. Di dalam penjara ia menulis:

Kemarin Bapak Pemimpin Hukum Administrasi dari Berlin datang lagi, kemungkinan dia akan menyampaikan perihal yang menyangkut permasalahanku, karena hingga saat ini aku tidak mengetahui apapun. Fiat in omnibus dei Voluntas artinya semoga kehendak Allah terjadi dalam segala-galanya (Leoni, 2017: 40).

Dalam segala situasi yang tidak pasti, Michelis menyerahkan hidupnya kepada Allah dengan iman yang teguh. Ia membiarkan kehendak Allah terjadi dalam seluruh hidupnya.

Sesudah perpindahannya ke Luxemburg, Michelis menulis pengalaman imannya:

Waktu saya di Luxemburg adalah waktu yang penuh rahmat. Saya percaya bahwa panggilan untuk pindah ke Luxemburg adalah kehendak Tuhan. Walaupun di Münster saya meninggalkan posisi yang sangat menyenangkan dan berpengaruh besar, saya berangkat dengan gembira dan penuh harapan. Maka, bagaimana pun juga saya mau bertahan. Tuhan ada di sini. Ini cukup bagi saya (Heuken, 1987: 58).

Michelis sungguh percaya dan berpengharapan. Ia menghayati panggilan dan perutusan baru di tempat baru sebagai panggilan dan kehendak dari Tuhan. Ia hanya mengandalkan Tuhan. Ia juga rela meninggalkan tempat dan jabatan yang menguntungkan dan menyenangkan baginya. Ia menunjukkan sikap lepas bebas demi mengikuti kehendak Tuhan. Michelis rela pindah ke Luxemburg karena mempunyai cinta yang sangat besar pada Gereja. Tentang hal ini adiknya Michelis yakni Friedrich menulis:

Sudah sejak masa mudanya, Michelis bersemangat mau mengabdi Gereja. Maka dengan sendirinya dan tanpa banyak refleksi, atas dorongan hatinya ia memilih menjadi imam. Mempersembahkan seluruh hidupnya sebagai imam kepada Gereja, itulah cita-cita satu-satunya sejak masa mudanya (Heuken, 1987: 20).

Segala rahmat dan kemampuan yang diterimanya dari Tuhan, diarahkan oleh Michelis secara intensif untuk kepentingan Kristus dan Gereja-Nya. Cinta kepada Kritus serta Gereja-Nya itu sudah nampak ketika ia pada umur 13 tahun menulis surat kepada Rajanya, Friederich Wilhem I dari Prusia (1797-1840). Ia memohon supaya Raja jangan terus menekan para warga negaranya yang

beragama Katolik karena ia merasakan penyingkiran dan pengejaran orang-orang Katolik Prusia (Jerman Utara). Ia rela berjuang dan menderita demi membela kepentingan Gereja. Di dalam penjara ia menulis:

Hari-hari ini aku menderita lagi dan pelbagai keluhan melingkupiku. Tekanan paling berat bagiku adalah penderitaan Gereja. Ya Tuhan, mengapa Engkau membiarkan Gereja yang Engkau cintai teraniaya? Lihatlah, aku juga mencintainya, maka letakkanlah sebagian penderitaannya padaku dan ringankanlah penderitaan Gereja (Leoni, 2017: 76).

Michelis sangat prihatin melihat Gereja menderita. Ia berjuang dan ingin berkorban untuk Gereja bahkan ia rela dipenjara. Michelis menganggap bahwa tugas utamanya ialah membela dan mengabdi Gereja. Maka ia menerima tugas mengajar di Seminari Luxemburg, karena seminari adalah tempat subur bagi para calon imam, walaupun ia harus meninggalkan Münster. Michelis memupuk rasa cinta seminaris pada Gereja dengan menarik perhatian para mahasiswa pada nasib, penganiayaan dan perkembangan Gereja di berbagai negara, bahkan di benua lain, sehingga tempat itu menjadi persemaian imam-imam yang pintar, penuh dedikasi dan patuh pada paus.

Sumber kekuatan dari Michelis adalah berdoa dan merayakan ekaristi. Hubungannya yang akrab dengan Tuhan ia pelihara dalam doa, puasa dan mawas diri. Itulah rahasia yang memungkinkan ia sampai begitu berprestasi dalam hidupnya yang pendek. Ia juga mempunyai devosi dan cinta yang besar kepada Bunda Maria. Cendekiawan yang penuh inspirasi itu menjadi sangat sederhana bila ia berdoa kepada ibu surgawinya:

Engkau penghibur orang berdosa, engkau tempat pelarian orang berdosa, engkau penolong orang Kristen, bantulah kami, lihatlah penderitaan Gereja.

Ibuku yang bahagia, bantulah aku dan alirkanlah dalam diriku cinta yang mendalam padamu (Leoni, 2017: 63).

Michelis juga tekun dan rendah hati memohon rahmat dari Bunda Maria agar mendoakan Gereja-Nya. Ia bahkan memohonkan rahmat cinta yang mendalam. Hatinya sungguh terarah hanya kepada Gereja yang menderita. Demi cintanya pada Kristus dan Gereja-Nya terungkap dalam sikap hidupnya yang saleh dan sederhana. Seorang saksi menulis dalam surat kabar setelah Michelis meninggal:

Waktu merayakan Kurban Misa, Michelis pantas dikagumi malaikat dan manusia. Khidmat serta cintanya yang tercermin dalam sikap lahiriahnya, mau tak mau menyemangati orang beriman untuk berdoa khidmat dan mencinta pula (Heuken, 1987:65).

Michelis sungguh menghayati ekaristi yang dipersembahkannya. Ia bersikap sederhana dan saleh. Ekaristi menjadi sumber kekuatan dalam hidup dan perjuangannya. Michelis juga memiliki kehangatan cinta bagi orang-orang yang berada dalam kesulitan. Hatinya peka terhadap orang lain. Dan merasa didorong untuk terus menanggapi dan menolong orang lain. Sikap disiplin yang ditanamkan oleh ayahnya nampak dalam sikap hidupnya, sedangkan hatinya yang halus, sabar dan tabah diteladankan oleh ibunya. Ia juga seorang yang tekun dan mempunyai semangat juang yang tinggi yang ditunjukkan saat berada di Keuskupan Köln, Luxemburg maupun ketika ia mendirikan Kongregasi Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi.

Pada akhir perjuangan, Michelis memberikan sedikit gambaran menyeluruh tentang pribadi serta cita-cita yang menggerakkannya. Penyakit TBC yang dideritanya sejak berada di dalam penjara Magdeburg telah mencapai fase terakhir

dengan tumpah darah. Masa terakhir dalam hidupnya dilalui dengan hati terbuka dan penuh syukur. Ia merasa tenteram serta gembira dan dengan penuh syukur menerima segala yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Dalam suasana damai serta melepaskan apa saja yang ada di dunia, ia menghadap Tuhan. Ia tak pernah mengeluh tetapi justru memberikan peneguhan, kekuatan dan keberanian kepada orang-orang yang ada disekitarnya. Ia sering mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan dan memberikan diri sebagai kurban.

Tepat tanggal 7 Juni pada pesta Tubuh dan darah Kristus, Michelis mengalami sakrat maut. Masa ini dihayati sebagai kesatuan dirinya dengan Allah. Pada malam tanggal 7 Juni sampai tanggal 8 Juni 1855 pukul 11.30 siang, ia berdoa tanpa henti dalam batin dan secara lisan. Dalam keadaan demikian, ia tak lupa berdoa bagi orang-orang yang sedang dalam sakrat maut. Ia pun terus mendaraskan doa rosario sepanjang saat-saat terakhir hidupnya. Pada terakhir ini, ia masih sempat menghibur adik perempuan yang menangis di dekatnya dan memohon agar adiknya pun berdoa. Salib yang menjadi sumber kekuatannya selama ia dipenjara, dipegangnya erat-erat hingga ia meninggal. Sebelum meninggal, ia masih berkata-kata walaupun dengan terbata-bata: “Satu Gembala, satu kawanan, Perkumpulan Bonifasius”. Sesudah itu, ia bersatu dengan Tuhan (Heuken, 1987: 69).

Michelis adalah imam muda yang pintar, bersemangat, peka dan inisiatif. Ia memiliki rasa cinta yang besar kepada Gereja yang mengalami tekanan dan penderitaan. Meskipun ia harus ditahan dalam penjara, relasinya dengan Allah makin mendalam. Ia tidak menyerah meski mengalami tantangan dan penderitaan.

Ia memberikan hidupnya kepada Allah melalui Gereja-Nya. Dalam keadaan sulit bahkan bahaya, ia tetap percaya kepada Penyelenggaraan Ilahi yang menyelamatkan hidupnya. Sebagai seorang imam, ekaristi menjadi pusat hidup yang mengalirkan energi kepadanya untuk berjuang melawan ketidakadilan dan mewujudkan mimpinya. Keprihatinan yang dialaminya menggerakkan hatinya untuk mendirikan sebuah Kongregasi yang menolong dan mendidik anak-anak yatim piatu yang terlantar dan miskin. Kongregasi itu diberi nama Kongregasi Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi hingga sekarang.

4. Karya dan Perjuangan Eduard Michelis Bagi Gereja

Dokumen terkait