• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu sasaran penting dalam rangka manajemen sumber daya manusia dalam suatu organisasi adalah terciptanya kepuasan kerja anggota organisasi yang bersangkutan yang lebih lanjut akan meningkatkan prestasi kerja. Dengan kepuasan kerja tersebut diharapkan pencapaian tujuan organisasi akan lebih baik dan akurat. Salah satu faktor yang memungkinkan tumbuhnya kepuasan kerja yang dimaksud adalah pengaturan yang tepat dan adil atas pemberian kompensasi kepada para karyawan (Martoyo, 1998).

Kepuasan kerja memiliki pengertian sebagai keadaan emosional karyawan di mana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh karyawan yang bersangkutan (Martoyo, 1998). Kepuasan kerja dapat berbentuk finansial maupun non-finansial seperti fisik, emosional, dan intelektual. Kualitas kerja dapat dijadikan sebagai acuan dalam memperoleh kepuasan kerja. Jika merasa bangga akan kualitas kerja yang dihasilkan, maka dengan sendirinya karyawan akan merasa puas. Kualitas yang prima dapat dihasilkan karena ketekunan, kecermatan, dan perhatian pada detail. Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri. Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan selanjutnya akan dapat berakibat frustasi, semangat kerja rendah, cepat lelah dan bosan, emosi tidak stabil, dan sebagainya.

Kepuasan kerja timbul sebagai respon efektif atau emosional terhadap berbagai aspek pekerjaan. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah kesesuaian pekerjaan, kebijakan organisasi termasuk kesempatan untuk berkembang, lingkungan kerja, dan perilaku atasan.

Para ilmuwan perilaku organisasi memberikan penjelasan yang beragam terhadap dimensi-dimensi atau faktor-faktor apa saja yang menentukan kepuasan kerja. Seperti pendapat Bass dan Barrett (1981) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja menyangkut banyak dimensi, namun pada umumnya menyangkut dua aspek, yaitu kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri dan kepuasan terhadap lingkungan tugasnya, rekan kerja, kondisi kerja, penyelia, dan organisasi. Pemilahan dimensi kepuasan kerja menjadi dua tersebut mengacu kepada dua kategori imbalan sebagai sumber motivasi seseorang dalam bekerja, yaitu imbalan intrinsik dan imbalan ekstrinsik. Pemahaman komprehensif terhadap dua kategori imbalan tersebut mengacu pada pemahaman sumber-sumber motivasi. Imbalan intrinsik terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bersumber dari dalam diri seseorang terhadap obyek pekerjaan itu sendiri tanpa adanya kontrol dari sumber eksternal.

Indikator-indikator imbalan intrinsik meliputi prestasi, pengakuan, ekspresi bakat, tantangan pekerjaan, tanggung jawab, dan kesempatan mengembangkan diri. Adapun imbalan ekstrinsik diperoleh karena adanya proses transaksional dengan pihak luar, sehingga ada faktor eksternal yang mengintervensi. Imbalan eksternal ini terkait dengan sumber motivasi instrumentalitas. Organisasi secara nyata memberikan imbalan kepada karyawannya, baik dalam bentuk materi (gaji, bonus, fasilitas transportasi, dll) ataupun non materi (status, kenyamanan kerja, dll). Evaluasi menyeluruh terhadap kedua jenis imbalan tersebut akan menghasilkan kepuasan kerja. Lebih lanjut para ahli teori psikologi dan perilaku organisasi berpendapat bahwa kepuasan kerja menyeluruh (overall) seperti yang juga dipaparkan oleh Sefton (1999) ditentukan oleh beberapa kombinasi dari beragam aspek pekerjaan seperti upah, rekan kerja, dan penyelia. Berdasarkan penjelasan tersebut, jika dicermati sesungguhnya semua merujuk pada satu pemahaman bahwa kepuasan kerja mengandung dua dimensi pokok yaitu kepuasan imbalan intrinsik dan kepuasan imbalan ekstrinsik.

Perputaran karyawan (labour turn over) dan absensi memiliki korelasi dengan kepuasan kerja. Makin puas mereka bekerja dalam suatu organisasi, makin kecil perputaran dan makin jarang adanya absensi karyawan. Sebaliknya jika kepuasan kerja rendah, akan mengakibatkan perputaran karyawan dan ketidakhadiran (absensi) karyawan yang tinggi. Selain itu, umur dan jenjang pekerjaan pun mempunyai korelasi dengan kepuasan kerja. Semakin tua umur karyawan, biasanya mereka makin terpuaskan dengan pekerjaan mereka. Para karyawan yang lebih muda cenderung kurang terpuaskan karena harapan-harapannya yang tinggi tidak cepat terwujud, kurang penyesuaian dan sebagainya. Juga mereka yang memiliki jenjang pekerjaan yang makin tinggi akan memperoleh kepuasan kerja yang lebih baik dari sebelumnya. Mereka yang jenjang pekerjaannya lebih atau makin tinggi, biasanya memperoleh kompensasi lebih baik, kondisi kerja lebih nyaman, dan sebagainya (Martoyo, 1998).

Robbins (2001) menyatakan bahwa variabel-variabel yang berkaitan dengan pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja, yaitu :

1. Kerja secara mental yang menantang; yaitu karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberi kesempatan menggunakan keterampilan, kemampuan dan menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan.

2. Ganjaran yang mendukung; yaitu suatu keinginan karyawan mengenai suatu upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan, dan segaris dengan pengharapan mereka.

3. Kondisi kerja yang mendukung; yaitu karyawan peduli terhadap lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi atau memudahkan bekerja.

4. Rekan sekerja yang mendukung; yaitu hubungan di mana seseorang mendapatkan lebih sekedar uang dan prestasi yang berwujud pada pekerjaan, tetapi menganggap bahwa kerja juga mengisi kebutuhan untuk interaksi sosial.

5. Kesesuaian antara kepribadian dengan pekerjaan; yaitu seseorang yang berkepribadian kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bakat dan kemampuan yang tepat.

Salah satu teori yang penting tentang kepuasan yang merupakan perwujudan dari hasil studi tentang bagaimana menentukan bahwa para karyawan terpuaskan adalah teori perbedaan (discrepancy theory). Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter dan teori ini menyatakan bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan karyawan. Apabila yang didapat karyawan ternyata lebih besar dari apa yang diharapkan, maka karyawan tersebut menjadi puas, sebaliknya apabila yang didapat karyawan lebih rendah daripada yang diharapkan, maka akan menyebabkan ketidakpuasan pada diri karyawan (Mangkunegara, 2000).

Dalam menentukan apakah karyawan puas atau tidak puas, haruslah terlebih dahulu diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepuasan kerja tersebut. Menurut Mangkunegara (2000), ada faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu faktor yang ada pada diri pegawai dan faktor penjelasannya :

1. Faktor pegawai; yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi, dan sikap kerja.

2. Faktor pekerjaan; yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, kedudukan, pangkat (golongan), mutu pengawasan, jaminan finansial, kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial, dan hubungan kerja.