• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. UNSUR SPIRITUALITAS KONGREGASI SUSTER-SUSTER

A. Sejarah Kongregasi Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi

2. Sejarah Perkembangan di Indonesia

Kongregasi Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi didirikan pada tanggal 3 November 1942 di Kota Münster. Berkat dari Allah Penyelenggara yang menyertai perkembangan kongregasi, para suster melayani di bidang pendidikan, pastoral, karya misioner, kesehatan dan sosial. Setelah melampaui batas-batas negara Jerman, Kongregasi tersebar di empat benua yakni pertama, benua Eropa mulai tahun 1876 akibat Kulturkampf yakni penindasan umat Katolik di Jerman pada akhir abad ke-19. Gerakan ini dilakukan oleh Otto von Bismarck yang takut pada pengaruh Gereja Katolik Roma yang akan memecah belah kesatuan Kekaisaran Jerman. Para suster Jerman mengungsi ke negara tetangga Holandia di daerah perbatasan Belanda. Di benua Eropa pada tahun 1987 ada 266 suster yang hidup di Provinsi Jerman dan Komunitas Belanda. Kedua, misi menyebar luas ke benua Amerika. Pada tahun 1895 para suster menyeberangi Samudra Atlantik dan membuka perluasan baru di Brasil – Amerika Latin. Pada saat itu hidup di benua ini 553 suster yang terbagi dalam 4 provinsi dan satu regio. Para suster Brasil juga berkarya di negara-negara tentangga yaitu di Paraguay, Bolivia dan Mozambik, Afrika Tengah (Heuken, 1987: 74).

Ketiga, misi ini makin menyebar ke benua Asia. Pada bulan April 1934, suster-suster Belanda datang ke Indonesia. Saat itu jumlah suster yang berkarya di Indonesia 101 yang hidup di beberapa komunitas, 3 komunitas terdapat di Nusa Tenggara Timur. Keempat, para suster dipanggil ke benua Afrika. Karya misionaris di Malawi, Afrika Tengah dimulai sejak tahun 1960 dan sekarang karya tersebut dilanjutkan oleh 29 suster yang berasal dari Malawi (Heuken, 1987: 74).

Para Suster Penyelenggaraan Ilahi di Belanda hampir tak dapat percaya bahwa mereka dipanggil sebagai misionaris ke Indonesia. Sudah lama mereka yakin bahwa panggilan Tuhan bagi mereka ialah mengabdi di tanah air sendiri, di mana masih ada banyak kebutuhan. Secara tak terduga pada tanggal 3 Oktober 1933 Uskup Goumans dari Bandung datang ke induk biara di Steyl, menghadap Suster Vinsentia, pemimpin Propinsi Belanda. Beliau merasa didesak untuk minta bantuan bagi Keuskupannya, terutama untuk umat Tionghoa yang pada saat itu kurang mendapat perhatian dari pelbagai pihak. Mereka tinggal di daerah Pecinan di Bandung yang sebagian besar merupakan daerah kumuh. Belum ada Suster yang melayani mereka, sedangkan umat lain sudah terjamin (Petra dan Felicite, 2009: 2).

Suster Vinsentia sebagai Pimpinan Provinsi Belanda waktu itu mendengarkan permohonan mendesak tersebut dengan keterbukaan hati, karena ia memahami kerinduan para suster seprovinsi untuk memiliki daerah misi demi pengabdian khusus seturut semangat Bapa Pendiri. Dalam kronik tahun 1934 Suster-suster Penyelenggaraan Ilahi memberi kesaksian seperti yang tertulis pada

surat Bapak Pendiri: “Setiap orang Kristen Katolik adalah seorang misioner. Inilah perutusan penyelamat kita di dunia. Kini kita hendaknya menyerahkan diri kita sepenuhnya” (Petra dan Felicite, 2009: 3). Para suster tergerak hati untuk menjadi misionaris sesuai dengan pesan Michelis. Pesan yang ditulis dalam surat ini menjadi sebuah motivasi dan inspirasi bagi mereka untuk menanggapi kebutuhan umat di Indonesia.

Uskup Goumans berceritera tentang situasi di Bandung dan para Suster mengikutinya dengan hati yang berkobar-kobar. Permohonannya ditanggapi dengan bersemangat dan bersyukur. Demikian pula tanggapan Pimpinan Umum Suster Berthilda dan para Suster Jerman. Mereka ikut bergembira bersama teman-teman mereka di negara tetangga. Waktu Sr.Vinsentia meminta Suster sukarelawan yang merasa diri terpanggil untuk misi ini, ada hampir 100 Suster yang mendaftarkan diri. Ketujuh Suster yang dipilih dan menjadi perintis merasa hatinya tersentuh karena panggilan ini dialami sebagai kasih Allah dan sesama, sehingga mereka karena yakin bahwa tidak akan kembali ke tanah air, menjawab: “Kita meninggalkan semuanya dan tidak akan kembali lagi. Kita mempersembahkan hidup kita bagi pewartaan Kristus dan ajaran-Nya”. Ketujuh Suster itu ialah: Sr. Rodriga sebagai pemimpin, Sr. Edualda sebagai perawat, Sr. Aloyse sebagai guru SD, Sr. Barat sebagai guru, Sr. Andrei sebagai guru TK, Sr. Dominico sebagai guru pekerjaan tangan dan Sr. Apolloni sebagai penanggung jawab dapur (Petra dan Felicite, 2009: 5).

Keyakinan dipanggil mempermudah perpisahan dengan keluarga, sesama Suster dan teman-teman bagi ketujuh Suster itu dan dengan kemantapan hati

mereka berangkat ke Marseille, Perancis. Sesudah tiga minggu perlayaran di laut mereka tiba pada pelabuhan Tandjung Priok. Alangkah gembiranya mereka melihat Uskup Goumans O.S.C. dan Pastor van Asseldonk O.S.C. yang menantikan kedatangan mereka. Dalam perjalanan ke Bandung mereka mengagumi keindahan alam melalui pegunungan Puncak yang tentu membantu mereka cepat merasa kerasan di tempat baru. Oleh karena mereka belum mempunyai rumah, maka mereka ditampung oleh Suster-Suster Ursulin di Jalan Merdeka. Dalam semangat menerima tamu, mereka dibantu dalam segala hal dan para Suster misionaris PI kagum akan kebaikan para Suster Ursulin, yang membuat mereka merasa at home (Petra dan Felicite, 2009: 6).

Oleh karena menghadapi suatu kebutuhan yang mendesak, maka para Suster ingin secepat mungkin menanganinya dengan penuh semangat dan berjiwa besar. Untuk mulai bekerja para Suster membutuhkan sebuah rumah. Akhirnya mereka dapat menyewa rumah pertama di Residentsweg No. 23 sekarang Jl. Oto Iskandardinata No. 23. Rumah itu mempunyai 5 kamar dan beberapa ruang di samping, langsung mereka melihat kemungkinan untuk dapat dipakai sebagai Poliklinik, dapur dan TK. Tentang situasi ini mereka menulis:

Tentu kami semua berkobar-kobar untuk mulai bekerja bagi anak-anak Tionghoa. Dalam situasi miskin seperti ini, kami mulai bekerja pada tanggal 01 Agustus 1934 dalam iman kepada Penyelenggaraan Ilahi dan dibantu sesama Suster Ursulin dengan kebesaran hati yang luar biasa (Petra dan Felicite, 2009: 7).

Tiba-tiba keesokan hari murid pertama sudah datang sehingga seluruhnya 16 anak, 7 untuk TK dan 9 untuk SD kelas 1 dan 2. Tak terduga oleh para Suster, jumlah murid cepat bertambah, sehingga sesudah 3 bulan ada 42 murid. Atas

perkembangan ini para Suster hanya dapat bersyukur, karena mereka menerimanya sebagai tanda kasih Allah. Maka tujuan pendidikan mereka sesuai dengan tujuan misi mereka bahwa sekolah merupakan jalan yang membawa para murid mengenal Allah dan mencintaiNya.

Benih yang ditanam Michelis bertunas, berkembang dan menghasilkan banyak buah. Dari sebuah rumah yatim piatu yang kecil, sederhana dan serba kekurangan, bertumbuh berkat Penyelenggaraan Ilahi suatu kongregasi suster-suster yang berada di empat benua mengabdikan diri pada saudara-saudari Kristus dari segala lapisan masyarakat, mulai dari anak yatim piatu yang terlantar sampai orang jompo yang tak terurus, dari orang sakit sampai orang yang merindukan Sang Penyelamat. Jawaban antusias Michelis atas suatu kebutuhan zaman dan tempatnya telah mengandung jawaban atas kebutuhan-kebutuhan zaman dan tempat yang berbeda-beda, karena inti jawaban ini adalah penyerahan diri seutuhnya pada Penyelenggaraan Bapa di Surga yang akan mengatur segala-galanya dengan baik.

B. Riwayat Hidup, Keluarga dan Kepribadian Eduard Michelis.

Dokumen terkait